“Hanum, cepetan ke jalan Mangga Dua!" Suamimu sedang melangsungkan pernikahan dengan wanita lain.” Terdengar suara Mira, sahabat Hanum dari ujung ponsel.
Dengan tergopoh dan perasaan tak menentu, wanita satu anak itu segera menuju ke lokasi. Sama-samar terdengar seseorang sedang mengucap kalimat ijab qabul dari sebuah rumah sederhana.
Alangkah terkejutnya Hanum, menyaksikan suaminya dengan lancar mengucapkan kalimat sakral itu dan disahkan banyak orang di depan penghulu.
“Apa-apaan ini, Mas?” sentak Hanum mengalihkan pandangan semua orang.
Seketika wajah Bambang menegang. Tak mengira jika istrinya akan hadir di pernikahan sirinya dengan karyawannya di percetakan. Pengantin laki-laki itu bangkit lalu menhampiri istri sahnya. Sontak menjadi buah bibir para yang hadir.
“Sekarang kamu pulang dulu!” titah Bambang setengah berbisik. “Nanti, kita bicarakan ini di rumah.”
“Segampang itu Mas, kamu mengusirku?” hardik Hanum marah.
“Tapi ini acara sakral. Aku tak ingin semuanya hancur hanya kerena ulahmu.”
“Tega kamu, Mas?” Hanum menatap tajam. “Kamu sudah mengkhianatiku dan kini kamu malah mengusirku?”
“Pulang dulu! Nanti aku jelaskan di rumah!” paksa Bambang.
"Ga mau!” tukas Hanum kasar. “Kamu ikut pulang aku sekarang atau aku obrak-abrik pernikahan ini!” ancamnya membuat Bambang tak berkutik.
Tak ingin ada kerusuhan, tanpa pamit Bambang meninggalkan pesta pernikahannya yang belum dimulai itu.
“Mas, mas, jangan pergi!” teriak Mayang, sang pengantin wanita. “Tamu undangan masih banyak. Aku malu duduk di pelaminan tanpamu.” Mayang terus merengek sambil mencekal lengan suaminya.
“Yang penting kan ijab qabulnya sudah selesai dan kita sudah sah menjadi suami istri,” hibur Bambang tersenyum.
“Tapi, apa kata mereka nanti kalau pengantin prianya ga ada?” Mayang terus memaksa.
“Ayo, Mas, pulang!” gertak Hanum membuat mata Mayang membulat. “Kalau kamu enggak mau aku berbuat nekat,” lanjutnya tanpa peduli kemarahan istri muda suaminya.
Dengan terpaksa, Bambang mengikuti Hanum untuk meninggalkan pesta. Hanya tersisa Mayang yang bisa menangis, meratapi kepergian suaminya di hari bahagia mereka.
*************
“Jelaskan padaku, Mas! Kenapa kamu bisa sampai menikah dengan karyawanmu sendiri!” cecar Hanum sesampainya di rumah.
“Dia sedang hamil anakku, Ma,” sahut Bambang membuat Hanum seketika syok.
“Apa?!” pekiknya dengan nada tinggi.
“Maafkan aku, Ma!” Bambang memohon. “Aku khilaf.”
Hanum tak mampu bersuara. Air matanya tumpah ruah mendengar pengkhianatan suaminya. Dadanya naik turun menahan sesak karena suaminya tega menodai sucinya pernikahan.
“Sudah berapa lama, Mas, kamu berhubungan dengan wanita itu?” tanya Hanum setelah mampu menguasai diri.
“Semenjak Mayang bekerja di percetakan,” sahut Bambang menunduk.
Hanum menghela napas. Ia mengingat kapan Mayang mulai bekerja. Hanya butuh waktu enam bulan, gadis itu meluluhkan hati suaminya.
“Berapa kali kamu melakukan hubungan terlarang itu!” selidikmya lagi, ingin tahu bagaimana Mayang bisa sampai hamil.
“Hampir tiap hari, Ma,” aku Bambang makin menghancurkan perasaan Hanum.
Wanita itu memejamkan mata. Tak mampu membayangkan bagaimana setiap hari suaminya bercinta dengan wanita lain.
“Sebegitu nafsunya kamu dengan daun muda ya, Mas?” hardik Hanum ketika mengingat jika Mayang itu baru lulus SMA langsung bekerja di percetakan milik suaminya.
“Maafkan Papa, Ma, yang tak tahan melihat paras ayu Mayang,” ucap Bambang lagi, tak peduli dengan perasaan istrinya.
“Juga tubuhnya, kan?” lanjut Hanum seolah menyindir.
“Kuharap Mama bisa menerima ini semua!” pinta Bambang tanpa dosa. “Menjalani kehidupan rumah tangga dengan poligami.”
Kalimat-kalimat Bambang makin menyesakkan hati. Perih menghujam, membuat dadanya naik turun tak beraturan. Air matanya bertubi-tubi menghujani wajahnya tanpa henti.
“Semudah itu kamu bicara , Mas,” ucapnya lirih. “Tanpa kamu perdulikan perasaanku yang sudah kamu khianati.”
“Kamu tahu kita berjuang dari awal merintis dan membesarkan percetakan itu dengan kerja keras dan rasa lapar. “Hanum mengungkit masa lalu. "Tapi setelah kamu punya segalanya, kamu tega mengkhianatiku kesetiaanku.”
“Sekali lagi, maafin Papa,Ma!” Bambang memelas.
“Perih, perih Mas!” Hanum mengepalkan tangannya lalu meletakkan di dada. “Membayangkan kamu tidur, melepas hasrat dengan wanita lain.”
“Tapi semuanya sudah terjadi, tak bisa diperbaiki,” kilah Bambang seolah merasa benar.
“Seharusnya kamu sebelum terhasut bisikan setan itu mikir seribu kali kalau kamu itu sudah punya anak istri!” tukas Hanum marah.
“Bukan menuruti nafsu seperti ini,” lanjut Hanum. “Berbuat zina dalam waktu enam bulan itu benar-benar sudah tak bisa dinalar, Mas.”
Bambang bungkam. Apa yang dikatakan istrinya itu benar. Seharusnya sebelum ia memulai maksiat demi maksiat, ia memikirkan jika ia sudah punya anak dan istri. Agar ada dinding penghalang untuk menghalanginya dari dosa.
**********
Petaka itu bermula saat seorang gadis berambut panjang dikucir, berseragam hitam putih datang membawa map ke percetakkannya. Saat itu Bambang dan Hanum sendiri yang menerima Mayang.”
“Maaf Bu, apa di sini ada lowongan pekerjaan?” tanya Mayang dengan sopan.
Bambang dan Hanum saling pandang. Berdikusi sejenak, sebelum menerima karyawan baru.
“Lulusan apa?” tanya Hanum.
“Baru lulus SMA, Bu,” jawabnya polos.
“Ya sudah, mulai besok kamu kerja sama saya ya!” pesan Bambang. “Kebetulan kami sedang membutuhkan karyawan.”
“Beneran Pak, Bu?” tanya Mayang dengan wajah berbinar. “Saya diterima kerja di sini?”
“Iya.” Bambang menyakinkan. “Tapi gajinya ga UMR ya!”
“Gapapa Pak, Bu, yang penting saya dapat kerja dan bisa membantu meringankan beban hidup orang tua saya.”
“Ya sudah, besok kamu datang lagi ya!” pinta Hanum.
“Baik, Bu, Pak.” Mayang berlalu.
“Anak yang berbakti pada orang tua ya, Pa,” puji Hanum hanya disambut senyum oleh suaminya.
*********
Kesibukan Hanum yang mengantar jemput Marwah sekolah dan juga les-les tambahan membuatnya tak sempat menemani Bambang di percetakan. Banyak waktu yang ia habiskan untuk mengurus anak dan menyiapkan makanan saat suaminya pergi mencari rezeki. Tak pernah terpikirkan sekalipun pikiran suaminya akan menyeleweng.
Namun kepercayaan Hanum malah membuka celah selingkuh untuk suaminya. Keseharian Bambang yang selalu berinteraksi dengan Mayang membuat angin segar setan untuk bertindak. Ditambah lagi, model pakaian Mayang yang suka memakai rok atau celana jeans di atas lutut yang dipadu padan dengan kaos ketat. Atau memakai dres di atas lutut dengan bagian depan terbuka lama-lama membuat Bambang tergoda.
Ibarat bunga, Mayang sedang mekar-mekarnya. Membuat mata yang memandang pasti tergiur untuk menyentuhnya. Kulit kuning langsat, tubuh yang berisi makin membuat Bambang tak tahan menahan hasrat.
Hingga di suatu senja, saat percetakan sudah tutup dan semua karyawan pulang, hanya tersisa dua insan. Bambang mulai menyentuh dan tak ada perlawanan dari gadis belia itu. Tanpa mengingat dosa mereka melakukan hubungan terlarang itu hingga mahkota Mayang terampas dengan bercak darah di pakaian dalam miliknya.
*************
Seiring waktu Hanum berusaha berdamai dengan takdir jika dirinya bukan satu-satunya istri Bambang. Ia harus rela berbagi suami. Apalagi akhir-akhir ini Bambang jarang pulang. Suaminya itu lebih suka menghabiskan waktu dengan istri mudanya.“Ma, Papa mana? Kok ga ikut makan malam sama kita?” tanya Marwah yang mulai kritis, kenapa ayahnya sekarang jarang punya waktu bersamanya.Hanum tersenyum, mengusap pipi anak semata wayangnya yang berumur sebelas tahun. Nyaris saja air mata itu tumpah. Melihat Marwah mulai kekurangann kasih sayang seorang ayah.“Pekerjaan Papa lagi banyak, Sayang.” Hanum beralasan.“Banyak pesanan ya, Ma?”“Iya, Sayang.” Hanum mengangguk.“Hore, kalau Papa banyak pesanan berarti Papa banyak uang,” sorak gembira gadis kecil itu. “Bisa beliin Marwah mainan baru, ajakin jalan-jalan.”Kebahagiaan Marwah menggores luka di hati Hanum. An
“Mas, kapan kamu mau beliin aku rumah!” tagih Mayang lagi ketika suaminya tak kunjung jua menepati janji.“Aku tuh malu sama bapak, ibu,” keluhnya. “Sudah nikah masih tinggal di rumah orang tua.”“Beli rumah itu mahal, Dek,” sahut Bambang sabar. “Mending kalau di kota kecil kita ini ada perumahan, pasti aku ambilin untuk kita satu.”“Ya, sudah kalau kamu ga bisa beliin aku rumah, aku tinggal di rumah kamu saja,” tukas Mayang singkat.“Serius kamu?” Bambang tak percaya kalau istri keduanya mau tinggal seatap dengan istri pertama.“Mau gimana lagi,” sahut Mayang sewot. “Enak saja, istrimu tinggal di rumah yang besar sedang aku tetap tinggal di rumah orang tuaku sendiri.”“Ya udah, nanti aku bilang dulu ya sama Hanum.”“Ga usah!” potong Mayang cepat. “Nanti malah istri tuamu ga setuju, ak
Mayang sudah terlihat cantik dalam balutan dress seatas lutut. Meski sedang hamil, Mayang masih terlihat modis, jadi begitu sedap dipandang mata. Hari ini ia akan bersiap belanja perlengkapan bayi bersama suaminya.“Pa, aku ikut jalan-jalan, ya!” rengek Marwah saat Mayang dan Bambang sudah di samping mobil.“Ga usah, nanti ngrepotin lagi!” sentak Mayang langsung tanpa basa-basi. Seketika mata Marwah langsung memerah menahan tangis.“Marwah di rumah saja ya, sama Mama,” hibur Bambang menenangkan anaknya.“Diajak kenapa sih, Mas? Sekalian jalan-jalan,” ucap Hanum yang langsung ke luar dari rumah.“Ga ah, nanti bikin repot,” tolak Mayang kasar. “Ayo Mas, nanti keburu siang!”Tanpa rasa berdosa Mayang langsung masuk ke mobil yang kemudian diikuti oleh Bambang. Terlihat mobil meninggalkan Hanum dan Marwah yang mematung.“Kenapa sih, Ma, Papa s
Mayang terbebani tugas sebagai ibu muda saat Hanum tak mau lagi membantunya mengurus Putra. Anaknya yang siang malam selalu rewel membuatnya lelah. Lama-lama ia tak kuat sehingga mengadu kepada orang tuanya.Tak pelak, hal ini membuat orang tua Mayang murka. Dengan tatapan marah Pak Mamad dan Ibu Entin menyidang Bambang dan Hanum.“Kenapa kamu tega membiarkan anak saya kerepotan mengurus anaknya!” Hardik Bu Entin pada Hanum. “Kalau anak saya kelelahan dan jatuh sakit, bagaimana?” tatapan Bu Entin melotot.Tak mau disalahkan dengan sikap manja madunya, seketika Hanum membela diri.“Saya sudah enam bulan bantu anak ibu mengurus bayinya, ya,” tukas Hanum dengan tatapan tajam.“Mayang itu kan belum pengalaman mengurus bayi, jadi wajar jika dia masih perlu bantuan kamu.” Bu Entin tak mau kalah.“Itu kan anaknya Mayang, kenapa saya yang harus repot,” sahut Hanum ketus.
Rasa lelah mendera. Mayang baru selesai mencuci bajunya dan Putra yang sudah empat hari menumpuk di keranjang. Orang tuanya termasuk oramg biasa saja, jadi tak ada mesin cuci untuk mempermudah proses mencuci.Dulu, waktu masih kerja, semua baju kotornya dicuci dan digosok oleh sang ibu. Jadi, ia tak perlu repot-repot berjibaku dengan detergen yang bikin tangan kasar. Namun, sekarang, semenjak ia punya anak dan menumpang hidup, mau tak mau ia harus mencuci sendiri.“Duh, gini amat sih hidup!” umpatnya dengan duduk kasar di kursi panjang, di bawah pohon mangga.Ia mengenang beberapa bulan saat di rumah suaminya. Nyaris ia tak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangga. Pekerjaannya hanya makan , tidur, ongkang-ongkang kaki sambil nonton televisn dan main ponsel. Semua pekerjaan rumah tangga beres oleh Hanum.“Ini semua gara-gara Mbak Hanum!” umpatnya kesal. “Hidupku jadi susah kan?”“Hai, bengong aja
Malam merambat. Putra sudah terlelap di box bayi. Mayang mengganti gaun tidur transparan di depan suaminya sehingga membuat Bambang menelan saliva. Dengan manja. Mayang mendekati sang suami yang sedang duduk di tepi ranjang.“Mas, kamu ceraian Mbak Hanum, ya!” Sebuah permintaan yang begitu mengejutkan Bambang.Tak ada mendung, tak ada hujan, tiba-tiba istri mudanya menyuruhnya untuk menceraikan istri pertama.“Aku ga mau dimadu, Mas,” ucapnya manja. “Aku hanya ingin jadi istrimu satu-satunya.”“Kalau aku ceraikan Hanum, bagaimana nasib Marwah?” Pertanyaan Bambang membuat senyum di wajah Mayang memudar.“Marwah kan udah gede,” sahut Mayang dengan cemberut. “Sudah bisa ditinggal nyari duit.”“Tapi…” ucapan Bambang menggantung.“Ayolah, Mas!” potong Mayang bergelayut manja. “Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik
Setelah surat perceraian resmi dikeluarkan Pengadilan Agama, Hanum dan Marwah harus rela meninggalkan rumah yang sudah bertahun-tahun mereka tempati. Dengan berat Hanum menatap rumah yang nyaman itu untuk terakhir kalinya.“Ma, kenapa kita harus pergi?” tanya Marwah yang tak paham jika kedua orang tuanya berpisah.“Rumah ini bukan hak kita lagi,” sahut Hanum tersenyum dengan genangan air mata.“Kenapa?” Marwah ingin tahu. “Bukankah ini rumah Papa?” tanyanya. “Kalau ini rumah Papa berarti ini rumah Mama dan Marwah juga dong?”Hanum berjongkok guna mensejajari anaknya. Sudah seharusnya ia mengatakan keadaan sebenarnya agar kelak di kemudian hari Marwah tak pernah bertanya lagi tentang ayahnya.“Dengar, Sayang! Mama dan Papa sekarang tak bisa hidup bersama lagi.”“Karena Papa sudah punya Tante Mayang dan dedek Putra ya, Ma?” tanya Marwah membuat ib
Hanum putus asa. Sebulan usahanya mencari pekerjaan tak kunjung mendapatkan hasil. Di pengunjung senja, dengan letih ia pulang dan segera meneguk segelas air putih sesampaianya di rumah.“Dapet, Mbak, kerjanya?” tanya Desi yang baru saja muncul dari kamar.“Belum, Des,” jawab Hanum lesu.“Yah, tombok lagi deh Mas Hari,” sahut Desi dengan mimik muka sewot membuat Hanum makin tak enak hati.“Besok, Mbak nyari kerja lagi deh.”“Mending Mbak jualan saja deh!” usul Desi kemudian. “Daripada cari kerja, udah sebulan lebih ga dapet-dapet.”“Jualan apa?” Hanum bingung.“Apa aja kek,” sahut Desi ketus. “Jualan nasi uduk, kue, sayur. Banyak tuh peluangnya? Dan tiap hari pasti dapet duit.”“Tapi Mbak modal darimana, Des?” keluh Hanum.“Tahu, deh?” Sewot Desi menanggapi ucapan iparnya. Kemu