Embusan nafas panjang keluar dari bibir Naomi. Sesaat setelahnya ia tersenyum getir. "Mungkin belum saatnya Naomi berbahagia dengan cinta seorang suami, meski pada kenyataannya Naomi sangat berharap itu akan terjadi."Faiq menggeleng pelan. "Kau masih muda, Na. Jika memang dia laki-laki yang tak baik bagimu, lepaskan. Kau tak pantas terus bertahan dalam pernikahan yang tak sehat. Tak perlu khawatir dengan status janda, banyak di luaran sana mereka yang pernah bercerai kini menemukan kebahagiaan dengan pasangan baru mereka." Faiq berusaha menyemangati. Bersamaan dengan itu, hatinya kembali berdesir, desir yang sama dengan yang ia rasakan 3 tahun lalu. "Naomi hanya ingin menunggu sebentar lagi, sampai keluarganya bisa menerima kepergian Naomi." Naomi berucap lirih dengan hati terus berharap jika waktu itu akan segera datang. "Kenapa kau masih memikirkan keluarganya, sedangkan bajing*n itu sama sekali tak memikirkan perasaanmu?" Faiq berdecak kesal. Tergambar jelas di ingatannya baga
"Apa kau memintaku untuk membuat Raihan cemburu?" tebak Faiq dengan dada kembali berdesir. "Mungkin bisa dibilang begitu. Aku ingin Raihan merasakan bagaimana sakitnya dikhianati. Seperti apa perihnya tak dihargai." Naomi berucap getir. Sekuat apa pun ia abaikan rasa sakit itu, tetap saja perihnya masih pekat terasa. "Kau yakin dengan apa yang baru saja kau katakan?" Faiq bertanya dengan alis bertaut. Ia tak yakin rencana Naomi akan berjalan dengan mulus. "Apa abang meragukanku?" Naomi balik bertanya dengan sudut bibir terangkat. "Abang khawatir semua akan semakin berantakan. Dan akan memberi kesan buruk untukmu." Faiq menatap sendu wajah Naomi. Ia berharap kali ini Naomi bisa berpikir lebih panjang lagi sebelum melangkah agar tak ada sesal di akhir nanti. "Apakah kekhawatiran Abang tentang mertuaku?" tanya Naomi seolah paham kekhawatiran Faiq. Bibirnya menyungging senyum tipis. "Di antaranya. Abang khawatir mereka akan menganggapmu perempuan tak baik." Faiq berucap hati-hati, k
"Maaf, Pa. Aku tidak bisa membicarakan ini di rumah, karena khawatir dengan kesehatan Mama." Naomi berucap jujur. Beberapa saat laki-laki dengan postur tubuh kurus tinggi itu terdiam. Naomi benar, jika dibicarakan di rumah, terlalu berisiko bagi kesehatan istrinya. "Raihan lagi," suara Pak Beni terdengar berat."Iya, Pa." Pak Beni kembali diam dengan tangan mengepal. Ulah anak bungsunya itu membuat emosi laki-laki itu terpancing. "Papa sudah menduganya," ucap Pak Beni dengan mulai kesal. "Maksud Papa?" "Papa sempat memergokinya tiga hari lalu." Naomi merasakan ada sesuatu yang menusuk-nusuk daging lembut di rongga dadanya. Sakit, sangat sakit. Ternyata Raihan sama sekali tak menghargainya setelah sikap dinginnya akhir-akhir ini pada laki-laki itu. "Apa yang akan kau lakukan sekarang?" "Aku memintanya menikahi selingkuhannya itu." Naomi berucap hati-hati, namun terdengar tegas, membuat Papa mertuanya itu tersentak. "Apa kau sadar dengan apa yang baru saja kau katakan, Na?" Pa
Kali ini Naomi memberanikan diri menatap lekat wajah Papa mertuanya itu. Biasanya Naomi akan langsung menunduk saat tatapan mereka bertemu, Karena rasa segan. Tapi tidak untuk kali ini, Naomi seolah menantang tatapan laki-laki paruh baya itu dengan berani. "Apa alasan Papa tidak mengizinkanku melakukannya?" tanya Naomi dengan berani namun tetap santun. "Papa hanya ingin mendengar jawabanmu," jawab Pak Beni, laki-laki itu tak ingin Naomi salah paham. Dengan satu kali helaan nafas panjang, Naomi memantapkan hatinya. Sesaat kemudian matanya terpejam, lalu berucap. "Aku akan pergi dari keluarga kalian secepatnya sejauh yang kumampu, tanpa merasa terbebani dengan keadaan Mama." Pak Beni menelan udah Getir. Laki-laki itu sangat paham bagaimana sikap tegas Naomi. Pastinya ia tak ingin keadaan lebih kacau lagi."Lakukan saja apa yang menurutmu tepat. Lagi pula Papa sudah kehabisan cara untuk membuat Raihan sadar." Pak Beni berucap dengan nada putus asa. Pasalnya, pada saat Raihan berselin
"Apa kau tak rindu Abang?" Kali ini Raihan bertanya sambil mencium leher jenjang milik Naomi yang tertutup jilbab. Sesaat Naomi merasakan hasrat wanita dewasanya terpancing hingga beberapa detik ia terdiam. Namun itu tak berlangsung lama, secepat kilat ia kembali berontak hingga Raihan merasa kewalahan karenanya. Dengan sekuat tenaga Naomi mendorong tubuh Raihan menjauhinya, bahkan kedua kakinya turut andil menerjang tubuh laki-laki itu hingga Raihan terjungkal ke lantai. Raihan merasakan area dadanya terasa nyeri karena hentakan keras dari kaki Naomi. Perlahan laki-laki itu bangkit. Mendapat penolakan dari Naomi membuat hasratnya semakin meninggi. "Apa kau tak merasa berdosa karena telah menolak ajakan suamimu?" Raihan perlahan kembali mendekat. Naomi menatap nanar wajah laki-laki yang kini sukses membuatnya semakin muak. "Jangan bicara dosa jika kau sendiri yang menjadi penikmatnya!" Naomi tersenyum sinis. "Atau mungkin perempuan murahan itu tak lagi sanggup memenuhi hasratmu?"
Di dalam mobil dokter tampan itu, Naomi duduk mematung di kursi penumpang. "Ada yang kau pikirkan?" tanya Faiq saat melihat wajah yang tadi ceria kini berubah sendu. Laki-laki itu tak pernah rela melihat Naomi bersedih. "Naomi khawatir, kehidupan menyebalkan ini akan memakan waktu lama," ucap Naomi tanpa mengalihkan pandangannya dari kuku-kuku di jari tangannya. "Apa kau masih mencintainya?" tanya Faiq. Iya berusaha menyelami rasa di hati Naomi terhadap Raihan."Yang tersisa hanyalah muak, dan ingin pergi sejauh mungkin dari kehidupannya," aku Naomi jujur. Hatinya terlalu lelah untuk terus memupuk rasa cintanya terhadap Raihan. Itulah yang dirasakan Naomi. Cinta yang dulu menggebu, kini sirna dalam sekejap oleh sebuah pengkhianatan. "Abang tak tahu harus memberimu jawaban seperti apa. Yang pasti, Abang akan mendukungmu selagi itu bisa membuatmu bahagia dan masih terlihat pantas." Faiq berucap tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan lurus hadapannya. "Jujur, sebenarnya Abang le
Satu jam perjalanan mobil Faiq mulai memasuki gang menuju rumah orang tua Naomi. Rumah berwarna krem dengan kusen berwarna coklat gelap itu sudah nampak. Halaman rumah yang cukup luas membuat rumah itu terlihat begitu asri. Mobil Faiq terparkir di halaman dengan beralaskan rumput hijau di depan rumah orang tua Naomi. Seorang laki-laki berusia sekitar 65 tahun keluar menuju teras depan rumahnya. Naomi bergegas turun ketika mobil Faiq berhenti sempurna. Ia berjalan cepat menghampiri laki-laki yang terlihat lebih tua dari usianya itu. Ayah Naomi adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Tante Reni—Mama Faiq anak bungsu, sedangkan kakak tertua mereka meninggal sejak masih usia 8 tahun. Dulu, ayah Naomi adalah seorang ASN yang berprofesi sebagai guru. Sejak pensiun, Naomi tak mengizinkannya lagi sang Ayah untuk bekerja di luar setelah ayahnya terserang penyakit lambung, meski saat itu Naomi tengah butuh biaya untuk kuliah. Kini Ayah Dayat hanya menghabiskan waktu untuk mengajar anak-anak s
Naomi mematung di tempat. Tak mudah baginya untuk membohongi laki-laki yang telah merawatnya sejak kecil itu. Naomi memutar badan menghadap ayahnya. Mendongak, menatap wajah renta itu dengan senyum termanisnya. Meraih tangan sang ayah, menangkupkannya di pipi mulusnya, persis kebiasaan sang Ayah memperlakukannya sejak kecil dulu. "Naomi baik-baik saja, Yah. Jangan khawatir." Wajah cantik itu berusaha menampakkan wajah baik-baik saja. Bagi Naomi, ayahnya sudah sangat renta, tak ada alasan baginya untuk membuat laki-laki itu mengkhawatirkan keadaannya. Bibir yang banyak ditumbuhi keriput itu tersenyum tipis. Pelan diusapnya pucuk kepala Naomi dengan hati terus berharap anak semata wayangnya itu benar-benar dalam keadaan baik-baik saja. "Jika ada apa-apa jangan sungkan untuk cerita. Kau tetaplah gadis kecil Ayah yang penyayang namun keras kepala, tak ada yang berubah."Naomi merasakan haru luar biasa, haru atas perlakuan lembut dari laki-laki bergelar Ayah itu. Laki-laki yang tak per