"Sudah kerjain PR dari bu guru Indri belum?" tanya Arini pada kawan sekelasnya, Rio.
Mereka sedang duduk di taman sekolah dasar swasta. Sekolah yang dikatakan elit. Hanya beberapa anak dari kalangan biasa seperti Arini yang justru diundang mendapatkan beasiswa dan dituntut harus memberikan konstribusi positif pada sekolah. "Aku lagi gak mood." "Idii, anak SD kelas enam susahin apa sih? Aku aja yang harus bantu ibuku kerja di kebun, masih semangat," sanggah Arini sedang menulis. "Ayahku selingkuh," ujar Rio menatap kosong pada rumput taman itu. Arini langsung meletakkan polpennya. Dia langsung menelan salivanya. Arini paham arti kata selingkuh. Lebih dari kata paham. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar-debar dan dingin tangannya. Dia adalah korban dari kata 'selingkuh.' "Oh My God! Rio?! Are you sure? Selingkuh?!" Rio dan Arini menoleh bersamaan. Pricilia, tetangga Rio sekaligus teman sekelas. Cantik, gaul adalah image yang disematkan pada Pricilia. Anak itu langsung duduk menggeser tempat Arini. "Kecilkan suaramu, Pricilia," desis Arini sedikit bergeser membiarkan Pricilia duduk. Tapi tidak untuk mengalah dan memberikan tempatnya. "Ssst ... ini masalah serius, Arini," bisik Pricilia kembali menatap Rio yang masih tak enak raut wajahnya. "Jadi, yang selingkuh itu Papamu atau Mamamu?" cecar Pricilia. Rio diam. "Kita adalah teman sejak TK dan mungkin kita akan kembali satu kelas di SMP," ujar Pricilia mencoba meyakinkan. "Berceritalah." "Papaku yang selingkuh." Arini membuang pandangannya. Ia menarik napasnya yang terasa berat. Ayahnya pun pelaku perselingkuhan hingga menyebabkan dia sudah hampir empat tahun, tidak pernah merasakan kasih sayang ayah lagi. Rasanya sangat sakit. Apakah Rio akan merasakan hal itu juga? Arini berdebar. "I know. Papamu itu pasti selingkuh sama teman kantornya, kan? Hemmm ... laki-laki dewasa memang senang mempermainkan janji," tanggap Pricilia menganalisis. Dia adalah putri seorang putri kedubes Indonesia untuk Australia dan tentu saja, tingkat sosialnya lebih tinggi dari Rio apalagi Arini. Sehingga tidak heran jika dimana pun dia terlihat lebih mendominasi. Namun, hubungan ketiganya terjalin dengan baik tanpa memandang status sosial. "Papaku selingkuh sama pembantu di rumahku," lanjut Rio terdengar parau. "Ya Allah, serius kamu, Rio?" tanya Arini begitu sangat kaget. "Pembantu? Really?" sambut Pricilia. "Iya. Aku ingin kasih tahu Bunda, tapi aku takut Bunda jadi sedih." Arini dan Pricilia menatap sedih pada Rio. Mereka sering bertemu Papa Rio yang bernama Danang itu. Laki-laki itu memang tampan dan terlihat begitu sayang pada keluarganya. Sampai bisa selingkuh dengan pembantu, kedua anak perempuan itu tak kalah prihatinnya. "Padahal your momi so beautifull dan tentu saja wanita yang sangat hebat! Tapi kenapa sama pembantu? She is your nany kan? Pengasuhmu," lanjut Pricilia. "Dia mengasuh adikku, bukan aku. Aku tidak suka dia," timpal Rio ketus. "Apa kamu yakin Papamu selingkuh sama Mbak itu?" tanya Arini. Arini pernah bertemu dengannya hanya sekali. "Aku pernah lihat Papa menciumnya dan ...." Rio tercekat. Wajahnya merah menahan kesedihan. Arini langsung memegang pundaknya lalu menepuk-nepuknya pelan. Pelan tapi pasti, air mata Rio jatuh. Dia dikenal sebagai anak yang tidak banyak bicara namun pada dua sahabat perempuannya itu, dia tidak bisa terlalu lama menyembunyikan perasaan. "Its oke, Rio. Kami di sini untuk kamu," lirih Pricilia ikut mengelus pundaknya. Tangan kecil Pricilia mengelus kepala Rio dengan lembut. "Saat Bunda tak ada, Papaku sering masuk kamar wanita itu. Selama tiga minggu ini, hampir setiap hari," ujar Rio berusaha bersuara. "Dont cry, Rio! Kita hempaskan nenek sihir itu!" seru Pricilia antusias. "Apa isi kepalamu?" tanya Arini sudah menaruh curiga. Dia hafal betul, anak orang kaya di sampingnya itu tak mengenal rasa takut apalagi ragu. Terlihat Pricilia mendengkus seperti ada uap panas yang keluar dari hidungnya. Dia memang selalu memiliki ide brilian. Pricilia cantik, lincah dan banyak akal. "Kita buat wanita penyihir itu kapok!" "Caranya?" tanya Arini. Rion pun ikut mendengar usul Pricilia yang terdengar konyol tapi bisa dipertimbangkan. * Hari Minggu, ketiga anak itu berkumpul. Megan hadir menyuguh makanan ringan dan susu juga air gelasan. "Terlihat jelas wajah pelakornya," sinis Pricilia. "Pelakor? Apa itu?" tanya Arini. "Ya, tadi. Mbak itu adalah pelakor. Intinya kalau ambil suami orang lain namanya pelakor," jawab Pricilia menggebu-gebu mengeluarkan kotak dalam tasnya. "Kamu memang tahu banyak," tanggap Arini. "Jelaslah. Aku banyak tahu. Main sosial media makanya. Pelakor itu adalah bentuk lain dari nenek sihir." "Ya, memang terdengar menyeramkan," ujar Arini menggenggam pencilnya. Sampai saat ini, kedua sahabatnya tidak ada yang tahu dia sudah tidak memiliki keluarga yang utuh. Arini malu. Dia takut, jika kedua sahabatnya tahu, dia akan dijauhi. Teman-temannya tahu, ayahnya menjadi TKI di Malaisia bukan bercerai dari Mama. Biar bagaimana pun, berteman baik dengan Pricilia dan Rio merupakan privilege yang sangat dia jaga. Tak ada yang bisa merendahkan dia karena kedua sahabatnya yang kaya itu selalu bersamanya. "Simpan di kamar Mbak itu," ujar Pricilia berbisik pada Rio. Anak laki-laki itu pun mengangguk. Ia lalu pergi dan segera melakukan misinya. Dengan wajah santai, dia kembali seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tak lama, sebuah mobil masuk garasi. Danang dan Safira keluar dengan setelan mewah. Mereka baru saja dari menghadiri undangan pernikahan. Tampak Amira pun antusias keluar dari mobil mendekati Pricilia dan Arini. "Kakak-kakak!" teriaknya senang. Tentu saja karena dia akan memiliki teman bermain. "Sudah lama, Nak?" tanya Safira. "Baru aja, Tante," jawab Pricilia dan Arini secara bersamaan. Keduanya menyalim tangan Safira lalu Danang. Tiba-tiba terdengar suara teriakan memekik. "Aaakh! Akkkkh!!! Aaakhhhh!" "Suaranya Megan?" Safira menggumam sendirian namun suaranya semakin menghilang sebab rasa terkejutnya berkali-kali lipat karena melihat suaminya yang langsung melesat pergi menuju kamar Megan. Bahkan tangan kecil Pricilia yang sedang menyalaminya ditepis begitu saja oleh Danang. Menahan gemuruh rasa ingin tahu di hatinya yang bercampur cemburu luar biasa, Safira segera bergegas. "Mas?" Safira melihat suaminya sedang memeluk Megan yang sedang gemetar ketakutan. Menyadari Sang Nyonya datang, Megan langsung menjauhkan diri sembari mengigit jarinya. Matanya merah dan basah. Dia benar-benar ketakutan. "Ada apa?!" tanya Safira menatap suami dan pembantunya secara bersamaan. "Ada ... ada banyak tikus, Bu!" "Tikus?" Danang memeriksa lemari dan kasur hingga ke sela-sela ruang dan benar saja. Terkumpul tiga hamster yang berlari kesana kemari tak karuan. "Ulah siapa ini?!" tanya Danang menunjukkan wajah marah. Jelas dia melihat kotak di pojok dinding yang dia yakini sebagai tempat hamster itu sebenarnya. Pria itu langsung menuju ruang tamu dimana ketiga anak-anak itu berkumpul. Tanpa ragu, dia menarik kasar tangan Rio. "Punyamu?" tanya Danang melotot. Tanpa ragu, Rion mengangguk. "Apa maksudnya ini ada di kamar Mbak Megan?" hardiknya. Rio diam saja dan pasrah. Pricilia dan Arini saling berpegangan karena takut. Wajah ayah Rio sangat menakutkan. "Kurang ajar! Sudah jadi anak nakal kamu sekarang, ya! Anak setan!" Tangan Danang naik ke udara dan akan mendarat di atas bahu putranya namun dengan cepat tubuh Danang terhuyung cepat ke arah samping. Ternyata Safira mendorong suaminya dengan sangat keras. Napasnya tersenggal murka. "Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!""Kan sudah puluhan kali David melamarmu, kok baru sekarang kamu gemetar begini?" "Beda, Buk. Beda aja! Ibuk gak tahu gimana rupa Mamanya. Iihhh!" Senyum Bu Sartini makin lebar. "Ya, aku paham perasaanmu. Selama ini sama David, kamu merasa lebih enjoy, rileks karena memang kalian sudah sangat dekat sejak masih satu kantor." "Ya Buk. Terus gimana dong ini?" "Ya gimana apa? Kita siapkan diri lah," ketus Bu Sartini meraih hpnya. "Ya Allah, Buk." Safira kehilangan kata-kata. Ia seperti diambang dua sisi. Antara mau dan tidak mau menikah dengan David. Dia pun bingung dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menentukan perasaan sesungguhnya itu bagaimana. "Ibu mau nelpon siapa?" "Nelpon Burhan. Mau suruh cari orang buat cat ulang rumah ini. Aku juga mau ganti sofa sama gorden baru." "Buat apa, Buk?!" "Astaghfirullah! Pake nanya lagi! Ya buat persiapan kamu dilamar lah! Memang kamu gak mau nikah sama David? Yang jelas caranya. Mau apa gak?!" "Aku bingung, Buk. Anak
Dengan percaya diri, Safira meletakkan setelan baju yang dia rekomendasikan di depan Bu Erlita. Wanita kaya itu merabanya lembut namun otaknya berpikiran hal lain. Ia ingin mengintimidasi pemilik butik dan mengetahui, sejauh mana wanita itu bisa bertahan. "Bagaimana seorang owner butik bisa mendapatkan hati pewaris tunggal Adingtong grup? Kau tahu, putraku itu sangat sulit didekati." "Hati adalah magnet, Nyonya. Dia akan tertarik pada energi yang sama dengannya." Bu Erlita tersenyum kecil. Dia wanita cerdas dan paham, Safira tidak mau merendahkan dirinya. Seolah mengatakan, dia sama hebatnya dengan putranya dan pantas. "Tapi, saya belum menerima putra Anda. Masih saya bertimbangkan, " sambung Safira yang membuat Bu Erlita tersenyum lebih lebar. Dia suka wanita yang tak mudah dan tak murah. "Kenapa? Bukankah putraku pria yang sempurna untuk dinikahi?" "Karena merasa hidup saya saat ini sudah sangat sempurna, Nyonya. Jodoh masih jadi rahasia. Saya memiliki anak-anak dan t
Beberapa waktu berlalu, Rio dan Amira makin dekat dengan David. Pria itu berhasil menjadikan dirinya bagian dari memori anak-anak itu. Ia mengira harus merogoh uang yang banyak untuk bisa mendapatkan perhatian anak-anak. Rupanya tidak. Tidak banyak modal yang dia keluarkan namun tenaganya yang sering kali harus dia isi ulang. Ternyata David sekarang paham, membuat anak-anak bahagia bukan hanya sekedar bermodal uang. Namun intraksi dan komunikasi itu, tidak hanya sekedar bersama tapi bercengkrama. Ada timbal balik antara orang dewasa dan anak yang membuat mereka menjadi lebih dekat. Di sela-sela kesibukannya, David menyempatkan dirinya melakukan panggilan vidio dengan anak-anak melalui ponsel Bu Sartini atau Mimi. Minggu ini, mereka antusias karena akan diajak bermain ke dino land. "Janji, ya, Om CEO!" seru Amira yang pandai berceloteh. Dia lebih lincah bicara daripada Rio yang hanya ikut-ikutan. "Om ada hadiah buat kalian. Nanti malam Om bawakan, ya!" Amira mengangguk. Nampak
Dua hari kemudian, Safira yang baru saja pulang dari butik langsung dikagetkan dengan berita jika ibunya sakit. "Ayo, Mi! Kita nginap di rumah ibuk. Kita bawa perlengkapan untuk nginap seminggu." "Siap, Nyonya." Benar saja, di rumah, Bu Sartini sudah memakai koyo di sisi kiri kanan kepalanya. Ia menggunakan selimut menutupi tubuhnya. "Ya Allah, Ibuk, kok tiba-tiba aja sih gini?" tanya Safira khawatir. "Makanya aku cariin bibik biar ada yang bantu, kenapa sih gak pernah mau?!" "Gak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya nyilu-nyilu dikit. Mana anak-anak? Kamu bawa kan anak-anak?" "Rio les. Amira sedang tidur di kamar." Bu Sartini tersenyum. Menjelang isya, David datang. Safira yang sedang menikmati urap daun turi campur kol sampai batuk-batuk saat mendengar Mimi mengabari. "Astaghfirullah, ngapain orang itu di sini jam seginian, Mi?!" "Gak tau, Nyonya." Safira melepas makanannya lalu keluar menemui David. Wajah Safira sudah tegang. "Sebelum kamu bicara, aku mau ka
"Jangan bikin gaduh, Andin. Kita memang sahabat dekat tapi kalau sudah tidak sehat begini, habis nanti kubuat kalian. Serahkan Amira sekarang!" "Mbak selalu begitu. Selalu egois. Harus ya, kami ikut ngomongnya Mbak?! Mentang-mentang Mbak lebih kaya dari kami? Mentang-mentang kalian lebih kaya?!!" Bu Andin berkaca-kaca. Sudah serak suaranya. "Ya jelas! Anggap aja begitu. Kenapa memangnya? Lagian, baru saja anak-anak nyampe rumah, sudah mau dibawa pergi. Mereka itu punya rumah! Mereka punya ibu! Terus saja hampir tiap hari kalian bawa!" "Gimana gak mau aku bawa, Mbak?! Ibu mereka sibuk! Malah mau nikah sama laki-laki lain!" timpal Bu Andin menggebu-gebu. "Oooh ... Perkara itu?! Jelaslah! Putriku masih cantik, masih sehat, karirnya melesat. Sangat pantaslah kalau ada laki-laki kaya, pemilik perusahaan besar yang mau meminangnya. Malah akan kupasung Safira kalau dia gak terima pria itu. Hahahaha!" Bu Sartini tertawa jumawa. Safira sampai menutup mulutnya karena terkejut m
"Aku be-belum siap, Mas." "Itu karena kamu gak percaya sama aku, Fir. Please .... marry me." Dalam kegamangannya, Safira melihat mobil mertuanya semakin dekat. Jantung Safira seperti akan melompat keluar. Seperti dia merasa sedang berselingkuh dari putra kedua mertuanya itu. Jelas, wajahnya nampak panik. Mobil berhenti, lalu kaca mobil terbuka. "Ngapain kamu di sini, Safira?" tanya Bu Andin ketus. "Ii-iini, Ma ...." "Masuk!" "Ii-iiya." Mobil Bu Andin masuk garasi. Safira menyerahkan kembali buket uang itu. "Ini David, sorry." Dengan langkah seribu, wanita itu meninggalkan David yang kebingungan. Hatinya sangat sedih mendapati buket dolarnya jelas ditolak. Meskipun David tahu, Safira memiliki banyak uang tapi dia ingin wanita itu antusias menerima hadiah darinya. "Aku tak akan menyerah, Fir. Lihat saja," lirih David kembali masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan di dalam rumah, Safira sedang menerima pandangan melotot dari Bu Andin. "Mi! Ada salad?" tanya Saf