Share

Erina Disuruh?

Author: SyasaRanni
last update Huling Na-update: 2024-01-01 20:57:02

Ufuk timur telah mengintip dengan sinar jingga dan berkas cahaya ungu yang turut menyinar samar, tidak ada bunyi ayam berkokok atau lalu lalang kendaraan yang khas para mahasiswa dengar setiap harinya. Hari kedua telah dimulai, setelah segala kegilaan mereka lewati kini harus kembali berhadapan dengan wajah kepalsuan, layaknya maling yang tidak mengetahui sandi brankas penyimpanan barang berharga.

Tangan direnggangkan ke atas sambil menguap lebar, mengabaikan wajah yang mungkin terlihat aneh dengan rambut acak-acakan dan mata yang masih terpejam. Sensasi mager alias malas gerak adalah hal biasa yang dirasakan orang-orang setiap paginya, orang yang hanya sudah mengetahui rutinitas monoton atau rutinitas yang tidak diketahui. Rasa yang tentu saja tidak bisa dimiliki oleh orang yang sudah menunggu hari, merencanakan sesuatu, atau memang menunggu hal tertentu.

Baru saja mata mengerjap untuk menyesuaikan segala yang hendak dilihat, senyuman konyol menyapa satu sama lain di antara tiga wanita yang sebelumnya tidak saling kenal itu. Malam terasa panjang meski lelah mengintai, bukan tanpa alasan, melainkan sebab tidur hanya beralaskan pada matras gulung yang sengaja dibawa.

Tiba-tiba ketukan jendela dari sisi belakang di kamar para wanita ini terketuk, berirama dan tidak dilakukan secara acak seperti malam tadi, "Vina ... kamu sudah bangun?" Sebuah suara berbisik di dekat jendela, suara yang sudah cukup dikenal oleh sang pemilik nama tersebut.

Vina merangkak mendekati sudut jendela yang terlihat sedikit beruap, sudah dapat dipastikan bahwa yang mengetuk tadi berbisik tepat di depan jendela, "sudah, kenapa?" sahut Vina yang langsung mendapat jawaban untuk segera keluar rumah itu.

Tanpa basa-basi lagi, Vina mengambil sisir dan menggulung sedikit benda itu di poni sampingnya, rambut yang lurus dan sehat tentu dapat menjadi penyelamat bagi benda itu agar tidak tersangkut. Belum sempat merapikan rambut atau sekadar cuci muka, sudah mendapat panggilan yang harus segera disambut, sebab segala alasan akan sulit diterima jika sudah berkaitan dengan adab sebagai tamu di suatu tempat.

Sesaat sebelum membuka pintu utama, Vina menyadari bahwa Desry mengikutinya sambil memegang kotak kecil berisikan alat mandi. Peralatan yang kemarin siang sudah dilihatnya, jika berbicara tentang mandi maka Vina jadi teringat bahwa dirinya belum membersihkan diri sejak kedatangan.

Terlalu sibuk, rasanya.

"Cowok belum pada bangun?" tanya wanita dengan anting magnet di telinga, anting yang sudah menjadi ciri khasnya di kelompok KKN ini.

"Enggak tahu," jawab Vina acuh tak acuh sambil memutar kunci yang tertancap.

Segera ia mendapati wanita yang kemarin membimbingnya itu bergegas masuk, bahkan tidak memberi kesempatan bergerak untuk Vina. Sangat cepat wanita itu bertindak dengan kembali mengunci pintu, "ada banyak yang mau saya bicarakan tentang desa ini."

"T-tentang apa itu?" tanya Vina menyadari bahwa Erina tidak mengenakan pakaian dalam khusus wanita.

"Yang cowok kemana?" pungkas Erina mengabaikan pertanyaan Vina.

"Masih tidur," jawab si wakil ketua kelompok, ada rasa canggung namun juga ada kehendak agar tidak menunjukkan kecanggungan atas dasar tidak enak.

"Hah?" tukas Erina cepat, "ada orang yang belum bangun padahal sudah terang begini?"

"Hm ... di kota sih, ada saja yang bangun siang, soalnya mereka kerja malam," timpal Desry menunjukkan ekspresi herannya atas sahutan Erina.

"Suruh bangun terus kita ke kamar tempat tadi aku panggil Vina," tutur Erina setelah mengamati ekspresi Desry tanpa menjawabnya.

Wanita itu pun bergegas menuju kamar pojok terlebih dahulu, sementara itu Vina berbisik pada Desry, "bangunin yang lain, terus bilang jangan ungkit semua yang sudah kita tahu atau sudah kita bahas semalam. Kita serempet dikit saja, yang penting jangan sampai ada yang sadar kalau kita sudah tahu," ujar Vina yang disambut ibu jari dari Desry, "ya sudah, gue ke kamar duluan."

***

Tiga pria dengan rambut berantakan duduk bersandar di dinding yang tentu terbuat dari kayu, dua di antara mereka masih memejamkan mata dengan malas dan satunya mengucek mata sambil menguap. Sedangkan tiga wanita berada di sisi lainnya sambil menyisir rambut, dan seorang wanita bersetelan daster duduk bersandar di pintu yang tertutup.

"Orang kota memang pemalas ya," komentar wanita yang bersandar dengan santainya.

Komentar yang tentu saja membuat tiga pria langsung duduk tegak dan menoleh ke arahnya, menatapnya tajam kemudian kembali bersandar saat si wakil ketua kelompok berdeham, "Hm, malas gimana kak maksudnya?" tanya Vina mencoba berpikir netral, disaat dirinya cukup merasa kesal karena perkataan itu.

Seolah ada anggapan yang melekat di desa, bahwa kota hanya tempat untuk orang malas yang dibuktikan langsung oleh Erina. Tapi keanehan yang ditemukan mereka, harus segera dibuktikan secara konkret.

"Ya kalian baru bangun pas sudah terang begini, terus tadi dia juga bilang ada yang lebih siang lagi bangunnya karena kerja malam," tutur Erina menunjuk Desry yang sontak menunjuk dirinya sendiri lalu menggeleng.

Vina menyenggol lengan Desry, menyiratkan bahwa memang Desry berkata demikian tentang waktu bangun orang-orang di kota, "tapi itu wajar dong, kita sudah capek karena malam kerja. Apa salahnya bangun siang kalau malam kita penuh aktivitas?" timpal Desry yang mendapat tatapan tajam dari Afrian, tatapan yang dimaknainya sebagai isyarat untuk tetap tenang.

"Salah. Manusia itu bukan hewan yang bisa kerja malam dan tidur siang," ucap Erina setelah dirinya mendapat decakan dari Erwin.

"Pikiran kolot macam apa itu?" sentak pria dengan rambut kribo itu, pria yang selalu bersama komik tanpa mengenal momen.

"Ekhem!" deham Afrian cepat, tepat sebelum Erina berbicara lagi.

Kecepatan yang patut diacungi ibu jari karena berhasil memotong perdebatan perihal waktu tidur, "maaf kak ... maaf banget, kakak ke sini mau ngapain?" tanya Afrian setelah melihat Erina spontan menunduk dan meremas ujung dasternya.

Ada ketakutan yang terlihat jelas di mata Vina, takut akan situasi yang terasa tidak mengenakkan sedari awal menginjakkan kaki di desa ini. Ada banyak perandaian yang terbesit di benak wanita berusia dua puluh tahun itu, dan yang terbesar adalah andai KKN bisa dibatalkan sejak menerima panggilan telepon.

"Saya mau omongin tentang desa ini," jawab Erina tanpa mengangkat kepalanya.

Satu lagi keanehan yang disadari para mahasiswa yaitu, spontanitas seorang Erina saat mendengar suara tinggi, geram, dan deham dari seorang pria. Spontanitas yang dapat bertahan dalam waktu tertentu, sampai perlahan dapat berperilaku seperti semula.

"Apa saja itu, kak?" tanya Vina lalu mengatup rapat kedua bibirnya, wanita itu merasa hampir mengungkapkan hal yang diketahui. Kata yang digunakan untuk bertanya, seolah mencerminkan banyak hal.

Mengetahui kecemasan Vina, Liona menggenggam erat tangan temannya itu, "wajah lo jadi merah," bisik Liona yang hanya ditanggapi anggukan, "bisa ayo bisa," lanjutnya mendapat senyuman kecil Vina, senyuman yang selalu diartikannya sebagai suatu tekad dalam kebersamaan.

Sementara itu, Desry menyalakan kamera dan mulai merekam. Meletakkan benda itu di sebelahnya lalu dihimpit antara kakinya yang duduk bersila dengan kaki Liona, membiarkan lensa perekam itu menyorot langsung ke arah pintu yang menjadi tempat Erina duduk kini.

"Desa Metanoia dipimpin sama Pak Danang Harja sebagai kepala desa, terus pemangku adat atau sesepuh kita kayak orang yang kita hormati itu bernama Pak Ujang. Desa ini sudah ada dari masih banyak orang kulit putih. Desa ini juga enggak mau ada listrik karena kita bisa hidup tanpa listrik dari dulu, di sini juga enggak mau ada sinyal atau apapun itu karena kita enggak butuh, katanya sinyal itu perusak kayak monster gitu," papar Erina yang justru mendapat ekspresi aneh dari enam insan yang berada di depannya.

"Orang kulit putih?" kata Erwin mengulang sebagian perkataan Erina, "bule?" pungkasnya melanjutnya.

Untuk ke sekian kalinya, setiap ada pertanyaan maka akan ada kedua bahu Erina yang terangkat, sebagai tanda ketidaktahuan wanita itu, "apa sih yang lo tahu," gerutu Erwin bergumam seraya menyandarkan dirinya lagi ke dinding.

Diamati Vina dengan baik segala tindak laku Erina, butuh sekitar tiga sampai lima menit setelah dehaman Afrian tadi. Durasi yang cukup lumayan untuk seseorang menunduk hanya karena mendengar sesamanya berdeham, dengan mata menyipit untuk meyakinkan penglihatannya, Vina bertanya, "Siapa yang bilang sinyal itu monster?"

"Danang, kepala desa," jawab Erina cepat.

Jawaban yang langsung disadari Liona dan Vina, keduanya spontan mengeratkan genggaman tangan satu sama lain dan bertukar pandang, "kenapa di sini orang-orangnya enggak banyak, Kak? Padahal kan sudah ada dari masih banyak orang kulit putih," tanya Angga setelah menuliskan sesuatu di buku, buku yang sebelumnya dikhususkan Afrian untuk komunikasi kelompok perihal desa.

Lagi, Erina hanya mengangkat kedua bahunya dan menggeleng.

Melihat respon begitu, sontak Liona merangkak mendekati Erina. Tindakan yang jelas tanpa persetujuan kelompok, namun dirasa akan menjadi bagian dari yang terbaik.

"Siapa yang suruh kak Erina ke sini cuma buat bicara begitu?" tanya Liona tersenyum simpul, menatap Erina dengan tatapan mengintimidasi, begitu pula dengan tatapan Vina yang segera diikuti oleh empat mahasiswa lainnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • KKN Di Desa Metanoia   (125) Terima Kasih!

    Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan

  • KKN Di Desa Metanoia   (124) Menjelang Peresmian

    Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya

  • KKN Di Desa Metanoia   (123) Jenguk Vina

    Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu

  • KKN Di Desa Metanoia   (122) Keputusan Hidup Erina

    "Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur

  • KKN Di Desa Metanoia   (121) Pulang Ke Rumah

    Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat

  • KKN Di Desa Metanoia   (120) Berkunjung ke lapas

    Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status