Aku mendekati Megan, yang sedang berjalan ke arah pintu samping. Pasti dia ingin masuk lewat samping.
"Megan!" seruku menyapanya. "Saya, Nyonya. Maaf, saya gak lewat depan, takut ganggu kebersamaan Nyonya dan Tuan yang baru saja sampai," jawab Megan seperti gugup. "Kok kamu tahu, Mas Danang barusan pulang?" tanyaku menyelidik. "Oooh, barusan kan kedengaran suaranya, Nyonya," jawab Megan mengulum senyum. Oh ya? Memangnya tadi Mas Danang bersuara, ya? Perasaanku dia sedang memainkan hpnya. Yang ada suara Amira yang heboh. Aku menatap tajam pada wanita muda di depanku ini. Agak lain perasaanku ini. "Tidak ada yang kamu sembunyikan dariku, kan Megan?" "Apa maksud pertanyaan Nyonya? Maaf, saya gak paham. Oh ya, salamnya Mbok, Nyah. Terimakasih, saya sudah dikasih cuti." Aku hanya bergeming. Pasalnya aku pun menelpon Mbok Mar dan memang dia mengakui sangat berterimakasih karena memperkenankan putrinya pulang. Tapi Mbok Mar terdengar tidak sakit parah. Suaranya segar menurut telingaku. Apa aku sedang paranoid, ya? Aku mengecap mulutku yang terasa kering. Hanya anggukan kecil yang bisa kutunjukkan pada pembantuku yang masih muda itu. Megan pun pamit ke kamarnya meninggalkanku dengan perasaan tak karuan. Ada apa dengan perasaanku ini? Malamnya .... "Sayang," sapaku dengan lingerie putih yang memiliki renda. Dirancang begitu menantang dan mampu mencubit gairah setiap pria dewasa. Apalagi aku dan Mas Danang sudah seminggu belum bersatu padu. "Kamu cantik banget, Bun. Tapi maaf banget ya, aku kecapean banget. Benar-benar letih. Maaf, ya." "Biar aku saja yang aktif," bisikku menggoda. "Maaf, ya, Sayang. Aku benar-benar ngantuk." Mas Danang langsung membelakangiku. Liurku yang mengental kutelan paksa. Terasa tercekat di tenggorokan. "Oooh," ucapku malu sendiri. Aku pun menarik selimut, menutupi tubuhku yang terbuka di mana-mana. Selama menikah, untuk pertama kalinya Mas Danang menolakku. Biasanya dia yang mengajakku lebih dulu apalagi sudah hampir seminggu kami tidak melakukannya. 'Ada apa dengan suamiku, ya Allah? Apa benar-benar lelah atau dia memiliki alasan yang lain?' batinku meringis menahan rasa sedih ditolak begitu saja. Hari-hari selanjutnya aku mencoba bersikap biasa saja. Mas Danang juga memperlakukanku dengan baik. Namun hal yang aneh muncul saat sore itu, saat pulang kantor. Wajahnya kusut dan tidak enak dilihat. Pasti sesuatu sedang terjadi. Dia menghempaskan begitu saja tas kantornya dan melepas dasinya dengan ekspresi kecut. "Kenapa, Mas? Ada kendala?" tanyaku berusaha menyentuhnya namun dia sedikit bergeser. "Kecapean aja, Sayang. Aku ke kamar mandi dulu," ujarnya. Saat kudengar gemericik air, dengan cepat aku memeriksa tas kantornya namun tak ada yang aneh. Hanya ada berkas biasa. Tidak ada rencana pengajuan proyek yang biasanya membuat dia mumet. Lalu apa, ya? Ponselnya bergetar. Kucek. Ternyata pesan dari kartu. Aku memeriksa semua foto, wa, medsos, tidak ada yang mencurigakan. Mungkin benar, suamiku benar-benar sedang lelah. Tiba-tiba sebuah notif WA masuk. [Sabar ya, Pak. Baru SP 1. Bapak bisa kok dapatkan kembali kursi kepala lagi. Kan ini hanya sementara yang penting bisa kembali perbaiki kinerja. Semangat, ya!] Diana Alisnya langsung mengkerut heran. SP 1? Sosok serajin suamiku dapat SP ? Aku masih menyimpan pikiran bahwa Diana, staf devisi suamiku salah kirim. Otakku langsung bekerja. Aku mengirim nomor Diana ke nomorku lalu segera kuhapus riwayat chatnya. Syukur tanganku terampil tidak sampai membuka pop up pesan Diana. Aku segera keluar dan mencari ruang. Syukurnya Diana langsung mengangkat telponku. Setelah kukenalkan diri, kucecar dia langsung. "Aduh, Bu. Maaf. Saya merasa tidak pantas menyampaikan apa pun yang Pak Danang belum sampaikan pada ibu. Saya hanya anak buah biliau. Apalagi mungkin masalah ini ada sangkut pautnya dengan hubungan rumah tangga kalian. Saya sungkan, Bu. Saya mohon maaf." "Katakan Diana. Kesalahan apa yang dilakukan suamiku hingga dia dapat SP 1?" "Saya minta maaf, Bu. Saya tidak bisa menyampaikannya." "Oke. Kalau begitu, esok aku yang akan ke kantormu dan mencari tahu langsung. Aku kenal presdirmu. Aku bisa mendapatkan informasiku secara langsung juga kemungkinan surat pemecatan tanpa alasan untukmu." Suara gemerisik terdengar dari ponsel Diana. Aku harus terus menekan wanita itu. "Baik, Bu. Tapi tolong janji jaga kerahasiaan identitas saya." "Baik," jawabku tegas. "Pak Danang menggelapkan uang event promosi, Bu. Sejumlah 10 juta. Katanya kesalahan teknis dan Boss meminta segera diganti." Aku mengusap hidungku yang sebenarnya tidak terasa gatal. Suami sengaja korupsi atau benar kesalahan hitung? Aku benar-benar mulai diliputi perasaan tidak nyaman. "Satu bulan terakhir ini juga, Pak Danang sering pulang lebih cepat. Malah tiga hari berturut-turut, dua hari yang lalu malah datang terlambat sekali. Rapat sudah mau selesai sedangkan dia baru saja datang. Alasannya ...." "Sebentar, sebentar, Diana. Apa katamu tadi? Tiga hari berturut-turut Mas Danang datang terlambat? Kapan tanggal pastinya." "Tanggal 12, 13 dan 14 bulan ini, Bu. Alasannya anak sakit." "Astaghfirullahalazim ...." Aku menutup mulutku. Apa yang telah terjadi pada suamiku ya, Allah? Bukankah tanggal segitu dia sedang dinas luar kota dan seharusnya memang tidak ngantor. Ohh Allah sandiwara apa yang sedang dimainkan suamiku? "Bagaimana keadaan Ananda, Bu?" "Ssu-sudah sehat. Terimakasih banyak Diana." "Baik, Bu. Tolong bantu saya agar tidak membahas ini pada Bapak jika beliau tidak menyampaikan langsung. Saya takut dicurigai, Bu. Saya minta tolong, ya." Aku mengiyakan ucapan Diana. Dia sudah mau berbagi informasi penting ini padaku dan aku memang harus menjaganya. Jadi aku tidak bisa langsung mencecar Mas Danang. Aku harus mencari tahu, selama tiga hari ini dia kemana? Alasannya ke luar kota tapi ternyata dia masih ke kantor dan terlambat. Apa ada kaitannya dengan uang 10 juta yang dia selundupkan? Ooh suamiku sudah pintar bermain-main rupanya. Hmmm ... "Nyonya, Amira terbangun dan sekarang dia di kamar saya," ujar Megan. Aku menoleh tanpa mengucapkan apapun. Sejenak kuperhatikan pembantuku itu. Dia sekarang cantik, kulitnya terlihat lebih jernih dibandingkan saat tahun lalu dia mengunjungi ibunya ke sini. Apa karena sudah punya suami jadi dia berubah lebih glow up? Lalu tiga hari ini dia cuti. Kenapa hampir bersamaan dia tidak ada di rumah ini dengan suamiku dan kembalinya juga hampir bersamaan? Apa aku sedang terlalu overthinking atau ini .... Firasat? "Nyonya?" tegur Megan membuyarkan pikiranku. "Ooh iya, Megan. Gimana?" "Amira tidur di kamar saya, Nyonya." "Kenapa dia tidur di kamarmu? Seharusnya dia di kamarku." "Amira datang sendiri ke kamar saya, Nyonya. Mungkin terlalu lama nunggu Nyonya yang sedang di kamar utama bersama Tuan." "Lain kali, langsung tuntun dia ke kamarnya lagi supaya dia tidak kebiasaan. Jangan biasakan anak-anakku atau suamiku dekat denganmu sehingga tak ada batasan siapa kamu di sini," ujarku menekan suaraku. Megan diam saja sembari tertunduk. Kakiku mendekat dan terus mendekat. "Bawa Amira kembali ke kamarku," lirihku terdengar mengintimidasi. Entah kenapa perasaanku ini benar-benar membingungkanku. Apakah wanita ini memiliki skandal dengan suamiku? Meskipun dia sudah bersuami, segala sesuatu bisa saja terjadi, bukan? Tapi pantaskan aku curiga pada Megan sebab jelas ibunya sendiri mengaku wanita itu ada bersamanya. Apakah ada persekongkolan di sini? Seperti aku berada di dalam labirin dan dihadapkan ribuan teka teki dan kecurigaan. "Baik, Nyoya." Megan mengangguk lalu pergi begitu saja. Aku menatap setiap lekukan tubuhnya yang menjauh dan jelas, aku menghirup aroma parfum yang lembut terbawa oleh angin malam. Seorang pembantu, menggunakan parfum semenggairahkan itu di dalam rumahku? "Aku harus memastikan tidak ada ulat jahannam yang sedang menggerogoti daun rumah tanggaku," desisku sendirian lalu menghubungi kawanku yang bekerja di toko elektronik yang menjual kamera CCTV."Kan sudah puluhan kali David melamarmu, kok baru sekarang kamu gemetar begini?" "Beda, Buk. Beda aja! Ibuk gak tahu gimana rupa Mamanya. Iihhh!" Senyum Bu Sartini makin lebar. "Ya, aku paham perasaanmu. Selama ini sama David, kamu merasa lebih enjoy, rileks karena memang kalian sudah sangat dekat sejak masih satu kantor." "Ya Buk. Terus gimana dong ini?" "Ya gimana apa? Kita siapkan diri lah," ketus Bu Sartini meraih hpnya. "Ya Allah, Buk." Safira kehilangan kata-kata. Ia seperti diambang dua sisi. Antara mau dan tidak mau menikah dengan David. Dia pun bingung dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menentukan perasaan sesungguhnya itu bagaimana. "Ibu mau nelpon siapa?" "Nelpon Burhan. Mau suruh cari orang buat cat ulang rumah ini. Aku juga mau ganti sofa sama gorden baru." "Buat apa, Buk?!" "Astaghfirullah! Pake nanya lagi! Ya buat persiapan kamu dilamar lah! Memang kamu gak mau nikah sama David? Yang jelas caranya. Mau apa gak?!" "Aku bingung, Buk. Anak
Dengan percaya diri, Safira meletakkan setelan baju yang dia rekomendasikan di depan Bu Erlita. Wanita kaya itu merabanya lembut namun otaknya berpikiran hal lain. Ia ingin mengintimidasi pemilik butik dan mengetahui, sejauh mana wanita itu bisa bertahan. "Bagaimana seorang owner butik bisa mendapatkan hati pewaris tunggal Adingtong grup? Kau tahu, putraku itu sangat sulit didekati." "Hati adalah magnet, Nyonya. Dia akan tertarik pada energi yang sama dengannya." Bu Erlita tersenyum kecil. Dia wanita cerdas dan paham, Safira tidak mau merendahkan dirinya. Seolah mengatakan, dia sama hebatnya dengan putranya dan pantas. "Tapi, saya belum menerima putra Anda. Masih saya bertimbangkan, " sambung Safira yang membuat Bu Erlita tersenyum lebih lebar. Dia suka wanita yang tak mudah dan tak murah. "Kenapa? Bukankah putraku pria yang sempurna untuk dinikahi?" "Karena merasa hidup saya saat ini sudah sangat sempurna, Nyonya. Jodoh masih jadi rahasia. Saya memiliki anak-anak dan t
Beberapa waktu berlalu, Rio dan Amira makin dekat dengan David. Pria itu berhasil menjadikan dirinya bagian dari memori anak-anak itu. Ia mengira harus merogoh uang yang banyak untuk bisa mendapatkan perhatian anak-anak. Rupanya tidak. Tidak banyak modal yang dia keluarkan namun tenaganya yang sering kali harus dia isi ulang. Ternyata David sekarang paham, membuat anak-anak bahagia bukan hanya sekedar bermodal uang. Namun intraksi dan komunikasi itu, tidak hanya sekedar bersama tapi bercengkrama. Ada timbal balik antara orang dewasa dan anak yang membuat mereka menjadi lebih dekat. Di sela-sela kesibukannya, David menyempatkan dirinya melakukan panggilan vidio dengan anak-anak melalui ponsel Bu Sartini atau Mimi. Minggu ini, mereka antusias karena akan diajak bermain ke dino land. "Janji, ya, Om CEO!" seru Amira yang pandai berceloteh. Dia lebih lincah bicara daripada Rio yang hanya ikut-ikutan. "Om ada hadiah buat kalian. Nanti malam Om bawakan, ya!" Amira mengangguk. Nampak
Dua hari kemudian, Safira yang baru saja pulang dari butik langsung dikagetkan dengan berita jika ibunya sakit. "Ayo, Mi! Kita nginap di rumah ibuk. Kita bawa perlengkapan untuk nginap seminggu." "Siap, Nyonya." Benar saja, di rumah, Bu Sartini sudah memakai koyo di sisi kiri kanan kepalanya. Ia menggunakan selimut menutupi tubuhnya. "Ya Allah, Ibuk, kok tiba-tiba aja sih gini?" tanya Safira khawatir. "Makanya aku cariin bibik biar ada yang bantu, kenapa sih gak pernah mau?!" "Gak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya nyilu-nyilu dikit. Mana anak-anak? Kamu bawa kan anak-anak?" "Rio les. Amira sedang tidur di kamar." Bu Sartini tersenyum. Menjelang isya, David datang. Safira yang sedang menikmati urap daun turi campur kol sampai batuk-batuk saat mendengar Mimi mengabari. "Astaghfirullah, ngapain orang itu di sini jam seginian, Mi?!" "Gak tau, Nyonya." Safira melepas makanannya lalu keluar menemui David. Wajah Safira sudah tegang. "Sebelum kamu bicara, aku mau ka
"Jangan bikin gaduh, Andin. Kita memang sahabat dekat tapi kalau sudah tidak sehat begini, habis nanti kubuat kalian. Serahkan Amira sekarang!" "Mbak selalu begitu. Selalu egois. Harus ya, kami ikut ngomongnya Mbak?! Mentang-mentang Mbak lebih kaya dari kami? Mentang-mentang kalian lebih kaya?!!" Bu Andin berkaca-kaca. Sudah serak suaranya. "Ya jelas! Anggap aja begitu. Kenapa memangnya? Lagian, baru saja anak-anak nyampe rumah, sudah mau dibawa pergi. Mereka itu punya rumah! Mereka punya ibu! Terus saja hampir tiap hari kalian bawa!" "Gimana gak mau aku bawa, Mbak?! Ibu mereka sibuk! Malah mau nikah sama laki-laki lain!" timpal Bu Andin menggebu-gebu. "Oooh ... Perkara itu?! Jelaslah! Putriku masih cantik, masih sehat, karirnya melesat. Sangat pantaslah kalau ada laki-laki kaya, pemilik perusahaan besar yang mau meminangnya. Malah akan kupasung Safira kalau dia gak terima pria itu. Hahahaha!" Bu Sartini tertawa jumawa. Safira sampai menutup mulutnya karena terkejut m
"Aku be-belum siap, Mas." "Itu karena kamu gak percaya sama aku, Fir. Please .... marry me." Dalam kegamangannya, Safira melihat mobil mertuanya semakin dekat. Jantung Safira seperti akan melompat keluar. Seperti dia merasa sedang berselingkuh dari putra kedua mertuanya itu. Jelas, wajahnya nampak panik. Mobil berhenti, lalu kaca mobil terbuka. "Ngapain kamu di sini, Safira?" tanya Bu Andin ketus. "Ii-iini, Ma ...." "Masuk!" "Ii-iiya." Mobil Bu Andin masuk garasi. Safira menyerahkan kembali buket uang itu. "Ini David, sorry." Dengan langkah seribu, wanita itu meninggalkan David yang kebingungan. Hatinya sangat sedih mendapati buket dolarnya jelas ditolak. Meskipun David tahu, Safira memiliki banyak uang tapi dia ingin wanita itu antusias menerima hadiah darinya. "Aku tak akan menyerah, Fir. Lihat saja," lirih David kembali masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan di dalam rumah, Safira sedang menerima pandangan melotot dari Bu Andin. "Mi! Ada salad?" tanya Saf