Tante Lira belum juga menjawab pertanyaan ada apa ke rumah Kak Murni. Ia dan Om Dio masih belum membuka rahasia yang mereka sembunyikan. Namun, mama terus memaksa adiknya.
Mungkin karena penasaran, awalnya juga tadi Mama tidak ingin mencari tahu apa yang mereka rahasiakan. Namun, gelagatnya Tante Lira membuat kami jadi ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Kalau elu nggak mau cerita, gue telepon Murni sekarang." Mama mengancamnya. Sehingga membuat Tante Lira menyergap ponsel yang mama pegang.
"Iya Kak. Lira cerita," sahutnya. Bahasa mama ke Tante memang memakai bahasa teman. Namun Tante Lira tetap menghargai seorang kakak ia tidak berani bicara seperti teman.
"Bukan apa-apa, Lira. Gue takut anak pada kelilit utang, kasihan nantinya kalau nggak diingetin dari sekarang," ucap mama menjelaskan rasa penasarannya. Bukan ingin ikut campur urusan orang, namun khawatir dengan Kak Murni dan keluarganya.
"Iya, Kak. Semalam Murni minjam uang 3 juta. Lira adanya cash, emang sekalian mau main ke rumahnya juga. Udah lama nggak main ke sana."
Aku, mama, dan Mas Fariz menoleh bersamaan. Kami berpandangan mengingat semalam Kak Murni juga menghubungiku. Namun, tiba-tiba mama mengejutkan aku dan Mas Fariz.
"Oh, itu paling untuk usaha kali, Lir. Nanti juga diganti!" ucap mama membuatku mengerenyitkan dahi. Kenapa mama tidak bilang sejujurnya bahwa aku juga telah meminjamkan Kak Murni uang 2 juta rupiah?
"Iya, Kak. Memang semalam Murni bilang begitu, dia mau dagang di rumahnya. Buat tambahan penghasilan," ucap Tante Lira membuatku terpaksa diam. Colekan jari mama yang membuatku terdiam. Kode untuk tidak membuka aib Kak Murni.
"Ya, untung elu ada duit, Lira. Tadinya Murni mau minjem gue, cuma gue juga nggak punya duit."
"Iya, Kak. Murni kan ponakan Lira. Jadi dibantu kalau ada," ucapnya. Kemudian kami membicarakan hal lain, hingga akhirnya Tante Lira dan Om Dio pamit pulang.
"Kami pamit dulu, Kak. Jangan bilang Murni ya aku sudah bicara soal uang yang ia pinjam!" Tante Lira memerintahkan agar merahasiakan ini dari Kak Murni.
"Iya, tenang aja, makasih ya udah bantuin anak gue."
"Dulu waktu Lira susah juga kan Murni sering bantuin," sahut Tante Lira. Ternyata kakakku baik orangnya. Sering minjemin orang lain juga dulunya. Namun, kenapa tiap kali aku pinjam ia selalu bicara kasar padaku?
"Iya, emang kudu begitu sama saudara," ujar mama sambil nganter Tante Lira ke depan. Ia sudah bersiap untuk pulang.
"Tante pulang, ya."
"Hati-hati Tante, Om!" pesanku dan Mas Fariz.
Sekarang tinggalah aku dan Mas Fariz di rumah mama. Ingin rasanya aku menanyakan pada mama tentang hal tadi. Kenapa ia menyembunyikan tentang Kak Murni pada Tante Lira.
"Mah, kenapa mama tadi merahasiakan soal Kak Murni pinjam uang juga pada Raya?" tanyaku penasaran.
Mama duduk dan mengajakku bicara berhadapan. Ia pastikan dulu bahwa Tante Lira sudah pulang.
"Kamu ingat dulu waktu kamu keguguran?" tanya mama.
"Iya, Mah. Aku pinjam uang pada Kak Murni 3 juta. Namun, aku diocehin dulu olehnya, Mah."
"Ya, Kakakmu memang seperti itu. Namun, kamu tahu tidak sebenarnya apa yang terjadi pada saat itu?" tanya mama.
***
Setahun lalu saat Raya keguguran POV Mama Alika.
Namaku Alika, aku memiliki dua orang putri yang sudah menikah. Keduanya memiliki karakter sifat yang amat berbeda. Namun, aku selalu menjaga hubungan mereka untuk tetap baik.
Saat itu, Raya sedang kesulitan uang untuk kuret. Ia kebingungan mencari uang. Hanya Murni yang bisa diandalkan. Namun pada saat itu, Murni sedang tidak ada uang. Ia sudah meminjamkan satu juta. Namun Raya butuh 3 juta lagi untuk biaya kuret.
"Murni, pinjami Raya uang 3 juta lagi."
"Mah, aku tidak punya uang sebanyak itu."
"Murni, kasihan adikmu itu."
"Mah, aku bicara benar. Tidak ada uang, tadi terakhir kalinya sejuta dipinjam oleh Raya."
"Bagaimana, ya?" Tidak lama kemudian, ponsel Murni pun berdering. Lalu ia angkat teleponnya.
"Hallo, Tante Lira, sudah di mana?" tanya Murni. Ternyata yang menghubunginya adalah adikku Lira. Setelah itu tidak tahu Lira bicara apa. Namun Murni tiba-tiba mengeluarkan uang dari tasnya.
"Sebentar Tante, ini ada 3.500.000." Entahlah apa yang mereka bicarakan, namun aku kesal melihat Murni ternyata ada uang sebanyak itu. Kemudian telepon terputus. Aku segera menanyakan urusan mereka berdua itu apa.
"Itu ada uang, untuk apa dan ada urusan apa dengan Lira?" tanyaku menyelidik.
"Tante Lira ingin kredit handphone, ini aku udah bawa uangnya niatnya mau suruh Tante Lira beli sendiri. Namun ia tidak bisa datang, katanya ada tamu, jadi besok ia ke sini."
"Astaga, kamu benar-benar keterlaluan, adikmu benar-benar butuh tidak kamu hiraukan," ucapku. Akhirnya Murni pun memberikan pinjaman kepada Raya dari uang yang tadinya untuk Tante Lira. Toh besok langsung diganti oleh Fariz.
"Ini, Mah. Pakai dulu saja. Nanti aku bilang pada Tante Lira besok uangnya."
"Nanti Mama bilang pada Lira. Nggak usah kredit ke kamu, karena adiknya lebih membutuhkan uang itu dibandingkan Tantenya. Dia hanya untuk beli ponsel sedangkan Raya itu sakit."
"Bukan gitu, Mah. Raya sudah keseringan ngerepotin."
"Nanti juga ada masanya Raya tak lagi merepotkan kamu, Murni. Sekarang kamu telepon Lira, bilang tidak jadi kreditin handphone!" perintahku.
Lalu Murni membatalkan Lira untuk kredit handphone atas laranganku. Namun, aku minta Murni merahasiakan ini dari Lira. Meskipun Lira adalah adikku. Namun, ada anakku, Raya, yang lebih membutuhkan uang ketimbang Lira.
***
"Begitu ceritanya, makanya tadi Mama merasa tidak enak dengan Lira. Dulu Mama sempat melarang Murni untuk kreditin Lira handphone. Eh sekarang malah Lira berikan Murni pinjaman."
Cerita mama tadi membuatku terenyuh sekaligus berpikir, bahwa sebenarnya dulu Kak Murni itu sudah sangat baik kepadaku sehingga ia bosan membantuku.
"Ya mungkin Tante Lira sekarang bantuin Kak Murni karena dulu sering ditolong juga oleh Kak Murni, sama seperti aku dulu, ya Mah?"
"Ya, hanya ketika ia hendak kredit handphone memang Mama tidak izinkan."
"Satu lagi perbedaannya. Kak Murni tidak mencaci-maki Tante Lira. Kalau aku yang pinjam, pasti dicaci-maki."
"Sabar ...." Mama hanya menasehati itu. Mas Fariz yang sejak tadi mendengarkan percakapan kami hanya mengangguk tanda mengerti apa yang telah mama ceritakan.
Bersambung
POV Murni"Kalau besok nggak ada duit 5 juta gue ambil mobil elu, Murni."Tia menagih uang setoran yang sudah jatuh tempo. Aku memiliki utang dengannya 30 juta dan harus dicicil sebulan 5 juta rupiah perbulan selama 10 bulan. Aku terpaksa ngutang dengan Tia karena usaha perkreditan barangku kini bangkrut. Ini disebabkan orang yang kredit kebanyakan kabur tanpa meninggalkan jejak. Uang 30 juta tersebut aku pakai untuk nutupin cicilan-cicilanku. Pendapatan dari kredit barang sekitar 7 juta perbulan lenyap tak tersisa. Dalam waktu 3 bulan ini yang bersangkutan lari. Akibatnya aku tidak bisa membayar cicilan rumah dan mobil yang masih tersisa 2 tahun ini. Gaji suami sudah habis terpotong dengan cicilan modal saat usaha masih berjalan."Sabar kenapa Tia, 5 juta gue bayar besok!" sahutku dengan nada kesal."Elu sewot sekarang, Mur, ditagih orang?" tanya Tia dengan nada sombongnya."Bukan sewot, kesel aja elu mah nggak inget temen nagihnya dah seperti rentenir." Aku kesal dengan Tia yang me
Sesuai janji yang Kak Murni lontarkan. Aku harus menagihnya. Ini juga karena ada kebutuhan mendesak yang akhirnya aku harus tagih uang yang telah Kak Murni pinjam.Mas Fariz pun sudah berencana uang yang akan diganti oleh Kak Murni untuk transfer ibunya Mas Fariz. Aku akan merasa bersalah jika Kak Murni tak menepati janjinya.Segera aku tanyakan melalui chat WhatsApp karena sejak tadi aku tunggu belum ada kabar darinya.[Kak, bagaimana uang yang 2 juta? Aku ada keperluan mendesak untuk mertua.] Pesan yang aku kirimkan lumayan lama tak dibaca olehnya."Gimana, Dek? Dibalas nggak?" tanya Mas Fariz. Aku menggelengkan kepala. Lalu Mas Fariz mengecap bibirnya seraya kesal."Kamu nyesel, Mas, minjemin uang ke Kak Murni?" tanyaku agak sedikit sensitif. Bagaimanapun Kak Murni adalah kakakku, ia juga sering membantu saat aku susah dulu.Mas Fariz terdiam, wajahnya tampak murung saat Kak Murni tak kunjung membalas chatku."Aku kira kamu tahu kenapa aku murung, bukan karena belum ada balasan dar
"Maaf Tante, kenapa kemarin Tante bohong, bilang Kak Murni pinjam untuk usaha dagang?"Seingat aku, kemarin Tante Lira bilang bahwa Kak Murni minjam uang untuk modal usaha."Tante khawatir Mama kamu kepikiran.""Mama sudah tahu, Tante. Dari aku, saat Kak Murni minjam aku tanya Mama dulu.""Iya Raya, Tante hanya khawatir Mama kamu mikirin.""Uang Tante sudah diganti Kak Murni?" "Belum, Ray. Katanya malam ini.""Oh, aku juga belum.""Kamu juga dipinjam oleh Murni?" Astaga, aku keceplosan. Nanti Tante Lira bilang pada Kak Murni, lalu ia marah padaku, bagaimana?"Tante jangan bilang pada Kak Murni, ya. Sebenarnya dia minjam 2 juta di waktu yang sama dengan Tante.""Hem, tuh kan. Dulu aja dia selalu curhat tentang kamu yang ngandelin dia. Sejak kamu menikah dengan Fariz jadi senang ngutang uang Murni. Eh, sekarang ia yang pinjam uang kamu. Roda berputar Raya, sekarang dia ngerasain susah.""Tante jangan ngomong ini pada Mas Fariz, ya. Aku tidak enak dengan Mas Fariz. Sebenarnya kasihan de
Aku raih ponsel yang tergeletak di atas meja. Seperti biasa aku bercerita pada mama agar hubunganku dengan Kak Murni kembali rukun. Jika seperti ini, biasanya Kak Murni akan marah padaku dan tidak menegur jika bertemu. Ia keras kepala seperti batu. Selalu aku yang mengalah di setiap permasalahan hubungan saudara."Assalamualaikum, Mah.""Waalaikumsalam, Raya. Ada apa, Nak?" tanya mama."Nggak apa-apa, Mah," sahutku namun diiringi isakan tangis. Mama yang di seberang sana pun dengar."Nggak apa-apa gimana? Kamu nangis, terdengar di telinga Mama." Padahal Kak Murni hanya chat seperti itu. Namun terbawa sampai ke hati. Bukan kata-kata Kak Murni yang membuatku sakit hati tapi tingkah Tante Lira yang bicarakan aku di belakang, itu yang membuatku sakit hati. Kenapa sesama saudara saling bicarakan saudaranya?"Itu, Mah. Kak Murni.""Kenapa? Belum ganti uang kamu?" "Sudah, Mah. Namun, katanya terima kasih sudah bicarakan utangnya pada Tante Lira." Tangisku semakin mendera. Mama yang mendenga
Telepon masuk kembali. Namun, itu dari Tante Lira. Sebenarnya sudah malas ngeladeninnya tapi kalau tidak aku angkat dia nanti chat panjang lebar."Hallo, Tante.""Hallo, Raya. Kamu di mana?""Di rumah, ada apa?""Ini loh, barusan Tante ada yang hubungi. Si Murni punya pinjaman online, teleponnya nggak aktif jadi nelepon ke Tante.""Jangan diladeni, kan dulu aku pernah kejebak pinjaman online. Meskipun nggak banyak, Tante juga kena telepon, kan?" Aku mencoba mengingat kenangan suram masa lalu."Loh Tante nelepon kamu untuk ingatkan waktu itu kamu kena begini Murni bicarakan kamu ke mana saja. Itu karma buat dia, Raya." Aku jadi makin malas bahas apapun pada Tante Lira. Semua ia bicarakan dengan orang lain. Malah disampaikan lagi padaku, bikin sakit hati saja.Daripada ia bicara panjang lebar dan aku jadi kesal, lebih baik aku sudahi saja pembicaraan ini."Tante, udahan dulu ya. Aku mau masak," ucapku pamit."Yah, ya sudah. Kamu jangan bilang tahu dari Tante ya!" pesannya. Selalu ia tek
[Kak, yang sabar, ya. Bagaimana kondisi Mas Aldi saat ini, Kak?]Aku kirimkan pesan singkat padanya. Pasti kakakku sedang bersedih dengan cobaan yang ia hadapi.[Sudah diisolasi di rumah sakit.] [Semoga cepat sembuh, ya, Kak.] [Aamiin, makasih.] Usai sudah kami berbalas pesan. Aku ingin menanyakan perihal pinjaman online sudah dibayarkan atau belum, aku jadi agak sungkan. Semoga sudah ia bayarkan dan tak ada beban lagi padanya.***Seminggu kemudian.Aku belum bisa menemui Kak Murni saat ini. Itu semua dikarenakan ia pun sedang menjalani isolasi mandiri di rumah. Kami hanya bisa berbalas pesan dan menghubungi melalui sambungan telepon. Namun, selama ini setiap kali ditanya ia selalu bilang baik-baik saja.Selama seminggu sejak Mas Aldi terpapar virus corona, Kak Murni selalu menulis status sedih. Namun kami tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Ia tak pernah mengeluhkan apa pun saat dihubungi.Mama yang selalu berlaku adil pada anaknya, ia menghubungiku dan Kak Murni secara be
Aku teringat Mas Aldi. Setidaknya jika Kak Murni tak pernah akrab dengan tetangga. Ada Mas Aldi yang tahu dan kenal RT sana."Mas, kamu kirim kontak RT di sana, ya! Tadi Kak Murni terdengar seperti sakit.""Iya Raya, emang ada apa dengan Murni? Besok aku juga sudah boleh pulang dari rumah sakit. Sedari tadi hubungi Murni nggak bisa-bisa.""Sudah, Mas. Buruan!" Aku mendesak Mas Aldi untuk cepat mengirimkan kontaknya.Tidak lama kemudian, ia mengirimkan kontak RT setempat. Kemudian aku berikan nomernya pada mama. Biar mama yang bicara pada RT nya. ***Setelah mama menghubungi RT, Kak Murni pastinya akan dibawa oleh ambulance. Untuk diberikan tindakan dan diperiksa terpapar covid atau tidak."Ayo, Raya! Kita ke rumah Murni, mama khawatir sekali.""Mah, bukankah Kak Murni sudah dibawa ambulance sana? Lalu kita bisa apa? Nunggu hasilnya dulu." Mama kembali duduk, ia cemas sekali pada anak pertamanya. Matanya mulai mengeluarkan air mata."Kita tunggu dulu, ya. Nanti juga akan segera dikaba
Kak Murni tiba-tiba sulit menggerakkan kakinya dan tangan. Semua persendian tiba-tiba terasa nyeri dan sakit. Ya Tuhan, aku tak sanggup melihat kakakku seperti ini."Kak, sekarang Kakak tidur dulu, besok pagi ditanya ke dokter tentang gejala yang Kakak alami." Mama bersedih, ia hanya bisa meneteskan air mata.Aku duduk dan menatap wajah Kak Murni. Menciumi telapak tangannya. Aku lihat Kak Murni menangis terisak-isak melihat kondisinya saat ini."Kakak nggak bisa tidur," ucapnya dengan isak-tangis. Entahlah, Kak Murni sedang menyesali takdir atau menangisi penyakitnya."Kamu sudah berapa lama tidak ibadah salat, Nak?" tanya mama. Kak Murni menggelengkan kepalanya."Aku ambilkan mukena, ya Kak. Masih ada waktu untuk salat isya." Aku mengambilkan mukena yang berada di laci pasien. Kak Murni masih sesegukan. Sebentar-sebentar ia mengelap air mata yang tumpah."Apakah sakit ini karena dosaku yang teramat banyak, Mah?" tanya Kak Murni dengan nada sesegukan."Tidak ada yang tahu dosa dan ama