Share

BAB >< 005

Kondisi jalanan yang lenggan, membuat Neira bisa melajukan motornya dengan kecepatan dua kali lipat dari biasanya. Hal yang ia lakukan agar tidak terlambat sampai sekolah. Alhasil dua puluh menit kemudian, ia pun berhasil tiba di depan gerbang SMA Pelita Husada.

Baru saja ia berseru senang karena berhasil sampai tepat waktu, tiba-tiba sebuah mobil jenis sport melaju cukup kencang dan hampir membuat motornya kehilangan keseimbangan. Untung saja Neira bukan pengguna motor pemula, sehingga meski dengan susah payah ia berhasil menguasai motornya tetap seimbang.

Beberapa orang yang melewati gerbang sempat berhenti untuk melihat kondisi Neira. Bahkan, security sekolah juga menghampirinya.

"Astaghfirullah. Neng, gak apa-apa?" Pak Joko, nama yang tertera di name tag seragam security itu bertanya dengan khawatir.

Neira yang berhasil menguasai motor, menepikan kendaraan itu ke pos security. Ia melepas helm untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia masih berusaha menetralkan detak jantungnya sebelum merespon Pak Joko.

"Saya gak apa-apa, Pak." Setidaknya ia memang tidak terluka. "Kalau begitu saya masuk, dulu. Terima kasih."

Pak Joko ingin membantu menyimpan motor Neira ke parkiran, karena sangat jelas gadis itu masih bergetar. Tetapi karena alasan tidak ingin merepotkan ia pun menolak bantuan itu dengan sopan.

Sesampainya di parkiran, Neira langsung bisa melihat mobil yang hampir saja menabraknya tadi. Selama ini ia tidak pernah memperhatikan kendaraan yang terparkir di parkiran sekolah, apalagi sampai mengenali pemiliknya. Dan sekarang sepertinya Neira cukup menyesali sikap masa bodohnya terhadap lingkungan sekitar, karena ia mulai penasaran dengan pemilik mobil mewah itu.

Neira sudah menghabiskan waktu cukup lama untuk menenangkan diri di parkiran sebelum memasuki sekolah menuju kelasnya. Meski ketegangannya sudah perlahan berkurang, tapi pikirannya kini dipenuhi rasa penasaran. Sampai-sampai ia tidak mendengar panggilan dari Wawa yang berjalan di belakangnya.

"Kesandung tangga, jatoh, tau rasa Lo." Jika bukan karena Wawa yang menghadang jalannya, mungkin Neira tidak akan sadar dengan kehadiran gadis itu. "Kesambet apa Lo, gak biasanya pagi-pagi udah melamun."

Karena banyak yang ingin lewat, mereka melanjutkan langkah menaiki tangga. Sementara Neira masih tidak merespon perkataan Wawa.

"Lo juga datangnya kenapa kesiangan? Tumbenan banget kalah cepet dari gue." Wawa terus saja mengoceh sepanjang jalan menuju kelas, meski tidak mendapat respon dari Neira.

"Yol, Lo ada suntikan buat bikin orang pingsan, gak? Mau gue kasih ke Neira nih. Sekalian aja kalo dia gak mau ngomong gue bikin pingsan," katanya kepada Yola, teman satu kelasnya yang menjadi anggota PMR.

Barulah setelah mendengar itu, Neira memukul lengan Wawa dengan buku. "Sembarang banget sih. Jangan-jangan Lo juga punya niatan bikin gue mati."

Kali ini Wawa menggeleng. "Jangan dulu, nanti gue gak ada tempat buat nyontek tugas."

Neira tidak terkejut mendengar jawaban Wawa, sahabatnya itu selalu punya tingkah ajaib yang membuat orang geleng-geleng kepala.

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Habis dari mana, pasti mampir-mampir dulu kan, makanya kesiangan." Wawa dengan segala pertanyaannya yang tidak pernah habis. Jika belum terjawab, jangan harap ia akan berhenti.

Neira sendiri tidak berusaha menutupi apapun. "Habis nganter Yasmin dulu ke sekolah, terus tadi di gerbang gue ... gue hampir ditabrak mobil."

Gerakan tangan Wawa yang berusaha membuka bungkusan snacks terhenti. Bahkan ia sudah memfokuskan pandangannya ke arah Neira.

"Apa? Lo hampir ditabrak? Terus gimana kondisi Lo? Ada yang luka? Mana? Siapa yang nabrak?" Jangan lupakan mata Wawa yang sudah melotot kaget.

"Aduh, gue gak apa-apa, Wa. Kan cuma hampir, bukan ditabrak beneran." Neira berusaha menepis tangan Wawa yang memeriksa seluruh tubuhnya.

"Ih, kan gue khawatir. Kalo Lo beneran ketabrak gak ada yang bisa contekin tugas lagi."

Neira menahan napasnya. Percuma mengatakan hal itu kepada Wawa karena gadis itu bahkan tidak mengkhawatirkan kondisinya, tetapi khawatir tidak bisa mendapatkan contekan tugas.

Tetapi meski begitu, setidaknya masih ada sisi baik yang tersisa di diri Wawa. Salah satunya dengan memberikan minuman kepada Neira meski ia hanya membeli satu dan pasti tenggorokannya akan seret jika hanya makan tanpa minum.

"Tapi gue serius nanya, siapa yang hampir nabrak Lo itu?" Wawa kembali bertanya sambil sesekali menyuapkan snacks jagung ke mulutnya.

"Gue gak tau siapa pemilik mobil itu."

Wawa diam. Begitu juga Neira. Gadis itu mulai melupakan kejadian yang hampir membuatnya celaka dan kini beralih memikirkan sesuatu yang lain. Ia melirik Wawa, dan mendapati gadis itu sedang mengunyah dengan malas.

"Kenapa Lo?" tanya Neira.

Wawa menoleh dengan mimik memelas. "Gue boleh minta minuman Lo dulu gak? Nanti istirahat gue ganti. Tenggorokan gue seret."

Tanpa berpikir dua kali, Neira mengembalikan minuman itu kepada Wawa. Lagian masih terlalu pagi untuk minum minuman bersoda.

Neira melirik jam tangannya untuk memeriksa waktu. Padahal ia sampai di sekolah kurang dari sepuluh menit jam masuk. Bahkan ia sudah mengobrol cukup lama bersama Wawa, tapi belum ada tanda-tanda guru yang mengajar di kelasnya akan datang. Hal itu justru memberi kesempatan Neira untuk menanyakan sesuatu kepada Wawa.

Neira menarik kursinya agar lebih mendekat ke arah Neira, lalu mencoba bicara dengan berbisik. "Wa, Lo masih sering buka blog sekolah?"

Ditanya seperti itu Wawa mengeryit bingung. Selama ini jarang siswa Pelita Husada menanyakan blog sekolah, karena isinya yang memang hanya berisi tentang informasi sekitar sekolah itu.

"Terakhir gue buka, Minggu lalu. Tumben lagi loh, Lo nanya soal blog sekolah."

Neira menimbang, apakah ia harus mengatakan ini kepada Wawa atau mencari tahu sendiri.

"Di sana ada informasi nama-nama penyumbang dana di SMA Pelita Husada, kan?"

Sebenarnya, setiap tahun selalu ada pengumuman nama-nama penyumbang dana di SMA Pelita Husada. Tetapi karena kurang memperhatikan, Neira menjadi lupa siapa saja nama-nama mereka. Karena kebanyakan informasi dimasukkan ke blog khusus sekolah, Neira berharap bisa memastikan bahwa Haidar memang salah satu dari donatur itu.

"Soal itu gue juga kurang tau, mau gue coba cariin?" Karena Wawa yang menawarkan, tentu Neira tidak akan menyia-nyiakan hal itu.

Gadis berambut sepunggung itu meraih ponselnya dari dalam tas kemudian mengetikkan beberapa kata untuk membuka blog SMA Pelita Husada. Beberapa saat Wawa terlihat serius memandangi layar ponsel itu. Tak lama, dahinya mengernyit.

Neira pun bertanya penasaran. "Kenapa?"

"Bentar, Nei. Ini jaringan gue lemot banget dah," katanya sambil menggoyang-goyangkan ponselnya ke udara. "Harusnya tuh sekolah sediain WiFi tiap kelas biar gue gak usah beli kuota terus. Sumpah duit jajan gue habis cuma buat isi kuota doang tiga kali sebulan." Gadis itu mengoceh.

Neira tersenyum kemudian mengambil ponsel miliknya dari tas. "Biar gue tethering."

"Gak usah, Nei. Ini bentar lagi bisa kok," tolaknya. "Btw, gue liat sesuatu deh di tas Lo." Kepala Wawa bergerak melirik tas Neira yang menyembulkan sebuah kotak bekal. Mata Wawa seakan berubah menajam ketika menemukan makanan.

Tanpa banyak bertanya, Neira mengeluarkan benda yang dimaksud Wawa dan memberikannya kepada gadis itu. "Isinya roti bakar selai kacang. Makan aja kalo mau."

Mata Wawa berbinar senang. "Tau aja Lo kalo gue lagi lapar, makan snacks emang gak ngenyangin sih."

Tanpa rasa malu dan sungkan, Wawa mengambil satu potong roti bakar milik Neira kemudian memakannya. Gadis itu memuji rasa roti bakar itu yang sangat enak sampai tidak sadar sudah menghabiskan dua potong. Menyisakan satu potong untuk Neira.

"Gimana, udah bisa kebuka belum?" tanya Neira ketika Wawa selesai menenggak minumannya.

"Oh iya hampir lupa." Wawa kembali meraih ponselnya yang sejak tadi diletakkan di atas meja ketika sedang makan. "Udah kebuka nih, bentar gue cari dulu."

"Selamat pagi anak-anak."

Suara dari depan kelas membuat Neira dan Wawa sama-sama mendongak. Dengan refleks Wawa menyimpan ponselnya ke laci meja.

SMA Pelita Husada memang tidak melarang siswa-siswinya untuk membawa ponsel ke sekolah, hanya saja ketika pelajaran sedang berlangsung, larangan keras bagi mereka untuk menyentuh benda itu atau akibatnya akan disita.

Neira menghela napas, padahal hampir saja ia akan menemukan informasi yang dicarinya. Tapi kedatangan Pak Wahyu selaku guru mata pelajaran matematika membuatnya kembali harus meredam rasa penasaran.

🥀🥀🥀 

Fhyfhyt Safitri

11 November 2021

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status