Share

Part 8. Jangan Memendamnya Sendiri

Naomi baru saja selesai melaksanakan 3 rakaat salat magrib di kamarnya. Perempuan itu kini memilih lanjutkannya dengan tadarus alquran. 

Naomi bukan hasil didikan pesantren. Namun ayahnya yang seorang guru ngaji berhasil mendidik anak semata wayangnya itu untuk mengenal Tuhan. Memahami fitrahnya sebagai hamba. 

Ayat demi ayat mengalun merdu memenuhi ruang  kamar tempatnya berada. Bacaan alquran yang keluar dari bibir Naomi terdengar sangat baik, setiap kalimat dengan huruf hijaiyah itu ia lafadzkan dengan makhraj dan hukum tajwid yang sesuai dengan aturannya. 

Sepuluh menit berlalu Naomi akhirnya menyudahi bacaan alqurannya. Perlahan menutup kitab dengan 114 surat sebagai pedoman umat Islam itu dengan sempurna. Di dekapnya benda persegi panjang itu hingga mengalirkan damai sampai ke relung sana. 

"Jika cinta terhadap manusia hanya akan membuatku sakit, maka izinkan aku merasakan kepuasan hanya dengan mencintai-Mu," lirih kalimat itu terucap dari bibir Naomi ketika bayangan Raihan kembali melintas di kepalanya. 

"Izinkah hatiku hanya terisi dengan nama-Mu setelah ini, hingga sampai nanti. Bahkan jika aku harus menua tanpa cinta manusia bergelar suami. Aku tak ingin kembali kecewa, aku tak ingin kembali sakit oleh cinta yang berkhianat."

Tanpa aba-aba bulir bening mengalir di pipinya. Perempuan itu mulai merasakan lelah atas cintanya, cinta yang pernah ia persembahkan pada makhluk yang bernama laki-laki. 

Cepat ia usap netranya yang berurai demi menghilang jejak luka di hatinya. Setelahnya beranjak dari duduknya, menyimpan mushaf quran sejak tadi menemaninya. Sesaat ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tak ada Raihan di sana, laki-laki yang bergelar suaminya itu tengah bahagia dengan perempuan pilihannya. 

Naomi memilih mematung di bibir ranjang. Menikmati setiap luka akibat sikap keras kepalanya dulu. Tiba-tiba dirinya rindu sang ayah, laki-laki yang pernah ia tentang keputusannya demi laki-laki yang kini menggoreskan luka menganga di hatinya. 

"Apa kabar Ayah? Semoga Ayah baik-baik saja. Seminggu tak bertemu membuat Naomi rindu Ayah," bisiknya pelan seolah tengah berbisik di telinga laki-laki terbaik dalam hidupnya itu. 

"Jika saja Ibu masih ada …," Naomi tersenyum kecut. Lamunan Naomi terhenti saat ponsel dengan mode silent miliknya menyala, menampilkan beberapa pesan yang baru saja masuk. Diraihnya benda pipih persegi panjang itu lalu mulai membukanya. Tiga pesan dari Faiq. 

[Bukankah ini suamimu, Na?] Pesan pertama bersamaan dengan foto Raihan yang tengah menikmati senja di pinggir pantai. Foto yang Faiq ambil hanya Raihan, laki-laki itu tak ingin salah mengira. 

[Maaf jika aku salah orang.] Pesan selanjutnya yang diakhiri dengan emot nyengir kuda. 

Naomi merasakan hatinya kembali nyeri. Ia cukup tahu bagaimana Raihan, laki-laki itu tak akan berada di tempat itu jika hanya sendiri. 

Dua ibu jari Naomi cepat berselancar di layar ponselnya membalas pesan Faiq. 

[Siapa yang tengah bersamanya?] balas Naomi sekedar meyakinkan jika tebakannya benar. 

Pesan yang Naomi kirim beberapa detik kemudian berubah centang biru, pertanda Faiq sudah membacanya. Beberapa menit Naomi menunggu jawabannya, hingga di menit kelima barulah pesannya berbalas. 

[Seorang perempuan, mungkin adik, atau temannya.] balas Faiq. Laki-laki itu tak ingin berpikir buruk tentang sesuatu yang belum ia ketahui. 

[Apakah dengan perempuan berambut pirang dengan tinggi badan sekitar 150 cm?] Naomi membalas cepat pesan Faiq dengan kedua tangan yang terasa gemetaran. Dadanya sesak oleh luka dan kecewa. 

Tak ada lagi balasan pesan dari laki-laki itu. Faiq memilih menelpon Naomi, seolah merasakan apa yang tengah perempuan itu rasakan. 

"Kau baik-baik saja?" tanya suara dari seberang sana setelah telepon tersambung. 

Naomi menghela nafas kasar, membuat Faiq merasakan jika adik sepupunya itu sedang tidak baik-baik saja. 

"Maaf, semula aku hanya ingin meyakinkan jika Itu Memang suamimu." Faiq berucap dengan perasaan bersalah. 

"Tak apa, Bang, aku baik-baik saja," lirih kalimat itu keluar dari bibir Naomi. 

Jawaban Naomi membuat Faiq berpikir yang sebaliknya. Sejenak laki-laki itu terdiam. Hatinya ikut terluka. 

"Kau bisa berbagi kisah denganku jika kau mau? Jangan memendamnya sendiri, aku tak ingin ada yang melukai perasaanmu termasuk laki-laki itu," ucap Faiq tanpa basa-basi. 

Mendengar kalimat Faiq Naomi merasakan hatinya kembali nyeri. Kenapa bukan suaminya yang berkata semanis itu? 

"Terima kasih, Bang. Naomi tengah berusaha mengikhlaskan segalanya, dan tak ingin membenci takdir yang tengah berlaku di hidup Naomi." suara perempuan itu terdengar parau, membuat hati Faiq ikut terasa nyeri. 

Di seberang sana, Faiq mengusap wajah kasar. Tangannya mengepal kuat berusaha menumpahkan emosi di dadanya dengan  caranya sendiri. 

Kini Faiq tengah duduk di kursi belakang kemudi. Tatapan matanya lekat pada sepasang manusia di depan sana yang tengah menikmati aroma khas angin laut ditemani aneka hidangan. 

"Apa kalian sudah berpisah? Maaf jika pertanyaanku terlalu berlebihan." Faiq akhirnya mencairkan pertanyaan yang menggumpal di kepalanya. 

"Tidak, aku masih sah berstatus istrinya."

"Lalu apa yang membuatmu terus bertahan dengan rasa sakit itu, Na. Ah, kenapa kau terlalu bod*h, Na. Kau berhak bahagia Naomi ...." Laki-laki itu memejamkan mata dengan gigi merapat kuat hingga menimbulkan bunyi sebab gesekan kuat. 

Naomi tersenyum kecut setelah mendengar Faiq menyebutkan nama 'Naomi', ia tahu jika Abang sepupunya itu tengah kesal. Biasanya Faiq hanya akan menyebutnya dengan 'Nana', panggilan kecil Naomi. 

"Naomi tidak bisa menjawabnya sekarang, Bang. Banyak yang harus Naomi pertimbangkan sebelum mengambil keputusan," ucap Naomi dengan berat hati. 

Faiq kembali menghela nafas panjang. Ia sangat kenal bagaimana keras kepalanya Naomi sejak kecil, hingga laki-laki itu memilih tak meneruskan protesnya. 

"Baiklah, Na. Abang hanya berharap kau bisa menemukan kebahagiaan tanpa harus mengorbankan perasaanmu sendiri." Faiq berucap lirih. "Jika kau butuh bantuanku, katakan saja. Insyaallah aku akan siap membantumu mampuku, Na."

Faiq berucap dengan sebelah tangan meremas dadanya. Ada yang terasa nyeri di relung sana ketika mendengar suara parau dari perempuan yang ia kenal tegar dan keras kepala itu. 

"Terima kasih, Bang."

Naomi mengakhiri sambungan telepon dengan salam. Senyum kecut kembali terukir di bibir tipis dengan dagu lancip itu. 

Masih lekat di kepalanya bagaimana sikap peduli teman masa kecilnya itu. Bagaimana Faiq yang selalu mengalah saat Naomi meminta paksa mainan milik Faiq, dan akhirnya Faiq akan mengalah dengan Naomi yang 3 tahun lebih muda darinya. 

"Ah, andaikan saja ...," Tiba-tiba ide gila muncul di kepala Naomi. Ide yang akan membuat Raihan merasakan sakit yang sama, atau bahkan lebih dalam dari yang pernah ia ciptakan di hati Naomi. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Laila Rahmi
susah ikhlasnya
goodnovel comment avatar
Winangsi Rahim
kalau naomi ikhlas, aku pun ikhlas...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status