Seiring waktu Hanum berusaha berdamai dengan takdir jika dirinya bukan satu-satunya istri Bambang. Ia harus rela berbagi suami. Apalagi akhir-akhir ini Bambang jarang pulang. Suaminya itu lebih suka menghabiskan waktu dengan istri mudanya.
“Ma, Papa mana? Kok ga ikut makan malam sama kita?” tanya Marwah yang mulai kritis, kenapa ayahnya sekarang jarang punya waktu bersamanya.
Hanum tersenyum, mengusap pipi anak semata wayangnya yang berumur sebelas tahun. Nyaris saja air mata itu tumpah. Melihat Marwah mulai kekurangann kasih sayang seorang ayah.
“Pekerjaan Papa lagi banyak, Sayang.” Hanum beralasan.
“Banyak pesanan ya, Ma?”
“Iya, Sayang.” Hanum mengangguk.
“Hore, kalau Papa banyak pesanan berarti Papa banyak uang,” sorak gembira gadis kecil itu. “Bisa beliin Marwah mainan baru, ajakin jalan-jalan.”
Kebahagiaan Marwah menggores luka di hati Hanum. Anak sekecil itu belum paham artinya poligami. Belum mengerti jika sekarang ayahnya sudah mempunyai istri dan calon anak lagi.
****************
“Hore, Papa pulang!” teriak Marwah senang saat mobil Bambang sudah parkir di halaman rumah.
Gadis kecil itu segera menghambur memeluk sang ayah lalu menciuminya berkali-kali. Pelukan erat sebagai tanda jika ia merindukan Bambang.
“Kok, Papa baru pulang sih?” rajuknya membuat Bambang termenung. Laki-laki itu sejenak menatap istrinya yang berdiri di ambang pintu.
“Kan Mama sudah bilang kalau Papa banyak pekerjaan,” sahut Hanum lembut.
“Banyak pesenan ya, Pa?” tanya Marwah langsung memastikan.
“Iya, Sayang.”
“Hore!” teriak Marwah. “Kalau Papa banyak pesenan berarti banyak uang. Bisa buat kita jalan-jalan dan beli baju baru,” seloroh Marwah membuat Bambang tertawa. Sedang Hanum hanya mampu tersenyum getir.
“Marwah main sendiri dulu, ya!” titah Bambang. “Papa mau mandi dulu, bau asem.” Ia menurunkan sang anak dari gendongan.
“Oke.” Marwah langsung berlari, bermain di halaman rumah yang memang luas.
Bambang dan Hanum masuk ke ruang makan.
“Mas, kamu luangin waktu untuk Marwah dong!” pinta Hanum. “Kasihan dia seperti kehilangan sosok ayah semenjak kamu menikah lagi.”
“Ah, itu cuma perasaanmu saja kali,” tepis Bambang. “Bilang saja kamu cemburu?”
“Wajar kalau aku cemburu,” tukas Hanum. “Semenjak kamu menikah lagi, belum sekalipun kamu tidur di rumah.”
“Ya, wajarlah,” kilah Bambang sengit. “Namanya juga masih pengantin baru, jadi pinginnya mesra-mesraan terus,” jawab Bambang enteng tanpa peduli perasaan istrinya yang dimadu.
*****************
Malam merambat. Bambang menghabiskan malam bersama istri keduanya yang terpaut usia lima belas tahun. Ia selalu setia menemani istri barunya itu karena ia lebih menarik dan lebih memuaskan.
“Mas, kapan kamu beliin aku rumah baru?” rajuk Mayang selesai melayani hasrat biologis suaminya.
“Kok beli rumah baru?” sahut Bambang yang masih tampak kelelahan.
“Masa iya, kita mau numpang terus di rumah bapak dan ibuku?” tukas Mayang. “Kan malu sama bapak dan Mas Yoyo, yang juga tinggal di sini sama anak bininya.”
“Tapi beli rumah itu kan butuh duit banyak,” jelas Bambang.
“Kan, uang Mas banyak.”
Bambang menghela napas. Bagaimana harus menjelaskan jika uang yang ia punya harus ia putar untuk menambah modal biar percetakannya makin besar.
“Uang itu mau diputar lagi, Dek, untuk ngembangin percetakan biar lebih besar lagi.”
“Udah, percetakkan yang ada saja!” sentak Mayang kesal. “Pikirin dulu, istrinya mau tinggal di mana.”
Tuh kan benar perkiraan Bambang. Istri barunya itu tak bisa diajak kompromi untuk memajukan usahanya. Pemikirannya yang masih remaja kerap memikirkan semua hal itu dengan jangka pendek.
“Pokoknya, aku ga mau tahu! Aku mau dibeliin rumah! Aku ga mau tinggal di sini!” rajuk Mayang.
“Ya sudah kita ngontrak saja, gimana?”
“Ga mau,” tukas Mayang cepat.
************
Bambang dibuat pusing dengan sikap kekanak-kanakan Mayang. Bentar-bentar marah dan sampai sekarang belum mau berdamai. Wahasil, beberapa hari ini, ia tak dapat jatah padahal setiap dekat dengan Mayang itu bawaannya ingin bercinta.
Untuk menyalurkan hasrat biologisnya itu, malah membuatnya sering pulang ke rumah. Memadu kasih dengan istri pertamanya. Hal itu tentu menggembirakan untuk Hanum, terlebih untuk Marwah, yang senang sekali setiap ayahnya pulang ke rumah.
*************
Di percetakan, Bambang dibuat kaget dengan kedatangan Mayang yang langsung membanting tasnya ke meja.
“Mas, kenapa ga pernah pulang?” hardiknya kesal.
“Anak dan istri Mas kan juga berhak dapat jatah, Dek,” sahut Bambang tenang.
“Aku ini lagi hamil anak kamu, Mas! Malah kamu tinggal-tinggal.”
“Lha, di rumah kan ada Bapak, Ibu. Ada Mas Yoyo juga.”
“Masa iya aku ngrepotin mereka? Sedang aku sudah punya suami,” kilah Mayang.
“Habisnya Mas kesel sama kamu. Marah mlulu akhir-akhir ini. Mas ga pernah dikasih jatah.” Akhirnya Bambang mengeluarkan uneg-unegnya.
“Salah Mas sendiri, ga mau beliin aku rumah,” tukasnya tak mau kalah.
Bambang menghela napas panjang. Percuma juga meladeni istrinya yang masih bau kencur itu. Lebih baik ia mengalah.
“Baiklah Sayangku, Cintaku, Manisku, Pujaan hatiku.” Bambang meraih kedua pundak istri barunya. “Secepatnya kita akan beli rumah baru.”
“Beneran, Mas?” wajah itu mulai tersenyum.
“Bener.” Bambang menyakinkan.
“Awas, kalau bohong!” ancam Mayang dengan senyum menggoda.
****************
Mayang, gadis sembilan belas tahun itu meski bukan lahir keluarga kaya, sedari kecil ia sudah dimanja. Apa yang dimau selalu dituruti oleh kedua orang tuanya. Belum pernah merasakan susahnya cari uang karena tamat SMA ia langsung bekerja di percetakan Bambang. Lalu enam bulan kemudian ia resmi menjadi istri kedua bosnya itu.
Jadi tak heran jika yang ia tahu hanya bagaimana cara menghabiskan uang suaminya. Shoping online setiap hari. Makan selalu di luar, tak mau makan jika sekedar pakai sayur dan tempe.
“Mas, bagi uang dong!” pintanya sebelum Bambang pergi ke percetakan.
“Lho, kok uang lagi?” keluh Bambang. “Kemarin kan sudah aku kasih lima ratus ribu.”
“Duitnya sudah habis,” jawab Mayang santai.
“Buat apa?” Bambang terkejut.
“Buat beli skincare, baju, celana, tas online, Mas,” jelasnya.
“Boros banget sih?” tukas Bambang yang mulai tak tahan dengan kelakuan istri barunya. “Aku pergi dulu!”
Langkah Bambang tertahan dengan cekalan sang istri.
“Apaan lagi sih?” tukas Bambang pagi-pagi sudah dibuat jengkel.
“Uangnya mana?” Maya menadahkan telapak tangan.
“Ga ada,” sahut Bambang cepat.
“Oke, ga ada jatah nanti malam ya!” ancam Mayang langsung membuat suaminya meringsut.
Dengan terpaksa, Bambang mengeluarkan uang dari dompetnya.
“Kok cuma dua ratus ribu?” sungut Mayang. “Lima ratus ribu atuh.”
“Banyak amat.”
“Mau dapat jatah ga?” ancam Mayang.
“Iya.” Dengan pasrah Bambang menambah uang untuk istri barunya. Membuat gadis sembilan belas tahun itu tersenyum penuh kemenangan.
*************
“Mas, kapan kamu mau beliin aku rumah!” tagih Mayang lagi ketika suaminya tak kunjung jua menepati janji.“Aku tuh malu sama bapak, ibu,” keluhnya. “Sudah nikah masih tinggal di rumah orang tua.”“Beli rumah itu mahal, Dek,” sahut Bambang sabar. “Mending kalau di kota kecil kita ini ada perumahan, pasti aku ambilin untuk kita satu.”“Ya, sudah kalau kamu ga bisa beliin aku rumah, aku tinggal di rumah kamu saja,” tukas Mayang singkat.“Serius kamu?” Bambang tak percaya kalau istri keduanya mau tinggal seatap dengan istri pertama.“Mau gimana lagi,” sahut Mayang sewot. “Enak saja, istrimu tinggal di rumah yang besar sedang aku tetap tinggal di rumah orang tuaku sendiri.”“Ya udah, nanti aku bilang dulu ya sama Hanum.”“Ga usah!” potong Mayang cepat. “Nanti malah istri tuamu ga setuju, ak
Mayang sudah terlihat cantik dalam balutan dress seatas lutut. Meski sedang hamil, Mayang masih terlihat modis, jadi begitu sedap dipandang mata. Hari ini ia akan bersiap belanja perlengkapan bayi bersama suaminya.“Pa, aku ikut jalan-jalan, ya!” rengek Marwah saat Mayang dan Bambang sudah di samping mobil.“Ga usah, nanti ngrepotin lagi!” sentak Mayang langsung tanpa basa-basi. Seketika mata Marwah langsung memerah menahan tangis.“Marwah di rumah saja ya, sama Mama,” hibur Bambang menenangkan anaknya.“Diajak kenapa sih, Mas? Sekalian jalan-jalan,” ucap Hanum yang langsung ke luar dari rumah.“Ga ah, nanti bikin repot,” tolak Mayang kasar. “Ayo Mas, nanti keburu siang!”Tanpa rasa berdosa Mayang langsung masuk ke mobil yang kemudian diikuti oleh Bambang. Terlihat mobil meninggalkan Hanum dan Marwah yang mematung.“Kenapa sih, Ma, Papa s
Mayang terbebani tugas sebagai ibu muda saat Hanum tak mau lagi membantunya mengurus Putra. Anaknya yang siang malam selalu rewel membuatnya lelah. Lama-lama ia tak kuat sehingga mengadu kepada orang tuanya.Tak pelak, hal ini membuat orang tua Mayang murka. Dengan tatapan marah Pak Mamad dan Ibu Entin menyidang Bambang dan Hanum.“Kenapa kamu tega membiarkan anak saya kerepotan mengurus anaknya!” Hardik Bu Entin pada Hanum. “Kalau anak saya kelelahan dan jatuh sakit, bagaimana?” tatapan Bu Entin melotot.Tak mau disalahkan dengan sikap manja madunya, seketika Hanum membela diri.“Saya sudah enam bulan bantu anak ibu mengurus bayinya, ya,” tukas Hanum dengan tatapan tajam.“Mayang itu kan belum pengalaman mengurus bayi, jadi wajar jika dia masih perlu bantuan kamu.” Bu Entin tak mau kalah.“Itu kan anaknya Mayang, kenapa saya yang harus repot,” sahut Hanum ketus.
Rasa lelah mendera. Mayang baru selesai mencuci bajunya dan Putra yang sudah empat hari menumpuk di keranjang. Orang tuanya termasuk oramg biasa saja, jadi tak ada mesin cuci untuk mempermudah proses mencuci.Dulu, waktu masih kerja, semua baju kotornya dicuci dan digosok oleh sang ibu. Jadi, ia tak perlu repot-repot berjibaku dengan detergen yang bikin tangan kasar. Namun, sekarang, semenjak ia punya anak dan menumpang hidup, mau tak mau ia harus mencuci sendiri.“Duh, gini amat sih hidup!” umpatnya dengan duduk kasar di kursi panjang, di bawah pohon mangga.Ia mengenang beberapa bulan saat di rumah suaminya. Nyaris ia tak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangga. Pekerjaannya hanya makan , tidur, ongkang-ongkang kaki sambil nonton televisn dan main ponsel. Semua pekerjaan rumah tangga beres oleh Hanum.“Ini semua gara-gara Mbak Hanum!” umpatnya kesal. “Hidupku jadi susah kan?”“Hai, bengong aja
Malam merambat. Putra sudah terlelap di box bayi. Mayang mengganti gaun tidur transparan di depan suaminya sehingga membuat Bambang menelan saliva. Dengan manja. Mayang mendekati sang suami yang sedang duduk di tepi ranjang.“Mas, kamu ceraian Mbak Hanum, ya!” Sebuah permintaan yang begitu mengejutkan Bambang.Tak ada mendung, tak ada hujan, tiba-tiba istri mudanya menyuruhnya untuk menceraikan istri pertama.“Aku ga mau dimadu, Mas,” ucapnya manja. “Aku hanya ingin jadi istrimu satu-satunya.”“Kalau aku ceraikan Hanum, bagaimana nasib Marwah?” Pertanyaan Bambang membuat senyum di wajah Mayang memudar.“Marwah kan udah gede,” sahut Mayang dengan cemberut. “Sudah bisa ditinggal nyari duit.”“Tapi…” ucapan Bambang menggantung.“Ayolah, Mas!” potong Mayang bergelayut manja. “Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik
Setelah surat perceraian resmi dikeluarkan Pengadilan Agama, Hanum dan Marwah harus rela meninggalkan rumah yang sudah bertahun-tahun mereka tempati. Dengan berat Hanum menatap rumah yang nyaman itu untuk terakhir kalinya.“Ma, kenapa kita harus pergi?” tanya Marwah yang tak paham jika kedua orang tuanya berpisah.“Rumah ini bukan hak kita lagi,” sahut Hanum tersenyum dengan genangan air mata.“Kenapa?” Marwah ingin tahu. “Bukankah ini rumah Papa?” tanyanya. “Kalau ini rumah Papa berarti ini rumah Mama dan Marwah juga dong?”Hanum berjongkok guna mensejajari anaknya. Sudah seharusnya ia mengatakan keadaan sebenarnya agar kelak di kemudian hari Marwah tak pernah bertanya lagi tentang ayahnya.“Dengar, Sayang! Mama dan Papa sekarang tak bisa hidup bersama lagi.”“Karena Papa sudah punya Tante Mayang dan dedek Putra ya, Ma?” tanya Marwah membuat ib
Hanum putus asa. Sebulan usahanya mencari pekerjaan tak kunjung mendapatkan hasil. Di pengunjung senja, dengan letih ia pulang dan segera meneguk segelas air putih sesampaianya di rumah.“Dapet, Mbak, kerjanya?” tanya Desi yang baru saja muncul dari kamar.“Belum, Des,” jawab Hanum lesu.“Yah, tombok lagi deh Mas Hari,” sahut Desi dengan mimik muka sewot membuat Hanum makin tak enak hati.“Besok, Mbak nyari kerja lagi deh.”“Mending Mbak jualan saja deh!” usul Desi kemudian. “Daripada cari kerja, udah sebulan lebih ga dapet-dapet.”“Jualan apa?” Hanum bingung.“Apa aja kek,” sahut Desi ketus. “Jualan nasi uduk, kue, sayur. Banyak tuh peluangnya? Dan tiap hari pasti dapet duit.”“Tapi Mbak modal darimana, Des?” keluh Hanum.“Tahu, deh?” Sewot Desi menanggapi ucapan iparnya. Kemu
Hanum berusaha ikhlas menjalani takdirnya. Berprasangka baik jika semua akan baik-baik saja. Namun kata-kata kasar yang ditorehkan oleh iparnya menyayat hati.“Mbak, sini dong patungan buat beli beras, bayar listrik dan makan sehari-hari!” pinta Desi kasar di depan mertua dan suaminya.“Masa iya pakai uang Mas Hari mlulu!” cecarnya. “Rugi dong.”“Tapi aku bisa apa, Des?” tampik Hanum. “Kamu tahu sendiri, jualan kue sepi. Cuma cukup buat beli jajan Marwah saja.”“Cari kek kerja juga!” hardik Desi, sedang suaminya hanya jadi penonton. “Buruh cuci, kerja di toko, pembantu.”“Maklumi keadaan kakakmu ya, Har!” pinta Bu Narti minta belas kasihan. “Rezekinya sedang seret.”“Sampai kapan, Bu?” tanya Desi ketus. “Kalau masih nanggung makan ibu sih kami masih bisa karena ibu memang kewajiban Mas Hari,”