Bianca mengerjapkan mata mendengar pertanyaan Geo. Netranya berputar ke sekitar ruangan. Apa ia tidak salah dengar? Apa benar Geo yang bicara dengannya barusan?
“Kamu – Kamu bicara denganku?” terbata, Bianca menatap Geo dengan wajah tegang. “Sejak kapan kamu bisa bicara?”
“A ... Aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu.” Masih dengan ekspresi masamnya, Geo lantas mendengus kasar. “Ke – Kenapa menikah denganku? Mau uang?”
“Uang?” ulang Bianca.
Belum hilang keterkejutan Bianca karena mendengar Geo bicara, sekarang ia lebih terkejut lagi mendengar tuduhan Geo.
Boro-boro bertanya bagaimana Geo bisa bicara, Bianca kini malah panjang lebar menjelaskan bahwa ia hanya bermaksud membantu keluarga Willson.
“Aku tidak per ... caya padamu.”
Pernyataan Geo membuat Bianca melorotkan bahu. Ia sangat ingin bercerita tentang kebusukan Taylor yang berniat menipu keluarga Willson. Tetapi, ia masih perlu mengumpulkan banyak bukti.
“Terserah. Tapi, semua sudah terlanjur. Orang tuamu sudah menikahkan kita dan akan tetap menjalankan rencana untuk memberimu keturunan.”
“Aku ... tidak sudi ... punya anak denganmu!”
Mendengar pernyataan Geo, seketika timbul juga rasa kesal di hati Bianca. Jangankan Geo, ia juga terpaksa melakukan semua ini.
“Bilang sendiri pada orang tuamu!”
Geo tidak berkomentar lagi. Lelaki itu menutup komunikasi dengan kembali memejamkan mata.
Berbagai pertanyaan bersarang di kepala Bianca. Bagaimana mungkin Geo benar-benar bisa memulihkan dirinya sendiri?
Bianca menggeleng samar. Pasti Geo mendapat bantuan. Entah dari siapa.
Penasaran, Bianca mencoba menghubungi Madam Ana. Dahinya berkerut dalam saat nomer telepon yang ia tekan ternyata salah.
“Tidak mungkin aku salah nomer." Bianca menatap heran layar ponselnya.
Mata Bianca melirik Geo yang benar-benar telah tertidur. Ia bahkan dapat mendengar suara dengkuran pelan.
“Benar-benar misterius,” gumam Bianca.
Bahkan semalaman, Bianca tidak dapat tidur nyenyak. Ia terbangun beberapa kali dan mengecek keadaan Geo. Hingga Bianca terjaga oleh suara yang memanggilnya.
“Bi! Bianca!”
Bianca terduduk. Ia baru sadar Geo yang memanggilnya.
“Kenapa?” Bianca segera menghampiri Geo.
“Keluar!”
“Hah?!”
“Keluar! Sekarang!”
Bianca mundur perlahan. Perintah itu sangat jelas ia dengar dengan nada tegas. Apalagi mata Geo terlihat tajam menatapnya.
Cepat, Bianca keluar dari kamar. Sengaja ia masuk ke ruangan persis di samping kamar Geo dan memasang telinga untuk mendengar apa yang akan terjadi.
Beberapa menit kemudian, Bianca mendengar suara langkah kaki. Ia mengintip dari celah pintu dan melihat seseorang masuk ke kamar Geo.
Sayangnya, Bianca tidak dapat melihat ataupun mendengar apa pun karena pintu tertutup rapat.
Dua jam kemudian, Bianca mendengar suara pintu terbuka. Ia segera keluar dan langsung bertatapan dengan lelaki di depannya.
“Kamu ... siapa?” Dengan mengumpulkan keberanian, Bianca bertanya.
Lelaki itu menatap Bianca. Ia tersenyum sedikit dan menunduk santun.
“Nona Bianca.”
“Kamu ... kenal aku?”
Kepala lelaki itu mengangguk. Bianca yang tadinya tegang merasa sedikit lega karena ternyata lelaki itu terlihat cukup ramah.
“Kenalkan. Aku, Josh.”
Bianca menatap uluran tangan itu lalu menyambutnya. “Salam kenal. Kamu, apanya Geo?”
“Saya harus pergi.” Enggan menjawab pertanyaan Bianca, lelaki itu menunduk sedikit, lalu membalik tubuh dan berjalan cepat.
“Tunggu!” Bianca segera menyamai langkahnya dengan Josh. “Aku tebak kamu yang selama ini membantu pemulihan Geo. Iya kan?”
Lelaki itu tidak merespon. Langkahnya bertambah panjang hingga Bianca menjadi sulit mengejarnya. Ia berhenti melangkah, lalu berteriak.
“Aku akan lapor Auntie Marissa kalau Geo sudah bisa bicara!”
Kalimat itu sukses membuat Josh menghentikan langkahnya. Lelaki itu berbalik tubuh dan menghampiri Bianca.
“Tuan Geo tidak ingin ada keluarga yang tau. Tolong rahasiakan sampai beliau .... “
“Apa? Sampai apa?” Bianca bertanya penasaran saat Josh menjeda kalimatnya.
Josh tampak menghela napas panjang, lalu menjawab, “Sampai beliau menginginkannya.”
“Kalau aku nggak mau?” tantang Bianca.
Mata Josh memicing pada Bianca hingga wanita itu merasa takut. Bianca mundur dua langkah.
“Billy – kakakmu, memiliki banyak hutang di perusahaan. Jika kamu angkat bicara tentang keadaan Tuan Gio, beliau bisa memenjarakan kamu.” Josh mengancam. “Jadi, bekerja samalah, Nona Bianca!”
“Hu – Hutang?”
Bianca menatap punggung Josh yang menjauh. Belum sempat ia bertanya, lelaki itu telah pergi meninggalkannya.
Cepat, Bianca masuk ke dalam kamar Geo. Lelaki itu sedang berbaring dan melatih tangan dengan sarung tangan terapi yang dapat menggerakkan jari-jari secara otomatis.
Mereka saling bertatapan sejenak. Sebenarnya, Bianca takut pada sosok Geo. Hanya karena lelaki itu masih berbaring di ranjang ia berani mendekatinya.
“Josh bilang kakakku memiliki hutang. Berapa?”
Geo mendengus pelan lalu mengendik pada tablet di meja. "Berikan itu padaku."
Bianca menurut. Geo terlihat menggulir layar tablet lalu meminta Bianca membacanya. Mata Bianca sontak membulat sempurna.
“Sa – Satu milyar? Untuk apa kakakku meminjam uang sebanyak ini?!”
Ballroom perlahan mulai lengang. Musik yang sejak tadi riang kini berganti menjadi iringan lembut, seolah menutup pesta megah yang baru saja berlangsung. Para tamu berjalan keluar dengan senyum puas, masing-masing menerima sebuah kotak mewah yang sudah ditata rapi di meja dekat pintu keluar.Kotak dalam balutan hitam matte dengan pita abu-abu mengilap. Di dalamnya ada satu set aromaterapi edisi khusus dari Richmont Fragrance, perusahaan wewangian terkenal dunia, lengkap dengan minyak esensial beraroma romantis. Tidak hanya itu, di sudut kotak terletak sebuah diffuser kecil berlapis emas—produksi terbatas dari Gold Dy yang merupakan perusahaan perhiasan kekinian dan memiliki cabang di beberapa negara besar.Seorang tamu berbisik kagum pada istrinya saat berjalan menuju lobi, “Souvenirnya luar biasa. Rasanya ini bukan sekadar hadiah, tapi karya seni.”Komentar itu menggambarkan kesan yang sama yang dirasakan semua tamu. Pesta ini bukan hanya megah, tetapi juga penuh perhatian pada det
Setelah prosesi sakral selesai, suasana ballroom berubah menjadi lebih santai. Musik lembut mengalun, para pelayan sibuk menghidangkan hidangan pembuka di meja-meja bundar yang dihiasi bunga putih-biru elegan. Para tamu, satu per satu, mulai menghampiri Geo dan Bianca untuk mengucapkan selamat.Ketua dan pengurus RT di komplek perumahan tempat Bianca tinggal, menjadi yang pertama mendekat. Pria paruh baya itu tersenyum lebar sambil menyalami Geo.“Selamat ya, Pak Geo, Bu Bianca. Kami baru tau kisah kalian sebegitu harunya.”“Persis film drama, ya.”“Syukurlah kalian bisa bersatu kembali.”Bianca membalas dengan senyum penuh rasa hormat. “Terima kasih banyak, bapak-bapak dan Ibu-Ibu.”Setelah itu, kepala sekolah Blue dan Grey, ditemani beberapa guru, ikut maju. Sang kepala sekolah menyalami keduanya dengan hangat. “Selamat atas pernikahannya, Bu Bianca, Pak Geo. Kami benar-benar turut merasakan kebahagiaan yang ditularkan Blue dan Grey.”Geo mengangguk penuh kebanggaan, matanya melir
Setelah prosesi sakral selesai, suasana ballroom berubah menjadi lebih santai. Musik lembut mengalun, para pelayan sibuk menghidangkan hidangan pembuka di meja-meja bundar yang dihiasi bunga putih-biru elegan.Para tamu, satu per satu, mulai menghampiri Geo dan Bianca untuk mengucapkan selamat.Ketua dan pengurus RT di komplek perumahan tempat Bianca tinggal, menjadi yang pertama mendekat. Pria paruh baya itu tersenyum lebar sambil menyalami Geo.“Selamat ya, Pak Geo, Bu Bianca. Kami baru tau kisah kalian sebegitu harunya.”“Persis film drama, ya.”“Syukurlah kalian bisa bersatu kembali.”Bianca membalas dengan senyum penuh rasa hormat. “Terima kasih banyak, bapak-bapak dan Ibu-Ibu.”Setelah itu, kepala sekolah Blue dan Grey, ditemani beberapa guru, ikut maju. Sang kepala sekolah menyalami keduanya dengan hangat.“Selamat atas pernikahannya, Bu Bianca, Pak Geo. K
Geo maju selangkah, menundukkan kepala hormat pada Billy. Ia melirik Bianca, lalu menoleh pada calon kakak iparnya. “Billy,” suaranya bergetar, namun mantap. “Aku tahu aku bukan pria sempurna. Aku pernah membuat banyak kesalahan… terutama pada keluargamu.”Bianca menatap Geo, matanya melembut, tapi Geo tetap memandang Billy dengan tekad.“Tapi hari ini, di hadapanmu… di hadapan semua orang yang kami cintai… aku berjanji.” Nafasnya terdengar berat, seolah menahan emosi yang menyesak di dada.“Aku berjanji akan menjaga Bianca dengan segenap hidupku. Aku akan membuatnya tersenyum, bahkan ketika dunia tidak berpihak. Aku akan berdiri di sampingnya—dalam senang, dalam susah, sampai napas terakhirku.”Suara Geo sempat tersendat. Jemarinya mengepal, berusaha menahan getaran di tubuhnya. Tamu-tamu terdiam, larut dalam ketulusan yang mengalir begitu nyata dari setiap kata.Bahkan musik latar yang lembut pun terasa seakan ikut berhenti memberi ruang pada janji itu.Billy menarik napas panjang.
Pagi itu hotel bintang lima yang dipilih keluarga Geo telah bertransformasi menjadi istana modern. Bianca tiba bersama Billy, Winda, dan si kembar. Begitu langkahnya sampai di lobby, ia tak kuasa menahan decak kagum.Ballroom besar yang pintunya terbuka memperlihatkan kemegahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Langit-langit tinggi dihiasi lampu kristal yang memantulkan cahaya putih lembut ke permukaan marmer mengilap. Warna dominan putih memberi kesan bersih dan megah, sementara detail biru dan abu-abu membuat ruangan itu anggun sekaligus menenangkan.“Mommy, lihat! Ada bunga biru!” Grey berlari kecil ke arah pintu ballroom, menunjuk rangkaian hydrangea biru muda yang disusun memanjang di dinding.Bianca tersenyum, menggenggam tangannya. “Iya, sayang. Cantik sekali, ya? Seperti di negeri dongeng.”Blue yang ikut mengamati menambahkan polos, “Seperti Frozen. Tapi ini untuk mommy dan daddy.”Billy menepuk pundak adiknya, menahan tawa kecil. “Kamu benar-benar beruntung, Bi. Jara
Begitu kabar bahwa Marissa dilarikan ke rumah sakit terdengar, Bianca langsung panik. Ia bahkan tidak sempat menanyakan detail pada Atrick yang menelpon. Dengan tergesa, ia mengajak Blue, Grey, dan Billy ikut bersamanya. semua bergegas bersiap-siap ke rumah sakit dengan wajah cemas.“Jaga Bianca. Sebenarnya, tidak baik bagi calon pengantin keluar malam-malam begini.” Windy berbisik pada Billy.Billy mengangguk. Ia mencium kepala Narren dan segera berpamitan.Sepanjang perjalanan, Bianca menggenggam erat tangan kedua putranya. Mobil terasa terlalu lambat meski supir melaju cukup cepat. Blue menatap wajah mommy-nya yang tegang, sedangkan Grey berulang kali menarik lengan baju Bianca.“Mommy, Grandma Marissa nggak apa-apa kan?” tanya Grey, suaranya nyaris pecah.Bianca mencoba tersenyum meski hatinya bergemuruh. “Grandma orang kuat, sayang. Kita doakan supaya beliau cepat pulih, ya.” Ia meremas tangan kecil mereka, berharap ketenangan yang ia pura-purakan bisa menular.Setibanya di ruma