Home / Thriller / KKN Di Desa Metanoia / Gudang Berbau Busuk

Share

Gudang Berbau Busuk

Author: SyasaRanni
last update Last Updated: 2023-12-07 14:04:13

Langit telah gelap dengan taburan bintang di angkasa luas yang hanya bisa dipandang, bersama cahaya bulan purnama yang lebih dominan menarik perhatian, lima mahasiswa beriringan jalan menuju rumah. Cahaya ponsel yang tidak seberapa cukup membantu penglihatan, setidaknya mereka harus sudah mulai membiasakan diri dari terbatasnya akses listrik.

Baru sampai di depan pohon mahoni yang berada dekat penginapan, Afrian terhenti dan memutar arah tubuhnya untuk melihat ke anggota kelompok yang ia pimpin. Sedari tadi, memang Afrian berjalan di paling depan, "Kemana Angga?" tanya pria itu langsung menimbulkan kecemasan dari anggota kelompoknya, apalagi mengingat Angga sore tadi berpamitan untuk mencari sinyal di dekat tiang pemancar sinyal, tiang yang jelas berada tidak jauh dari gudang terlarang milik kepala desa.

"Masih di tiang sinyal kali," celetuk Erwin menjawab.

"Ya sudah ayo kita jemput, yang cewek masuk duluan saja," tukas Afrian menyerahkan kunci ke Vina, lalu menarik lengan Erwin untuk bergegas menuju pemancar sinyal yang berada cukup jauh dari rumah sementara mereka.

Jalan desa yang tidak mendapat akses listrik walau di malam hari, dan hanya mendapat aliran listrik pada jam dan hari tertentu, jelas cukup menyulitkan mereka yang terbiasa hidup dengan dampingan listrik dan jaringan. Terangnya gemerlap bintang dan cahaya bulan jelas mengartikan bahwa mereka berada jauh dari area dengan polusi cahaya, sangat menenangkan memang bila tidak mengingat keanehan yang dialami pada hari ini.

"Dor!" seru Erwin saat menyorot senter ponselnya tepat ke wajah Angga yang baru menoleh, sunyinya desa membuat bunyi jangkrik genggong seolah membawa tiga pria ini menuju kegelapan malam bersama para sosok tak kasat mata.

"Shh!" desis Angga sambil meletakkan jari telunjuknya di hidung, lalu mengisyaratkan agar Erwin dan Afrian mematikan senter mereka, "sini duduk," bisik pria itu yang segera dituruti oleh Angga.

Berbekal cahaya terbatas dari layar laptop di pangkuan Angga, layar yang sudah memiliki cahaya rendah sebagai tanda lemahnya baterai. Erwin dan Afrian menerima sodoran pengantar bunyi atau earphone dari Angga, "dengar," titah pria dengan poni ke samping itu pada dua temannya.

'halo cantik ....'

'Cantikku kok sudah bau sih? Padahal belum lama aku enggak mampir ke sini, manja banget sih sampai mau dimandiin.'

'Ayo mandi, cantik.'

Sesaat setelah suara itu berakhir dengan gemerisik semak dan langkah, Erwin melepas earphone itu dan mengernyit, "kita bahas di rumah," tukas Afrian cepat, bahkan lebih cepat dari pada otak temannya yang masih mengolah kata untuk diucapkan.

Menutup laptop dan bergegas kembali ke rumah, tiga pria itu sengaja melewati gudang terlarang kepala desa melalui semak, dengan sebelumnya Erwin dan Afrian memilih jalan memutar demi keamanan di malam hari. Melihat cahaya temaram dari dalam, cukup menyampaikan kode pada tiga mahasiswa itu bahwa di dalam tempat itu ada orang, terutama gembok dan rantai yang terlihat berserakan.

Melepas alas kaki lalu berlari adalah hal yang mereka lakukan saat mendengar tawa laki-laki di dalam gudang, rasa takut lebih besar dari pada rasa penasaran yang dimiliki. Dalam otak ketiganya hanya tentang keamanan teman wanita di rumah, apalagi kondisi siang tadi saat Desry mengalami pelecehan karena diintip saat mandi.

Setibanya di rumah, Afrian mengetuk pintu dan memanggil Vina. Tak butuh waktu lama, pria itu masuk dan tentu saja langsung mengunci pintu utama, "amankan semua jendela, terus kumpul di kamar pojok, matikan senter" titah ketua kelompok itu pada Vina dan Liona yang menyambut kepulangan mereka.

Beberapa menit berlalu, berbekal satu senter ponsel, dua wanita itu kembali ke kamar pojok dan langsung mendapat perintah untuk mengunci kamar. Tentu saja, rasa heran menimpa ketiga wanita itu bahkan menimbulkan kecemasan di antara mereka, "kita bukan maniak, buat lingkaran, ada yang mau kita bicarakan." Erwin berujar saat menyadari Vina mematung dengan raut waspada di ambang pintu.

"Tentang gudang," kata Afrian sambil memeriksa ponselnya.

Saat mendengar topik pembicaraan, Vina mengikuti arahan untuk mengunci pintu kamar dan duduk bersama yang lain sampai membentuk lingkaran, "sinyal lo pada ada?" tanya si ketua kelompok tidak langsung mendapat tanggapan, "kalau sudah ada, ping ke grup diskusi kita. Jadi kalau ada sinyal kita diskusi di grup, kalau enggak ada sinyal kita diskusi lewat buku itu."

Afrian memulainya.

Disambung dengan Angga dan Erwin.

Dilanjut Vina dan Liona.

"Des, lo belum ada sinyal?"

"Masih proses, banyak banget pesan sama panggilan tak terjawab," jawab wanita itu dengan penegasan pada kondisi ponselnya, setelah beberapa waktu pula wanita itu mengakhiri pemeriksaan sinyal melalui grup diskusi.

'kita bahas di sini, turunkan intensitas cahaya ponsel ke yang paling rendah. Biar dari luar kita kelihatan sudah tidur, ada yang mau ditunjukkan Angga. Jangan ada yang bersuara, pakai earphone kabelnya bergantian.' Afrian mengirim pesan.

Sesaat setelah pesan itu terkirim, Vina menerima sodoran ponsel Angga dengan kabel earphone yang sudah tertancap di lubang seharusnya. Melihat tanda tertunda atau pause, wanita itu memulainya setelah memastikan dirinya sudah menggunakan pengantar suara dengan baik.

Dengan cepat, wanita itu membulatkan matanya dan melepas earphone itu. Tanpa banyak basa-basi juga, ia serahkan pada kedua teman wanitanya untuk mendengarkan secara bersama.

'itu suara siapa?' Vina mengirim pesan dengan kegelisahan napasnya yang terdengar jelas.

'Menurut lo?' balasan pesan dari Erwin, dengan cepat pula Vina mengangkat kepala untuk melihat ekspresi si pecandu komik itu yang ternyata terlihat abai.

'Pak kades?' tebak Vina lagi.

Tebakan yang belum terjawab namun langsung mendapat kejutan dari teriakan Desry, wanita dengan anting magnet yang spontan meluncurkan ponsel itu kembali ke pemiliknya yaitu Angga. Liona secepat yang ia bisa langsung membekap mulut Desry, mengisyaratkan agar temannya itu untuk tenang dan diam.

Meronta sudah pasti dilakukan Desry, terlihat samar dalam cahaya temaram dari ponsel dengan akurasi cahaya rendah. Wanita dari jurusan perfilman itu ketakutan, "jangan nangis," bisik Liona namun terdengar cukup jelas oleh empat temannya yang lain.

Sampai Afrian memencet ibu jari kaki Desry, memerintahkan agar wanita itu untuk diam dan patuh pada keadaan yang mereka alami. Dan beberapa saat kemudian, Desry terdiam dengan napas terseguk akibat tangisnya.

Perlahan Liona melepaskan tangannya dari mulut Desry, tidak ada yang bicara dan kembali lagi pada ponsel untuk fokus pada grup diskusi yang ada.

'Itu benar pak kades? Ada siapa di dalam gudang?' Desry mengetik dengan gemetar dan napas sulitnya yang masih jelas terdengar.

'Belum tahu, tapi kenapa lo pada yakin banget itu pak Danang?' balas Angga yang menolak penggiringan opini oleh para wanita, apalagi dirinya yang mendengar langsung.

'Suaranya.' Liona menjawab singkat.

'Itu seram banget! Gue mau pulang.' Desry mengirimkan pesan lagi untuk menyampaikan isi pikirannya, 'ini desa enggak waras. Itu gudang bau busuk loh, kenapa bisa dia sebut kata cantik, berarti cewek bau busuk ada di dalam sana? Kenapa enggak ada suara apapun?'

'Sabar, Des ... satu persatu.' Afrian menimpali.

'Enggak bisa, kita harus pulang terus lapor polisi.'

'Des ... lo lupa sama artikel dan kiriman yang sempat tren? Peneliti sampai pihak berwajib saja enggak bisa masuk sini, jadi kita tergolong beruntung. Jangan gegabah.' Vina pun ikut membujuk Desry meski harus tanpa berbicara walau duduk bersebelahan.

'Kalau kita celaka, gimana?'

'Kita enggak bakal celaka, gue jamin.' Afrian membalas kemudian menepuk bahu Desry, mengisyaratkan bahwa dirinya akan menjaga Desry.

"Loh sudah gelap saja rumah anak kota."

"Padahal pulang kerja begini enaknya lihat yang cantik-cantik."

Ke enam mahasiswa itu sontak mematikan ponsel dan saling berpegangan tangan, dalam kegelapan mereka sebenarnya saling menatap dan menguatkan. Hingga tiba-tiba ketukan dari jendela terdengar, "kira-kira kamar pojok begini di-isi kagak, ya?"

"Tanya si Ririn saja, kan dia yang urus anak kota."

"Lagian, ngapain si Danang terima anak kota kemari? Aneh-aneh saja dia."

Bunyi langkah dan suara obrolan pun terdengar perlahan menjauh, meski begitu belum ada napas lega yang terhembus, "jadi Ririn itu Erina?" bisik Vina tiba-tiba.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KKN Di Desa Metanoia   (125) Terima Kasih!

    Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan

  • KKN Di Desa Metanoia   (124) Menjelang Peresmian

    Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya

  • KKN Di Desa Metanoia   (123) Jenguk Vina

    Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu

  • KKN Di Desa Metanoia   (122) Keputusan Hidup Erina

    "Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur

  • KKN Di Desa Metanoia   (121) Pulang Ke Rumah

    Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat

  • KKN Di Desa Metanoia   (120) Berkunjung ke lapas

    Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status