Share

Terlilit Hutang

Penulis: Anna Sahara
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-19 19:38:17

Tidak seperti yang diharapkan Jihan, Bram justru melewati istrinya ketika akan memasuki rumah kontrakan tersebut. Aura yang dipancarkan pria itu juga terlihat berbeda dari hari sebelumnya. Mereka seperti orang asing saja, bertemu tanpa saling bertegur sapa.

"Bram ...!" Jihan segera mengejar suaminya. Dia juga berusaha menepis prasangka buruknya saat ini agar bisa bicara dengan kepala dingin.

Tampak jika Bram mempercepat langkahnya menuju kamar. Di sana dia mengeluarkan beberapa lembar pakaian dan langsung memasukkannya ke dalam koper mini.

"Bram ... kamu mau ke mana?" Jihan bertanya dengan khawatir. Dia belum mendapat penjelasan apapun, tapi suaminya sudah lebih dulu mengabaikannya.

Apa lagi yang terjadi?

"Aku ada urusan penting." Bram menarik seretan koper miliknya. Setelah itu, dia menatap Jihan yang nyaris menangis. "Tidak usah menghubungiku dulu, kepergianku sekaligus untuk menenangkan diri."

"Menenangkan diri?" Jihan menatap heran suaminya. Harusnya dia yang butuh penenangan, tapi kenapa justru Bram yang beralasan demikian.

"Ya, aku ingin menenangkan diri dari pengkhianatan yang sudah kamu lakukan," tuduh Bram dengan beringas.

"Apa maksudmu?" Jihan merasa dia adalah korban, tapi Bram malah memutarbalikkan keadaan.

Siapa yang bersalah sebenarnya?

"Tidak usah berpura-pura polos lagi!" Bram segera mendekati Jihan, lalu mencengkram bahu istrinya itu. "Ke mana kamu tadi siang? Siapa pria yang bersamamu dan ke mana kalian pergi?" tanya Bram dengan emosi.

Seketika ingatan Jihan tertuju pada Sam. Pria itu yang telah membawanya ke dalam sebuah tempat yang tidak diketahuinya. Entah apa yang terjadi, Jihan tidak mengingat kejadian apapun setelah dia pingsan di halte bis.

Belum juga bersuara, Bram sudah menuduh dengan membabi buta. "Katakan padaku, apa yang kamu lakukan dengan Sam? Apa kamu sudah bersenang-senang dengan pria itu? Apa aku tidak cukup memuaskanmu?"

"Bram, itu tidak benar, aku tidak melakukan apapun dengan Sam. Itu tidak mungkin terjadi."

Jihan mulai menangis. Namun, air mata yang mengalir di pipinya tidak membuat Bram merasa iba. Pria itu justru semakin kesal.

"Tidak usah banyak alasan kamu. Tidak usah tunjukkan air mata palsu itu!" Dengan kasar, Bram melempar tubuh Jihan ke tempat tidur, lalu menunjuk wajah wanita di depannya. "Aku tahu kamu adalah wanita yang digilai banyak pria. Ya, banyak pria di luar sana yang ingin menikah denganmu dan Sam adalah salah satunya, tapi sekarang kamu harusnya sadar diri dengan statusmu sebagai seorang istri."

Mendengar kata status, Jihan mulai berani untuk membela diri. Dia menantang. "Lalu bagaimana denganmu, apa kamu tidak pernah sadar dengan statusmu itu? Kamu lebih ...."

Sebelum Jihan melanjutkan ucapannya, Bram sudah mencengkram mulutnya. Jihan pun kesulitan untuk bicara.

Bram tengah dikuasai emosi. Dia merasa paling benar dan apa yang baru saja diucapkan Jihan menurutnya adalah sebuah pengakuan. Ya, sebuah pengakuan pengkhianatan yang membuat Bram kian berapi-api.

Sambil meremas mulut Jihan, Bram mulai melontarkan penghinaan. "Wanita tidak tahu diri, wanita rendahan, harusnya aku tidak pernah jatuh cinta padamu, harusnya aku tidak menikahi wanita sepertimu, tapi aku masih bisa bersyukur, sebelum mengenalkanmu pada keluargaku, aku sudah lebih dulu mengetahui belangmu yang sesungguhnya."

Sepasang suami istri semakin terlihat tegang.

Dari ruang tamu, Farouk dapat mendengar pertengkaran itu. Dia tersenyum puas. 'Ini lebih baik daripada Bram bertahan dengan wanita kampung seperti Jihan,' ucapnya dalam hati.

Bram merasa dikhianati setelah mendapatkan kiriman video dari Sam di mana teman dan istrinya sedang berduaan di sebuah kamar. Di atas sebuah ranjang, posisi keduanya juga terlihat intim, dan hanya ditutupi oleh selembar selimut.

Sedangkan Jihan juga baru saja mengetahui tingkah laku suaminya yang selama ini hobi bergonta-ganti pasangan. Dia belum sempat bertanya secara langsung, tapi suaminya itu sudah lebih dulu melayangkan fitnah yang begitu kejam.

Tanpa memberi kesempatan bicara, Bram meninggalkan Jihan. Dia bersama dengan asistennya memasuki sebuah mobil mewah.

"Apa kamu sudah memastikan keasliannya?" Bram bertanya pada Farouk. Di hadapan Jihan, dia bisa terlihat kasar dan berapi-api, tapi bersama dengan Farouk, dia masih tampak ragu.

"Semuanya asli, Bram, dan aku juga sudah mengecek tempat itu, bahkan Sam sendiri sudah mengakuinya secara langsung jika mereka berdua telah ...." Farouk tidak melanjutkannya lagi karena itu hanya akan menyakiti perasaan sahabat sekaligus atasannya itu.

Pikiran Bram sedang kacau, jadi dia tidak begitu peduli dengan ucapan Farouk. Dia hanya bertanya untuk memastikan. "Apa menurutmu tindakanku ini sudah benar?"

Bram sedikit ragu. Mungkin cintanya yang asli sudah tumbuh untuk Jihan hingga dia merasa bersalah menyakiti istri yang baru dinikahinya itu.

"Seharusnya kamu langsung menceraikannya saja, Bram!" Farouk menjawab dengan tegas. "Menurutku, berpisah adalah keputusan yang paling tepat."

***

"Jihan sedang hamil, itu adalah hasil pemeriksaan sementara dari dokter." Di dalam pertemuan di sebuah kafe, Sam memberitahu diagnosis dokter pada Nafa. "Aku belum memberitahukan ini pada Jihan, tapi lambat laun dia pasti mengetahui kehamilannya, dan sekarang tugasmu adalah segera melenyapkan bayi itu?"

"Kenapa kamu tidak melakukannya sendiri?" Nafa merasa tindakan kali ini terlalu beresiko.

Sam mendengus kesal. Peristiwa tadi siang benar-benar membuatnya marah, tapi di hadapan Jihan, dia benar-benar menutupi perasaannya itu.

Setelah mengetahui Kehamilan Jihan, Sam sama sekali tidak banyak bertindak pada wanita itu. Dia hanya melakukan sesuatu yang bisa membuat hati Bram panas dan akhirnya kedua sejoli itu berpisah dengan sendirinya.

Namun demikian, Sam tidak dapat menerima kehadiran bayi dalam kandungan Jihan. Mungkin cintanya juga besar pada wanita itu, tapi untuk menerima darah daging Bram, itu tidak bisa dinegosiasi.

"Kamu sudah berduaan dengan Jihan, harusnya kamu lakukan saat itu juga, bukankah kesempatan yang kamu miliki lebih besar, kenapa masih mengharapkan aku lagi?" tukas Nafa dengan wajah merengut.

"Aku hampir melakukannya, tapi gagal," balas Sam dengan ketus. Minuman yang diserahkannya pada Jihan telah dicampur obat penggugur kandungan, tapi wanita incarannya itu sudah lebih dulu menolak. Bahkan meninggalkannya sebelum menyentuh botol minuman.

*

Pukul 10 malam, Jihan tiba di rumah sakit, tempat ayahnya dirawat. Sebelum memasuki ruangan rawat inap, dia terlebih dulu membetulkan riasan wajahnya.

Jihan tidak ingin berbagi kesedihan dengan ibunya. Ini adalah pilihan hidupnya sendiri yang telah berani berbohong pada kedua orang tuanya.

"Jihan, kamu sudah datang." Sona tampak senang melihat Jihan berkunjung. Dia langsung meraih kedua tangan putri tunggalnya itu. "Ayahmu sedang kritis, dokter bilang kondisinya sangat parah, kemungkinan ayahmu ...." Sona tidak bisa melanjutkannya, dia sudah menangis sesenggukan.

"Apa yang terjadi, Bu?" Jihan menatap ke arah ayahnya yang sedang berbaring lemah itu.

Merasa malu dengan kelakuan suaminya, Sona memilih menutupi keadaan yang sebenarnya. Dia bahkan rela menutupi keburukan sang suami yang hobi berfoya-foya di luar sana dan akhirnya menggadaikan anak mereka satu-satunya.

"Sebenarnya, kami terlilit hutang selama ini, dan hari ini, tuan tanah yang meminjamkan uang pada ayahmu datang menagih, karena kami tidak bisa membayar atau mencicilnya, ayahmu menjadi bulan-bulanan para preman bayaran itu," jelas Sona sambil menangis.

"Berapa hutang ayah, Bu?"

Jihan memiliki sedikit tabungan karena selama ini dia juga bekerja di sebuah pabrik roti. Dengan uang simpanan itu, dia berharap hutang-hutang kedua orang tuanya bisa terselesaikan.

Sayangnya, Jihan tidak menyangka jumlah uang yang telah diambil ayahnya bernilai sangat tinggi dan jelas tidak terjangkau oleh orang kecil seperti mereka.

"Apa kamu punya banyak uang?" Tentu saja Sona ragu. Total jumlah hutang suaminya bukan sedikit. Entah berapa orang yang ingin memiliki Jihan, suaminya akan selalu mengiyakan asal mendapatkan uang yang banyak.

"Sebutkan saja, Bu!" desak Jihan.

"Sepengetahuan ibu sekitar 10 milyar, tapi itu belum pasti, Jihan," kata Sona sambil menundukkan kepala.

"Apa ....?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KETIKA UCAPAN SUAMIKU BERUBAH JADI DOA   Aku Memanggil

    Jihan tidak berharap masa seperti ini terulang lagi. Kembali duduk berduaan bersama Sam, itu adalah sebuah malapetaka bagi Jihan."Ayo minum tehnya!" sambil mengangkat gelas minumannya, Sam berkata pada Jihan. "Teh di sini sangat enak, sayang jika kamu lewatkan," lanjutnya dengan polos. Seperti tidak mengenal lelah, Sam masih saja bersikap sama pada Jihan. Penuh ambisi untuk mendapatkan perhatian wanita itu.Sudah tentu Jihan mengabaikan ucapan Sam. Alih-alih minum bersama, dia langsung bertanya pada intinya. "Malam itu, bukankah kamu yang mengantarkan aku ke rumah sakit?" tanya Jihan dengan penuh selidik. Jihan ingat bagaimana perjuangan Sam yang masih datang membujuknya meski kondisinya dalam keadaan hamil. Dalam kondisi kurang fit juga Jihan terpaksa dilarikan ke rumah sakit hingga harus melahirkan secara prematur.Seperti biasa, Sam selalu terlihat tenang. Tidak ada perasaan bersalah dalam dirinya. Setelah meletakkan gelas di atas meja, dia berkata pelan, "Ya, aku lah yang memb

  • KETIKA UCAPAN SUAMIKU BERUBAH JADI DOA   Pertemuan Yang Ingin Dihindari

    Jihan sontak menghentikan langkahnya. Suara pria di depan sana terdengar familiar baginya. Dan sejujurnya, dia sudah tidak ingin bertatap muka lagi dengan pria yang sangat dibencinya itu. Akan tetapi, ketika ingatan Jihan tertuju pada anaknya, sesuatu yang mengganjal dalam dirinya kembali berkecamuk. Ada satu hal yang membuat Jihan harus bertemu kembali dengan pria itu. "Ada apa, Jihan?" bibi Mary menegur saat melihat Jihan mematung. "Bagaimana kalau aku tunggu di luar saja, Bibi?" Jihan beralasan, lalu berpura-pura sibuk memandangi ponselnya. "Kenapa?" Tidak ingin membuat kegaduhan di depan bibi Mary, Jihan kembali membuat alasan yang baru. "Aku lupa, ternyata ada banyak pesan yang harus segera aku balas. Biarlah bibi sendiri yang masuk ke dalam, aku akan menunggumu di luar." "Kamu tidak bohong kan?" bibi Mary mulai terlihat curiga dengan gelagat Jihan. "Kamu tidak sedang menghindar dari tamu itu?" "Tentu saja tidak, Bibi." Jihan melebarkan senyumnya yang lembut, lalu

  • KETIKA UCAPAN SUAMIKU BERUBAH JADI DOA   Dari Kota Yang Sama

    "Aku salut melihat kesetiaanmu, begitu banyak datang tawaran padamu, tapi kamu masih saja bertahan dengan Alex," kata Ariel yang sudah berulang kali mempengaruhi Jihan. "Aku tidak tertarik," hanya itu yang diucapkan Jihan. Dia berjalan cepat menuju mobil. "What ...?" Ariel tercengang dengan pengakuan singkat itu. "Dihadiahkan pulau dan uang ratusan milyar masih tidak membuatmu tertarik." Karena Jihan telah meninggalkannya, Ariel pun mengejar. Baik Jihan dan Ariel sama-sama duduk di bangku penumpang. Seorang sopir mengemudikan mobil setelah Ariel memberi perintah. Jihan dengan pikirannya sendiri membuang muka ke samping. Dia terlalu bosan untuk membicarakan masalah kesetiaan mereka pada Alex. Jika bukan karena ibunya berada di tangan Velove yang merupakan anak buah Alex, mana mungkin Jihan bertahan dan mengabdikan hidupnya untuk seorang kriminal seperti Alex. Masih penasaran, Ariel menggoda lagi. "Mengingat bisnis Alex yang tidak seluruhnya bergerak secara legal, apa kamu

  • KETIKA UCAPAN SUAMIKU BERUBAH JADI DOA   Sang Pemikat

    "Segera bawa Jihan keluar dari negara itu!" Melalui panggilan telepon, Alex memberi perintah pada Simon."Kenapa begitu, Lex?" Simon protes. Masih ada tugas yang harus mereka kerjakan dan sebagai salah satu pelatih Jihan, dia rasa wanita itu adalah orang yang pantas untuk menjalankan misi berikutnya."Turuti saja perintah dariku, tidak usah banyak tanya!" Setelah mengatakan itu, Alex memutuskan panggilan secara sepihak. Dia sangat mengenal perangai Bram yang dulu. Pria itu sangat berambisi untuk mendapatkan wanita yang diinginkannya. Karena sejak awal hubungan mereka terjalin dengan baik, Alex pun tidak ingin bermasalah dengan temannya itu.Pada sore hari, Bram dan Mikha tiba di kota Bangaria. Keduanya disambut oleh anggota keluarga dengan sukacita."Akhirnya kamu pulang juga." Freya memeluk putri bungsunya itu. "Mama sangat mengkhawatirkanmu selama setahun ini, kamu bahkan melarang kami untuk mengunjungimu, entah apa maksudmu melakukan hal bodoh itu," lanjutnya dengan sedikit kesal

  • KETIKA UCAPAN SUAMIKU BERUBAH JADI DOA   Tidak Ada Satu Orang Pun Yang Boleh Merebut Jihan

    "Untuk apa kamu melihatnya?" Jihan menegur dengan kesal. "Apa kamu tidak pernah melihat orang yang berciuman?" "Aku hanya memastikan saja." Ariel tersenyum hambar melihat ekspresi Jihan."Memastikan apa maksudmu?" Jihan semakin geram dengan sikap rekannya itu."Aku kira pria itu sungguh-sungguh menyukaimu tadi, tapi ternyata perasaannya sangat cepat berubah." Ariel menghidupkan mesin mobil dan bersiap meluncur.Sedangkan Jihan bersandar santai sambil melipat kedua tangan di dada. "Kurang kerjaan saja." Seperti apapun perasaan Jihan saat ini, dia berusaha menekan emosinya di hadapan Ariel.Ketika hendak mendaratkan sebuah ciuman, tiba-tiba bayangan Jihan muncul dalam pikiran Bram. Segera dia menarik dirinya untuk menjauh."Maaf ...!" ucap Bram dengan suara yang lirih."Kenapa ...?" Mikha merasa kecewa.Lagi-lagi Bram merasa sangat buruk. Berkali-kali sudah dia ingin melakukan hal yang sama, tapi selalu saja gagal. Sebuah peringatan akan selalu muncul bahwa dia tidak boleh melakukan

  • KETIKA UCAPAN SUAMIKU BERUBAH JADI DOA   Kecurigaan

    "Bukankah itu Jihan?" Mikha begitu yakin. Sebelum Bram menjawab pertanyaannya, dia sudah lebih dulu mengambil keputusan. "Tolong ambil obatku, aku mau ketemu Jihan dulu.""Ah ... baiklah." Bram tampak pasrah walau sebenarnya ingin melarang pertemuan di antara kedua wanita itu.Mikha segera berjalan mendekati Jihan. Antusias gadis itu begitu tinggi. Sebelum meninggalkan negara itu, dia ingin bertukar telepon dan juga meminta alamat Jihan di tanah air. Dengan begitu, mereka masih bisa menjalin pertemanan di lain waktu.Akan tetapi, angan itu seketika buyar tatkala Mikha melihat jaket yang dikenakan oleh Jihan. Itu sama persis dengan milik Bram saat mereka memasuki rumah sakit tersebut."Kenapa Jihan memakai jaket Kak Bram? Bukannya tadi Kak Bram bilang sedang dilaundry?" Sembari berpikir, langkah Mikha terhenti sesaat. Dia ingat Bram menggunakan jaket, sedangkan Jihan hanya menggunakan kemeja berwarna abu-abu. Dia juga ingat Bram menghilangkan diri tepat ketika mereka akan memasuki ru

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status