Nyeri itu terasa di dalam sini. Ini pertama kalinya Mas William membentak dan berbicara dengan nada tinggi seperti ini."Tapi kata-kata Alex sudah keterlaluan, Mas. Aku sudah mencoba bersabar dan menerimanya selama ini. Tapi tadi—""Bersabar sedikit lagi apa enggak bisa, hm?" potongnya cepat dengan suara pelan, tapi tegas. "Bukannya kamu sendiri yang bilang akan berusaha keras merebut hatinya? Kamu juga bilang akan terima Alex seperti anak kandungmu sendiri, bukan? Apa dengan bentak-bentak dia seperti tadi, Alex akan luluh? Enggak akan, Lusi!"Aku diam. Menggigit bibir bawah yang bergetar dengan pandangan mata yang mulai buram karena terhalang air mata."Alex enggak bisa kamu dekati dengan cara kasar, Lusi. Enggak bisa!""Tapi Alex selalu menghinaku, Mas. Mas enggak tahu 'kan, kalau Alex selalu berkata kotor padaku? Itu karena aku sengaja enggak pernah ce
Aku yang sempat menangis sambil meringkuk memeluk lutut pun akhirnya bangun. Beranjak turun dari ranjang seraya menghapus jejak-jejak air mata dari wajah. Keram di perut pun sudah menghilang.Aku turun menuju dapur untuk mengambil air putih hangat. Tak terlihat ada Mas William di sini, tapi melihat pintu kamar Alex yang terbuka sedikit, aku yakin dia ada di sana.Kuputuskan untuk tidak kembali ke atas dan memilih tidur bersama Alva saja. Memeluknya erat sambil kembali menangis dalam diam.Kenapa rumah tanggaku selalu berjalan dengan tidak mudah seperti ini? Kupikir, kehidupanku dengan Mas William tak akan seberat saat hidup bersama Bang Leon. Ternyata, itu semua hanya harapan saja karena yang terjadi di masa depan selalu di luar dugaan.Sekitar pukul setengah tiga malam, aku terbangun kembali. Pergi ke kamar utama untuk mengambil mukena juga sajadah, dan ternyata sudah ada Mas William tidur di sini. Dengan langkah hati-hati, kuambil peralatan salat dari sofa, lalu bergegas keluar lagi
Aku tengah membuatkan susu untuk Alva di dapur, ketika kulihat Alex menghampiri Mas William yang sedang menonton televisi."Pah, ini dari guru." Alex menyerahkan selembar kertas yang dilipat-lipat."Apa ini?""Besok ada rapat orangtua. Salah satu dari Papa atau Mama harus datang."Mas William diam seraya membaca surat itu untuk beberapa saat. "Kamu minta Mama saja yang datang, ya. Besok Papa sama Kakek harus kontrol ke kantor cabang yang ada di Bandung. Enggak apa-apa, kan?""Jadi, Papa enggak bisa datang?" Alex terlihat sedih."Iya, Lex. Perusahaan lagi kena masalah. Jadi, papa enggak bisa datang kali ini. Minta Mama saja, ya.""Ya udah." Alex menyahut pasrah."Kamu sudah kasih tahu Mama belum?""Belum.""Ya sudah. Kamu telepon Mama sekarang, ya. Bilang Papa engg
"Mas," panggilku lirih.Mas William yang menyandarkan kepala di tepi ranjang sembari memegang satu tanganku pun akhirnya bangun. Menatap khawatir dengan genggamannya yang terasa semakin erat."Kamu sudah sadar, Sayang." Satu tangan lainnya mengusap kepala ini dengan lembut."Aku kenapa?" tanyaku seraya memindai ke sekeliling ruang perawatan."Kamu pingsan, Sayang. Kamu sudah buat mas panik dan takut tadi." Mas William menciumi tanganku yang digenggamnya."Dari tadi pagi kepalaku memang pusing, Mas.""Kenapa enggak bilang? Kalau ada apa-apa sama kamu dan calon bayi kita, gimana?" Mas William menatap khawatir dengan bola matanya yang bergerak-gerak gelisah memindai wajahku."Kita 'kan belum baikkan, Mas. Aku takut Mas abaikan lagi jadi lebih memilih diam saja," lirihku dengan mata kembali berkaca-kaca."Sayang ...." Raut wajah khawatirnya berubah sendu dengan gurat penyesalan terlihat jelas dari sorot matanya. "Maafin mas." Mas William bangkit dan membungkuk untuk mengecup kening ini. M
Mas William sudah berangkat lebih awal tanpa sarapan karena dia harus pergi bersama Papa ke Bandung untuk bertemu klien penting. Sementara, Alex sendiri akan diantar-jemput oleh sopir pribadi papa mertua.Ketika hendak menghampiri Alva yang sedang asyik bermain sendiri di depan televisi, langkah ini terhenti di dekat kamar Alex. Aku merapat ke dinding. Mengintip dari celah pintu yang terbuka dan mendapati dia tengah menelepon dalam posisi membelakangi."Papa enggak bisa hadir, Ma. Papa lagi ke Bandung sama Kakek.""....""Aku malu sama guru kalau Papa atau Mama enggak ada yang datang.""....""Emangnya Mama kenapa enggak bisa? Semalam kata Mama, Mama akan hadir," lirih Alex."....""Ya udah," sahutnya pasrah. Alex terlihat lesu setelah mengakhiri sambungan teleponnya.Bergegas aku per
Sudah kukirimkan foto luka di kening Alva, juga foto ketika dokter tengah mengobati luka sobeknya pada Mas William, tapi dia tak langsung membaca dan membalas. Mungkin masih sibuk dengan kliennya. Usai diberikan penanganan dan juga menebus obat, Alva kubawa pulang. Dia tertidur karena lelah menangis. Bahkan, sisa isakan itu masih terdengar jelas.Baru saja kubaringkan Alva, ponsel di saku gamis bergetar. Ada pangilan masuk dari Mas William."Assalamu'alaikum, Sayang.""Wa'alaikumsalam, Mas.""Kenapa Alva bisa luka begitu?""Enggak tahu, Mas. Aku belum sempat tanya sama Alva, karena dari tadi dia jerit-jerit dan nangis kesakitan. Tadi itu aku tinggal sebentar berdua dengan Alex di bawah untuk pergi ganti baju. Tapi tahu-tahu sudah begitu.""Kamu nyangka kalau Alex yang sudah buat Alva terluka?""Bukan, Mas. Aku enggak bilang begitu. Aku hanya jelaskan kalau tadi sempat ditinggal berdua pas kejadian itu," jelasku ketika mendengar ada ketidaksukaan dari nada bicaranya."Bagaimana keadaan
"Tante enggak bermaksud ganggu. Dari tadi Tante sudah coba ajak kamu ngomong baik-baik, tapi kamu enggak peduli."Dengan wajah cemberutnya, Alex kembali menyalakan play station itu, tapi kumatikan lagi hingga dia semakin menatap benci."Mau Tante apa, sih? Sana! Keluar dari kamarku!" Dia mendorong tubuhku sampai mundur selangkah."Apa yang kamu lakukan pada Alva tadi?" tanyaku tetap tenang."Enggak ngapa-ngapain! Emangnya aku ngapain dia?" Alex membuang muka seraya melipat kedua tangannya di dada."Bener kamu dorong dia sampai luka begitu? Kenapa, Lex?""Enggak!" bantahnya cepat."Tolong jujur, Alex. Kenapa kamu sampai tega dorong adik kamu sendiri? Dia itu—""Udah kubilang dia itu bukan adikku!" tukasnya dengan nada tinggi."Iya. Maksud tante ... dia itu masih kecil, Lex. Dia b
See? Dugaanku benar."Aku enggak marahi. Aku justru bertanya padanya dengan lembut dan baik-baik. Justru Alex sendiri yang berteriak kasar padaku, Mas," balasku tenang."Tapi bukan berarti kamu bisa semudah itu menyalahkan Alex karena lukanya Alva," debatnya masih dengan nada datar."Memang itu faktanya, Mas. Alva sendiri yang bilang, kalau dia didorong sampai kebentur meja karena mau ngajak main.""Bisa saja Alva salah paham. Dia itu masih sangat kecil. Yang enggak sengaja, bisa saja dibilang sengaja.""Justru karena dia masih sangat kecil, Mas, aku percaya dia enggak akan bohong," balasku dengan hati berdesir perih."Ok. Kita anggap saja kalau memang Alex yang salah karena sudah dorong Alva. Tapi bukan berarti kamu bisa kasar padanya, dong. Kenapa kamu sampai tega nyubitin lengannya sampai biru-biru?"Sontak aku me