Share

Bab 6

Author: Siti_Rohmah21
last update Last Updated: 2022-09-25 14:29:37

POV Murni

"Kalau besok nggak ada duit 5 juta gue ambil mobil elu, Murni."

Tia menagih uang setoran yang sudah jatuh tempo. Aku memiliki utang dengannya 30 juta dan harus dicicil sebulan 5 juta rupiah perbulan selama 10 bulan. Aku terpaksa ngutang dengan Tia karena usaha perkreditan barangku kini bangkrut. Ini disebabkan orang yang kredit kebanyakan kabur tanpa meninggalkan jejak. Uang 30 juta tersebut aku pakai untuk nutupin cicilan-cicilanku. 

Pendapatan dari kredit barang sekitar 7 juta perbulan lenyap tak tersisa. Dalam waktu 3 bulan ini yang bersangkutan lari. Akibatnya aku tidak bisa membayar cicilan rumah dan mobil yang masih tersisa 2 tahun ini. Gaji suami sudah habis terpotong dengan cicilan modal saat usaha masih berjalan.

"Sabar kenapa Tia, 5 juta gue bayar besok!" sahutku dengan nada kesal.

"Elu sewot sekarang, Mur, ditagih orang?" tanya Tia dengan nada sombongnya.

"Bukan sewot, kesel aja elu mah nggak inget temen nagihnya dah seperti rentenir." Aku kesal dengan Tia yang menganggapku orang lain saat menagih. Padahal dulu dia yang sering kredit barang padaku. Namun seiringnya waktu, ia sekarang sedang banyak uang makanya kreditin uang seperti rentenir. Bunganya pun gila-gilaan.

"Murni, kamu tidak ingat 2 tahun lalu?" tanya Tia mengingatkanku sesuatu. Namun aku tidak dapat mengingatnya, pikiran mengenai utang dan cicilan dalam 3 bulan ini membuatku tidak sempat memikirkan masa lalu.

"Apa sih? Masa lalu apa?" tanyaku masih bicara melalui sambungan telepon.

"Ini karma buat elu, Murni. Dulu elu yang nagih, belum jatuh tempo aja udah bawel setengah mati. Sekarang elu yang ditagih udah lewat seminggu masih nyuruh gue sabar." Aku bergeming, tak menjawab ucapan Tia. Dadaku sesak sekali mendengar ucapan Tia. Apa benar yang ia katakan? Apakah ini karma untukku?

***

2 tahun yang lalu.

Aku diberikan modal oleh Mas Aldi untuk usaha. Akhirnya usaha yang aku pilih adalah elektronik, dengan cara memberikan kredit jangka waktu 10 bulan.

Banyak sekali yang kredit, modal 100 juta pun berjalan dengan lancar. Sejak usahaku 2 tahun lalu mulai naik pendapatan. Saat itu pula aku mulai kredit mobil dan rumah. 

Usahaku ini tak banyak yang tahu. Hanya teman-teman dan tetangga saja. Untuk saudara-saudara, tidak banyak yang tahu. Aku khawatir jika saudara yang kredit tidak akan lancar bayarnya. Mereka pasti terlalu menggampangkan bayarnya. Kecuali Tante Lira, hanya ia yang tahu usahaku ini. Mama tahu, namun tidak tahu aku memiliki modal besar. Ia tahu nya aku kreditin barang yang harga standar saja.

Saat itu, Tia sedang berkunjung ke rumahku. Ia melihat beberapa tetangga bayar cicilan kepadaku. Sehingga ia ingin kredit barang juga.

"Mur, gue kredit laptop dong yang harga 5 juta aja." Tia bicara padaku.

"Besok ya, inget sebelum jatuh tempo 2 hari kudu bayar. Inget-inget, ya!" ucapku mengingatkan sebelum ia kredit.

"Iya, paling berapa doang cicilannya. Berapa si kalau harganya 5 juta?" tanya Tia.

"Jadi 750 ribu sebulan, tenor 10 bulan," ucapku menjelaskan. 

"Ya udah gue setuju," sahut Tia.

Akhirnya Tia menyetujui syarat kredit barang denganku. Tidak boleh telat dari jatuh tempo. Telat sehari harus siap aku tagih.

Dua bulan setelah kredit laptop, Tia pun ditimpa masalah. Keuangannya goyang, sehingga sudah tanggal jatuh tempo dia belum bayar cicilan padaku. 

"Tia, besok jatuh tempo, kan gue bilangin dari awal kalau bayar sebelum jatuh tempo!" ucapku berniat mengingatkan Tia.

"Mur, bulan ini gue agak telat sehari doang, gue minta tenggang waktu sehari aja, Mur." Tia memohon, namun aku tak peduli. 

"Tia, itu udah urusan elu, gue cuma nyuruh elu bayar tepat waktu, ini usaha gue bisa macet kalau elu telat bayar."

"Mur, besok gue pastiin udah gue bayar ya. Elu tenang aja, gue bukan tipe orang yang kabur kok kalau punya utang." Syukurlah jika Tia sadar.

Kemudian pagi harinya, ada chat dari Tia. Ia mengirimkan bukti transfer 750.000 rupiah cicilan kedua.

[Terima kasih banyak, Tia. Sudah bantu aku membayar tepat waktu.]

[Gue nggak lagi-lagi ngutang sama elu, Tia.] 

Aku dan Tia memang sering seperti ini. Namun, nanti baik lagi. Tia tahu sifat aku yang tegas seperti ini. 

***

Apa iya ini karma? Aku sekarang ditagih oleh Tia. Kalau memang Tia dendam dengan ucapanku 2 tahun lalu, kenapa ia memberikan pinjaman uang 30 juta pada 3 bulan yang lalu?

Uang 5 juta pun terkumpul, aku pinjam pada Raya dan Tante Lira. Untuk membayar utang pada Tia yang bunganya mencekik.

[Tia, ini bukti transfer sudah gue lampirkan, ya. Terima kasih.]

[Oke. Sama-sama. Maaf ya kalau gue bawel.]

[Nggak apa-apa, cuma gue heran aja, apa sebenarnya elu pinjemin gue duit untuk balas dendam?]

[Astaga, gue nggak ada niat seperti itu awalnya untuk bantu elu aja, Mur.]

[Kok elu bilang ini karma untuk gue?]

[Maaf kalau itu gue kesel, elu lagian dulu kalau nagih utang dah kayak garong, harus tepat waktu. Lebih-lebih rentenir tahu nggak!]

Aku tak membalas pesannya lagi. Sekarang aku hanya putar otak untuk membayar utang pada Raya dan Tante Lira. Yang sudah aku janjikan hanya pinjam satu minggu saja.

***

Satu minggu sudah, janjiku untuk menggantikan uang Raya dan Tante Lira saat ini sudah datang waktunya. Namun, aku belum mendapatkan uang sepeserpun untuk menggantinya.

"Mas Aldi, aku janji bayar utang pada Raya dan Tante Lira sekarang. Kamu bisa cariin pinjaman nggak?" tanyaku pada Mas Aldi.

"Raya nanti aja, Dek. Aku nggak ada duit, ini ada untuk bensin doang."

"Tante Lira gimana?" 

"Entar Tante Lira aku cariin coba minjem ke temen. Lagian Raya kan dulu juga sering pinjam ke kita. Masa iya sekarang nggak bisa gantian?" 

"Iya juga, dulu dia minjem selalu aku kasih meskipun aku omelin dulu."

"Ya iyalah, gantian."

Tidak lama kemudian telepon pun berdering. Dari Tante Lira, pasti ia nagih utangnya.

"Hallo, Tante."

"Murni, gimana yang 3 juta sudah ada, belum?" tanya Tante Lira. Astaga aku sudah janji namun tidak ditepati rasanya khawatir sekali.

"Iya, Tante. Sedang nunggu Mas Aldi transfer." Aku terpaksa berbohong. 

"Oh ya sudah. Tante tunggu ya," ucapnya lalu telepon terputus. Tidak lama kemudian ada pesan masuk dari Raya. Astaga rasanya aku ingin uninstall aplikasi W******p saja. Belum aku baca pesan dari Raya. Namun, sudah terbaca dari layar depan. Ia menagih uangnya, mendadak ia ada keperluan mendesak untuk mertuanya.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 32 Extra Part

    Ekstra PartPOV MurniSyukur alhamdulilah, Tuhan berikan nikmat padaku dengan bertemunya orang-orang baik. Padahal, bisa dibilang tingkah laku yang dulu aku lakukan itu sangatlah tidak terpuji. Sering merendahkan orang lain, bahkan adik kandung sendiri.Begitu banyak cerita tentang perjalanan hidupku. Terutama mengenai semua yang telah aku perbuat di masa lalu. Itu semua kembali menimpaku. Kala itu, aku tak pernah berpikir bahwa semua perbuatan tak mungkin jadi boomerang untuk diriku sendiri. Namun, hukum alam memang begitu adanya. Siapa yang menabur, maka bersiaplah untuk menuai.Hari ini, aku dilarikan ke rumah sakit. Ini semua terjadi karena kelelahan. Beberapa hari ke belakang, aku memang sering begadang untuk menyelesaikan tulisan.Mertuaku yang kepanikan melarikan ke rumah sakit. Akibatnya seluruh warga jadi heboh karena kecemasan mertuaku. Wajar saja, karena saat aku pingsan, Mas Aldi tidak berada di rumah.Mama dan Raya pun panik, begitu juga dengan Tante Lira yang ikut datang

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 31 End

    Pikiranku tak karuan, apalagi dengan mama, ia tak henti-hentinya menangis sambil berdoa di dalam mobil. Tante Lira yang berada di samping mama hanya bisa menenangkan dengan caranya."Kak, jangan terlalu panik kenapa. Kan Kakak sendiri yang sering memberi nasihati untuk pasrah!" ujar Tante Lira, aku hanya berharap Kak Murni baik-baik saja. "Iya, gue udah mulai tenang. Sampai ke rumah sakit, berapa lama lagi, Bang?" tanya mama pada supir."Kita sudah di depan rumah sakit, Bu. Itu rumah sakitnya," ucap supir sambil melipir. Ia tak bisa masuk, karena ingin melanjutkan tarikan lagi.Kami memberikan ongkos pada supir, lalu turun dan beranjak ke UGD rumah sakit. Setelah sampai ke depan UGD, mertuanya sudah masuk menemani Kak Murni. Aku dan yang lainnya dicegah oleh petugas."Maaf, Bu. Mau bertemu dengan siapa?" tanya satpam di depan."Saya mau menemui pasien yang bernama Murni, barusan dibawa ke sini." "Maaf Bu, sudah ada dua orang di dalam, kalau bisa bergantian." Pak satpam menghalangi k

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 30

    "Mah, Kak Murni sombong banget, aku hubungi dia malah matikan telepon!" ucapku kesal. Kemudian mama dan Tante Lira berusaha menenangkan aku.Aku terus mengelus dada, agar tidak timbul rasa kesal pada Kak Murni. Ia sudah lama berubah. Masa iya kembali ke sifatnya yang dulu lagi?"Jangan buruk sangka dulu, nanti kita ke rumahnya, bagaimana?" tanya mama menawarkan berkunjung ke rumah Kak Murni. Aku yakin sebenarnya Mama pun khawatir, tapi ia berusaha menutupi itu.Ada baiknya juga, jangan-jangan Kak Murni tersiksa lagi hidupnya di sana. Ada mertua yang menggembleng kerjaan rumahnya. Astaga, kenapa aku jadi buruk sangka begini!"Aku izin Mas Fariz dulu, Mah. Jangan sampai Mas Fariz cemas dengan keadaanku.""Ya sudah kirim pesan pada Fariz dulu sana! Mama juga ingin melanjutkan masak dulu." Mama kembali ke dapur. Aku masih bersama dengan Tante Lira di sini.Tante Lira sudah dua bulan lebih tinggal bersama mama di sini. Sepertinya uangnya belum cukup untuk renovasi rumahnya yang dilahap si

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 29

    "Mah, kok malah diam. Jawab dong!" tanyaku memaksanya untuk menjawab.Kemudian Tante Lira menghampiriku. Ia mengajakku untuk bicara. Kenapa tiba-tiba tubuhku jadi bergetar seperti ini. Ada apa dengan mereka? Rahasia apa yang tidak aku ketahui?"Raya, memang kamu belum tahu?" tanya Tante Lira membuatku semakin bingung. Ini ada apa sih? Kenapa mereka aneh begini. Perasaan kemarin masih lihat status di Facebook Kak Murni normal-normal saja."Ada apa, Tante? Jangan bertele-tele deh!" ucapku dengan nada menekan. Rasanya sudah dongkol sekali, sedari tadi belum diberitahu kenapa Kak Murni tidak ada di rumah."Murni sudah dijemput oleh mertuanya, ia sekarang tinggal bersama mertua di rumahnya." Ucapan Tante Lira membuatku terkejut. Astaga, ini akan menjadi tekanan untuk Kak Murni, jika mertuanya membandingkan ia dengan adik iparnya bagaimana? Bukankah mereka selalu saja bersaing."Kenapa dikasih, Tante? Aku nggak rela jika Kak Murni kenapa-kenapa lagi," ujarku kesal."Mertuanya sudah melunasi

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 28

    Aku dan Mas Fariz terkejut, mata kami saling bertatapan. Ada rasa takut dan cemas di dalam hatiku.Kemudian kami beranjak dari tempat tidur. Melihat ke arah sumber suara tersebut. Aku berada di belakang Mas Fariz yang mengendap-endap. Begitu terkejutnya kami, saat melihat ada tiga orang anak muda sedang menyongkel pintu tetangga.Tanpa berpikir panjang, kami berdua berteriak sekeras-kerasnya. Agar warga sekitar bangun dari tidur lelapnya."Maling ... maling ...." Ketiga orang tersebut terperanjat saat mendengar teriakkan kami berdua. Kemudian kami ke luar. Namun, belum sempat warga mengeroyok, mereka kabur mengendarai motor yang mereka bawa. Satu motor tiga orang, itu artinya belum ada yang kebobolan saat itu."Pak Fariz, terima kasih banyak," ucap tetangga yang hampir kebobolan. Mereka terbangun karena mendengar teriakkan kami berdua dan suara motor yang tiba-tiba ngebut."Sama-sama, Pak." Mas Fariz pun menjadi saksi untuk melaporkan ke RT setempat."Ada apa, Pak? Bagaimana kejadian

  • KESOMBONGAN DIBAYAR TUNAI   Bab 27

    "Mah, memang dompetnya isi apa aja?" tanyaku penasaran, setahu aku tadi mama bawa dompet yang biasa ia bawa ke tukang sayur, bukan untuk bepergian ke pasar. Biasanya dompet itu memang hanya berisikan uang receh seadanya.Mama mengerenyitkan dahi. Ia masih panik dengan perampasan tadi."Tadi Mama hanya membawa uang receh, tapi tiba-tiba kepingin bawa uang lebih. Jadi, tadi ambil duit di dompet 500.000 rupiah," ucap mama. Ini pasti memang feeling kuat akan kehilangan uang."Ya Allah, duit segitu lumayan, Mah," ucap Kak Murni. Mungkin ia menyayangkan karena ia tidak punya uang sebanyak itu saat ini.Semoga saja malingnya segera tertangkap. Agar tak begitu membuat mama sesak. Aku dan yang lainnya menghabiskan makanan yang masih tersisa banyak. Namun, jantungku tak hentinya berdetak lebih cepat. Makan pun jadi tidak kuhabiskan.Padahal, tadi kami sedang bersenang-senang dan bahagia. Namun, di tengah kebahagiaan ada saja masalah yang kami hadapi ini. Saat ini pesan mama jadi terngiang-ngia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status