Share

EPISODE 6

Atmosfer tegang menyelimuti sebuah mobil fortunder hitam yang melaju dengan kecepatan sedang, dikarenakan dua orang penumpangnya yang tengah berdebat sengit. Dua penumpang tersebut adalah Rimbu, dan sang Kakak, Ratih. Hari ini merupakan hari keberangkatan Rimbu ke Jakarta, dan dirinya tak menyangka jika Ratih akan ikut serta dengan alasan yang sangat tidak masuk akal.

Ratih berkata ingin berlibur beberapa hari di Jakarta untuk sejenak melepas stres pekerjaan. Rimbu berikut keluarganya pun terkejut, menolak percaya jika akan keluar kata 'berlibur' dari mulut Ratih. Karena Ratih yang mereka kenal adalah seorang workaholic* yang bahkan tetap bekerja di hari libur nasional. Namun tak ada yang menyuarakan tanya, dan begitulah akhirnya Ratih ikut ke Jakarta.

Workaholic* kecanduan kerja, atau gila kerja, atau yang lebih dikenal dengan workaholism. Pertama kali digunakan untuk menggambarkan kebutuhan yang tidak terkendali untuk terus bekerja.

Padahal alasan sebenarnya Ratih ikut ke Jakarta hingga rela melepaskan label workaholicnya adalah karena ingin menginterogasi Rimbu perihal perampok yang menyatroni rumah kosnya. Insiden Rimbu dan Aksara yang tertangkap basah keluar dari kamar mandi yang sama tempo harilah awal mula keikutsertaan Ratih. Karena sejak insiden itu, baik Rimbu pun Aksara kompak membuat Ratih kian penasaran.

Merasa risih dengan pertanyaan Ratih yang mulai keluar dari jalur, Rimbu pun menceritakan insiden perampokan yang menimpanya dua tahun silam, tanpa penambahan dan pengurangan bumbu. Awalnya Ratih marah, tetapi tak lama menangis, hingga mulai memukuli Rimbu. Aksara bahkan sampai membanting stir untuk membantu Denar menghentikan aksi Ratih yang mulai tak terkendali.

"Kamu tuh gak hidup sendiri, Dek! Kamu punya Mbak, Ibuk, Bapak, Simbok! Cerita, Dek, Cerita! Jangan apa-apa kamu tanggung sendiri!" seru Ratih seraya kembali memukul lengan Rimbu.

"Udah, Mbak. Jangan dipukul lagi, kasian." Denar merentangkan satu tangannya untuk menahan pukulan Ratih.

"Ibu Bapakku yang pantes dikasihani di sini, bukan dia! Gimana perasaan mereka kalo tau anaknya ngalamin hal kaya gitu di kota orang? Sendirian? Hah?" Ratih masih berseru.

"Ya makanya aku gak cerita karna tau endingnya bakal ribet."

"Ribet kamu bilang? Ribet? Hah?" Ratih hendak kembali memukul Rimbu, tapi dengan cepat Aksara melompat dan memasang badannya demi melindungi Rimbu.

"Iya. Ribet banget. Ma--"

"Bisa gak usah ngomong aja gak?" sela Aksara pada Rimbu.

"Pulang sekarang sama Mbak! Kalo sampe berani ke Jakarta lagi, Mbak gak akan segan ngomong ke Ibuk sama Bapak soal ini!"

"Ngomong aja," balas Rimbu pada Ratih.

"Gak perlu kamu suruh!" Ratih mengambil tasnya kasar, dan keluar dari mobil Aksara.

"Kejar, Den. Kalo dia niatnya emang mau pulang, pastiin selamet sampe rumah."

Denar mengangguk menanggapi Aksara seraya keluar dari mobil. "Oke."

Aksara melirik kaca dalam mobilnya. Terlihat Denar tengah mengejar Ratih yang berjalan cepat tanpa tujuan. Sementara Rimbu masih menunduk sambil sesekali memegang sebelah lengannya yang baru saja dijadikan samsak oleh Ratih. Spontan Rimbu menoleh, ketika Aksara tiba-tiba membuka jaketnya. Rimbu menghindar, namun Aksara bersikeras melepas jaket hijau itu.

"Saya gak apa-apa."

Aksara memegang lengan Rimbu. "Aw," imbuh Rimbu.

"Saya kenapa-kenapa. Itu yang bener. Gua ada krim khusus buat sakit beginian." Aksara beranjak, mengambil sesuatu dari dalam laci mobilnya.

"Makasih. Terus maksudnya yang gak apa-apa itu mental saya, bukan lengan saya." Rimbu melepas jaketnya.

"Biasa dipukul sama Ratih?"

"Enggak," jawab Rimbu.

"Yang lain juga suka mukul?" Aksara mulai membalurkan krim di lengan Rimbu.

Spontan Rimbu menatap Aksara, membuat Aksara sedikit terkejut. "Jangan ngelewatin batas, saya udah kebas."

Aksara membalas tatapan Rimbu. Tatapan yang menjengkelkan karena sulit dibaca, seperti sangat marah tetapi juga sangat tenang, seperti memberi ultimatum tegas dengan nada yang ramah, dan seperti mengusir tetapi takut kesepian. Aksara merasa seakan melihat dirinya dalam mata Rimbu. Mungkin tatapan itu jugalah yang terlihat di mata para wanita yang cintanya Aksara tolak mentah-mentah.

"Gua juga udah kebas, jadi jangan khawatir gua bakal ngelewatin batas. Gua cuma mau temenan sama orang yang sama-sama belom bisa damai sama masa lalunya," sahut Aksara seraya membenahi jaket Rimbu.

•••••

Dua jam lalu Denar menelepon Aksara, mengabari jika saat ini dirinya tengah menikmati es kelapa muda sembari mengawasi Ratih yang duduk lesu di bibir pantai. Denar meminta Aksara untuk melanjutkan perjalanannya ke Jakarta, karena belum ada tanda-tanda Ratih akan melunak dalam waktu dekat.

Denar akan langsung menyusul ke Jakarta jika Ratih sudah dikawalnya dengan selamat sampai rumah. Aksara setuju, dan langsung menutup telepon setelah berulang kali mengingatkan Denar untuk selalu memberinya kabar. Dan begitulah akhirnya Aksara dan Rimbu berada dalam satu mobil menuju kota Jakarta.

Selama satu jam perjalanan tidak ada yang bersuara. Baik Aksara pun Rimbu, kompak menahan diri agar tidak secara sengaja membuka mulut dan mengundang topik pembicaraan canggung. Aksara hanya melihat lurus ke depan, fokus mengemudi. Sementara Rimbu, membuang wajahnya ke samping, menatap jauh ke luar jendela.

Namun lagi-lagi semesta turun tangan, kembali mendekatkan dua insan pendendam itu agar mau sedikit melunak. Salah satu lampu belakang mobil Aksara mendadak mati, membuat Aksara mau tak mau menepi di bahu jalan demi menghindari hal-hal yang bisa membahayakan keselamatan.

Spontan Rimbu menoleh pada Aksara. "Kenapa?"

"Lampu belakang gua mati."

"Serius?" tanya Rimbu lagi.

Aksara keluar dari mobil. "Bentar gua cek."

Beberapa detik kemudian..

"Iya lampu belakang gua mati. Tapi gua bisa benerin. Lu tunggu di dalem aja."

Rimbu tak menjawab, dan malah ikut menemani Aksara di bawah guyuran hujan yang mulai deras. "Tunggu di dalem aja," imbuh Aksara.

"Mungkin saya bisa bantu-bantu ngambil alat. Biar cepet."

"Di dalem aja. Buka-bukain makanan di plastik. Gua laper," jawab Aksara.

"Oh yaudah."

Rimbu berjalan setengah berlari masuk ke dalam mobil. Sambil mengikat rambutnya, Rimbu menoleh ke segala tempat mencari plastik putih yang dimaksud Aksara. Setelah menemukan plastik berukuran sedang itu, Rimbu langsung melihat isinya dan memilih makanan yang paling mungkin disukai Aksara.

"Bisa?"

Aksara masuk ke dalam mobil seraya mengangguk menanggapi Rimbu. "Ini beli banyak banget buat dimakan sendiri?" tanya Rimbu lagi.

"Iya. Gua sama Denar doyan makan."

Rimbu menyodorkan seporsi nasi bakso pada Aksara. "Saya gak tau kamu suka makanan yang mana."

"Yang mana aja yang penting bisa dima--"

"Kalo gak suka bakso saya aja yang makan. Soalnya saya suka bakso," sela Rimbu pada Aksara sambil mengurungkan niatnya memberikan makanan itu.

Spontan Aksara tertawa. "Kamu nasi ayam geprek aja. Nih," tambah Rimbu.

"Karakter asli lu keluar kalo lagi laper ya?"

"Mungkin," balas Rimbu.

Aksara terus tertawa, bahkan ketika Rimbu tidak berkata apa-apa. Sedangkan Rimbu, mengabaikan tawa geli Aksara dan memilih fokus menyantap seporsi makanan pedas di pangkuannya. Meski keduanya kini sudah tidak saling berbicara, atmosfer di sekitar terasa jauh berbeda dari sebelumnya.

"Ada yang mau gua ceritain. Gua rasa lu perlu tau."

Rimbu masih sibuk melahap makanannya. "Soal apa?"

"Bokap lu."

"Kenapa?" tanya Rimbu lagi.

"Dia punya DID*."

DID* adalah kondisi di mana seseorang memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Kepribadian ganda disebut juga gangguan identitas disosiatif atau dissociative identity disorder (DID), dan umumnya disebabkan oleh pengalaman traumatis yang terjadi secara berulang di masa kanak-kanak.

Rimbu menoleh pada Aksara. "DID?"

Aksara ikut menoleh pada Rimbu. "Gua gak bisa jelasin banyak. Yang gua tau itu tuh semacem kepribadian ganda."

"Gitu ya." Rimbu kembali fokus pada makanannya.

"Jadi lu udah tau."

"Enggak," balas Rimbu singkat.

"Jawaban lu kedenger sebaliknya."

Rimbu diam sesaat, lalu kembali menoleh pada Aksara. "Apa tujuan kamu ngasih tau saya soal ini?"

"Gua cuma gak mau jatoh korban lagi. Walopun keliatannya bokap lu udah sembuh sih. Ya jaga-jaga aja."

"Makasih udah khawatir. Tapi saya harep kamu pegang bener-bener omongan kamu buat gak ngelewatin batas."

•••••

TOK.. TOK.. TOK.. TOK.. TOK..

Suara ketukan pintu yang dipenuhi amarah meluap itu membuat satu per satu penghuni Rumah Kos Nirwana beranjak dari ranjangnya. Mereka bergegas membuka pintu kamar, dan tak sabar untuk memaki si Pembuat Keributan yang telah berani mengacaubalaukan waktu istirahat berharga mereka.

Namun setelah tahu jika si Pembuat Keributan adalah bidadari sekaligus malaikat tak bersayap alias Rimbu, satu per satu para penghuni rumah kos tersebut kompak untuk balik kanan, kembali masuk ke dalam kamar masing-masing tanpa melontarkan makian sepatah kata pun, meski hanya dalam hati.

Di mata para penghuni Rumah Kos Nirwana, Rimbu bukan hanya sosok bidadari yang menyegarkan indra penghliatan mereka saja, melainkan juga sosok dermawan yang tidak segan membagi makanan rasa bintang lima, pakaian sangat layak pakai, bahkan THR lebaran dalam jumlah yang tidak main-main.

Oleh karenanya Rimbu selalu menjadi pengecualian, dan selalu mendapat porsi toleransi lebih banyak. Ditambah lagi paras Rimbu yang terlewat bening, membuatnya semakin mudah dimaafkan meski telah melakukan kesalahan dalam bentuk apapun, dan meski telah bersikap barbar seperi sekarang sekali pun.

KLEK!

Pintu sebuah kamar kos terbuka, menampakkan sesosok pria tampan bertelanjang dada. Penampilan si Pria Tampan yang tak lain adalah Theo itu membuat amarah Rimbu sempat meredup sesaat. Kulit tanpa noda berhias tumpukan otot serta batu bata di bagian perut itu benar-benar sukses mengancam kesehatan jantung, khusunya jantung para kaum hawa.

"Saya cuma tidur sejam dari minggu lalu."

Rimbu membalikkan tubuhnya membelakangi Theo. "Emang kamu masih bisa tidur setelah masuk kosan orang tanpa izin, hah?"

"Kan saya udah kasih tau alesannya."

Spontan Rimbu kembali menghadap Theo. "Kamu pikir alesan kamu masuk akal?"

Theo menghela napas. "Enggak. Tapi mau gimana kalo emang kenyataannya begitu? Ada suara piring jatoh di kosan kamu. Karna saya pikir itu maling, akhirnya terpaksa saya dobrak."

"Bisa gak lain kali gak usah peduli sama apapun yang menyangkut saya?"

"Bisa kalo saya gak ada rasa," balas Theo.

"Hah, terserah. Emang buang-buang waktu ngeladenin anak kecil kaya ka--"

BRAK!

Ucapan Rimbu terjeda karena tiba-tiba Theo menarik tangan Rimbu, dan membawa paksa Rimbu masuk ke dalam kamarnya. Rimbu pun bergegas keluar dari kamar beraroma parfum pria itu, namun dengan cepat Theo mengunci pintu kamarnya, dan melemparkan kunci tersebut ke sembarang tempat.

Rimbu terpaksa kembali berbalik menghadap Theo, berniat menampar pria bermata cokelat itu sampai puas. Namun sebuah kecupan lembut di bibir Rimbu seketika meluruhkan niat barbarnya. Kecupan yang perlahan berubah menjadi ciuman panas itu membuat Rimbu meronta, sekaligus menikmati.

Sebelah tangan Theo yang melingkar kuat di leher Rimbu, membuat Rimbu sama sekali tidak mampu menegakkan kepalanya kembali. Sementara sebelah tangan Theo yang lain, melingkar tak kalah kuat di pinggang ramping Rimbu, membuat Rimbu mau tak mau membiarkan Theo menguasai bibirnya.

PLAK!

Theo memegang bekas tamparan Rimbu di sebelah pipinya. "Aw."

"Udah gila ya kamu, hah?"

"Kayanya iya. Tapi dimaafin kan? Anak kecil kan wajar misal bikin salah," jawab Theo.

DEG.. DEG.. DEG..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status