Share

Katanya, wajar!

Author: SyasaRanni
last update Last Updated: 2023-12-30 22:36:07

Kegelapan gulita memaksa mata untuk dapat melihat dalam gelap meski hampir mustahil rasanya, hanya kepekaan diri yang menguatkan kesadaran. Vina kembali menyalakan ponselnya dan menjulurkan tangan sambil memperhatikan sekitar, hanya dengan bekal melalui cahaya ponsel temaram.

"Gue punya ide," bisik Vina yang terdengar jelas oleh lima temannya, bisikan yang terasa seperti ucapan akibat keheningan, "kita ikuti mereka, tadi gue lihat ada kayak cahaya lentera. Gimana?"

"Ngapain?" sahut Desry langsung membuat tangan Vina yang memegang ponsel untuk terjulur ke depan wajahnya.

"Gue enggak mau basa-basi. Yang mau ikut ya ayo, yang enggak mau ikut silakan tidur," tukas Vina mematikan ponselnya lalu terasa wanita itu berdiri, getaran tipis dari lantai kayu cukup menyuratkan ketegasan wanita itu.

"Vin ... Vin," panggil Afrian yang tidak lagi menjaga intonasi suaranya, "jangan gegabah," lanjutnya dengan bantuan sorotan senter ponsel dari empat anggota kelompok.

Sesaat langkah Vina terhenti, namun ucapan Afrian tidak cukup membuat wanita itu menoleh atau kembali duduk. Justru sebaliknya, Vina kembali melangkah dan benar-benar mengabaikan himbauan dari ketua kelompoknya.

"Ck," decak Angga langsung bangkit dari duduknya dan mengejar Vina, "kita harus jaga dia, ini tempat masih asing," katanya lalu meninggalkan Afrian yang terdengar berdesis.

"Gue ikut deh," ucap Desry usai mengambil kameranya dan mengikuti jejak Angga.

"Gue jaga barang di sini, lo ketua kelompoknya harus ikut, Af," cetus Liona membuat pria berambut cepak itu mengernyit, "gue mau tidur, capek." Liona melanjutkan ucapannya dan mengambil posisi berbaring.

"Lo, Win?" sambung Afrian pada temannya yang sudah berdiri.

"Gue mau tidur di kamar cowok, lo urus saja yang lain. Cepat sana, entar jadi masalah," tukas Erwin seraya berjalan melewati Afrian, bahkan tanpa menunggu jawaban pun pria itu benar-benar beranjak meninggalkan kamar pojok.

"Jangan aneh-aneh sama Liona!" tegas Afrian sambil mengikuti Erwin menuju kamar lain, seraya mewaspadai kemungkinan dari segala kejadian, mengingat keberadaan mereka di desa orang yang terbilang aneh.

"Iya, siapa juga yang bisa tertarik sama cewek modelan kayak Liona?" sahut Erwin kemudian masuk kamar, "kalau enggak percaya juga, bawa saja kunci kamar," lanjutnya hendak mencabut kunci di pintu namun langsung dicegah oleh Afrian.

"Oke, gue susul yang lain," ucap Afrian menarik pintu kamar itu dan menutupnya, mengabaikan sorakan malas dari Erwin.

***

Berlari dalam kegelapan dengan hanya berbekal ponsel bercahayakan temaram, demi menjaga daya yang terbatas sebab jarangnya akses listrik untuk desa. Mengandalkan foto denah desa yang digambarnya siang tadi, Afrian bergegas menuju rumah Erina karena ingatannya terkait pertanyaan terakhir Vina.

Dari kejadian demi kejadian yang terjadi di desa selama kurang dari dua puluh empat jam, Afrian menyadari bahwa tipe wanita keras kepala dengan kemampuan analisis yang cepat benar-benar ada. Jauh sebelum KKN dilakukan, Afrian termasuk golongan laki-laki yang berpikir bahwa wanita hanya mengandalkan perasaan dan menolak fakta dengan analisis atau logika.

"Shh!" desis sebuah suara dari pojok kanan dekat semak.

Afrian menoleh dan mendapati Desry sedang bersembunyi di balik pohon dan semak yang tidak cukup lebat, namun kegelapan mendukung persembunyiannya itu. Bergegas sang ketua kelompok itu menghampiri dengan langkah yang berjingkat, "Vina sama Angga mana?" tanyanya pelan setelah merunduk di sebelah Desry, wanita yang kini hanya berjongkok namun mengangkat tangannya tinggi sambil memegang kamera.

Desry pun menarik-narik pelan celana Afrian, menyiratkan agar pria itu berjongkok dan mengikuti caranya, "Vina di belakang rumah itu, Angga di seberang sana," jawabnya setelah pria itu berjongkok.

"Ngapain?" tanyanya mengernyitkan dahi.

"Pasang telinga lo yang benar," ketus Desry menjawab.

Terdiam Afrian mendengar jawaban demikian, walau dirinya adalah seorang laki-laki dan sebagai ketua kelompok. Tidak pernah sedikit pun, Afrian berekspektasi akan dihormati atau dipatuhi dan didengar oleh anggota kelompoknya. Jadi jawaban Desry tentu tidak mengejutkannya.

Hening kembali terjadi, bahkan debur ombak hanya terdengar samar walau di malam hari. Afrian mengira mungkin karena jarak antara rumah Erina dengan tepi pantai tidak cukup dekat dan tidak juga cukup jauh, bahkan bunyi jangkring genggong hanya sesekali terdengar.

Sampai kemudian Afrian menahan napasnya, tak segan pula pria itu membekap mulutnya sendiri juga menahan napas dan tak lupa membekap mulut Desry. Suara desahan disertai pukulan antar kulit terdengar jelas, tidak bisa dikatakan kencang namun jelas terdengar di malam hari yang sunyi.

"Lo mau tahu yang aneh?" bisik Desry setelah menyentak tangan Afrian dari mulutnya, "tadi suaminya Erina alias si Agus pergi bawa jala, terus tiba-tiba si botak masuk. Dan sekarang terdengar ini."

"Hah? Agus siapa?" pungkas Afrian cepat.

"Suami Erina, gue juga enggak tahu sih. Tapi tadi Angga bilang kalau cowok itu namanya Agus, dan cowok itu juga yang ajar anak kecil buat memuaskan diri pakai lima jari tadi siang," tutur Desry yang semakin tidak mengerti Afrian, terlihat jelas dari ekspresi pria itu yang semakin mengerut bingung, "sudahlah, nanti lo tanya Angga saja. Ribet."

"Terus maksud lo, Erina berhubungan terlarang sama si botak yang intip lo mandi?" tangkas Afrian justru menghasilkan decakan malas dari Desry, "ribet memang kalau ngomong sama cewek," sambung pria itu setelah menyadari tidak mendapat respon dari wanita dengan kamera di tangannya selain decakan.

"Lo yang ribet," ketus Desry mengabaikan keberadaan Afrian.

Perdebatan kecil yang dirasa menyebalkan oleh Afrian dan Desry pun terselesaikan secara paksa, jeritan dan desahan yang terdengar menyakitkan kian menimbulkan rasa ingin tahu amat tinggi. Sampai Vina mengendap berjalan melewati tempat persembunyian Afrian dan Desry, "shh!" desis Desry seperti sebelumnya ia memanggil si ketua kelompok.

"Balik," kata Vina dari gerak mulut yang dapat dibaca oleh wanita dengan kamera di tangannya, ditambah dengan isyarat jemari yang dilakukan untuk memberi kode pada Angga yang berada di sisi lain.

Empat mahasiswa itu pun bergegas pergi, walau masing-masing di antara mereka saling menyimpan pertanyaan dan ungkapan yang sangat ingin diutarakan satu sama lain. Meski begitu, membaca situasi dan menganalisis keadaan ternyata lebih penting dari pada mengutamakan kebebasan berpendapat.

"Kenapa?" bisik Angga setelah mereka berada di dekat pohon mahoni dekat rumah sementaranya.

"Ada dua bapak-bapak tadi masuk ke rumah Erina lewat jendela, sempat gaduh, tapi terus aktivitas menjijikkan itu dilanjutkan." Vina berujar sambil mengamati situasi sekitar, memastikan tidak ada yang mendengar selain ketiga temannya itu.

"Lah? Kok bukan digerebek?" pungkas Desry yang kini lebih andal menjaga intonasi suaranya.

Vina mengeluarkan ponselnya dan membuat folder baru di aplikasi catatan bawaan benda pipih miliknya itu, "gue rasa, kita harus buat catatan tentang semua yang kejadian di desa ini. Gue bakal bikin folder ini bisa diakses pakai surel kalian, nanti gue kirim tautannya. Jadi selain dari buku, kita juga komunikasi lewat catatan di ponsel."

"Vin ... kok bisa sih? Lo enggak jawab gue," rengek Desry mendapat lirikan tajam dari Afrian.

"Sabar," desis pria itu mengisyaratkan agar Desry memperhatikan hal yang diketik oleh Vina di catatan pertama dari folder itu.

"Katanya, wajar." Desry membaca dua kata yang Vina tempatkan sebagai judul dari catatan pertama itu, "kok wajar sih? Apanya? Dimana wajarnya istri begitu ke adik ipar pas suaminya pergi?"

"Biar saja sih, wajar juga kita begini ke Ririn. Cewek kurang ajar dia!" Vina berujar seperti menyerupai seseorang, "itu yang gue dengar dari salah satu bapak-bapak yang masuk ke rumah Erina, plus ... suara itu sama persis kayak suara orang yang intip ke kamar kita tadi," lanjut Vina lalu kembali berjalan ke rumah.

"I-itu serius?" tanya Desry terbata.

"Sudah ayo masuk," ucap si ketua kelompok mengambil alih kamera Desry yang hampir terjatuh dari pegangan wanita itu, "terus tidur," sambung Afrian memberi isyarat pada Angga untuk membantunya menuntun Desry ke dalam rumah.

Meski tubuh dan ekspresi Desry seperti mematung akibat rasa terkejutnya, saat dipegang kedua lengannya oleh Afrian dan Angga, terasa jelas Desry gemetar takut yang dapat dirasakan dengan mudah, "enggak usah takut, kita pelajari mereka sambil kumpulkan data terus minta bimbingan dosen dari pesan atau surel nanti." Angga berucap menenangkan Desry yang sama sekali tidak menghasilkan apapun.

"Sudah, kalian ke kamar saja sana. Biar gue yang urus," tutur Vina mengambil alih tuntunan dua pria itu terhadap Desry, sesaat setelah Vina memegang lengan temannya, Desry langsung terlonjak dan berlari ke kamar pojok.

"Gue mau tidur! Gue yakin ini mimpi," ujarnya yang dianggap wajar oleh Afrian, Angga, dan Vina sebagai respon tubuh Desry atas rasa terkejut sekaligus ketakutannya yang besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Melisristi
Iiihhhh seereeemm
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KKN Di Desa Metanoia   (125) Terima Kasih!

    Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan

  • KKN Di Desa Metanoia   (124) Menjelang Peresmian

    Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya

  • KKN Di Desa Metanoia   (123) Jenguk Vina

    Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu

  • KKN Di Desa Metanoia   (122) Keputusan Hidup Erina

    "Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur

  • KKN Di Desa Metanoia   (121) Pulang Ke Rumah

    Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat

  • KKN Di Desa Metanoia   (120) Berkunjung ke lapas

    Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status