"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
"Halo ... halo, ini orang-orang yang kemarin datang ya?" Sambungan telepon aneh terdengar jelas oleh seorang wanita, sambil mengubah posisi duduknya ia kembali mendengar, "ini dari desa Metanoia. Kalian bisa kuliah di sini kapanpun, terus cari pak Ujang. Terima kasih."Belum sempat wanita itu menyahuti, sambungan telepon itu berakhir. Ada rasa takut sekaligus heran, saat dirinya sebagai wakil ketua kelompok KKN memang sudah sewajarnya dia meninggalkan nomor telepon di lokasi KKN yang dituju. Tapi, bukan berarti disaat bersantai menunggu kabar, harus menerima telepon aneh yang sama sekali tidak beretika.Hendak hati mengabaikan sambungan telepon tadi dengan berbaring dan melanjutkan nonton drama, justru ponselnya kembali berdering menandakan ada sambungan telepon lagi yang harus dijawab. Tertera nama 'Afrian Firmansyah', membuat wanita itu langsung menjawabnya, "kenapa, Pak ketua?" sambut wanita itu tetap membaringkan dirinya santai."Lo dapat telepon dari cewek asing, enggak? Bilangnya
Sisa hari usai pengenalan diri dengan lingkungan dan warga setempat, enam mahasiswa itu kembali ke rumah kayu yang terdiri dari tiga kamar tidur dan dua kamar mandi. Pengamatan lingkungan yang dilakukan sepanjang pengenalan tadi, menjadi landasan awal mereka menentukan program kerja yang hendak dilakukan."Vin," panggil seorang wanita dengan potongan rambut lurus persegi, "lo merasa aneh enggak sih sama cewek yang bimbing kita tadi?""Maksud lo Kak Erina, Des?" tanggap Afrian pada wanita bernama lengkap Icasia Desry Putri itu, wanita yang terkenal di media sosial karena konten kehidupan sehari-harinya, sebagai anak tunggal dari orang terkaya ketiga di negeri.Wanita itu mengangguk dan menjawab, "Rambutnya enggak diurus banget, enggak banyak omong, matanya kayak penuh dendam gitu sih gue lihat. Dia juga langsung nunduk setiap kita papasan sama cowok, enggak ada tuh dia kenalin kita ke warga cowok yang papasan tadi.""Ya terus?" sahut Vina sambil bersandar memainkan gim bebas jaringan in
"Heboh amat, kenapa lo?" sahut perempuan berambut ikal, perempuan yang sedari tadi menemani Desry di dalam kamar."Gue tanya lo ya, Dandeliona Sufina. Lo bakal heboh enggak, kalau tahu ada cowok dewasa lagi ajarin anak kecil memainkan kelaminnya?" tanya Vina kian menekankan kata demi kata yang diucapkan, "enggak sangka kan lo?" lanjutnya setelah melihat ekspresi Desry dan temannya yang disebut sebagai Dandeliona."L-lo tahu darimana?" tanya Desry dengan kegugupan yang terdengar jelas dari suaranya, hal wajar jika mengingat dirinya yang baru saja diintip saat mandi."Itu dua bocah yang tadi jemput kak Erina, mereka lihat langsung ada cowok lagi ajarin bocah kayak gitu," jawab Vina disambut anggukan setuju oleh dua teman laki-lakinya, dua orang yang sempat diperintahkan Afrian untuk menjemput Erina karena keberadaan pria botak."Biar apa?" pungkas Liona melihat tanda keseriusan dari teman-temannya."Jangan-jangan, rumor itu benar," gumam Desry dengan kegelisahan yang tidak dapat ia sembu
Jawaban Vina yang langsung diucapkan begitu saja, tentu membuat Afrian sontak menoleh dan melihat ke arah Vina. Pria dengan rambut cepak itu tersenyum masam dan kembali mengumpulkan fokusnya pada Erina, untuk segala hal terkait memang harus segera dibahas empat mata bersama Vina."Dia enggak ngomong apa-apa?" tanya Erina memastikan jawaban Vina, pertanyaan yang segera mendapat anggukan dengan senyum simpul penuh keyakinan, "ya sudah kalau begitu."Baru saja Erina hendak berdiri, niatnya harus diurungkan saat pria berambut kribo dengan komik di pangkuannya berkata, "Kak, untuk makan atau konsumsi kita selama di sini gimana?"Tidak ada sahutan yang seiras dari sesama mahasiswa, tetapi pertanyaannya cukup mewakilkan, "oh ... itu bisa langsung ke rumahku kalau kalian lapar, bisa dibawa juga kalau malas bolak-balik," jawab Erina yang mendapat dehaman panjang dari enam mahasiswa itu, "kamu namanya siapa?" lanjut Erina bertanya pada pria berambut kribo itu."Erwin Widianto, panggil Erwin atau