“Besok, aku akan menikahi kekasihku.”
Jderrrr
“Apa!” Tubuhku terlonjak kaget dari sofa, rasanya jantungku terlompat dari posisinya membuat duniaku berhenti saat itu juga.
Apakah ini mimpi, tidak pernah terlintas sedikit pun ucapan keramat itu keluar dari mulut laki-laki di hadapanku yang telah menikahiku satu tahun lalu. Laki-laki yang sangat aku cintai hendak menikah lagi. Dan apa katanya tadi, menikahi kekasihnya, akankah selama ini ada wanita lain selain diriku di hatinya.
‘Tidak!’ Kepalaku menggeleng, menepis apa yang terjadi di hadapanku adalah mimpi belaka.
Pikiranku berkelana, sadar keadaan rumah tangga kita tidak seharmonis seperti keluarga pada umumnya. Dia sibuk bekerja berangkat kerja pagi, pulang malam. Suamiku adalah CEO di perusahaan Gunawan Group tak lain milik keluarga besarnya menggantikan posisi ayahnya yang sedang sakit, bergerak di bidang property dan ritel.
Dia selalu bersikap dingin dan kasar, berbicara bila penting saja, tidak pernah memberi perhatian dan sayang walau sekedar ucapan manis padaku. Bahkan ia tak segan main tangan bila aku berbuat salah terutama mengusik ketenangannya dan menolak keinginannya. Aku iri melihat istri diluaran sana yang bahagia merasa disayangi dan dicintai oleh suaminya, tapi tidak dengan diriku.
“Aku anggap diammu itu setuju, Sila,” serunya menyadarkanku, ini bukanlah mimpi tapi kenyataan.
“Jangan!” tegasku lantang. Terlalu sulit dan lama untuk mulut ini berbicara panjang lebar meskipun dalam hatiku ingin karena hanya akan menyita waktu, membuatnya bosan mencerna ucapan payah ini.
Asyila Putri namaku dan ini kekuranganku, tidak bisa berbicara alias speech impairment atau lebih dikenal tuna wicara setelah mengalami kecelakaan tiga belas tahun lalu tepat umurku 7 tahun. Beruntungnya nyawaku tertolong, akibat benturan keras mengenai kepala membuat pendarahan di otak hingga kemampuan berbicaraku terganggu. Aku tidak bisa berbicara semenjak saat itu.belum lagi rasa trauma keluar berpergian mengendarai kendaraan, akibatnya aku selalu mengurung diri di dalam rumah, tak memiliki teman bahkan kekasih hingga usiaku menginjak remaja.
Ujian datang silih lagi, tepat usiaku menginjak 20 tahun, kedua orangtuaku meninggal setelah terlibat kecelakaan sama seperti yang aku alami dulu. Malang, aku terlahir sebagai anak tunggal di keluarga pengusaha ayam petelur sukses di kota tempat kelahiranku kini harus hidup sebatang kara. Masa depanku buram tak memiliki keluarga, kerabat, teman bahkan kekasih, namun aku memiliki bakat menulis yang bisa menghasilkan uang sendiri.
Ditengah keterpurukan kehilangan orangtua, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki asing, didampingi orangtuanya menemuiku berniat menikahiku, dialah Marvin Gunawan, suamiku sekarang. Laki-laki berparas tampan dan gagah mampu merebut hatiku pada pandangan pertama. Tanpa pikir panjang aku menerimanya dengan mantap tanpa mempertimbangkannya, kuanggap ia tulus mencintaiku dengan menerima ketidaksempurnaanku.
“Kamu punya kekasih?” Bibirku bergetar. Sekelibatan bayangan terlintas di kepalaku atas pengakuan asisten di rumahku sebulan lalu mengaku pernah melihat Marvin berjalan mesra dengan seorang wanita. Namun aku kira itu hanya salah melihat, tapi ternyata itu benar adanya.
“Ya.” Marvin mengangguk pasti.
“Bi Sumi tidak berbohong,” lirihku.
“Jadi Bi Sumi pernah melihatnya … dan memberitahumu,” Marvin tidak menyangkal. “Tapi kamu tidak percaya, bodoh!” Dia tertawa hambar tak ada rasa bersalah sedikit pun boroknya terbongkar.
Mataku memanas. “Kamu jahat, Mas!” Tidak menyangka pernikahanku yang baru setahun ini diguncang adanya kehadiran orang ketiga.
“Aku sangat mencintainya,” Dia mengulas senyum tipis namun tersirat bahagia. “Kita saling mencintai.” lanjutnya.
Cess
Seketika ribuan jarum menancap di hatiku hingga terluka namun tak berdarah. Tanpa permisi air mataku keluar dengan derasnya membasahi pipi. Tidak menyangka hari ini adalah hari terburukku, dikhianati suamiku sendiri yang selalu aku sabari dan layani di rumah.
“Mencintai?” Tanganku menyeka air mata yang mengaburkan pandanganku dengan kasar.
“Aku?” lanjutku menunjuk diri sendiri, bila mencintai wanita lain mengapa dulu menikahiku.
Selama ini apa arti dari semua yang telah kulakukan padanya. Melayani dan menghormatinya dengan menjalankan semua tugas dan kewajibanku termasuk melayani kebutuhan biologisnya di ranjang. Apa tidak ada cinta ketika ia melakukannya bersamaku, tanyaku dalam hati.
“Lihatlah sikapku selama ini padamu? Apa kamu tidak sadar, tidak ada cinta untukmu dihatiku,” tegasnya, menunjuk diriku dengan tatapan tak ada rasa sayang, yang selama ini selalu aku dapatkan tiap hari bersamanya.
Deg
Bodoh! Seharusnya aku sadar dari awal, mana mungkin orang saling mencintai berani menyakiti pasangannya. Sayang aku selalu menutup mata berdalih berpikir positif selama ini. Jadi selama ini aku hanya mendapat pahala saja atas menyenangkan suami tapi tidak dengan cintanya.
Bibirku kelu berbicara lagi, membutuhkan tenaga ekstra. “Kenapa menikahiku!” Tanganku menguntai kata di sebuah catatan kecil berwarna merah muda yang selalu aku bawa kemanapun untuk membantuku berinteraksi dengan orang lain termasuk pada suamiku.
Seketika Marvin bungkam setelah membacanya. Aku pikir bukan karena keadaanku tidak bisa berbicara, dirinya beralih hati pada wanita lain. Apakah aku kurang cantik di matanya selama ini. Tapi aku selalu berpenampilan rapi dan bersih walau sederhana, maklum hanya di rumah.
Marvin menetralkan mimiknya. “Dia jauh lebih cantik ketimbang dirimu yang tidak pandai merias diri dan … bisu. Dari segimanapun kamu kalah darinya.” Ia menatap diriku dari atas sampai bawah dengan remeh.
Aku menggeleng, bila karena fisik tak mungkin Marvin mau menikahiku dulu. Bukankah pernikahan adalah sakral, menikah dengan orang tercinta.
“Kenapa menikahiku?” Aku tak percaya, dengan berani tanganku menarik kemejanya hingga tubuhnya terguncang. Dia kaget melihatku seberani itu mengingat selama ini sikapku selalu lembut padanya. Aku merasa keanehan ketika Marvin bungkam sesaat sebelumnya.
Tiba-tiba tangannya menghempas tanganku hingga tubuh kecilku terdorong ke belakang dan terjerembab ke lantai dengan kasar. Aku mengaduh kesakitan memegangi pantat yang terasa sakit, namun terbiasa mendapatkan perlakuan ini.
‘Setelah semuanya kuberikan padamu!’ tulisku lagi setelah bangkit kesusahan.
Marvin membacanya malas. “Itu sudah menjadi hakku sebagai suami dan kewajibanmu sebagai istri, bukan.”
Cih, masih menganggap suami namun tidak menganggap istrinya. Istri diluaran sana tidak ada yang ingin dimadu apalagi diperlakukan buruk dan kasar. Mungkin mereka akan meminta berpisah terutama diriku.
Tapi, aku tidak bisa, selain rasa cinta juga karena semuanya telah kuberikan padanya. Harta peninggalan orang tuaku dan kehormatanku tentunya menjadi alasanku bertahan dengannya selama ini. Bisnis mendiang orang tuaku telah kuserahkan padanya di awal kita menikah, mengingat keadaanku tidak bisa mengelolanya.
“Kau tidak bisa begini.” Tanganku meraih lengannya.
Tanganku dihempas lagi, tubuhku terhuyung namun aku bisa menyeimbangkannya. “Tentu bisa. Apa yang tidak bisa kulakukan selagi itu membuatku bahagia.”
‘Apa kamu tidak bahagia bersamaku?’ tulisku lagi, menatap pilu atas pernyataan Marvin.
Dia tertawa hambar, mengejek. “Darimana aku bisa bahagia harus bersanding dengan wanita yang tidak kucintai apalagi bisu,” ucapnya tak punya hati mengulangi kata menyakitkan itu.
“Apa salahku?” tanyaku dengan terisak.
“Tidak ada yang salah darimu. Kamu baik. Tapi sayang cintaku padanya begitu besar sesuai janjiku untuk menikahinya, aku wujudkan besok.”
“Jangan menikah lagi,” pintaku menggenggam tangannya erat seolah aku tidak ingin kehilangannya.
“Tidak, keputusanku mutlak.” Marvin menolak mentah kemudian berlalu pergi. “Terima saja, kalau masih mau jadi istriku!” tegasnya, runtuh sudah janji yang diucapkannya ketika mempersuntingku setahun lalu, bukannya mempertahankan pernikahan ini malah meruntuhkannya.
Deg
Tidak, Aku tidak rela melepaskan Marvin begitu pun pernikahan suci kita di hadapan Tuhan dan banyak orang, masih jelas di benakku berjanji menikah sekali seumur hidup seperti mendiang kedua orang tuaku sampai maut memisahkan.” Jangan menikah lagi!” pintaku dengan keras, namun diabaikannya.
“Yang sabar, Mbak Sila.” Bi Sumi, asisten di rumahku mendekap tubuhku dengan erat, diam-diam mengintip pertengkaran kita dari balik dinding.
Dua hari sudah, aku duduk termenung di atas ranjang, menangis meratapi nasib semenjak pertengkaran hebat itu. Wajahku sembab dan mata bengkak terdapat kantung hitam menghiasi wajahku. Selama itu pula, Marvin tak pulang ke rumah, entah dimana laki-laki itu. Pandanganku kosong merasakan hidupku yang kehilangan arah. “Tega kamu, Mas.” Membayangkan Marvin tak kunjung pulang karena bersama kekasihnya, bermesraan. Niat hati ingin berbicara meluruskan masalah, berharap sang suami membatalkan niat demi keutuhan rumah tangga ini. Selagi masih bisa dipertahankan, aku akan berusaha dan siap melakukan apapun caranya untuk mempertahakannya. Yakin dan percaya, Marvin masih bisa aku pertahankan, tidak peduli segala kesakitan yang telah laki-laki itu torehkan di hatiku. Tok tokBi Sumi datang membawakan nampan terdapat sepiring bubur dan segelas susu di atasnya. “Mbak Sila, ini sarapannya. Silahkan dimakan.” Aku tersentak, kemudian membalasnya dengan anggukan kecil.Bi Sumi, asisten rumah yang dipe
Keringat dingin membasahi dahiku, tubuhku gemetar usai berperang batin. Rasa trauma yang mendiami diri puluhan tahun kini aku lawan demi bertemu dengan suamiku yang telah tidak pulang tiga hari tanpa memberikan kabar. Ini ketiga kalinya aku keluar rumah, pergi ke rumah mertua setelah sebelumnya aku menghantarkan orangtuaku ke peristirahatan terakhir dan berkunjung ke rumah mertuaku saat menikah. Aku menghela nafas, lega. “Akhirnya sampai dengan selamat.” Netraku menatap rumah dua lantai berdesign klasik dominan warna putih tak lain adalah rumah mertuaku.“Mbak Sila, baik-baik saja?” Bi Sumi menatapku khawatir dan perhatian. Bukannya pergi dengan suami malah ditemani asisten rumah, tak apa setidaknya aku tidak pergi sendiri.Kepalaku menggeleng. “Ayo, Bi.” Tak sabaran, aku melangkah mendekati gerbang hitam tertutup rapat kemudian tanganku menekan tombol bel di samping pagar hitam besi itu. Bi Sumi mengikuti dari belakang.Seorang laki-laki parubaya berpakaian hitam bertubuh gagah tak
Sinar matahari menerobos kaca jendela menerangi seluruh ruangan kamar. Disinilah aku duduk termenung di atas ranjang, meratapi nasib, wajahku sembab dengan mata bengkak terdapat kantung hitam setelah semalaman menangis tiada henti kala bayang-bayang perbuatan kotor terjadi diantara Marvin dan Stela di apartemen.Ayah mertuaku dirawat di rumah sakit karena serangan jantung setelah melihat perbuatan tidak terpuji dari putera semata wayangnya bermain dengan wanita di apartemen, beruntung kemarin cepat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pihak medis dan nyawanya tertolong. Itulah informasi yang Bi Sumi berikan padaku. Sayang sampai sekarang aku belum menjenguk ayah mertuaku di rumah sakit.‘Aku ingin berpisah,’ batinku yakin setelah mempertimbangkan matang-matang, tidak ingin hatiku semakin terluka lebih dalam melihat kemesraan Marvin bersama Stela.BrakkkSuara pintu terbanting kasar membuatku terperanjat, menoleh. “Marvin!” Laki-laki yang berstatus suamiku mendatangi
Aku meringkuk sendirian di balik selimut, kelelahan. Ya, Marvin telah pergi setelah puas menggempurku tiga jam lamanya membuat tubuhku terasa remuk bagai tak bertulang, mendapatkan pelepasan berkali-kali namun Marvin hanya sekali mendapatkan pelepasannya dan langsung pergi. Entah sekarang pergi kemana, aku tak tahu dan tidak mau tahu. Marvin menyentuhku bisa dihitung jari, hanya saja baru semalam dengan durasi lama dan kasar sentuhannya.Maklum Marvin sedang emosi, tidak heran menyentuh tubuhku dengan kasar sebagai pelampiasannya.Aku beranjak kesusahan dari atas ranjang empuk itu. Memilih pergi mengosongkan kamar yang menjadi saksi pergulatan tak dikehendaki itu.Menyesal dan marah, itulah yang mewakili perasaanku saat ini.“Eh,” Aku membungkuk memunguti pakaianku yang tergeletak mengenaskan di lantai tiba-tiba merasakan sesuatu keluar dari intiku.Tanganku terulur mendapati ada sisa cairan disana, mataku membola. “Dia tidak memakai pengaman?”“Brengsek,” umpatnya kasar semakin menar
“Lepasin!” Meronta enggan disentuh barang sedikitpun tubuhnya oleh Marvin, namun tak marah ketika penjaga rumah memegang tangannya. Semua tercengang akan kehadiran Sila yang tidak diundang bahkan tak diharapkan kedatangannya itu. “Kalian jahat!” ucapnya keras seraya meneteskan air mata semakin membasahi pipi mulusnya. “Kenapa kalian tega melakukan ini semua padaku, apa salahku?” tubuhnya melemas, telah menganggap keluarga pengganti kedua orangtuanya yang telah pergi malah ternyata pembunuh, tak lain adalah penyebab orangtuanya meninggal setahun lalu. Orang tua Marvin terkejut beradu pandang seraya membatin dalam hati akankah pembicaraan di dalam sampai di telinga Sila. Wajah panik dan takut menyelimuti wajah keluarga Adiwijaya tersebut. Marvin merutuki dalam hati akan kecerobohannya berbicara tak terkendali di dalam yang kemungkinan bisa di dengar Sila yang tak ia ketahui akan datang itu. “Sila, kamu kenapa nak?” Adiwijaya berusaha memasang wajah tenang namun dibalik itu perasa
“Hentikan!” Suara baritone menggelegar menyita perhatian semua orang termasuk aku lantas menoleh. Semua kaget. Tiba-tiba ada seorang laki-laki datang entah siapa dan apa keperluannya di tengah situasi gaduh. Terima kasih sudah menyelematkanku, batinku seraya menatap orang asing itu. Tipis harapanku bisa selamat dari serangan mematikan Marvin beserta keluarganya. “Mbak Sila, ada yang sakit?” Bersamaan itu, muncul Bi Sumi menghampiriku dengan raut wajah khawatir. Bukannya menjawab justru aku langsung memeluk Bi Sumi erat dengan tubuh gemetar. “Bi, tolong Sila pergi dari sini.” Yang langsung diangguki dan segera membantuku berdiri kemudian menuntunku pergi menjauh dari keluarga biadab itu. Sungguh, aku takut sekali. Tidak bisa kubayangkan bila orang asing itu tidak datang tepat waktu, mungkin nyawaku sudah melayang. Kini aku baru tahu betapa ganasnya keluarga Marvin yang selama ini aku anggap baik. Dan aku tidak mau berurusan lagi, cukup ini yang menjadi terakhir. “Sila, mau kemana
Tak terasa sudah satu minggu, aku tinggal di apartemen sederhana milik Kevin. Ukurannya tidak terlalu luas hanya terdiri dari dua kamar dan berisi perabotan rumah pada umumnya yang disusun rapi juga terjaga kebersihannya. “Nanti Kevin pulang Mbak, ada yang mau disampaikan.”“Dia pulang, Bi.” Tubuhku tersentak. Sejak tadi aku menikmati semilir angin di bawah langit cerah di balkon, yang hampir setiap hari aku lakukan selama tinggal di sini. Bohong, kalau aku tidak penasaran kepergian Kevin. Sejak proses penyelamatan itu, aku diminta tinggal sementara di apartemen milik laki-laki itu bersama Bi Sumi, tapi anehnya Kevin malah pergi tak pernah pulang. Dibilang nyaman, iya, semua yang dibutuhkan ada dan yang paling penting aku tidak berurusan dengan Marvin. Walaupun aku sering melamun memikirkan apa yang telah terjadi tapi untungnya ada Bi Sumi yang selalu menemani dan menghiburku. Bi Sumi telah bercerita bila Kevin adalah keponakannya yang bekerja sebagai pengacara di Kota Jakarta. ‘Ak