Lalu Aleeya menahan napas. Dia menahan air mata dan berjalan perlahan ke arah pintu, tapi tidak membukanya.“Kalau kamu nggak mau ngobrol, aku bisa nunggu, kok,” suara Reyna dari balik pintu terdengar lebih manis. “Tapi kamu harus tahu satu hal, Aleeya… aku dan Raka belum selesai.”Deg.Kalimat itu menghantam jantung Aleeya seperti palu godam. Suara langkah Reyna akhirnya menjauh, menghilang. Tapi ketakutan itu tidak ikut pergi.Beberapa menit kemudian, Alisa datang tergopoh-gopoh. “Mana dia? Reyna-nya mana?”Aleeya tak bisa jawab. Ia hanya menunjuk flashdisk dan menangis.**Hari berikutnya, Tari datang lagi ke kosan. Kali ini dengan wajah lebih tegas. Ia sudah tahu semuanya, termasuk video itu. Dan ia tak tinggal diam.“Kita harus selesaikan ini, Leeya. Bunda nggak bisa biarin kamu dihantui orang kayak dia.”“bunda mau lapor polisi?”Tari mengangguk. “Dan kamu juga harus siap. Kita nggak tahu sejauh apa obsesi dia. Tapi bunda nggak akan mundur.”Aleeya akhirnya ikut ke rumah Tari se
Malam itu hujan turun deras.Aleeya memandangi seikat mawar merah yang kini tergeletak di atas meja belajarnya. Matanya terpaku pada foto Reyna yang tadi diselipkan seseorang tanpa suara. Rasa dingin menjalar hingga ke tengkuk."Dia... Reyna," bisiknya pelan.Alisa duduk di tepi ranjang, menyelimuti dirinya. “Dia ganggu kamu lagi?”Aleeya mengangguk pelan. “Dulu aku pikir dia udah pergi dari hidup Raka. Tapi ternyata... dia nggak pernah benar-benar pergi.”Alisa memejamkan mata. Napasnya berat. “Kalau kayak gini, kamu harus cerita ke Bunda Leeya. Ini udah bukan tentang cinta-cintaan lagi. Ini udah ngancam hidupmu.”Aleeya berdiri. Ia menatap bayangannya sendiri di jendela, samar oleh embun dan tetesan hujan.“Aku takut, Lis. Tapi aku juga takut bunda tambah kecewa kalau tahu semua ini.”**Keesokan harinya, Aleeya memutuskan untuk menghubungi Raka.Setelah beberapa kali nada tunggu, akhirnya suara itu terdengar.“Halo, Leeya…”“Aku tahu semuanya, Rak,” ucap Aleeya dingin.Sunyi di seb
Hari itu, langit kembali mendung.Aleeya duduk bersandar di sisi ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya masih pucat, kantung matanya menghitam, dan tubuhnya masih terasa lemas. Ia belum sepenuhnya pulih dari sakitnya—baik secara fisik, maupun batin.Di luar kamar kosnya, terdengar suara langkah cepat menaiki tangga. Beberapa detik kemudian, terdengar suara yang sangat ia kenal."Aleeya!"Tari membuka pintu kamar dengan panik, napasnya tersengal karena terburu-buru dari perjalanan jauh. Wajahnya pucat campur cemas saat melihat putrinya yang terbaring lemah."Astagfirullah, Ya Allah, Leeya!" serunya sambil menghampiri.Aleeya hanya menoleh pelan. Bibirnya tertarik sedikit, berusaha tersenyum. Tapi wajah Tari malah penuh air mata."Kenapa kamu bisa sakit begini, sayang? Kenapa kamu nggak bilang Bunda? Kenapa aku harus tahu dari orang lain?""Bunda jangan lebay..." jawab Aleeya pelan, berusaha menghindar."Lebay? Kamu jatuh sakit sampai masuk rumah sakit, Leeya!" Tari duduk di
Di tengah tangisan Aleeya dan Tari yang akhirnya berdamai, HP Aleeya bergetar.Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal."Jangan percaya siapa pun, semua orang ingin melihatmu hancur, termasuk kembaran dan ibumu."Aleeya membaca pesan itu dengan tangan gemetar.Siapa yang mengirim pesan ini? Kenapa tiba-tiba mengusik hubungan keluarga Aleeya?--Aleeya menatap layar ponselnya yang terus bergetar.Pesan itu masih tertera jelas:"Jangan percaya siapa pun. Termasuk keluargamu. Termasuk ibumu."Tangannya gemetar. Ia memandang ibunya yang masih duduk di tepi ranjang, memegangi gelas air hangat. Tari sedang menatapnya dengan tatapan khawatir, belum menyadari wajah Aleeya berubah pucat.“Kenapa? Siapa yang kirim pesan?” tanya Tari curiga, menangkap ekspresi anaknya.Aleeya buru-buru mengunci ponsel. Ia menggoyangkan kepala, berusaha tersenyum tipis. “Bukan siapa-siapa, Bun. Salah kirim kayaknya.”Tari tidak langsung percaya, tapi memilih diam. Ia tahu Aleeya belum sepenuhnya pulih. Memaksan
Hari itu, langit kembali mendung.Aleeya duduk bersandar di sisi ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya. Wajahnya masih pucat, kantung matanya menghitam, dan tubuhnya masih terasa lemas. Ia belum sepenuhnya pulih dari sakitnya—baik secara fisik, maupun batin.Di luar kamar kosnya, terdengar suara langkah cepat menaiki tangga. Beberapa detik kemudian, terdengar suara yang sangat ia kenal."Aleeya!"Tari membuka pintu kamar dengan panik, napasnya tersengal karena terburu-buru dari perjalanan jauh. Wajahnya pucat campur cemas saat melihat putrinya yang terbaring lemah."Astagfirullah, Ya Allah, Leeya!" serunya sambil menghampiri.Aleeya hanya menoleh pelan. Bibirnya tertarik sedikit, berusaha tersenyum. Tapi wajah Tari malah penuh air mata."Kenapa kamu bisa sakit begini, sayang? Kenapa kamu nggak bilang Bunda? Kenapa aku harus tahu dari orang lain?""Bunda jangan lebay..." jawab Aleeya pelan, berusaha menghindar."Lebay? Kamu jatuh sakit sampai masuk rumah sakit, Leeya!" Tari duduk di
“Aku cuma bisa bilang... maaf,” katanya. “Kalau ada cara buat kembali dan perbaiki semua itu, aku bakal lakuin. Tapi aku tahu, aku udah telat.”Aleeya berdiri. “Kita terlalu banyak luka untuk memulai dari awal.”Raka mengangguk. Tapi tatapannya… kosong. Seperti seseorang yang baru saja kehilangan satu-satunya cahaya di hidupnya.“Jaga dirimu, Raka.”Langkah Aleeya menjauh, meninggalkan lelaki yang duduk diam dalam pasrah. Air mata jatuh perlahan dari pipi Raka, tapi tak ada suara. Ia hanya menatap lantai dengan mata nanar, dan membiarkan rasa kehilangan itu mengakar, membekas di dalam dada.***Hujan turun malam itu. Bukan gerimis, tapi hujan deras yang seolah mengguyur setiap sisa harapan yang sempat Aleeya miliki. Setelah pulang dari rumah Raka, langkahnya terasa berat, seperti ada beban di kedua bahunya. Sesekali ia menoleh ke langit, berharap bisa menangis bersama hujan, tapi matanya kering. Seakan air matanya tertahan oleh ego dan luka yang terlalu dalam.Sesampainya di kamar kos
Aleeya menatap wajah Alisa yang tampak tegang. Mereka berdiri di depan pintu kamar kos, udara terasa beku seolah waktu berhenti. Alisa memegang erat tas kecilnya, seolah hendak bicara sesuatu yang bisa mengubah segalanya.“Aku masuk ya,” ujar Alisa pelan.Aleeya mengangguk.Begitu pintu tertutup, hening pun meraja. Aleeya duduk di tepi kasur, sementara Alisa berdiri, menatap sekeliling kamar adiknya yang sederhana tapi rapi. Sudut-sudut yang penuh kenangan, buku-buku yang disusun berjejer, foto-foto wisuda yang belum lama digantung."Aku tahu kamu pasti marah nanti setelah dengar ini," ucap Alisa akhirnya.Aleeya mengangguk pelan. “Aku udah muak sama kejutan. Tapi, ya... bicara aja.”Alisa menarik napas panjang. "Raka... dulu pernah pacaran sama aku. Setahun."Aleeya mematung."Setahun?" bisiknya, nyaris tak terdengar.Alisa duduk di sisi tempat tidur, matanya mulai basah. “Kami deket waktu aku masih kelas dua SMA. Dia kuliah waktu itu. Kita dikenalin temenku. Awalnya manis, lucu, per
Aleeya tak bisa tidur.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tapi matanya masih menatap nanar langit-langit kamarnya. Seluruh tubuhnya lelah, tapi pikirannya seolah tak mengizinkan istirahat. Ucapan Raka terus terulang di kepala—“Aku berubah sejak ketemu kamu…”Tapi kalimat Alisa juga tak kalah menyakitkan—“Dia dulu ngilang gitu aja setelah semua yang kita alami…”Aleeya memejamkan mata, mencoba menepis kenyataan. Tapi kenangan tak pernah punya tombol ‘hapus’. Ia malah semakin tergelincir dalam pusaran tanya dan rasa tak percaya. Raka. Lelaki yang selama ini ia percayai sepenuh hati. Lelaki yang ia bawa dalam setiap doa, dalam setiap rencana masa depan.Lalu email itu…Tangannya perlahan meraih laptopnya yang tergeletak di meja. Ia membuka kembali email misterius dari akun tak dikenal. “Kamu harus tahu siapa sebenarnya Raka. Jangan percaya dia sepenuhnya. Tanyakan pada dia... tentang Reyna.”Aleeya menatap nama itu: Reyna.“Siapa, Reyna?” bisiknya sendiri.Ia mengetikkan nama i
Apakah ini pertanda bahwa setiap cinta yang datang padanya hanya akan berujung luka?Atau... apakah ini kesempatan untuk menyembuhkan luka lama yang belum pernah selesai?---Aleeya tak bisa tidur.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tapi matanya masih menatap nanar langit-langit kamarnya. Seluruh tubuhnya lelah, tapi pikirannya seolah tak mengizinkan istirahat. Ucapan Raka terus terulang di kepala—“Aku berubah sejak ketemu kamu…”Tapi kalimat Alisa juga tak kalah menyakitkan—“Dia dulu ngilang gitu aja setelah semua yang kita alami…”Aleeya memejamkan mata, mencoba menepis kenyataan. Tapi kenangan tak pernah punya tombol ‘hapus’. Ia malah semakin tergelincir dalam pusaran tanya dan rasa tak percaya. Raka. Lelaki yang selama ini ia percayai sepenuh hati. Lelaki yang ia bawa dalam setiap doa, dalam setiap rencana masa depan.Lalu email itu…Tangannya perlahan meraih laptopnya yang tergeletak di meja. Ia membuka kembali email misterius dari akun tak dikenal.> “Kamu harus tahu si