Naomi baru saja selesai melaksanakan 3 rakaat salat magrib di kamarnya. Perempuan itu kini memilih lanjutkannya dengan tadarus alquran.
Naomi bukan hasil didikan pesantren. Namun ayahnya yang seorang guru ngaji berhasil mendidik anak semata wayangnya itu untuk mengenal Tuhan. Memahami fitrahnya sebagai hamba. Ayat demi ayat mengalun merdu memenuhi ruang kamar tempatnya berada. Bacaan alquran yang keluar dari bibir Naomi terdengar sangat baik, setiap kalimat dengan huruf hijaiyah itu ia lafadzkan dengan makhraj dan hukum tajwid yang sesuai dengan aturannya. Sepuluh menit berlalu Naomi akhirnya menyudahi bacaan alqurannya. Perlahan menutup kitab dengan 114 surat sebagai pedoman umat Islam itu dengan sempurna. Di dekapnya benda persegi panjang itu hingga mengalirkan damai sampai ke relung sana. "Jika cinta terhadap manusia hanya akan membuatku sakit, maka izinkan aku merasakan kepuasan hanya dengan mencintai-Mu," lirih kalimat itu terucap dari bibir Naomi ketika bayangan Raihan kembali melintas di kepalanya. "Izinkah hatiku hanya terisi dengan nama-Mu setelah ini, hingga sampai nanti. Bahkan jika aku harus menua tanpa cinta manusia bergelar suami. Aku tak ingin kembali kecewa, aku tak ingin kembali sakit oleh cinta yang berkhianat."Tanpa aba-aba bulir bening mengalir di pipinya. Perempuan itu mulai merasakan lelah atas cintanya, cinta yang pernah ia persembahkan pada makhluk yang bernama laki-laki. Cepat ia usap netranya yang berurai demi menghilang jejak luka di hatinya. Setelahnya beranjak dari duduknya, menyimpan mushaf quran sejak tadi menemaninya. Sesaat ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, tak ada Raihan di sana, laki-laki yang bergelar suaminya itu tengah bahagia dengan perempuan pilihannya. Naomi memilih mematung di bibir ranjang. Menikmati setiap luka akibat sikap keras kepalanya dulu. Tiba-tiba dirinya rindu sang ayah, laki-laki yang pernah ia tentang keputusannya demi laki-laki yang kini menggoreskan luka menganga di hatinya. "Apa kabar Ayah? Semoga Ayah baik-baik saja. Seminggu tak bertemu membuat Naomi rindu Ayah," bisiknya pelan seolah tengah berbisik di telinga laki-laki terbaik dalam hidupnya itu. "Jika saja Ibu masih ada …," Naomi tersenyum kecut. Lamunan Naomi terhenti saat ponsel dengan mode silent miliknya menyala, menampilkan beberapa pesan yang baru saja masuk. Diraihnya benda pipih persegi panjang itu lalu mulai membukanya. Tiga pesan dari Faiq. [Bukankah ini suamimu, Na?] Pesan pertama bersamaan dengan foto Raihan yang tengah menikmati senja di pinggir pantai. Foto yang Faiq ambil hanya Raihan, laki-laki itu tak ingin salah mengira. [Maaf jika aku salah orang.] Pesan selanjutnya yang diakhiri dengan emot nyengir kuda. Naomi merasakan hatinya kembali nyeri. Ia cukup tahu bagaimana Raihan, laki-laki itu tak akan berada di tempat itu jika hanya sendiri. Dua ibu jari Naomi cepat berselancar di layar ponselnya membalas pesan Faiq. [Siapa yang tengah bersamanya?] balas Naomi sekedar meyakinkan jika tebakannya benar. Pesan yang Naomi kirim beberapa detik kemudian berubah centang biru, pertanda Faiq sudah membacanya. Beberapa menit Naomi menunggu jawabannya, hingga di menit kelima barulah pesannya berbalas. [Seorang perempuan, mungkin adik, atau temannya.] balas Faiq. Laki-laki itu tak ingin berpikir buruk tentang sesuatu yang belum ia ketahui. [Apakah dengan perempuan berambut pirang dengan tinggi badan sekitar 150 cm?] Naomi membalas cepat pesan Faiq dengan kedua tangan yang terasa gemetaran. Dadanya sesak oleh luka dan kecewa. Tak ada lagi balasan pesan dari laki-laki itu. Faiq memilih menelpon Naomi, seolah merasakan apa yang tengah perempuan itu rasakan. "Kau baik-baik saja?" tanya suara dari seberang sana setelah telepon tersambung. Naomi menghela nafas kasar, membuat Faiq merasakan jika adik sepupunya itu sedang tidak baik-baik saja. "Maaf, semula aku hanya ingin meyakinkan jika Itu Memang suamimu." Faiq berucap dengan perasaan bersalah. "Tak apa, Bang, aku baik-baik saja," lirih kalimat itu keluar dari bibir Naomi. Jawaban Naomi membuat Faiq berpikir yang sebaliknya. Sejenak laki-laki itu terdiam. Hatinya ikut terluka. "Kau bisa berbagi kisah denganku jika kau mau? Jangan memendamnya sendiri, aku tak ingin ada yang melukai perasaanmu termasuk laki-laki itu," ucap Faiq tanpa basa-basi. Mendengar kalimat Faiq Naomi merasakan hatinya kembali nyeri. Kenapa bukan suaminya yang berkata semanis itu? "Terima kasih, Bang. Naomi tengah berusaha mengikhlaskan segalanya, dan tak ingin membenci takdir yang tengah berlaku di hidup Naomi." suara perempuan itu terdengar parau, membuat hati Faiq ikut terasa nyeri. Di seberang sana, Faiq mengusap wajah kasar. Tangannya mengepal kuat berusaha menumpahkan emosi di dadanya dengan caranya sendiri. Kini Faiq tengah duduk di kursi belakang kemudi. Tatapan matanya lekat pada sepasang manusia di depan sana yang tengah menikmati aroma khas angin laut ditemani aneka hidangan. "Apa kalian sudah berpisah? Maaf jika pertanyaanku terlalu berlebihan." Faiq akhirnya mencairkan pertanyaan yang menggumpal di kepalanya. "Tidak, aku masih sah berstatus istrinya.""Lalu apa yang membuatmu terus bertahan dengan rasa sakit itu, Na. Ah, kenapa kau terlalu bod*h, Na. Kau berhak bahagia Naomi ...." Laki-laki itu memejamkan mata dengan gigi merapat kuat hingga menimbulkan bunyi sebab gesekan kuat. Naomi tersenyum kecut setelah mendengar Faiq menyebutkan nama 'Naomi', ia tahu jika Abang sepupunya itu tengah kesal. Biasanya Faiq hanya akan menyebutnya dengan 'Nana', panggilan kecil Naomi. "Naomi tidak bisa menjawabnya sekarang, Bang. Banyak yang harus Naomi pertimbangkan sebelum mengambil keputusan," ucap Naomi dengan berat hati. Faiq kembali menghela nafas panjang. Ia sangat kenal bagaimana keras kepalanya Naomi sejak kecil, hingga laki-laki itu memilih tak meneruskan protesnya. "Baiklah, Na. Abang hanya berharap kau bisa menemukan kebahagiaan tanpa harus mengorbankan perasaanmu sendiri." Faiq berucap lirih. "Jika kau butuh bantuanku, katakan saja. Insyaallah aku akan siap membantumu mampuku, Na."Faiq berucap dengan sebelah tangan meremas dadanya. Ada yang terasa nyeri di relung sana ketika mendengar suara parau dari perempuan yang ia kenal tegar dan keras kepala itu. "Terima kasih, Bang."Naomi mengakhiri sambungan telepon dengan salam. Senyum kecut kembali terukir di bibir tipis dengan dagu lancip itu. Masih lekat di kepalanya bagaimana sikap peduli teman masa kecilnya itu. Bagaimana Faiq yang selalu mengalah saat Naomi meminta paksa mainan milik Faiq, dan akhirnya Faiq akan mengalah dengan Naomi yang 3 tahun lebih muda darinya. "Ah, andaikan saja ...," Tiba-tiba ide gila muncul di kepala Naomi. Ide yang akan membuat Raihan merasakan sakit yang sama, atau bahkan lebih dalam dari yang pernah ia ciptakan di hati Naomi.Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
Raya meletakkan map yang tadi berada dalam dekapannya di atas meja, sesuai perintah Naomi. Tanpa menunggu lebih lama Naomi segera meraih map itu, mengecek kalimat demi kalimat yang ada di dalamnya dengan teliti, sedangkan Raya mengamati perempuan yang begitu ia kagumi itu dari tempatnya berdiri. Raya tampak meneliti wajah cantik dengan tubuh sedikit mengembang itu. Jauh di relung sana ada rasa kagum pada sosok mantan istri Raihan itu. "Bukankah kita ada janji temu dengan klien jam dua siang nanti?" Kalimat tanya dari Naomi membuat Raya sedikit kaget ketika mengangkat wajah dan tatapan keduanya bertemu. "Iya, Bu," jawabnya sambil mengangguk pelan. *Dua perempuan dengan usia terpaut tak begitu jauh itu duduk bersisian di kursi penumpang. Raya sesekali tampak melirik ke arah Naomi. Entah apa yang membuat sikap gadis itu sedikit terlihat canggung kali ini. Beberapa menit setelah mobil melaju suasana hanya hening. Hingga akhirnya Naomi memilih bersuara. "Mama sudah menceritakan se
Raya mengerutkan dahu, ia tak paham dengan maksud kalimat yang baru saja ia dengar. Pun tak paham kenapa wajah perempuan di hadapannya itu berubah dalam hitungan detik saja. Raya meremas kedua jemarinya. Menikmati degup jantung yang masih berkejaran. Ingin bertanya tapi sedikit ragu. Raihan tampak menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Maaf jika kamu tersinggung dengan ucapan Tante barusan. Sebenarnya Raihan sudah bercerita banyak tentang kamu, tentang ibumu yang awalnya tak memberi restu. Tante memakluminya, mungkin jika Tante yang berada di posisi ibumu Tante juga akan melakukan hal serupa," kekeh Mama Maya, membuat Raya seketika menarik napas lega. Wajahnya yang semula tampak gugup bercampur malu, kini sedikit lebih lega. "Tante hanya berharap semoga setelah ini Raihan benar-benar sadar jika apa yang dia lakukan dulu adalah hal keliru. Percayalah, Tante tidak akan pernah membela jika memang Raihan bersalah."Raya perlahan mengangkat wajah. Menatap canggung wajah renta itu d
Raya melangkah mensejajari langkah Raihan. Sepasang kekasih itu kini melangkah melewati gerbang, serta hamparan rerumputan hijau di halaman rumah berlantai dua milik orang tua Raihan. Dua tiang penyangga terlihat tampak kokoh dari arah depan. Berdiri gagah hingga mencapai lantai atas. Raya merasakan dirinya begitu kecil di sini. Berulang kali ia melirik rumah bercat putih perpaduan dengan abu tua itu, yang tampak bak bumi dan langit dengan rumah peninggalan sang ayah yang mereka tempati sekarang. Tiga buah mobil berjajar rapi di garasi rumah mewah itu. Mobilnya pun tak kalah mewah. Meski tak memilikinya setidaknya Raya cukup tau berapa kisaran harga kendaraan milik keluarga Raihan. "Bapak yakin mengajakku ke sini?" tanya Raya dengan langkah kaki memelan. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu ia lontarkan sejak beberapa hari lalu. Raihan menghentikan langkahnya. Lalu menatap ke arah Raya dengan senyum tipis. "Masuklah! Kau tidak akan tahu bagaimana Mama jika tetap di sini," bala