Share

KUAKHIRI SETAHUN PERNIKAHAN INI
KUAKHIRI SETAHUN PERNIKAHAN INI
Penulis: Alea

1. Menikah Lagi?

“Besok, aku akan menikahi kekasihku.”

Jderrrr

“Apa!” Tubuhku terlonjak kaget dari sofa, rasanya jantungku terlompat dari posisinya membuat duniaku berhenti saat itu juga.

Apakah ini mimpi, tidak pernah terlintas sedikit pun ucapan keramat itu keluar dari mulut laki-laki di hadapanku yang telah menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang sangat aku cintai hendak menikah lagi. Dan apa katanya tadi, menikahi kekasihnya, akankah selama ini ada wanita lain selain diriku di hatinya.

‘Tidak!’ Kepalaku menggeleng, menepis apa yang terjadi di hadapanku adalah mimpi belaka.

Pikiranku berkelana, sadar keadaan rumah tangga kita tidak seharmonis seperti keluarga pada umumnya. Dia sibuk bekerja berangkat kerja pagi, pulang malam. Suamiku adalah CEO di perusahaan Gunawan Group tak lain milik keluarga besarnya menggantikan posisi ayahnya yang sedang sakit, bergerak di bidang property dan ritel.

Dia selalu bersikap dingin dan kasar, berbicara bila penting saja, tidak pernah memberi perhatian dan sayang walau sekedar ucapan manis padaku. Bahkan ia tak segan main tangan bila aku berbuat salah terutama mengusik ketenangannya dan menolak keinginannya. Aku iri melihat istri diluaran sana yang bahagia merasa disayangi dan dicintai oleh suaminya, tapi tidak dengan diriku.  

 “Aku anggap diammu itu setuju, Sila,” serunya menyadarkanku, ini bukanlah mimpi tapi kenyataan.

“Jangan!” tegasku lantang. Terlalu sulit dan lama untuk mulut ini berbicara panjang lebar meskipun dalam hatiku ingin karena hanya akan menyita waktu, membuatnya bosan mencerna ucapan payah ini.

Asyila Putri namaku dan ini kekuranganku, tidak bisa berbicara alias speech impairment atau lebih dikenal tuna wicara setelah mengalami kecelakaan tiga belas tahun lalu tepat umurku 7 tahun. Beruntungnya nyawaku tertolong, akibat benturan keras mengenai kepala membuat pendarahan di otak hingga kemampuan berbicaraku terganggu. Aku tidak bisa berbicara semenjak saat itu.belum lagi rasa trauma keluar berpergian mengendarai kendaraan, akibatnya aku selalu mengurung diri di dalam rumah, tak memiliki teman bahkan kekasih hingga usiaku menginjak remaja.

Ujian datang silih lagi, tepat usiaku menginjak 20 tahun, kedua orangtuaku meninggal setelah terlibat kecelakaan sama seperti yang aku alami dulu. Malang, aku terlahir sebagai anak tunggal di keluarga pengusaha ayam petelur sukses di kota tempat kelahiranku kini harus hidup sebatang kara. Masa depanku buram tak memiliki keluarga, kerabat, teman bahkan kekasih, namun aku memiliki bakat menulis yang bisa menghasilkan uang sendiri.

Ditengah keterpurukan kehilangan orangtua, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki asing, didampingi orangtuanya menemuiku berniat menikahiku, dialah Marvin Gunawan, suamiku sekarang. Laki-laki berparas tampan dan gagah mampu merebut hatiku pada pandangan pertama. Tanpa pikir panjang aku menerimanya dengan mantap tanpa mempertimbangkannya, kuanggap ia tulus mencintaiku dengan menerima ketidaksempurnaanku.

“Kamu punya kekasih?” Bibirku bergetar. Sekelibatan bayangan terlintas di kepalaku atas pengakuan asisten di rumahku sebulan lalu mengaku pernah melihat Marvin berjalan mesra dengan seorang wanita. Namun aku kira itu hanya salah melihat, tapi ternyata itu benar adanya.

“Ya.” Marvin mengangguk pasti.

“Bi Sumi tidak berbohong,” lirihku.

“Jadi Bi Sumi pernah melihatnya … dan memberitahumu,” Marvin tidak menyangkal. “Tapi kamu tidak percaya, bodoh!” Dia tertawa hambar tak ada rasa bersalah sedikit pun boroknya terbongkar.

Mataku memanas. “Kamu jahat, Mas!” Tidak menyangka pernikahanku yang baru setahun ini diguncang adanya kehadiran orang ketiga.

“Aku sangat mencintainya,” Dia mengulas senyum tipis namun tersirat bahagia. “Kita saling mencintai.” lanjutnya.

Cess

Seketika ribuan jarum menancap di hatiku hingga terluka namun tak berdarah. Tanpa permisi air mataku keluar dengan derasnya membasahi pipi. Tidak menyangka hari ini adalah hari terburukku, dikhianati suamiku sendiri yang selalu aku sabari dan layani di rumah.

“Mencintai?” Tanganku menyeka air mata yang mengaburkan pandanganku dengan kasar.

“Aku?” lanjutku menunjuk diri sendiri, bila mencintai wanita lain mengapa dulu menikahiku.

Selama ini apa arti dari semua yang telah kulakukan padanya. Melayani dan menghormatinya dengan menjalankan semua tugas dan kewajibanku termasuk melayani kebutuhan biologisnya di ranjang. Apa tidak ada cinta ketika ia melakukannya bersamaku, tanyaku dalam hati.

“Lihatlah sikapku selama ini padamu? Apa kamu tidak sadar, tidak ada cinta untukmu dihatiku,” tegasnya, menunjuk diriku dengan tatapan tak ada rasa sayang, yang selama ini selalu aku dapatkan tiap hari bersamanya.

Deg

Bodoh! Seharusnya aku sadar dari awal, mana mungkin orang saling mencintai berani menyakiti pasangannya. Sayang aku selalu menutup mata berdalih berpikir positif selama ini. Jadi selama ini aku hanya mendapat pahala saja atas menyenangkan suami tapi tidak dengan cintanya.

Bibirku kelu berbicara lagi, membutuhkan tenaga ekstra. “Kenapa menikahiku!” Tanganku menguntai kata di sebuah catatan kecil berwarna merah muda yang selalu aku bawa kemanapun untuk membantuku berinteraksi dengan orang lain termasuk pada suamiku.

Seketika Marvin bungkam setelah membacanya. Aku pikir bukan karena keadaanku tidak bisa berbicara, dirinya beralih hati pada wanita lain. Apakah aku kurang cantik di matanya selama ini. Tapi aku selalu berpenampilan rapi dan bersih walau sederhana, maklum hanya di rumah.

Marvin menetralkan mimiknya. “Dia jauh lebih cantik ketimbang dirimu yang tidak pandai merias diri dan … bisu. Dari segimanapun kamu kalah darinya.” Ia menatap diriku dari atas sampai bawah dengan remeh.

Aku menggeleng, bila karena fisik tak mungkin Marvin mau menikahiku dulu. Bukankah pernikahan adalah sakral, menikah dengan orang tercinta.

“Kenapa menikahiku?” Aku tak percaya, dengan berani tanganku menarik kemejanya hingga tubuhnya terguncang. Dia kaget melihatku seberani itu mengingat selama ini sikapku selalu lembut padanya. Aku merasa keanehan ketika Marvin bungkam sesaat sebelumnya.

Tiba-tiba tangannya menghempas tanganku hingga tubuh kecilku terdorong ke belakang dan terjerembab ke lantai dengan kasar. Aku mengaduh kesakitan memegangi pantat yang terasa sakit, namun terbiasa mendapatkan perlakuan ini.

‘Setelah semuanya kuberikan padamu!’ tulisku lagi setelah bangkit kesusahan.

Marvin membacanya malas. “Itu sudah menjadi hakku sebagai suami dan kewajibanmu sebagai istri, bukan.”

Cih, masih menganggap suami namun tidak menganggap istrinya. Istri diluaran sana tidak ada yang ingin dimadu apalagi diperlakukan buruk dan kasar. Mungkin mereka akan meminta berpisah terutama diriku.

Tapi, aku tidak bisa, selain rasa cinta juga karena semuanya telah kuberikan padanya. Harta peninggalan orang tuaku dan kehormatanku tentunya menjadi alasanku bertahan dengannya selama ini. Bisnis mendiang orang tuaku telah kuserahkan padanya di awal kita menikah, mengingat keadaanku tidak bisa mengelolanya.

“Kau tidak bisa begini.” Tanganku meraih lengannya.

Tanganku dihempas lagi, tubuhku terhuyung namun aku bisa menyeimbangkannya. “Tentu bisa. Apa yang tidak bisa kulakukan selagi itu membuatku bahagia.”

‘Apa kamu tidak bahagia bersamaku?’ tulisku lagi, menatap pilu atas pernyataan Marvin.

Dia tertawa hambar, mengejek. “Darimana aku bisa bahagia harus bersanding dengan wanita yang tidak kucintai apalagi bisu,” ucapnya tak punya hati mengulangi kata menyakitkan itu.

“Apa salahku?” tanyaku dengan terisak.

“Tidak ada yang salah darimu. Kamu baik. Tapi sayang cintaku padanya begitu besar sesuai janjiku untuk menikahinya, aku wujudkan besok.”

“Jangan menikah lagi,” pintaku menggenggam tangannya erat seolah aku tidak ingin kehilangannya.

“Tidak, keputusanku mutlak.” Marvin menolak mentah kemudian berlalu pergi. “Terima saja, kalau masih mau jadi istriku!” tegasnya, runtuh sudah janji yang diucapkannya ketika mempersuntingku setahun lalu, bukannya mempertahankan pernikahan ini malah meruntuhkannya.

Deg  

Tidak, Aku tidak rela melepaskan Marvin begitu pun pernikahan suci kita di hadapan Tuhan dan banyak orang, masih jelas di benakku berjanji menikah sekali seumur hidup seperti mendiang kedua orang tuaku sampai maut memisahkan.” Jangan menikah lagi!” pintaku dengan keras, namun diabaikannya.

 “Yang sabar, Mbak Sila.” Bi Sumi, asisten di rumahku mendekap tubuhku dengan erat, diam-diam mengintip pertengkaran kita dari balik dinding.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status