Suasana rumah malam itu begitu sunyi. Bahkan detik jam terdengar seperti suara petir di telinga Tari. Ia duduk di ujung tempat tidur, menggenggam ponsel yang baru saja menampilkan nama—yang sejak lama tak ingin ia dengar lagi.Elzio.Butuh waktu lama sampai Tari mampu bergerak. Di sampingnya, ada Alisa yang diam-diam memperhatikannya dengan tatapan cemas. “Bun, itu siapa?” tanyanya hati-hati.Tari tak langsung menjawab. Matanya menerawang jauh. Nafasnya dalam, berat.“Teman lama Bunda, Sa…” jawabnya pelan. “Orang yang pernah sangat berarti. Tapi sekarang… entahlah.”Alisa tahu, ada sesuatu yang disembunyikan dari kalimat itu. Tapi dia memilih diam. Dia tahu, kadang luka lama tidak butuh digali—kecuali orang itu siap.**Keesokan paginya, Tari pergi sendiri ke rumah sakit yang disebut dalam telepon semalam. Dengan langkah berat, ia memasuki ruangan rehabilitasi kejiwaan. Dan di sanalah, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia melihat sosok itu lagi.Elzio duduk di kursi roda,
Langit Bandung tampak sendu saat rintik hujan turun tipis. Di kamar kecil kontrakan sederhana yang dihuni Nayla dan Alif, suasana jauh lebih sunyi dibanding hari-hari biasanya.Nayla duduk diam di atas tempat tidur, menatap test pack yang masih ia genggam erat sejak tadi pagi. Dua garis samar. Positif.Tangannya gemetar. Bukan karena bahagia—melainkan takut.Takut berharap lagi.Takut kehilangan lagi.Ia teringat bagaimana dirinya dulu begitu antusias saat tahu kehamilan pertama datang. Bagaimana ia menyiapkan buku parenting, mencari nama bayi, bahkan mulai menjahit baju-baju kecil dari potongan kain. Tapi semua itu sirna begitu saja dalam sekejap. Pendarahan hebat saat usia kandungan baru menginjak 9 minggu mengubah segalanya.Sejak saat itu, Nayla dan Alif tak pernah membicarakan soal anak lagi. Bahkan menyebut nama calon bayi mereka saja, rasanya seperti menorehkan luka di udara.Dan kini, saat garis samar itu kembali muncul… Nayla justru memilih diam.**“Sayang, kamu kenapa?” tan
Aleeya berdiri di dapur, memandangi air dalam panci yang belum juga mendidih. Tangannya sibuk mengaduk teh, tapi pikirannya entah ke mana. Sejak Tari kembali dari Bandung, wajah ibunya itu tak lagi seceria dulu. Selalu ada sendu yang menggantung di pelupuk mata, seolah ada beban yang belum bisa dibagikan.Ia tahu. Semua ini tentang Alif dan Nayla. Tentang cucu yang gagal lahir ke dunia. Tentang luka yang belum sembuh.“Lee…” suara ibunya membuat Aleeya menoleh.Tari baru saja bangun dari tidur siangnya. Wajahnya masih terlihat lelah, namun tetap lembut.“Ya, Bun?”“Bisa temani Bunda ke toko buku sore ini? Bunda ingin belikan hadiah untuk Nayla.”Aleeya diam. “Buat apa, Bun?”“Kadang, kehilangan membuat seseorang merasa tak berarti. Bunda ingin Nayla tahu… dia tetap dicintai.”Aleeya menatap ibunya lama. Ada kekaguman di sana, sekaligus tanya. Bagaimana mungkin ibunya bisa tetap setegar ini, padahal ia sendiri baru saja kehilangan cucu untuk kedua kalinya?**Sore itu, mereka berdua ke
Tari kembali kerumah setelah membereskan urusan gadis kembarnya. Aleeya sudah mulai tenang dengan kehidupan barunya, begitu juga dengan Alisa. Mereka berjanji tak akan berpacaran lagi. Karena hanya mendatangkan kerugian.Malam itu, Tari baru saja menutup Al-Qur’an setelah shalat tahajud saat ponselnya bergetar. Nama Alif terpampang di layar. Hatinya langsung mencelos. Jarang sekali anak sulungnya menelepon sepagi ini.“Assalamu’alaikum, Nak,” ucap Tari lembut.Namun tak ada suara dari seberang sana, hanya isakan kecil. Tari langsung panik.“Alif? Ada apa, Nak? Kamu kenapa?”Suara Alif akhirnya terdengar. Serak. Hancur.“Bun… Nayla… keguguran...”Detik itu juga, dunia Tari runtuh. Ia terduduk. Bibirnya gemetar menyebut nama Allah, menahan tangis yang menggulung di dadanya. Setelah kematian anak pertama Alif beberapa bulan lalu, kini si sulung kembali mendapatkan musibah. Dan ini sangat berat sekali rasanya.“Ya Allah… Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…”“Bunda… aku salah… semua salah
Tari kembali kerumah setelah membereskan urusan gadis kembarnya. Aleeya sudah mulai tenang dengan kehidupan barunya, begitu juga dengan Alisa. Mereka berjanji tak akan berpacaran lagi. Karena hanya mendatangkan kerugian.Malam itu, Tari baru saja menutup Al-Qur’an setelah shalat tahajud saat ponselnya bergetar. Nama Alif terpampang di layar. Hatinya langsung mencelos. Jarang sekali anak sulungnya menelepon sepagi ini.“Assalamu’alaikum, Nak,” ucap Tari lembut.Namun tak ada suara dari seberang sana, hanya isakan kecil. Tari langsung panik.“Alif? Ada apa, Nak? Kamu kenapa?”Suara Alif akhirnya terdengar. Serak. Hancur.“Bun… Nayla… keguguran...”Detik itu juga, dunia Tari runtuh. Ia terduduk. Bibirnya gemetar menyebut nama Allah, menahan tangis yang menggulung di dadanya. Setelah kematian anak pertama Alif beberapa bulan lalu, kini si sulung kembali mendapatkan musibah. Dan ini sangat berat sekali rasanya.“Ya Allah… Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…”“Bunda… aku salah… semua salah
Hujan gerimis menyambut langkah Tari saat ia sampai di Taman Kenanga. Matanya menerawang ke arah bangku tua yang berdiri di tengah taman. Di sana, seorang wanita dengan mantel biru duduk sambil memegang payung transparan. Wajahnya tertutup sebagian oleh kerudung dan masker.Tari mendekat dengan langkah hati-hati. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena takut, tapi karena firasat bahwa sesuatu yang besar akan terbongkar.“Dian?” tanya Tari pelan, berdiri di hadapan wanita itu.Wanita itu menoleh. Ia melepaskan masker dan menurunkan payungnya perlahan. Wajahnya cantik, bersih, tapi ada sorot kelelahan yang kentara.“Iya. Saya Dian.”Tari duduk, menyimpan jarak. “Apa maksud suratmu? Kamu bilang mengenal Mas Nadhif dari masa lalu…”Dian menarik napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah foto dari dompet kecilnya. Foto hitam-putih tua, gambar dua remaja sedang duduk di pinggir pantai. Salah satunya... Nadhif. Masih muda, dengan senyum khas yang selalu membuat hati Tari tenang. Di sampingnya