Share

BAB >< 006

Dari sekian banyak hobi, untuk ukuran seorang remaja yang hidup di jaman milenial, bermain bola mungkin akan menjadi pilihan terakhir. Ketika sekarang, dunia sudah mulai bergantung pada digital terutama ponsel.

Sebut saja Tiktok. Aplikasi yang hampir dimiliki setiap orang di ponsel mereka. Segala hal bisa ditemukan di sana. Mulai dari sekedar berjoget, turorial memasak, atau menjual barang dagangan.

Atau kalau mau bermain game. Banyak jenis game online yang bisa dimainkan di ponsel. Free Fire, PUBG, atau Mobile Legend sudah mulai dimainkan anak usia lima tahun.

Tapi, untuk seorang Keanu Atlan Bumi, hobi yang selalu ia senangi sejak kecil hingga berusia tujuh belas tahun tidak pernah berubah, yaitu bermain bola. Dengan cita-cita serupa, yaitu menjadi pemain bola. Meski kata orang kebanyakan, menjadi seorang pemain bola tidak menjamin masa depan yang cerah.

Atlan, sapaan akrab cowok bertubuh tinggi seratus tujuh puluh lima sentimeter itu sudah dua puluh kali mengelilingi lapangan futsal sekolah sambil menggiring bola di kakinya. Jika sudah berurusan dengan bola, ia akan menjadi lupa dengan kondisi sekitar termasuk panggilan sahabatnya untuk beristirahat.

"Udahan dulu, woi. Lo mau buat lapangan futsal ini banjir sama keringat Lo?" teriak seseorang dari pinggir lapangan.

"Bentar, lima putaran lagi," jawab Atlan tanpa menghentikan larinya.

Orang yang berteriak tadi adalah Putra Aydin Arman yang akrab dipanggil Aydin tak lain dan tak bukan adalah sahabat sekaligus partner bermain Atlan.

Jam pelajaran kosong di kelas mereka, membuat keduanya melarikan diri ke lapangan futsal indoor SMA Pelita Husada. Niatnya hanya untuk mengisi waktu kosong dengan bermain bola, tetapi Atlan justru kebablasan dengan berlatih cukup keras dan membiarkan seragam sekolahnya basah oleh keringat. Dan jika bukan karena tarikan Aydin yang menyuruhnya beristirahat, mungkin Atlan akan terus bermain hingga bel pulang berbunyi.

"Kasian gue liat Lo. Udah kayak tikus habis kecebur got. Basah satu badan sama keringat." Aydin menutup hidungnya. "Mana bau lagi."

Untuk kalimat terakhir tentu saja Aydin berbohong. Meski sudah bermandikan keringat, Atlan sama sekali tidak bau. Jika orang mandi menggunakan air, mungkin jika ada yang mengatakan bahwa Atlan mandi menggunakan parfum, Aydin akan percaya karena seluruh badan cowok itu harum sepanjang hari meski sudah berkeringat sangat banyak.

"Berisik Lo." Atlan menenggak air pemberian Aydin hingga habis dalam satu kali tegukan. Terbayang bagaimana hausnya dia, tapi tetap memaksakan diri untuk terus bermain.

"Lagian Lo latihannya keras banget, kan gak ada jadwal main futsal juga deket-deket ini." Aydin terus mengoceh bagaikan ibu-ibu menceramahi anaknya. Bahkan bisa dikatakan selain bundanya, Aydinlah orang tercerewer yang pernah Atlan kenal.

Napas Atlan masih terengah ketika membaringkan badannya di lantai. Seragam putih yang sudah basah oleh keringat ia lepaskan lebih dulu menyisakan kaos berwarna navy.

Mungkin benar kata Aydin, bahwa dirinya berlatih cukup keras, sehingga merasa kelelahan.

"Jangan tidur," kata Aydin sambil melemparkan botol kosong ke arah perut Atlan. "Lo gak pernah denger dari nenek Lo, dilarang tidur di jam-jam sembilan, sepuluh, sebelas. Nanti diganggu makhluk halus."

Selain cerewet, Aydin juga selalu percaya mitos. Yang tentu saja tidak dipercayai oleh Atlan. Terlebih nenek Atlan memang tidak pernah menceritakan hal yang sering Aydin dengar dari neneknya.

Mungkin karena lelah memberitahu, namun Atlan sama sekali tidak peduli, Aydin pun memilih ikut berbaring di samping cowok itu.

"Eh, Lan," panggil Aydin. Cowok itu sepertinya memang tidak suka dengan keheningan. Atau karena dia tidak suka melihat Atlan beristirahat sebentar saja. "Kira-kira lomba futsal persahabatan antar sekolah kita bakal diikutkan, gak? Kita kan udah kelas dua belas, pasti disuruh fokus belajar."

Mata Atlan yang sejak tadi tertutup terbuka. Bersamaan dengan badannya yang bangkit setelah berbaring. Setelah seragam, kini ia membuka kaosnya dan membiarkan tubuh bagian atasnya terekspos.

"Itu Lo tau, repot-repot nanya lagi." Atlan berlalu menuju ke ruang istirahat tim futsal Pelita Husada. Selain loker, di ruangan itu juga terdapat satu kamar mandi yang biasa digunakan untuk mereka.

Aydin ikut bangkit dan mengikuti Atlan setelah memungut sampah dari botol minuman mereka lalu membuangnya di tempat sampah. Ketika berhasil menyusul, rupanya Atlan sudah masuk ke kamar mandi.

"Kebiasaan banget, mau mandi tapi pintunya gak ditutup. Kalo ada yang masuk gimana. Ya kalo gue sih aman soalnya gue gak doyan cowok," rancau Aydin. Setelah menutup pintu ruang istirahat itu, ia beranjak ke sebuah bangku panjang dan duduk di sana sambil menunggu Atlan selesai mandi.

Setelah lima menit, Atlan kembali keluar dengan seragam sekolah yang baru. Seragamnya yang basah sudah disatukan di dalam kantong plastik dan memasukkan ke loker. Ia akan mengambilnya sepulang sekolah nanti.

Atlan lagi-lagi keluar dari ruang istirahat tanpa mengajak Aydin. Padahal cowok itu sudah menunggunya hingga selesai mandi. Tapi meski begitu, Aydin tetap mengikuti Atlan dari belakang.

Ketika keluar dari lapangan futsal, bel penanda istirahat juga berbunyi nyaring. Atlan yang awalnya ingin kembali ke kelas harus berbelok ke arah kantin karena tarikan Aydin.

"Karena gue udah traktir Lo minum, sekarang Lo yang traktir gue makan," ujar cowok itu.

Hal itu jelas tidak adil. Aydin hanya membelikan Atlan sebotol air putih seharga lima ribu, lalu cowok itu meminta ditraktir makanan seharga lima belas ribu. Namun karena Atlan bukan tipe orang yang pelit dan suka perhitungan, ia mengiyakan saja permintaan Aydin.

Lapangan futsal yang mereka datangi tadi berada di lantai satu, sementara kelas mereka di lantai tiga karena sudah kelas dua belas. Di Pelita Husada ada dua kantin. Yaitu di lantai satu di mana anak-anak kelas sepuluh sering makan. Dan di lantai dua tempat anak-anak kelas sebelas dan dua belas menghabiskan jam istirahat. Tentu saja Aydin dan Atlan harus naik ke lantai dua untuk sampai ke kantin.

Karena bel istirahat baru saja berbunyi, kantin masih sepi. Banyaknya meja yang kosong membuat keduanya leluasa memilih untuk duduk di mana. Tetapi bagi Atlan, posisi ternyaman untuk makan adalah di meja paling sudut. Yang jarang diduduki orang lain.

"Karena kali ini Lo yang traktir jadi gue ikut aja Lo mau duduk di mana. Tapi besok-besok kita duduk di tengah, biar lebih bebas liatin cewek-cewek," ucap Aydin sebelum berlalu untuk memesan makanan di stan penjual bakso.

Sepeninggal Aydin, Atlan menyibukkan diri dengan bermain game di ponselnya. Tentu saja permainannya tidak jauh-jauh dari bola yang selalu berhasil mengambil alih seluruh perhatian cowok itu. Sampai-sampai ia tidak sadar siapa saja yang sudah menduduki meja di sampingnya.

"Tunggu gue pesen dulu. Bakso, kan?"

Atlan mendongak ketika mendengar seseorang bicara. Suara itu berasal dari meja di sampingnya. Ketika menoleh, ia melihat seorang siswi berambut sabahu yang duduk seorang diri sambil memperhatikan sekitar. Pandangan mereka sempat bertemu beberapa detik sebelum perhatian Atlan teralihkan oleh kedatangan Aydin.

"Aroma kuah baksonya selalu bikin perut gue keroncongan," ujar cowok itu sambil menata dua mangkok bakso di meja.

Aydin tidak mau membuang waktu terlalu lama untuk mendiami makanan lezat dihadapannya. Setelah mencampur kecap, saus, dan jeruk nipis untuk menambah cita rasa, ia pun segera menyantap makanan berkuah itu. Hal serupa dilakukan oleh Atlan tetapi tidak seburu-buru Aydin. Ia makan dengan pelan atau kuah yang panas akan membuat lidahnya terluka.

"Yah, Nei. Sausnya habis. Gue gak bisa makan tanpa saus."

Suara di seberang meja kembali terdengar. Lagi-lagi Atlan menoleh dan kini melihat siswi berambut sebahu tadi sudah tidak sendiri. Ada siswi berambut sepunggung yang menemaninya.

"Biar gue ambil dulu sama ibu kantinnya."

"Enggak perlu," cegah siswi berambut sepunggung. "Biar gue ambil di meja lain aja."

Saat itulah Atlan melihat siswi berambut sepunggung itu berjalan ke mejanya.

"Gue minta sedikit saus kalian yah, di meja gue abis soalnya," kata siswi itu.

Atlan tentu mengenal siswi berambut sepunggung yang kini berdiri di depan mejanya. Dia adalah Wawa anak kelas IPA 3 dan siswi berambut sebahu itu adalah Neira, peraih juara tiga umum sejurusan IPA yang juga satu kelas dengan Wawa.

Ketika Wawa sudah bersiap membawa botol saus itu ke mejanya, tiba-tiba Aydin mencegah dan menariknya kembali. "Yang ngizinin Lo bawa siapa?" 

"Gue udah minta sama Atlan, dan dia ngebolehin kok," ujar Wawa. Ia ingin kembali ke mejanya tapi Aydin lagi-lagi menahan.

"Lo gak boleh bawa sausnya, kalo gue mau nambah gimana?"

Wawa menggeram. Meladeni Aydin membuat waktu makannya tertunda. "Lo tinggal ambil di meja gue, atau gue bawa lagi pas selesai gue pake."

Tawaran itu terdengar masuk akal, tapi Aydin tetap saja menolak memberikan botol sausnya hingga terjadilah perdebatan antar keduanya.

"Wa, udah. Biar gue yang minta saus di ibu kantin," kata Neira melerai. Jika masih memperebutkan saus itu, maka mereka tidak akan makan sampai bel masuk berbunyi.

"Pelit banget sih Lo, Udin. Nih, makan tuh saus." Wawa kembali ke mejanya setelah memasukkan saus sebanyak mungkin di mangkok Aydin.

"Dasar nenek lampir. Emang suka nyari gara-gara Lo yah sama gue. Kalo naksir bilang aja," balas Aydin tidak mau kalah.

Di meja seberang Wawa hanya bisa mendengus. Memilih mengalah daripada harus menahan lapar karena terus meladeni Aydin.

Di saat Aydin dan Wawa sibuk berdebat, Atlan justru sudah lebih dulu menyelesaikan makannya. Ia pamit kembali ke kelas lebih dulu setelah memberi Aydin uang pecahan lima puluh ribu. Dengan begitu, ia tidak akan mendengar perdebatan Aydin dengan Wawa lagi.

🥀🥀🥀

Fhyfhyt Safitri

12 November 2021

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status