Angin berhembus meniup tangkai pandai yang mulai menguning. Bulir padi yang berisi beras nampak tertunduk menandakan massa dari tanaman palawija itu. Mungkin panen kali ini disertai hujan, sebab musim penghujan sudah di mulai. Beberapa petani bahkan sudah mulai memanen hasil sawah mereka sejak kemarin, selain karna palawija mereka sudah siap panen, juga karna ingin menghindari genangan lumpur di sawah bila hujan turun.
Pandangan seorang wanita paruh baya, kira-kira berumur lima puluh tahun menatap lama padi-padi yang menguning itu. Padi yang tumbuh di sawah kira-kira jaraknya hanya dua puluh meter dari halaman belakang rumahnya, Netra tuanya sedikit berkaca, bayangan almarhum suaminya yang sedang mencangkul sawah, menanam padi sampai memanen padi dengan cara manual dulu kembali memenuhi benak bu Fatimah. Sawah ini satu-satunya peninggalan almarhum suaminya sebelum meninggal.
Meski Cuma satu, namun luas sawah ini cukup banyak, untuk sekali panen padi biasanya dapat sepuluh karung. Namun karna penggarapannya dibantu oleh saudara bu Fatimah, maka bu Fatimah juga harus mengeluarkan upah. Biasanya berupa padi juga, bila dapat sepuluh karung, maka bu Fatimah harus bagi dua dengan saudara yang menggarap sawah itu.
Bu Fatimah hanya mengandalkan hasil sawah itu dan kiriman dari Kumala, putrinya, untuk biaya hidup hari-hari beliau.
Sudah berapa hari ini, bu fatimah rasanya susah terpejam, ingatannya menuju pada putrinya yang sudah tiga hari ini tak pernah menelpon, biasanya Kumala paling lama dua hari tak mengabari beliau, meski hanya singkat, namun bila Kumala sudah menelpon menanyakan kabar dan mengabari keadaannya sendiri dan Dirham, sang menantu buat wanita dengan tahi lalat di bagian dahi kanan ini sudah lega.
Ada apa dengan Kumala, sakitkah, mengapa tak menelpon dua hari ini. Perasaan bu Fatimah sangat terusik. Ingin rasanya menelpon putrinya itu. Ponsel jadul merek Nokia yang Kumala belikan untuk digunakan berkomunikasi dengan putrinya itu. Saat Kumala dan Dirham ingin membelikan ponsel android atau ponsel zaman sekarang, bu Fatimah menolak.
“Ibu, nggak tahu cara pakaianya, Nak. Nggak ada tombolnya.” Ucap bu Fatimah saat Dirham menawarkan ingin membelikan ponsel yang sama tipenya dengan milik Kumala.
Lalu tangan yang mulai keriput itu, mengambil ponsel yang terletak diatas meja makan sederhana di dekat dapur.
Baru akan menelpon, ternyata Kumala sudah duluan menelpon. Pandangan bu Fatimah masih jelas, jadi masih bisa melihat siapa yang menelpon.
“Halo, Assalamualaikum, Mala. Ibu baru mau telepon kamu, Nduk.”
Diujung sana, Kumala menarik nafas panjang sesaat, sebelum menjawab salam ibunya. “Waalaikumsalam, Bu.” Terdengar berat suara itu, tak seperti biasanya.
“Ibu baru mau telpon kamu, tapi keduluan. Tiga hari nggak nelpon, kamu sehat, Nduk?” musim hujan begini, penyakit flu dan batuk banyak menjangkiti warga, sebab itu juga bu Fatimah menanyai putrinya.
“Sehat, Bu, Alhamdulillah. Mala kangen sama, Ibu.” Netra Kumala sudah berkaca mengucap itu. Kesedihan yang menari-nari di benaknya berapa hari ini, buat ia begitu rindu pada ibunya.
“Sambanglah ke sini, Nduk. Sebentar lagi panen.” Suara bu Fatimah, sedikit menenangkan Kumala. Dia belum juga memberitahukan ibunya tentang kehamilannya yang sudah dua bulan lebih. Tentu beliau sangat bahagia bila mengetahuinya.
“Bu, Mala hamil. Sudah dua bulan.” Pelan suara Kumala memberitahu bu Fatimah. Harusnya ini kabar bahagia, namun pengkhianatan dalan pernikahannya mengiringi kabar bahagia ini, buat nada suara Kumala terdengar getir.
“Alhamdulillah, ya Allah. Kamu hamil, Nduk.” Suara bu Fatimah terdengar penuh kegembiraan dan rasa syukur. Persis seperti reaksi mertuanya saat mengetahui kabar kehamilan Kumala.
Kumala semakin bimbang, namun bayangan pengkhinatan suami dan kawan dekatnya, sungguh tak bisa hilang dari ingatan. Ada yang berdenyut perih di dada Kumala.
“Bu,…” hening menjeda sesaat, Kembali Kumala menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Sementara di seberang sana, bu Fatimah sedikit heran dengan Kumala yang tak seceria biasanya. Bawaan bayi kah? “Mala boleh pulang ke rumah, Ibu?” lolos juga pertanyaan itu. pertanyaan yang sedikit ambigu sebenarnya, namun sebagai orang tua, bagaimana pun firasat tak enak yang muncul di relung hati, bu Fatimah tetap berfikir positif.
“Ya Allah, Nduk, boleh to. Bagus kamu disini, sawah Bapakmu mungkin minggu depan sudah panen, ajak Dirham kesini sekalian, ibu lihat suamimu senang melihat orang-orang kalau lagi panen.” Ceria suara bu Fatimah, sebab mendengar Kumala yang sedang hamil. Ada rasa haru juga sebenarnya, sebab putri satu-satunya sedang mengandung. Entahlah namanya seorang ibu, naluri keibuannya terhadap anak, begitu kuat.
“Benarkah, Bu. Aku pengen lihat orang-orang panen, Bu.”
“Iya, datanglah, ibu tunggu.”
Lalu Kumala segera mengakhiri percakapan mereka. Lega. Ada perasaan lega di hati Kumala, sebab diizinkan pulang. Meski mungkin persepsi dirinya dan ibu berbeda. Namun yang penting pulang dulu. Kumala ingin mengobati luka-luka yang ia rasa, dengan caranya sendiri.
“Katakanlah, Mas, bila aku ada kurang, jangan cari pelampiasan di luar sana, tapi ajari aku. Aku tak terlalu berpendidikan tinggi seperti perempuan yang lain, Mas.” bila Kumala sudah mengucap seperti itu, maka dekapan dan kecupanlah yang akan Dirham berikan.
Meski hanya lulus SMU dan berasal dari desa, namun Dirham tak pernah malu membawa istrinya kemana-mana, bahkan bila ada acara yang diadakan dari kantor, maka Dirham paling antusias membawa istrinya. Dan Kumala pun pandai menempatkan diri di tengah-tengah kalangan menengah atas itu.
Kumala menghapus air mata yang kembali luruh di pipi mulusnya. Bayangan keintiman suaminya dan Fiona menari-nari di benaknya. Sedekat apa mereka selama ini. sudah berapa kali mereka melakukannya, jalan berdua, menghabiskan waktu bersama, hingga berzina di kamar.
Sakit, ya Allah. Batin Kumala pedih.
Kumala terperanjat kaget, saat ia hendak berdiri dari ruang tamu, mbak Kirana sudah berdiri di pintu sambil mengucap salam, dengan tatapan menuju tepat di wajah Kumala yang pipinya masih dibasahi air mata.
Ada rasa canggung yang menyeruak. Begitu jelas antara Shella dan Arzan. Semakin canggung sebab di ruangan ini Shella harus bertemu dengan mantan ibu mertuanya. Dulu Shella selalu tak mengannggap Arzan dan ibunya. Kurang menghargai dan menghormati.Andai ingin menuruti sakit hati yang dulu, mungkin mantan mertuanya ini tak menyambutnya dengan hangat.“Shella,” mama Atifa yang duluan maju, menyambut mantan menantunya dan mengangguk ramah pada Anton. laki-laki yang menjadi suami Shella sekarang.“Ma,” Shella mendekat, menjabat dan mencium tangan amma Atifa dengan takzim. “Aku minta maaf, Ma. Aku banyak slaah sama mama.”“Sudah, sudah. Jangan diingat lagi.” Mama Atifa menepuk pelan, pundak Shella lalu menyambut pelukan perempuan yang rambutnya tak lagi diwarnai.Sementara Arzan ikut mendekati Anton dan menyambut dengan baik. Tentu setelah ia memberi kode pada Yasmin yang masih terbaring.Hal memalukan pernah terjadi diantara mereka. Bagaimana dulu awal keduanya bertemu saat Arzan memergok
Baru Yasmin akan mencandai Arzan lagi namun mbak Mia sudah masuk membawa sekantong obat dengan wajah berkerut nampak marah. Membuat Yasmin dan Arzan menjadi heran.Dan keheranan keduanya berubah menjadi rasa terkejut saat dari belakang muncul mama Atifa dan juga Rita bersama suaminya. Anak om Aryo yang menikah kemarin.“Yas, ini Rita yang kemarin nikah. Yasmin mau lahiran Rit, jadi nggak bisa datang kemarin.” Mama Atifa yang memulai pembicaraan karna ia juga paham bila menantunya belum terlalu mengenal istri dari putranya. Kemudian Yasmin mengangguk ramah pada Rita dan suaminya.Nampak sesekali Rita mencuri pandang pada mbak Mia yang tak menggubris kedatangannya sejak tadi. Mbak Mia malah sibuk merapikan lemari yang digunakan Arzan untuk menaruh makanan, air minum dan obat-obatan.Kamar kelas satu yang dipilih Arzan untuk perawatan melahirkan Yasmin cukup lengkap. Ada lemari pakaian, kulkas mini, dan juga lemarin makanan, juga sudah disediakan dispenser air minum yang bisa panas dan d
“Kamu jahat banget, Mas. kamu sudah tipu aku.” Raung Shella di ruang tamu rumah sederhana itu. kepergian Anton yang tanpa kabar hampir sebulan, buat Shella dalam masalah dan dilema. Dan hari ini Anton sudah kembali tanpa memberi kabar juga pada istrinya.Shella terisak, menahan sakit. bukan hanya sakit namun juga merasa malu. Sebab dulu ia tega berzina di belakang Arzan. Ia lebih memilih kembali pada Anton, pria yang dulu menghamilinya tanpa tanggung jawab, dan hingga mereka menikah, Anton juga tak memberi nafkah yang layak pada Shella.Anton membuang pandang, tak tega melihat wajah istri sirinya yang bersimbah air mata. Kepulangannya kemarin adalah untuk mengunjungi istri sahnya di luar pulau secara diam-diam. Namun sungguh kejutan luar biasa yang Anton dapatkan. Apa yang dulu ia lakukan bersama Shella di depan Arzan. Seperti itu pula yang istrinya bersama pria lain tepat di depan mata Anton. Rumah mereka yang agak sepi dari penduduk, buat istrinya bebas memasukkan laki-laki kedalam
“Mbak Yasmin, nggak ada masalah ya, rahimnya bersih, sel telurnya juga bagus, mungkin dari waktu saja, harus lebih rajin lagi bikinnya nih, biar ceoat ada dedek bayi juga. Tapi saran saya, mbak Yasmin boleh datang lagi nanti sama suami kesini, untuk kita periksa kesehatan suaminya juga.” Tutur dokter Dini dengan ramah pada kedua wanita yang sama-sama mengarapkan keturunan dihadapannya ini.“Insya Allah dokter, berikutnya saya ajak suami kesini.” ucap Yasmin, sedikit rasa lega di hatinya, sebab ia tak ada masalah sama sekali, tinggal memeriksa kesehatan Arzan nanti, bagaimanapun hasilnya nanti, mereka aka terus mengusahan pengobatan.“Untuk mbak Nurlita, tetap rajin diminum obatnya, jangan lupa kurangi karbohidrat dan makanan instan, tadi ukuran kistanya sudah semakin mengecil.” terang dokter Dini lagi, sambil menuliskan resep obat untuk keduanya.__"Enggak usah pulang aja sekalian, Mas!" Yasmin melempar jaket hitam milik Arzan kearah pria yang setengah mati dirinduinya itu. Namun
Shella gelisah dan bingung sendiri, Anton yang dua minggu lalu pamit padanya akan ke luar kota selama tiga hari, nyatanya sudah dua minggu ini, pria yang menikahinya secara siri itu belum juga pulang, bahkan tak ada kabar sama sekali. Bukan hanya kabar yang tak ada, namun juga uang bulanan yang Antin berikan sudah hampir habis, tersisa seratus ribu saja, sementara lusa Shella harus membayar cicilan pada koperasi simpan pinjam. Shella nekat meminjam uang pada renteiner yang berkedok koperasi itu, sebab keinginannya untuk membeli baju dan makanan yang enak-enak, tak dapat ia bendung. Sementara uang yang Anton berikan sangat terbatas. Bila dulu saat menjadi istri Arzan, semua akan Shella dapatkan dengan mudah, sebab jatah bulanan dari Arzan untuknya lebih dari cukup. Lelaki yang bertanggungjawab dalam hidupnya, meski tak adAduh bagaimana ini, besok pagi pasti penagih dari koperasi itu datang lagi. Ingin rasanya menemui mantan suaminya untuk minta tolong, namun mengingat aib yang menjadi
Sebenarnya bukan cuma mama Atifa yang mengharapkan Yasmin segera hamil, namun mbak Mia dan mbak Nurlita juga demikian. Kedua kakak ipar Yasmin ini memiliki masalah pada kesburan mereka. Sebab itu mereka mengharap Yasmin yang hamil, dan mereka yang akan merawat anak-anak Yasmin.“Pokoknya kamu hamil dan melahirkan saja, mbak dan abang kamu yang akan ngurus.” Seloroh mbak Nurlita saat bercengkrama dengan Yasmin sore itu di rumah peninggalan orang tua Yasmin, sebelum di kontrakkan. Ya setelah berdiskusi dengan bang Sofyan dan mbak Nurlita, Yasmin memutuskan untuk menyewakan rumah peninggalan orang tua mereka, sebab Arzan juga langsung memboyong Yasmin ke rumahnya setelah di renovasi. Meski tak mewah, namun Yasmin merasa betah tinggal di rumah suaminya.Beberapa kali Arzan membawa Yasmin mengunjungi kantornya, penampilan Yasmin yang tinggi langsing dengan dress panjang, buat karyawan Arzan yang perempuan meminta untuk berfoto bersama Yasmin.“Ibu cantik banget.” Celetuk salah satu karyaw