"Dewa Hereus Yang Maha Bijaksana, Dewa Soloden Yang Maha Agung, Dewi Artenes Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hari ini dua jiwa ingin bersatu. Kekalkanlah mereka ... berkatilah selama-lamanya," ucap Pontifex pada air terjun kecil dengan kolam jernih di bawahnya.
Itu adalah air ajaib yang konon katanya diberikan oleh para dewa. Tidak pernah keruh atau berlumut.
Pontifex berbalik menghadap ke dua insan itu. Yang di sebelah kirinya adalah Yang Mulia Raja Ditrian. Memakai baju mewah dan jubah termahal dari bulu musang biru yang langka. Gagah sekali.
Tetapi mempelainya hari itu, meskipun sudah dipakaikan gaun pengantin satin sutera berkelas, dengan sulaman emas daun di sana-sini, tetap buruk. Bahkan meski sudah ditutupi tudung pengantin, tetap bisa kelihatan kalau dia ini jelek sekal
Mencintai Sheira?Itu terngiang-ngiang dalam kepalanya. Selama menunggang kuda dari pelataran kuil hingga sampai ke komplek istana. Ucapan Pontifex tadi benar-benar melekat di otak. Setidak diinginkannya pernikahan itu oleh orang-orang. Ya bangsawan, Pontifex, bahkan Sheira sendiri. Hanya titah kaisar saja. Yang katanya itu dari dewa. Dia menebak, kaisar juga pasti masa bodoh Ditrian mau menikah dengan siapa. Atau bisa jadi memang betul, Kaisar Julius menikahkannya dengan Sheira hanya untuk menghinanya.Sebenarnya, apa yang sedang direncanakan oleh para dewa?Sesampainya di istana utama, salah satu pegawai istana mengatakan bahwa beberapa bangsawan tengah menunggunya. Ditrian menolak menemui mereka, karena sudah pasti orang-orang itu ingin mencecarnya.
Tepat waktu! Ditrian meraih tubuh mungil Sheira dan memeluknya, menarik ke belakang hingga mereka berdua terjatuh bersama di lantai balkon.Mungkin agak lama Ditrian mendekapnya. Erat sekali. Matanya memejam kuat dengan perasaan takut memenuhi kalbu. Dia terengah, tubuhnya nyaris gemetar."Apa yang kau lakukan?!" serunya cemas dengan suara parau.Tidak ada jawaban dari Sheira.Saat Ditrian membuka matanya, ia memperhatikan lekat-lekat. Wajah cantik wanita itu menatap kosong. Melamun. Seperti mayat hidup.Sementara itu angin kencang masih menghantam balkon. Dingin. Kulit Sheira juga nyaris beku."Sheira?" tanyanya. Wanita itu hanya d
"Berhutang?" tanya Everon. "Kau yakin?"Ditrian tidak menggeleng, tidak mengangguk juga."Berapa banyak?""Sampai semua orang bisa makan."Everon menghela nafas berat. "Mungkin partai bangsawan akan paham. Tapi kalau rakyat bagaimana? Kau harus meminta pajak dua kali lipat nantinya. Mereka itu bangga sekali padamu, pada kerajaan. Dewan Rakyat bisa menentang ini.""Aku akan buat mereka mengerti. Ini juga adalah usulanku. Toh ... ini cuma sementara. Saat ini yang paling mendesak adalah mengisi perut rakyat. Aku tidak mau membiarkan mereka kelaparan."Everon terlihat berpikir."Jika k
"T-Tuan Putri ... apa Anda benar-benar tidak mau menemui Yang Mulia?""Suruh dia pergi," ketusnya. Mata perak Sheira masih menancap tajam pada buku di depannya."Baik ...," Lady Emma mengangguk pasrah.Sudah hampir dua minggu. Akhirnya Putri Sheira mau makan dengan teratur dan baik. Dia juga sudah mau bicara sedikit demi sedikit. Meskipun dia tidak mau lagi menemui atau melihat sehelai rambut Raja Ditrian.Pria itu juga beberapa kali ingin menemuinya di siang bolong. Namun selalu ditolak oleh Sheira.Sebenci itu?Tentu saja dia sudah sebenci itu pada Ditrian! Sampai ke tulang-tulang! Sebelum mereka bertemu, sebelum mereka menikah, S
"Aku sangat merindukanmu," ucap Evelina dengan wajah cantik yang memelas. Gadis itu dan Raja Ditrian sedang berada di gazebo gading paviliun rumah kaca. "Aku khawatir padamu, sayang."Entah sejak kapan Evelina mulai berani memanggilnya dengan sebutan itu. Mereka sudah berhari-hari tidak bertemu. Ditrian sangat sibuk akhir-akhir ini."Aku tidak apa-apa, Lady," jawab Ditrian tenang. Sebuah senyum simpul tercipta di bibir merah alaminya."Tapi ... aku benar-benar khawatir," suara Evelina agak bergetar, seperti mau menangis. Jari-jarinya yang lentik menyeka ujung matanya yang tidak basah sama sekali. "Aku tahu kau pasti sangat lelah."Evelina menggenggam tangan kanan Ditrian dengan kedua tangannya.
"Apa maksudmu? Aku tidak pernah menuruti keinginan bocah tengik itu!"Sheira menghela nafas sejenak. "Bukan begitu. Kau tahu kan, Kerajaan Galdea dan Kekaisaran Revendel telah menjadi musuh bebuyutan selama berabad-abad?""Ya .... Lalu?""Kau pikir, kenapa tiba-tiba sekarang kalian bisa memenangkan perang?"Ditrian menggaruk kepalanya, tepat di belakang salah satu telinga anjing hitamnya."Mereka bilang karena aku yang mengambil alih pasukan kekaisaran ...," ucapnya tidak enak. Dia tidak bisa narsis.Sheira mengangguk-angguk. "Yah, karena itu juga sih. Tetapi, alasan yang lebih kuat adalah ... karena terjadi perebutan kekuasaan di kerajaan kami.""Perebutan kekuasaan?""Saat ayahku, mendiang raja terdahulu wafat, kakakku Reghar naik tahta. Partai bangsawan mendukungnya. Tetapi, paman kami, adik ayah tidak setuju. Dia menginginkan tahta kerajaan. Para bangsawan tidak menyukai paman, karena dia dinilai tidak mampu menjalankan pem
Seikat mawar merah, di atas tempat tidur selirnya. Seikat mawar merah yang katanya dari Grand Duke Everon. Bagaimana benda itu bisa ada di atas ranjang selirnya? Bagaimana bisa sampai ke sana?Semalaman Ditrian memikirkan itu, saat kembali ke kamarnya. Hingga pagi ini.Wajah Grand Duke Everon yang segar dan serius tengah menjelaskan dokumen-dokumen soal benih dan jumlah hutang yang kemungkinan akan mereka ajukan."Lumayan banyak, Yang Mulia. Kita akan bisa melunasi hutang itu dengan menaikkan pajak dua kali lipat dalam waktu lima tahun."Dan ... entah bagaimana, Grand Duke Everon menjadi gugup. Sedari tadi Raja Ditrian menatapnya tidak suka. Tidak biasanya. Kesalahan apa yang sudah dia perbuat?"Dua kali lipat pajak? Kau mau Direwolf di seluruh kerajaan kelaparan?!" tukas Raja Ditrian dengan nada jengkel. Beberapa bangsawan yang bersama Grand Duke Everon saling bertatap."T-tapi ... bagaimana kita akan membayar hutang jika kita tidak menaikk
Selama ini, Ditrian baru sadar. Helaian itu memang terlihat seperti benang-benang emas yang berkilau. Lembut dan halus bagaikan langit senja yang mengalir seperti sungai."Maksudmu ....""Aku adalah keturunan dari Rapunzel di cerita dongeng itu."Ditrian lengang. Dia masih sangsi."Kau ingat menara di hutan Galdea Timur yang diceritakan oleh Sir George?" pria itu mengangguk. "Kuyakin ... itu adalah menara Rapunzel.""Lalu? Jika kau memang keturunan Rapunzel, bagaimana kau akan membuka wilayah itu?""Aku harus melihat menara itu. Legenda bilang, ada teka-teki di dalam menara yang akan mengangkat kutukan di tanah itu.""Jadi ... kau ingin ke Galdea Timur? Ke menara itu?"Sheira mengangguk penuh keyakinan. Matanya berbinar. Cahaya siang itu memantul ke mata peraknya seperti manik-manik.Segenap angan-angan memenuhi kepala Ditrian. Cerita Sir George kembali terpanggil dalam memorinya. Hantu-hantu kepala dan lipan raksasa ber