LOGINBianca kembali menatap layar tablet. Tanda tangan dan tulisan tangan di lembar peminjaman memang milik Billy.
Tetap saja Bianca menggeleng tak percaya.
"Kenapa perusahaan membolehkan kakakku meminjam uang sebanyak ini? Aku tidak percaya. Data bisa direkayasa, bukan?"
"Kakakmu meminjam secara berkala." Geo menjawab santai. "Jumlah itu total peminjamannya."
"Tapi, kenapa dikasih??" Bianca masih berusaha menyangkal.
"Aku hanya menerima laporan."
Setiap kali Bianca bertanya, Geo hanya menjawab singkat. Tidak tau. Bianca jadi semakin kesal.
"Kakakku pinjam satu milyar dan kamu sebagai CEO perusahaan nggak tau? Gimana, sih?"
Bianca menatap Geo yang memicing padanya. Sepertinya lelaki itu juga mulai kesal.
"Tanya sendiri pada Billy."
"Oke. Aku pergi sekarang."
Bianca membalik tubuh dan segera pergi. Namun belum ada lima menit, wanita itu masuk kembali dengan wajah memberengut.
"Sekuriti bilang aku tidak boleh keluar dari mansion ini."
"Betul."
"Kamu mau mengurungku di sini?"
"Kamu sendiri yang mengurung dirimu sendiri di sini dengan menikah denganku."
Dengan napas memburu cepat, Bianca terdiam. Ia teringat ucapan Madam Ana bahwa sebenarnya ia memang tidak diperkenankan pergi dari tempat mewah ini.
"Sial!"
"Beraninya kamu mengumpat padaku!" Geo meninggikan nada suaranya.
"Aku mengumpat diriku sendiri." Bianca membalas dengan penuh emosi.
Hening sejenak. Otak cerdas Bianca berpikir cepat. Meski ragu, sepertinya ia harus mengubah rencana.
"Aku akan bayar hutang Kak Billy jika sudah mendapat bayaran dari kontrak pernikahan ini."
Tidak ada jawaban dari Geo. Lelaki itu hanya memandang keluar jendela dengan tatapan datar.
Jika sudah begitu, tidak ada lagi yang bisa Bianca lakukan. Geo pasti lebih betah menatap ke luar jendela dibanding bicara dengannya.
Dengan langkah gontai, Bianca melangkah ke pojok ruangan. Lebih baik mengalihkan masalah dengan belerja.
Bianca duduk di ranjangnya dan mulai membuka laptop yang diberikan Taylor untuk bekerja.
"Aku mau mandi."
Suara Geo mengagetkan Bianca yang sedang serius membalas email.
"Tunggu," sahut Bianca.
"Sekarang!"
Dengan embusan napas panjang, Bianca meninggalkan laptopnya. Tanpa bicara, ia mempersiapkan perlengkapan mandi dan mulai membuka pakaian Geo.
Meski masih kesal, Bianca membasuh tubuh Geo dengan pelan dan hati-hati. Saat akan membasuh bagian bawah, Bianca memekik kaget.
"Arrgghh." Spontan, Bianca menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
"Apa, sih? Berisik!" Geo yang terkejut karena jeritan Bianca mengomel.
"Itu ... apa yang menonjol?" Bianca mengintip lalu segera memejamkan mata kembali.
"Wajar, kan? Aku lelaki normal." Geo berkata santai.
Bianca malah malu melihatnya. Kemarin-kemarin, organ reproduksi lelaki itu tidak pernah menegak saat ia memandikannya.
"Aku ... Aku nggak mau basuh itu."
"Lalu? Siapa yang akan melakukannya?"
"Turunkan dulu," pinta Bianca dengan risih.
"Nanti dia turun sendiri."
Akhirnya Bianca mengalihkan perhatian dengan membasuh bagian kaki Geo lebih dulu. Ia berharap setelah ini bagian pangkal paha Geo sudah tidak menonjol lagi.
"Naikkan ranjang bagian atas," titah Geo.
Bianca menurut. Ternyata Geo sudah mulai bisa menggerakkan tubuhnya.
"Bopong aku ke kamar mandi. Aku mau pipis."
"Hah? Memangnya kamu bisa jalan?" Bianca melongo sejenak mendengar permintaan Geo.
Geo tidak menjawab. Bianca mengamati lelaki itu berpegangan pada tepi ranjang lalu menurunkan kaki-kakinya.
Kemudian, Geo melingkari lengan di bahu Bianca dan mulai berdiri. Bianca harus menahan diri untuk tidak menatap bagian bawah tubuh Geo.
Tetapi, tentu saja sulit. Ia harus membimbing langkah Geo yang menyeret kaki-kakinya ke kamar mandi.
Bianca bernapas lega saat Geo memintanya keluar dan membiarkannya di kamar mandi sendiri.
"Eh, tapi memang Geo bisa mengurus dirinya sendiri, ya?" Bianca bertanya-tanya dalam hati tetapi ia enggan untuk masuk ke kamar mandi.
Saat ragu-ragu untuk membantu, Bianca mendengar Geo berteriak memanggilnya.
"Bi!Bianca!"
"Iya."
"Aku sudah selesai. Berikan celana boxerku!"
Bianca mengangguk dan segera memberikan apa yang Geo minta. Dengan mata kepalanya sendiri, Bianca melihat Geo berusaha memakai celana dalamnya.
"Oke." Geo tampak puas saat ia berhasil. "Sekarang, bantu aku kembali ke ranjang."
Bianca mendekati Geo. Ia menunduk sedikit agar lelaki itu bisa melingkari lengan di bahunya.
Perlahan, Geo duduk di tepi ranjang. Bianca membantu mengangkat kaki-kaki Geo hingga lelaki itu berbaring kembali.
"Kamu belum pakai baju."
"Tidak perlu." Geo menggeleng. "Selimut ini sudah cukup menutupi tubuhku."
Bianca mengangguk lalu membenahi selimut. Ia juga meletakkan tablet di sisi ranjang agar Geo mudah meraihnya.
"Ada lagi yang mau aku bantu?" Basa-basi, Bianca bertanya.
"Iya. Matikan lampu dan tutup tirai. Aku mau tidur."
"Sinar matahari pagi bagus untuk .... "
"Matikan lampu dan tutup tirai!" Geo mengulangi perintahnya dengan nada lebih tinggi.
"Huhftt." Bianca mengembuskan napas kasar lalu menuruti permintaan Geo.
Sekarang kamar jadi gelap. Bagaimana ia bisa bekerja dalam keadaan begini?
Ketika Bianca melihat Geo sudah tertidur, perlahan ia keluar dengan membawa laptopnya. Bianca duduk di lantai di depan pintu kamar Geo.
Tak terasa hampir dua jam berlalu. Bianca meregangkan kedua tangannya ke atas. Lalu memekik tertahan saat melihat seorang lelaki menatapnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?!"
“Kita tunggu Luna buang air besar. Kotorannya akan kita bawa ke laboratorium. Jika hasilnya bagus, Luna bisa rawat jalan saja.”Dokter pergi setelah Bianca dan Geo puas bertanya-tanya. Bianca mengusap sayang kepala Luna yang sudah sibuk mewarnai gambar. Sementara Geo langsung kembali bekerja online.“Geo, aku pinjam ponsel. Mau telepon Bil-Bil. Ponselku low batt." Bianca berkata sambil ke meja, mengisi daya ponselnya dan kembali ke sisi ranjang Luna.Geo mengangguk dan memberikan ponselnya. Bianca membuka ponsel tersebut dengan sidik jari. Begitu layar terbuka langsung terlihat foto seorang wanita cantik berambut hitam yang panjang.Bianca langsung memberengut. Ia mau protes tapi ada Luna di dekatnya. Sambil menahan rasa kesal, Bianca menelepon Billy.Selesai menelepon, Bianca mengembalikan ponsel dengan wajah memberengut. Karena sedang sibuk, Geo tidak memperhatikan istrinya sedang kesal. Ia hanya mengambil ponsel tanpa mengalihk
“Jadi, itu anak-anakmu?”Elara menoleh sedikit dan mengangguk. “Iya, Uncle Edgard.”“Mereka tidak mirip denganmu atau Taylor,” dengus Edgard.Lelaki berumur senja dengan pakaian rapi itu mengamati Blue dan Grey dari jarak agak jauh.“Tapi, Taylor saat itu yakin sudah menukar benih Geo dengan benih kami."“Hmm... kenapa kamu tidak jadi menemani mereka?”Elara mengembuskan napas panjang. “Meskipun wajahku sudah dioperasi total, tetapi aku belum bisa berpura-pura di depan Taylor.”“Kamu sudah sangat berubah. Tidak mirip sama sekali dengan Selina. Kenapa harus takut? Justru ini saat yang tepat untuk tau apa operasimu berhasil mengelabui keluarga Willson.”Elara alias Selina terdiam. Ia mengamati Taylor yang menggendong anak kecil dengan penuh sayang. Ia jadi heran melihat Taylor tampak berubah.Biar bagaimanapun, antara dirinya dan Taylor pernah ada hubungan khusus. Ia yakin meski wajah dan rambutnya berubah, Taylor masih masih mengenali suara dan gerak-gerik tubuhnya.“Aku hanya ingin me
“Elara Nadyne. Asisten kurator museum, Tuan,” jawab Josh saat Geo bertanya pada asisten pribadinya.“Yang mana orangnya?”“Saya kirimkan sebentar. Ada di foto-foto saat Tuan Muda Blue dan Grey datang ke museum.” Josh segera mengirimkan foto Elara yang jelas.Foto wanita cantik berambut panjang yang tersenyum. Geo mengangguk-angguk lalu meminta Josh membalas email dari Elara tersebut.“Email itu dikirim dari email pribadi?” Josh mengerutkan kening. “Bagaimana Elara tau email pribadi, Tuan Geo?”“Kamu tidak memberitahunya?” Geo jadi ikut bingung.“Saya tidak pernah sembarangan memberi data pribadi Tuan.” Josh terdengar kesal. “Tuan tau itu.”“Iya, iya. Maaf, Josh.” Geo terkekeh mendengar nada protes Josh.“Saran saya, jangan dulu dibalas, Tuan. Biar saya selidiki dulu bagaimana Elara ini mendapatkan email Tuan Geo.”“Oke. Aku serahkan padamu.” Geo menutup komunikasinya.Di perusahaan, Josh bekerja dengan cekatan. Ia menelepon penyelenggara museum dan menanyakan tentang tiket gratis. Pan
Beberapa jam kemudian.“Kak, ini Sky kenapa?” Taylor membalik kamera.Geo sempat tegang saat Taylor melakukan video call. Kini, terlihat di kamera wajah putra bungsu – Sky – yang sedang mematung. Wajahnya sedikit memberengut.“Kamu melarangnya sesuatu?” tanya Geo.“Umm... aku cuma bilang dia nggak boleh ke rumah sakit karena di sana tempat penyakit. Nanti bisa ketularan. Terus dia keras kepala mau lihat Luna. Aku tetap bilang nggak boleh.” Taylor menjelaskan.“Ya ituu.”“Apa?” Taylor menggeleng tak mengerti.“Kalau tidak dituruti kemauannya, Sky akan mematung. Memang begitu gaya terbarunya.”“Astagaa.” Taylor menepuk dahinya.“Itu masih mending. Mematungnya di ruang keluarga. Kemarin pernah di taman saat sedang panas. Terpaksa aku turuti.”“Terus? Ini gimana, aku bingung.”Geo terdiam sesa
Josh mengangguk singkat. Ia tetap bersiaga menemani dan menjaga Blue dan Grey.Grey menunjuk lengan robot. “Kalau robotnya salah ambil apel, dia bisa minta maaf nggak?”Blue menoleh ke adiknya cepat. “Robot mana bisa malu, Grey.”Grey mendengus, merasa diserang. “Tapi kadang kamu juga salah ambil apel waktu di kebun Uncle Taylor!”“Aku bukan robot!”“Otaknya kaya robot!”Billy langsung batuk menahan tawa mendengar Blue dan Grey saling bersahutam.Elara membungkuk sedikit ke Grey. “Robot memang tidak punya perasaan. Tapi, Blue pasti punya perasaan bersalah memetik apel yang tidak untuk dipanen... di kebun siapa tadi?”“Uncle Taylor.”“Nah iya. Apalagi perkebunan yang memang sangat tertata.”Josh mengerutkan kening sedikit mendengar percakapan Elara dan si kembar tentang teknologi untuk bercocok tanam. Tapi kemudian teralihkan karena mereka telah berada di ruang panel satelit.“Kalau roket mau keluar dari Bumi, dia harus melewati troposfer dulu kan? Terus stratosfer. Tapi kalau roket ta
Negosiasi Geo yang meminta Luna dirawat di mansion ditolak dokter. Hingga akhirnya, Geo mengajukan syarat untuk menyembunyikan identitas putri mereka dan meminta penjagaan ketat.Saat itu juga Luna di bawa ke ruang perawatan intensif VIP. Saat jarum suntik menusuk nadinya, anak kecil itu bahkan hanya meringis lemah. Luna benar-benar lemas dan langsung tertidur.Sesekali, Bianca mengusap ujung matanya yang berair. Tubuhnya ikut lemas melihat sang putri di ranjang hidrolik dengan piyama rumah sakit.“Sepertinya, malam ini kita gagal pergi ke museum, Blue.” Grey berbisik.Blue mengangguk. “Iya. Gak papa. Mommy dan Daddy pasti harus nungguin Luna.”“Kalau ada Kakek, kita pasti tetap bisa pergi.”“Iya. Atau ada Uncle Taylor.”Blue dan Grey diam di sofa memperhatikan orang tua mereka yang duduk di sisi ranjang Luna. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu, hingga akhirnya pintu ruang perawatan terbuka.Josh datang membawa tas besar. Geo langsung menyambut dan bicara sebentar di p







