Share

EPISODE 7

Raras beserta beberapa orang karyawan Rimbu tengah sama-sama sibuk mengantar makanan dan minuman ke meja para pengunjung. Sementara si Pemilik Kafe sendiri malah duduk santai di kursinya, sembari terus-menerus bercermin, seolah cemas akan ada rontokan maskara di sekitar matanya.

Hari itu merupakan kali pertama tangan-tangan Rimbu tidak memegang nampan, gepokan uang, pun kertas-kertas bon, melainkan cermin bermotif bunga sakura. Gelagat aneh Rimbu tidak berhenti sampai di situ. Wajah Rimbu tiba-tiba berubah menjadi semerah kepiting setelah dia menyudahi kegiatan bercerminnya.

TAK!

Semangkok jumbo mi kuah bertabur bon cabe level lima puluh baru saja didaratkan dengan penuh emosional oleh karyawati terbaik sekaligus mantan santriwati Pondok Pesantren Tebu Ireng, Putri Kaniraras (Raras). Gadis berpashmina itu menyendok makan siangnya sambil menatap serius ke arah Rimbu yang masih saja sibuk bercermin.

"Lu abis ngapain sama Babang Roti Sobek?

Spontan Rimbu tersentak. "Aha, ternyata beneran abis ngapa-ngapain. Cerita dong. Gimana-gimana," imbuh Raras.

"Gak. Apaan sih lu. Cepetan makannya, terus datain komik-komik yang covernya udah pada lecek."

Raras mendekatkan wajahnya pada Rimbu seraya berbisik, "Abis ciuman ya lu?"

"Ih, apaan sih. Bisa banget ya jebolan pesantren tapi pikirannya ngeres banget."

"Aha. Jadi bener abis ciuman. So, gimana rasanya? Biar mungkin bukan ciuman pertama, tapi kayanya berkesan ngelebihin ciuman pertama ciyeeee," balas Raras pada Rimbu.

Rimbu menyumpal mulut Raras dengan potongan kerupuk. "Iya, gue abis ciuman. Udah cepetan makan. Terus balik kerja."

"Ceritain dulu dong kronologinya. Tanggung udah kepo nih. Dari dulu kan lu sama dia sama-sama kuat iman tuh. Tapi kok bisa kok bisa?"

"Bukan sama Aksara," jawab Rimbu malas.

Kunyahan lahap Raras seketika terhenti saat mendengar jawaban Rimbu. Rimbu yang tampak sangat enggan melanjutkan ceritanya, membuat Raras semakin tertantang untuk berpikir keras. Satu nama seorang pria terlintas di benak Raras, pria selain Aksara yang paling mungkin melakukan kontak fisik dengan Rimbu.

"Jangan bilang sama Bang Theo?"

Rimbu mengangguk malas menanggapi Raras. "Niatnya gue pengen nampar itu anak, tapi tiba-tiba dia nyium gue."

"Widih, kaya drama korea ya bunda. Tapi ntar dulu deh, gue tadi bilang 'Babang Roti Sobek' loh, dan lu tau yang gue maksud pasti Bang Aksara. Jadi Bang Theo juga punya roti sobek? Gak, pertanyaan intinya adalah, lu ngapain aja sama Bang Theo sampe tau kalo dia punya roti sobek?"

"Gue ngajak ribut dia jam satu pagi. Dia lagi tidur, dan cuma pake sarung," sahut Rimbu pada Raras.

Raras mengangguk-anggukkan kepalanya. "Terus, masalah lu apaan? Menurut gue lu seneng-seneng aja tuh disosor sama dia."

"Ya, mmm gak seseneng itu sih, tapi gue gak benci juga. Ah taulah. Pokoknya gue gak suka sama tuh anak kecil."

"Ngapa? Emang dia pernah punya salah sama lu? Kaya salah yang fatal banget misalnya? Enggak kan? Jadi gini bunda, wajar kita sebagai manusia punya rasa benci, tapi harus berdasar loh," balas Raras pada Rimbu.

Rimbu mencerna apa yang baru saja dikatakan Raras, perkataan menusuk yang tidak bisa dibantah kebenarannya. Jika direka ulang sejak kali pertama Rimbu dan Theo bertemu di Jakarta, Theo memang tidak pernah berbuat salah pada Rimbu. Pria sholeh itu malah cenderung bersikap ramah dan sering menawarkan bantuan.

Reka ulang itu terus berlanjut, hingga membuat Rimbu tersadar jika bukan Theolah yang pernah membuat kesalahan fatal, melainkan dirinya sendiri. Phobia Rimbu terhadap pria berwajah terlewat tampan berimbas pada Theo yang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang pengalaman pedihnya di masa lalu.

"Nyesel gue nilai dia sopan. Lagian anak kecil mana ngerti sopan," gumam Rimbu.

"Oh, jadi lu ngatain dia anak kecil sebelom endingnya lu disosor?"

Rimbu hanya mengangguk menanggapi Raras. "Salah lu juga ngatain dia 'anak kecil'. Ya kepancinglah dia. Akhirnya ya gitu deh, dia ngelakuin hal-hal cabul yang menurut dia lumrah dilakuin sama anak kecil yang gak tau apa-apa."

"Tapi gak tiba-tiba nyium juga. Emang dasarnya itu anak udah gila. Mana keingetan mulu lagi gue." Rimbu menutup wajahnya dengan buku.

Raras tertawa. "Tiati bunda, benih-benih cinta bisa nyelip lewat ciuman dadakan gitu loh."

•••••

Pagi itu Rimbu yang merasa tidak enak badan menghubungi Raras, memintanya untuk tetap membuka kafe dan menangani semua kegiatan sebab dirinya tiba-tiba terserang demam ketika bangun tidur. Setelah memastikan kesediaan Raras, Rimbu pun meminum sebutir obat pereda demam dan memutuskan untuk beristirahat penuh. Namun.

DRRTT.. DRRTT.. DRRTT..

"Rim? Ini ada tamu dari kepolisian. Katanya mau ketemu kamu."

"Kayanya saya gak punya kenalan dari kepolisian deh, Madam," balas Rimbu pada pemilik rumah kosnya.

"Katanya temennya Aksara. Mau ngobrol soal Pak Panji. Coba kamu turun dulu temuin. Kali aja kalo ngeliat orangnya langsung baru kenal."

"Oh iya, Madam. Saya turun sekarang. Makasih, Madam." Rimbu beranjak seraya mengakhiri panggilan teleponnya.

Setelah bersusah payah menyusuri perjalanan panjang menuju ruang tunggu tamu yang berada di lantai dasar, Rimbu pun bertemu dengan seorang polisi muda yang mengaku sebagai senior sekaligus sahabat Aksara. Polisi berpakaian ala-ala agen FBI itu langsung menyerahkan berkas pada Rimbu setelah memperkenalkan dirinya.

"Saya jadi gak enak karna Mbaknya lagi sakit. Aksaranya juga gak ngasih tau apa-apa lagi," ujar si Polisi sembari tersenyum canggung.

"Gak apa-apa. Lagian cuma demam biasa aja."

"Semoga lekas pulih ya, Mbak." Si Polisi kembali tersenyum canggung.

"Makasih. Tapi ini maksudnya apa ya?" Rimbu menunjukkan berkas yang sedari tadi dibacanya.

Si polisi membaca sekilas isi berkas yang ditanyakan Rimbu. "Iya jadi Pak Panji ini dulu pernah terlibat kasus pencabulan. Hakim gak jatohin pidana karna Beliau terbukti punya penyakit jiwa. Akhirnya Beliau dirujuk buat psikoterapi."

Rimbu tampak terkejut. "Kabar terakhir yang saya denger sih Beliau cuma dua bulan diterapi, abis itu dibawa keluarganya ke Jombang. Terus katanya sekarang udah sembuh total bahkan udah nikah," imbuh si Polisi.

Rimbu tak menjawab, sebab semua yang dijelaskan si Polisi terdengar samar di telinganya. Pikiran Rimbu kini tengah sibuk melanglang-buana ke masa lalu, ke masa yang sejuta kali lipat lebih kelam dari pengkhiantan cintanya, ke masa ketika dirinya melihat seorang gadis belia yang dipaksa memenuhi berahi iblis berwujud sang Ayah Sambung.

*FLASHBACK ON*

Pagi itu, di gudang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan persediaan makanan. Rimbu kecil yang diam-diam gemar menyantap mi instan tanpa dimasak bersembunyi di balik tumpukan kardus minyak goreng dan tepung terigu. Dan di sanalah awal mula sikap dingin Rimbu pada Panji, juga pada sang Kakak Kandung, Ratih.

"Kamu gak mau Pak Kepala Sekolah sampe ngadu ke Ibu soal ulah kamu kan?"

Ratih hanya menggeleng menanggapi Panji. "Yaudah makanya nurut. Pak Kepala Sekolah janji gak bakal bilang sama Ibu. Oke?" imbuh Panji.

Ratih masih tak bersuara. "Ayo bantu buka. Terus abis itu berangkat sama-sama ke sekolah."

Awalnya Ratih meronta ketika Panji melucuti seragam sekolahnya, namun ketika sesuatu dibalik rok merahnya sukses dijamah oleh Panji, Ratih berhenti meronta, dan malah menyumpal sendiri mulutnya dengan dasi. Rimbu masih ingat percakapan itu, mimik wajah itu, serta apa-apa saja yang keduanya lakukan di lantai gudang yang sangat kotor.

Ya. Rimbu masih sangat ingat. Bahkan insiden pagi itu masih sering menjelma menjadi mimpi buruk hingga detik ini. Wajah sang Ayah Sambung yang tenggelam dalam kenikmatan yang tak Rimbu mengerti, serta erangan ambigu sang Kakak yang bagian-bagian sensitifnya tak henti dimainkan oleh jari-jemari berukuran raksasa.

"Mbak Ratih diapain? Kenapa Mbak Ratih gak nangis? Kenapa Bapak pake seragam Ibu?" tanya Rimbu dalam hati seraya menahan tangis.

*FLASHBACK OFF*

"Mbak?" Si Polisi menepuk sebelah pundak Rimbu.

"Maaf saya ngelamun."

"Gak apa-apa, Mbak. Ada yang mau ditanyain lagi?" tanya si Polisi.

"Mmm, ada daftar korbannya?"

"Ada. Nah ini, Mbak. Disini dilaporkan korbannya ada sekitar dua puluh enam orang." Si Polisi memutar berkas ke hadapan Rimbu.

"Seharusnya dua puluh delapan orang," gumam Rimbu.

"Maaf? Mbaknya ngomong apa barusan? Saya gak begitu denger."

Rimbu menggeleng. "Saya boleh pinjem berkasnya?"

Si polisi diam sesaat, berpikir. "Berkas ini sifatnya sangat rahasia, Mbak. Jujur aja kalo bukan Aksara yang minta saya gak bakal berani bawa berkas ini keluar."

"Gitu ya."

"Tapi Mbak Rimbu bisa baca berkas ini kapan aja langsung di kantor. Minta anter sama Aksara aja," balas si Polisi.

•••••

Rimbu melempar ponselnya setelah berulang kali membaca pesan singkat dari Theo. Entah karena suhu terlampau dingin yang membekukan seluruh isi kepala Theo dan membuatnya menjadi sinting, atau Theo memang mengetikkan isi pesan singkat itu dengan keadaan sadar dan sepenuh hati, Rimbu tetap saja kesal.

Rimbu mengirimkan isi pesan singkat itu pada Manik, yang spontan direspon Manik dengan panggilan video call. Manik merasa konyol karena seorang tenaga pendidik seperti Theo ternyata memercayai mitos konyol seperti, 'cinta sejati akan bersemi ketika sebuah ciuman dilakukan di detik-detik menuju malam pergantian tahun'.

Isi pesan singkat dari Theo tersebut jelas menyiratkan jika saat malam pergantian tahun nanti dirinya akan kembali mencium Rimbu. Demam hebat Rimbu yang semula dirasanya telah membaik, seketika kambuh menjadi lebih parah sesaat setelah ponselnya menerima sebuah pesan singkat dari nomor tak tersimpan.

"Yang namanya Theo kaya apa? Ada fotonya gak? Coba sini biar diterawang dulu sama generasinya Mbah Miwjan." 

"Ngapain juga gue nyimpen fotonya dia," balas Rimbu pada Manik.

"Coba save nomernya biar foto profilnya muncul. Abis itu apus lagi."

"Enggak bakal. Udah ah gue mau prepare ngontrol kafe." Rimbu menyandarkan ponselnya di meja rias.

"Lu ngatain Mbak Ratih workaholic najis, padahal sendirinya juga sama."

Rimbu diam, sebab tiba-tiba teringat sesuatu ketika mendengar nama sang Kakak disebut. "Btw lu tau soal DID?"

"Taulah. Ngapa?"

"Penderitanya bisa berubah jadi apa aja? Jadi pemerkosa gitu bisa gak?" tanya Rimbu ragu.

Tampak dari layar ponsel Rimbu, wajah Manik yang seketika berubah menjadi sangat serius. "Lu lagi ngomongin orang lain apa Om Panji?"

Rimbu tak menjawab, tetapi terlihat sangat terkejut. "Nah kan bener dugaan gue. Berarti waktu itu gue gak salah liat."

"Liat apa?"

"Gak seru ah kalo diceritain di sini. Minggu depan deh gue ke Jakarta," jawab Rimbu.

"Eh? Serius?"

Manik mengangguk menanggapi Rimbu. "Soalnya gue mantep gak lanjut S2."

"Ada masalah ya?" tanya Rimbu ragu.

"Yaiyalah masa enggak. Udah, minggu depan gue ke Jakarta. Jemput di stasiun lebih awal sebelom gue ilang."

Rimbu tertawa paksa menanggapi Manik, sahabat kecilnya yang sangat mahir memendam masalah itu. Sejujurnya Rimbu sudah bisa menebak alasan Manik tidak melanjutkan pendidikan S2nya. Apalagi kalau bukan perihal biaya. Ibu Manik yang hanya seorang peramu jamu, harus menghidupi Manik dan dua orang Adiknya yang berkebutuhan khusus.

Meski begitu Manik dan sang Ibu tidak pernah sekali pun meminjam uang pada sekitar, tetapi mereka langsung menerima jika diberi bantuan berupa apapun, terutama uang. Ketika ada yang bertanya di mana keberadaan kepala keluarganya, Manik serta sang Ibu kompak menjawab 'hilang'. Ya, hilang. Hilang di pelukan wanita idaman lain.

"Plis, ganti ekspresi muka sedih lu sebelom gue cakar onlen," imbuh Manik seraya terbahak.

Rimbu kembali tersenyum. "Yaudah kabarin kalo berangkat ke Jakarta ya, nanti gue jemput."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kumi Kimut
semangat kak Seul
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status