Kondisi jalanan yang lenggan, membuat Neira bisa melajukan motornya dengan kecepatan dua kali lipat dari biasanya. Hal yang ia lakukan agar tidak terlambat sampai sekolah. Alhasil dua puluh menit kemudian, ia pun berhasil tiba di depan gerbang SMA Pelita Husada.
Baru saja ia berseru senang karena berhasil sampai tepat waktu, tiba-tiba sebuah mobil jenis sport melaju cukup kencang dan hampir membuat motornya kehilangan keseimbangan. Untung saja Neira bukan pengguna motor pemula, sehingga meski dengan susah payah ia berhasil menguasai motornya tetap seimbang.
Beberapa orang yang melewati gerbang sempat berhenti untuk melihat kondisi Neira. Bahkan, security sekolah juga menghampirinya.
"Astaghfirullah. Neng, gak apa-apa?" Pak Joko, nama yang tertera di name tag seragam security itu bertanya dengan khawatir.
Neira yang berhasil menguasai motor, menepikan kendaraan itu ke pos security. Ia melepas helm untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia masih berusaha menetralkan detak jantungnya sebelum merespon Pak Joko.
"Saya gak apa-apa, Pak." Setidaknya ia memang tidak terluka. "Kalau begitu saya masuk, dulu. Terima kasih."
Pak Joko ingin membantu menyimpan motor Neira ke parkiran, karena sangat jelas gadis itu masih bergetar. Tetapi karena alasan tidak ingin merepotkan ia pun menolak bantuan itu dengan sopan.
Sesampainya di parkiran, Neira langsung bisa melihat mobil yang hampir saja menabraknya tadi. Selama ini ia tidak pernah memperhatikan kendaraan yang terparkir di parkiran sekolah, apalagi sampai mengenali pemiliknya. Dan sekarang sepertinya Neira cukup menyesali sikap masa bodohnya terhadap lingkungan sekitar, karena ia mulai penasaran dengan pemilik mobil mewah itu.
Neira sudah menghabiskan waktu cukup lama untuk menenangkan diri di parkiran sebelum memasuki sekolah menuju kelasnya. Meski ketegangannya sudah perlahan berkurang, tapi pikirannya kini dipenuhi rasa penasaran. Sampai-sampai ia tidak mendengar panggilan dari Wawa yang berjalan di belakangnya.
"Kesandung tangga, jatoh, tau rasa Lo." Jika bukan karena Wawa yang menghadang jalannya, mungkin Neira tidak akan sadar dengan kehadiran gadis itu. "Kesambet apa Lo, gak biasanya pagi-pagi udah melamun."
Karena banyak yang ingin lewat, mereka melanjutkan langkah menaiki tangga. Sementara Neira masih tidak merespon perkataan Wawa.
"Lo juga datangnya kenapa kesiangan? Tumbenan banget kalah cepet dari gue." Wawa terus saja mengoceh sepanjang jalan menuju kelas, meski tidak mendapat respon dari Neira.
"Yol, Lo ada suntikan buat bikin orang pingsan, gak? Mau gue kasih ke Neira nih. Sekalian aja kalo dia gak mau ngomong gue bikin pingsan," katanya kepada Yola, teman satu kelasnya yang menjadi anggota PMR.
Barulah setelah mendengar itu, Neira memukul lengan Wawa dengan buku. "Sembarang banget sih. Jangan-jangan Lo juga punya niatan bikin gue mati."
Kali ini Wawa menggeleng. "Jangan dulu, nanti gue gak ada tempat buat nyontek tugas."
Neira tidak terkejut mendengar jawaban Wawa, sahabatnya itu selalu punya tingkah ajaib yang membuat orang geleng-geleng kepala.
"Lo belum jawab pertanyaan gue. Habis dari mana, pasti mampir-mampir dulu kan, makanya kesiangan." Wawa dengan segala pertanyaannya yang tidak pernah habis. Jika belum terjawab, jangan harap ia akan berhenti.
Neira sendiri tidak berusaha menutupi apapun. "Habis nganter Yasmin dulu ke sekolah, terus tadi di gerbang gue ... gue hampir ditabrak mobil."
Gerakan tangan Wawa yang berusaha membuka bungkusan snacks terhenti. Bahkan ia sudah memfokuskan pandangannya ke arah Neira.
"Apa? Lo hampir ditabrak? Terus gimana kondisi Lo? Ada yang luka? Mana? Siapa yang nabrak?" Jangan lupakan mata Wawa yang sudah melotot kaget.
"Aduh, gue gak apa-apa, Wa. Kan cuma hampir, bukan ditabrak beneran." Neira berusaha menepis tangan Wawa yang memeriksa seluruh tubuhnya.
"Ih, kan gue khawatir. Kalo Lo beneran ketabrak gak ada yang bisa contekin tugas lagi."
Neira menahan napasnya. Percuma mengatakan hal itu kepada Wawa karena gadis itu bahkan tidak mengkhawatirkan kondisinya, tetapi khawatir tidak bisa mendapatkan contekan tugas.
Tetapi meski begitu, setidaknya masih ada sisi baik yang tersisa di diri Wawa. Salah satunya dengan memberikan minuman kepada Neira meski ia hanya membeli satu dan pasti tenggorokannya akan seret jika hanya makan tanpa minum.
"Tapi gue serius nanya, siapa yang hampir nabrak Lo itu?" Wawa kembali bertanya sambil sesekali menyuapkan snacks jagung ke mulutnya.
"Gue gak tau siapa pemilik mobil itu."
Wawa diam. Begitu juga Neira. Gadis itu mulai melupakan kejadian yang hampir membuatnya celaka dan kini beralih memikirkan sesuatu yang lain. Ia melirik Wawa, dan mendapati gadis itu sedang mengunyah dengan malas.
"Kenapa Lo?" tanya Neira.
Wawa menoleh dengan mimik memelas. "Gue boleh minta minuman Lo dulu gak? Nanti istirahat gue ganti. Tenggorokan gue seret."
Tanpa berpikir dua kali, Neira mengembalikan minuman itu kepada Wawa. Lagian masih terlalu pagi untuk minum minuman bersoda.
Neira melirik jam tangannya untuk memeriksa waktu. Padahal ia sampai di sekolah kurang dari sepuluh menit jam masuk. Bahkan ia sudah mengobrol cukup lama bersama Wawa, tapi belum ada tanda-tanda guru yang mengajar di kelasnya akan datang. Hal itu justru memberi kesempatan Neira untuk menanyakan sesuatu kepada Wawa.
Neira menarik kursinya agar lebih mendekat ke arah Neira, lalu mencoba bicara dengan berbisik. "Wa, Lo masih sering buka blog sekolah?"
Ditanya seperti itu Wawa mengeryit bingung. Selama ini jarang siswa Pelita Husada menanyakan blog sekolah, karena isinya yang memang hanya berisi tentang informasi sekitar sekolah itu.
"Terakhir gue buka, Minggu lalu. Tumben lagi loh, Lo nanya soal blog sekolah."
Neira menimbang, apakah ia harus mengatakan ini kepada Wawa atau mencari tahu sendiri.
"Di sana ada informasi nama-nama penyumbang dana di SMA Pelita Husada, kan?"
Sebenarnya, setiap tahun selalu ada pengumuman nama-nama penyumbang dana di SMA Pelita Husada. Tetapi karena kurang memperhatikan, Neira menjadi lupa siapa saja nama-nama mereka. Karena kebanyakan informasi dimasukkan ke blog khusus sekolah, Neira berharap bisa memastikan bahwa Haidar memang salah satu dari donatur itu.
"Soal itu gue juga kurang tau, mau gue coba cariin?" Karena Wawa yang menawarkan, tentu Neira tidak akan menyia-nyiakan hal itu.
Gadis berambut sepunggung itu meraih ponselnya dari dalam tas kemudian mengetikkan beberapa kata untuk membuka blog SMA Pelita Husada. Beberapa saat Wawa terlihat serius memandangi layar ponsel itu. Tak lama, dahinya mengernyit.
Neira pun bertanya penasaran. "Kenapa?"
"Bentar, Nei. Ini jaringan gue lemot banget dah," katanya sambil menggoyang-goyangkan ponselnya ke udara. "Harusnya tuh sekolah sediain WiFi tiap kelas biar gue gak usah beli kuota terus. Sumpah duit jajan gue habis cuma buat isi kuota doang tiga kali sebulan." Gadis itu mengoceh.
Neira tersenyum kemudian mengambil ponsel miliknya dari tas. "Biar gue tethering."
"Gak usah, Nei. Ini bentar lagi bisa kok," tolaknya. "Btw, gue liat sesuatu deh di tas Lo." Kepala Wawa bergerak melirik tas Neira yang menyembulkan sebuah kotak bekal. Mata Wawa seakan berubah menajam ketika menemukan makanan.
Tanpa banyak bertanya, Neira mengeluarkan benda yang dimaksud Wawa dan memberikannya kepada gadis itu. "Isinya roti bakar selai kacang. Makan aja kalo mau."
Mata Wawa berbinar senang. "Tau aja Lo kalo gue lagi lapar, makan snacks emang gak ngenyangin sih."
Tanpa rasa malu dan sungkan, Wawa mengambil satu potong roti bakar milik Neira kemudian memakannya. Gadis itu memuji rasa roti bakar itu yang sangat enak sampai tidak sadar sudah menghabiskan dua potong. Menyisakan satu potong untuk Neira.
"Gimana, udah bisa kebuka belum?" tanya Neira ketika Wawa selesai menenggak minumannya.
"Oh iya hampir lupa." Wawa kembali meraih ponselnya yang sejak tadi diletakkan di atas meja ketika sedang makan. "Udah kebuka nih, bentar gue cari dulu."
"Selamat pagi anak-anak."
Suara dari depan kelas membuat Neira dan Wawa sama-sama mendongak. Dengan refleks Wawa menyimpan ponselnya ke laci meja.
SMA Pelita Husada memang tidak melarang siswa-siswinya untuk membawa ponsel ke sekolah, hanya saja ketika pelajaran sedang berlangsung, larangan keras bagi mereka untuk menyentuh benda itu atau akibatnya akan disita.
Neira menghela napas, padahal hampir saja ia akan menemukan informasi yang dicarinya. Tapi kedatangan Pak Wahyu selaku guru mata pelajaran matematika membuatnya kembali harus meredam rasa penasaran.
🥀🥀🥀
Fhyfhyt Safitri
11 November 2021Kabar kelulusan Atlan dan Neira sudah sampai di telinga orang tua mereka. Di hari itu juga Haidar langsung merencanakan pesta kecil-kecilan. Namun, karena waktunya mendadak, mereka pun memutuskan untuk mengadakan pesta barbeque.Di halaman belakang kediaman Prayoga kini sudah diatur menjadi area untuk makan malam. Ada meja panjang dengan beberapa kursi juga yang tertata rapi di tengah halaman.Jika tahun lalu mereka selalu merayakan kenaikan kelas Atlan hanya bertiga, kini rumah itu menjadi begitu ramai. Bukan hanya karena kehadiran Neira, Elvina, dan Yasmin, tapi Wawa serta Aydin turut diundang.Jam delapan malam mereka sudah memulai. Atlan dan Aydin lah yang bertugas untuk memanggang daging sedangkan Neira dan Wawa menyiapkan nasi di meja. Lalu untuk para orang tua hanya tinggal menikmati."Ini apinya gak bisa dibesarin lagi apa? Udah ngiler banget gue," kata Aydin tak sabar melihat daging yang sudah matang menyeruakkan bau sedap."Kalo mau hangu
Neira yang awalnya ingin ke dapur terpaksa harus membelokkan langkahnya ketika mendengar suara bel berbunyi. Saat membuka pintu ia terkejut dengan kehadiran dua orang yang berdiri di hadapannya sambil memasang cengiran. Kening Neira mengkerut. "Kalian datang berdua?" "Enggak seperti yang Lo pikir." Wawa langsung mengelak atas apapun yang mungkin Neira pikirkan ketika melihatnya datang bersama Aydin. "Dia yang ngikutin gue." "Kepedean Lo. Gue ke sini buat ketemu Atlan. Nei, Atlan ada, kan?" tanya Aydin kepada Neira. Neira yang masih berusaha mengerti situasi hanya bisa mengangguk. "Ya kenapa Lo mau ketemu Atlan pas banget gue datang ke sini. Kan Lo bisa datang besok atau lusa gitu." "Suka-suka gue, lah. Yang punya rumah juga gak permasalahin gue mau datang kapan." Aydin langsung bergegas masuk ketika melihat Wawa membuka mulutnya. "Gak sopan main nyelonong masuk tanpa izin," teriak Wawa yang berhasil terpancing emosi oleh Aydin.
Mobil Atlan berhenti di depan teras rumah disusul mobil yang membawa Frida dan Elvina selanjutnya.Atlan buru-buru melepas safety belt-nya, lalu keluar dari mobil. Ia berputar menuju pintu bagian penumpang lalu menuntun Neira turun dari kursinya.Frida serta Elvina yang juga sudah turun dari mobil menunggu keduanya di teras dan akan bersama-sama masuk ke dalam rumah. Tapi, belum sempat mereka melewati pintu tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang dari belakang."Berhenti!"Semua orang sontak berbalik lalu terkejut mendapati keberadaan Jelita di sana."Jelita, sedang apa kamu di sini?" tanya Elvina heran.Pikiran Frida penuh akan pertanyaan tentang siapa gadis yang berdiri di depan mereka saat ini, dan pertanyaan itu langsung terjawab ketika Jelita angkat bicara."Kenapa Tante penjarain papa Jelita?" Suara Jelita tinggi sarat akan kemarahan. "Apa belum cukup, dengan kepergian Mama, sampai Tante juga mau pisahin Papa dari aku?"
Elvina mengakhiri pembicaraannya bersama Frida di telepon. Baru saja besannya itu memberikan informasi bahwa Bagaskara sudah ditangkap dan kini berada di kantor polisi.Seketika ia tidak tahu bagaimana perasaannya, antara ingin senang atau sedih.Bagaskara memang sudah dilaporkan atas dua tuduhan. Yaitu sengaja mencelakai Ferdinand serta melakukan penipuan atas pembelian saham perusahaan pria itu.Namun, yang melaporkannya adalah Haidar dan Frida. Sebab, Elvina merasa tidak tega melawan kakak iparnya sendiri di pengadilan nanti.Sekarang ia pun kebingungan mencari cara untuk mengatakan kepada Neira, sebab gadis itu sama sekali tidak tahu rencana pelaporan omnya tersebut.Saat ini Neira sedang menemani Yasmin bermain di ruang keluarga. Dan ia pun terpaksa harus mengganggu aktivitas kedua putrinya.Ketika membuka pintu, Elvina mendapati Yasmin duduk melantai bersama beberapa boneka barbie-nya. Sedangkan Neira berada di sofa sambi
Atlan sudah rapi dengan pakaiannya, kini ia sedang menunggu Neira di ruang tamu. Hari ini mereka akan mendatangi book shop untuk membeli beberapa buku persiapan ujian. Meski mereka di skors dan tidak menerima pelajaran dari sekolah, keduanya tetap bisa belajar dari rumah.Sebenarnya perasaan Neira masih belum membaik setelah kejadian kemarin, tapi Atlan berusaha menghibur gadis itu dengan cara mengajaknya jalan-jalan. Dan, ide brilian Atlan yang tidak mungkin ditolak oleh Neira adalah dengan membeli buku. Sebab, gadis itu selalu menyukai hal yang berhubungan dengan buku.Tak seberapa lama kemudian Neira datang dengan setelah dress selututnya. Hal yang sempat membuat Atlan terdiam beberapa saat karena terkesima. Atlan tidak bisa mengelak bahwa penampilan Neira saat ini sangat cantik."Duh, cantiknya menantu bunda. Mau ke mana, jalan-jalan, yah?" Frida yang datang dari arah taman samping menghampiri keduanya."Kami mau beli buku, Bunda," jawab Neira sedikit
Setelah kepergian Bagas, mereka kembali ke ruang kerja Ferdinand. Tapi, hanya Neira, Elvina, dan Frida karena Haidar sudah pulang lebih dulu untuk pergi menemui kliennya.Sejak tadi Neira sudah menahan rasa penasarannya. Baik Elvina maupun Frida menyadari hal itu tapi tetap berpura-pura tidak tahu. Sampai akhirnya Neira pun menuntut penjelasan, dan keduanya tidak bisa mengelak lagi."Aku ngerasa Mama sama Bunda lagi nutupin sesuatu." Neira memandang Elvina dan Frida secara bergantian. Di mana kedua wanita itu pergi ke tempat berbeda. Jika Frida kembali ke sofa untuk duduk, Elvina sendiri menghampiri meja kerja Ferdinand untuk melakukan panggilan kepada Nimas."Apa yang kalian sembunyiin? Dan kenapa aku gak dikasih tau?" tanyanya."Neira, duduk sini. Kamu gak capek berdiri terus?" panggil Frida. Ia mengambil salah satu cangkir kopi susu yang tadi dibawa OB. Meski sudah tidak sehangat tadi, ia tetap meminumnya.Neira menurut tanpa banya