Raihan tersentak ketika mendengar sebuah benda keras menghantam kuat di belakangnya. Serta suara teriakan beberapa orang berada tak jauh darinya. Laki-laki itu seketika menoleh, ternyata sebuah mobil sedan menghantam tiang PLN yang berada tak jauh dari tempatnya berada. Beberapa karyawan kantor yang sama dengan Raihan ikut menghentikan aktivitas mereka, yang semula sibuk dengan kendaraan masing-masing. Asap mengepul dari bagian kap mobil. Tampak wajah-wajah kaget bercampur panik dari orang-orang yang berada di dekat tempat kejadian. Dalam waktu hitungan detik tempat kejadian dikerumuni orang-orang yang berada di dekat tempat itu. Sebagian lagi adalah para pengendara yang lewat yang kini menghentikan kendaraan mereka di bahu jalan. Raihan seketika teringat sesuatu. Raya. Laki-laki itu bergegas turun dari mobilnya. Dengan wajah panik ia berlari ke tempat yang tadi dilewati gadis itu. Tampak Raya terduduk memeluk lutut di pinggir jalan. Kurang dari lima puluh senti di depannya ter
"Ini beneran Ramon?" tanyanya meyakinkan. Sejujurnya ia sudah paham jawabannya, mengingat ia lebih kenal lama pada laki-laki itu ketimbang Raihan. "Rani tak mungkin salah lihat," balas Raihan dengan wajah serius. "Apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai melakukan hal bodoh seperti ini? Padahal Vina sudah memberikan semuanya, tapi masih saja berulah," desah Raya dengan wajah sesal. Raihan hanya bergeming, membiarkan pertanyaan Raya mengawang di udara. Kalimat Raya barusan membuatnya merasa tertampar. Ya, apa yang Ramon lakukan sekarang bak kaca besar yang memamerkan masa lalunya dulu bagi Raihan. Kegilaan yang Ramon lakukan tak berbeda jauh dari kebodohan yang ia lakukan dulu, yang akhirnya membuatnya kehilangan Naomi dan kehilangan kepercayaan kedua orang tuanya. Bedanya, Raihan tak sampai nekat membahayakan nyawanya demi perempuan yang ia cintai. Banyak luka yang terasa nyeri hingga saat ini. Luka ketika Naomi lebih memilih pergi bersama Faiq, ketimbang kembali padanya meski i
Detik demi detik merangkak, hingga hari kian berlalu berjalan menuju minggu, perlahan tapi pasti minggu berlaku menuju bulan. Dua bulan setelah acara lamaran kala itu, hari pernikahan Raihan dan Raya di gelar di rumah Raya. Persis seperti permintaan Marina. Ya, sejak dulu Marina memang ingin kedua anak perempuannya menikah di sini, di rumah sederhana mereka. Awalnya keluarga Raihan merasa keberatan. Namun, setelah rembukan akhirnya mereka saling menerima, terlebih setelah Raihan angkat bicara untuk solusinya. Pada akhirnya acara resepsi akan digelar dua kali, pertama di kediaman mempelai perempuan, kedua di kediaman orang tua Raihan. Sebelumnya Mama Maya berkeinginan untuk melangsungkan acara di hotel, persis saat pernikahan Naomi dan Raihan dulu, dengan alasan tak ingin membeda-bedakan kedua menantunya itu. Namun, sang suami lebih memilih di rumah, mengingat Raihan pernah gagal menikah berulang kali. Hari ini, tepat di lapangan yang berada tepat berseberangan dengan rumah orang tu
"Apa ini yang disebut meeting penting?" Naomi, perempuan cantik berusia 25 tahun itu bergumam lirih. Masih melekat di ingatannya, kala ia memilih pergi dua bulan lalu. Penyebabnya sama, laki-laki itu ketahuan selingkuh."Abang mohon jangan pergi, Sayang. Abang khilaf. Maafkan kesalahan Abang untuk kali ini. Abang janji tak akan mengulangi kesalahan serupa." Rayhan merucap dengan suara serak. "Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Tapi, jika begini kenyataannya, aku rela menyandang status yang perempuan manapun tak pernah menginginkannya." Naomi berucap tegas dengan suara bergetar."Kita bisa memperbaiki semuanya, Na. Kita bisa memulainya dari awal." Raihan berucap lirih. "Perselingkuhan adalah kesalahan fatal bagiku!" balas Naomi tegas. Suara perempuan itu terdengar bergetar. "Abang khilaf, Na. Abang berjanji ini akan menjadi yang pertama dan yang terakhir." Raihan berusaha meyakinkan. "Aku yakin sebelumnya Abang sudah tahu jika ini adalah sebuah kesalahan." Naomi berucap
Naomi segera melajukan kendaraan roda empat milikku kembali ke rumah. Keinginan awalnya untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka pupus sudah. Tak ada lagi harapan keluarga utuh di hatinya yang tersisa setelah melihat ulah Raihan di belakangnya. Tangan kirinya meremas kuat kemeja bagian dada, berusaha menghalau luka lama yang kini kembali bernanah. Sedangkan bibir tipis berlipstik nude itu beberapa kali merapal istighfar, berharap hatinya bisa sedikit lebih tenang. Dua bulan lalu ia masih bisa memaafkan kesalahan fatal Raihan, namun kali ini rasanya terlalu bod*h jika ia kembali memaafkan laki-laki itu. Naomi berpikir keras bagaimana caranya agar Mama Maya baik-baik saja dan merelakan kepergiannya. Sayangnya sekeras apa ia berpikir tentang hal itu ia tetap tak menemukan jawabannya. Beberapa kali perempuan itu terlihat menarik napas dalam sembari masih berusaha konsentrasi menyetir. Ia berharap gemuruh di dadanya perlahan berkurang. Cinta di hatinya pada laki-laki itu sangat kuat
Wajah Raihan sedikit lega mendengar kalimat Naomi barusan. Setidaknya usahanya membujuk istrinya itu menemukan titik terang, meski ia sendiri belum tahu apa syarat yang Naomi ajukan. "Katakan saja, Na. Aku akan berusaha memenuhi syarat itu." Helaan napas panjang kembali membuat dada Naomi bergerak naik-turun. sesak dadanya kini semakin bertambah seiring ungkapan Raihan tentang Sena. "Aku akan tetap di sini asalkan kau membawa perempuan itu untuk meminta restu kedua orang tuamu."Rayhan terperanjat demi mendengar kalimat Naomi barusan. "Kau gil*! Bisa-bisa Mama akan mati kejang karena hal itu." Raihan terlihat kesal. Syarat yang Naomi ajukan rasanya begitu berat. "Lantas, kau ingin aku yang mati berdiri karena penghianatanmu?" Kali ini Naomi menatap berani wajah suaminya itu. Entah ke mana hilangnga rasa hormat yang selama ini selalu ia tampakkan. Raihan terdiam sejenak. Bagaimanapun Naomi benar. Ia tak mungkin menggantung perempuan itu dengan tanpa kejelasan. "Aku mohon, Na, to
"Kenapa kau tak bisa bersikap sebiasa mungkin saat aku di rumah? Bukankah aku masih sah berstatus suamimu?" Mendengar jawaban Raihan spontan emosi Naomi terpancing. Tajam kedua matanya menatap Raihan. Seolah tak ada rasa sungkan sedikitpun. "Sudah kukatakan, jangan memaksaku merubah keputusan secepatnya! Apa kau mau aku mengatakannya pada Mama sekarang, kemudian penyakit jantung Mama akan kumat dan masuk rumah sakit?" Naomi berucap dengan rahang mengeras. Raihan bungkam. Tak ada lagi kata penyangga yang berhasil keluar dari bibirnya. "Maafkan Abang, Na." Hanya itu yang berhasil keluar dari bibir Raihan. Setelahnya ia hanya bisa melepas kepergian Naomi dengan tatapan serba salah. *** Bukan Naomi namanya jika tak bisa profesional bekerja. Di kantor ia terlihat seolah tak memiliki masalah apa pun. Di mata pegawai lainnya Naomi bekerja sebagaimana biasa. Namun, tidak dengan Nabila, sahabat dekat Naomi itu tahu jika Naomi sedang tidak baik-baik saja saat melihat perempuan itu diam
"Naomi 'kan? Anak Paman Dayat?" ucap laki-laki itu memastikan. Laki-laki bertubuh tinggi dengan dagu belah itu tersenyum manis. Nabila bahkan tak berkedip dibuatnya. Merasa nama dirinya dan sang ayah disebut Naomi segera menyelesaikan minumnya lalu menoleh ke asal suara. "Eh, Bang Faiq. Kapan balik ke Indonesia?" tanya Naomi. Tangannya terulur ke arah Faiq, lalu mencium takzim punggung tangan saudara sepupunya itu. "Abang udah sebulan yang lalu balik, Na," jawab Faiq dengan nada santun. "Oh, iya, duduk, Bang. Kenalin ini Nabila, temen Naomi." Nabila sedikit tersentak lalu berusaha bersikap tenang dengan melempar senyum ke arah Faiq. Wajah rupawan Faiq mampu membuat Nabila tersihir. Laki-laki itu terlihat begitu sempurna dengan alis mata menyatu, hidung mancung, serta dagu belahnya. "Faiq!" ucap laki-laki itu dengan senyum manisnya. "Nabila," balas Nabila santun. Matanya terus menatap lekat wajah tampan di hadapannya itu. "Ini abang sepupu aku, Bil. Namanya Faiq Fikri. Kami bi