Bab 8
Kemarahan Nanda"Apa kamu gak pernah bantu-bantu mertua kamu ya? Katanya kamu selalu saja tidur, kamu gak pernah bantu dia masak atau juga beberes rumah, bener itu, Nan? Aku kok seringnya melihat kamu bersihkan rumput halaman rumah dan juga ngepel!" tutur Bude Rina sembari membenarkan gendongannya." Ow … ya, Bude? Ibu mertuaku bicara seperti itu? Padahal yang masak tiap hari itu aku, yang beberes itu juga aku. Dia lebih suka mengajak Hawa, jika pekerjaan rumah menumpuk. Nanti kalau Hawa menangis dia juga langsung memberikannya padaku! Bisa-bisanya bicara seperti itu?""Iya lho, dia bilang seperti itu. Kadang dia bilang kamu gak bantu dia berbelanja. Dari sabun sampe makan sehari-hari aja kamu gak bantu! Jahat sekali mertuamu bicara seperti itu!"Aku tak menjawabnya, hanya diam dan mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Bude Rina.Ini tetangga bicara benar, atau hanya ingin mengadu domba aku dengan mertua?Dia pun pergi meninggalkan aku yang masih saja dibuat bertanya-tanya mengenai omongan mertuaku.Baiklah, kalau kamu menceritakan aku seperti itu di luaran sana. Aku akan melakukannya seperti yang kau ceritakan itu.Segera aku membawa pulang Hawa, karena sudah jamnya dia mandi.Segera aku mandikan dan juga tidak lupa aku beberes rumah. Ibu mertua ku langsung meminta Hawa, agar aku bisa menyelesaikan pekerjaan rumah dengan cepat.Segera aku mencuci pakaianku dan juga baju milik suami dan anakku.Dan meninggalkan baju milik mertuaku, di ember yang kosong. Biasanya akulah yang mencucinya. "Kau cuci sendiri milikmu ini," gumamku lirih hingga hampir tak terdengar.Selesai pekerjaan rumah, aku segera mandi. Terlihat sudah Hawa tidur di kasur. Sepertinya dia terlelap di gendongan ibu mertuaku."Nan …." Panggil ibu mertua ku dari dapur."Ada apa, Bu?" Aku bertanya seolah-olah tidak tahu."Kamu tadi ngapain aja? Ini baju kenapa belum di cuci, piring juga masih berantakan! Kamu sudah mandi dan juga duduk manis." Ibu melihat ku duduk disamping Hawa yang tertidur pulas."Bu, saya sudah mencuci piring, saya juga sudah mencuci baju. Saya juga sudah menyiapkan makanan untuk makan sore ini! Apalagi yang kurang?""Lha ini apa?""Baju ibu sama bapak!""Ini apa?""Piring ibu sama bapak!""Kenapa gak dicuci?!""Gak ah, Bu. Kata orang-orang pekerjaanku cuma tidur gak beberes rumah. Jadi aku ya duduk aja, gak beberes rumah. Biar saja mereka tahu kalau aku malas!" Skakmat, kena kau."Kamu kok ngurusi tetangga, emangnya tetangga ngasih kamu makan?""Gak juga, Bu," jawabku santai."Lha terus ini semua siapa yang ngerjain?" tanya ibu sambil berkacak pinggang."Ibu sendirilah, tetangga bilang ibu rajin kan!" Aku langsung pergi meninggalkan ibu yang masih berdiri di depan ember cucian."Dasar menantu gak tau diri, sudah numpang ngelawan lagi. Memangnya gak pernah di ajari apa sopan santun sama orang tuanya?!" sungut ibu sambil menyikat baju.Jarak kamarku dengan dapur tidaklah jauh. Hanya terhalang oleh tembok, sehingga jika mertuaku bicara di dapur pun aku mendengarnya. Aku yang mendengar orang tuaku dibawa-bawa, langsung beranjak dari duduk dan ingin menghampiri mertuaku.Namun tiba-tiba Mas Wawan sudah masuk dan berdiri diambang pintu."Sudah gak usah di ladeni!""Tapi Mas ….""Kita memang numpang disini jadi wajar kalau kamu harus bantu ibu beberes rumah. Jangan di ulangi lagi, Mas denger semua dari depan." Mas Wawan melepas jaket dan juga tas yang dibawanya."Kamu kok gitu sih, Mas. Belain ibu terus, aku ini istrimu lho!" Aku marah dengan Mas Wawan."Kamu itu istriku, tapi dia itu ibuku. Kamu gak usah dengerin omongan tetangga. Ribet sendiri jadinya, kamu jangan seperti itu, bagaimanapun juga dia tetap ibuku juga sekarang menjadi ibumu! Kamu tahukan?" "Iya aku tahu, tapi jangan terlalu seperti itu!""Kamu itu lebih muda, seharusnya lebih menghormati orang tua. Aku ini suamimu, kamu juga harus nurut sama aku!""Tapi kamu gak pernah belain aku, Mas! Kamu juga sama …." Tak ku lanjutkan ucapanku tangisanku sudah luruh dipipi.Mas Wawan diam, dia tak ingin melanjutkan pembicaraan itu yang selalu saja menjadi keributan.Aku merasa bahwa Mas Wawan membela ibunya terus menerus. Bukankah aku istrinya? Aku masih saja belum bisa mengerti jalan pikiran Mas Wawan. Dia tidak pernah sekalipun membelaku.***Meskipun kemarin aku sudah bersikap berani dengan ibu mertuaku, namun kini tak lagi aku ulangi. Aku juga masih mencuci baju ibu dan juga memasak untuk keluarga ini.Namun kali ini aku mendapati ibu mengambil uang dari saku celana milik suamiku. Dengan reflek aku menegurnya."Bu, sedang apa ibu di sini? Dikamar ku? Ibu mengambil apa dari saku Mas Wawan?" Aku langsung mencerca pertanyaan demi pertanyaan kepada ibu mertuaku."Anu ini ….""Ibu mengambil uang milik Mas Wawan?""Kami menuduh ibu mencuri? Kurang ajar kamu ya, ini uang punya anakku. Jadi aku berhak atas uang ini! Kalau aku ambil memang kenapa? Kamu mau ngadu sama Wawan? Sana ngadu! Ibu gak takut!"Mas Wawan yang mendengar keributan dari belakang rumah, segera meninggalkan cangkul yang dipakainya untuk menanam pisang. Dan segera menghampiri kami yang tengah bersitegang di kamar."Ada apa, Nan?" tanya Mas Wawan padaku."Ini, Mas. Ibu …." Ibu langsung menyela ku."Ini, Wan. Istrimu menuduh ibu mencuri uang milikmu. Padahal ibu hanya mengambil hak ibu!""Mengambil hak ibu bilang? Mengambil tanpa izin itu namanya apa, Mas? Ibu kamu kelewatan ya, Mas. Kamu kan sudah menikah, dia dengan seenaknya masuk kamar ngobrak-ngabrik baju. Mengambil uang kamu tanpa izin! Sopan gak itu?""Eh, dasar mantu gak tahu diri. Saya ini yang punya rumah, kamu itu numpang. Kalau kamu tidak menikah dengan anak saya, kamu bukan apa-apa disini! Jangan berani melawan orang tua ya kamu!"Seketika air mata ini jatuh di pelupuk mata, entah aku menantu yang cengeng atau aku menantu yang lebay.Kata-kata seperti itu menusuk hati, ketika yang berbicara seperti itu adalah orang lain. Orang lain yang sekarang menjadi ibuku karena sebuah pernikahan.Mas Wawan melerai ku dengan ibu, dia dengan suka rela mengambilkan uang beberapa lembar lima puluhan.Aku tersenyum kecut melihat pemandangan ini.Ibu mertua ku yang sudah mendapatkan uang pun, pergi begitu saja meninggalkan ku yang masih berdiri menggendong Hawa sembari menangis."Mas, kau serahkan uang begitu saja pada ibumu? Tidakkah kita masih punya cicilan yang harus dibayar? Kenapa, Mas? Aku yang harus selalu mengalah dengan ibu? Kau berikan uang itu, sedangkan nanti kalau kita harus membayar cicilan, kamu meminjam emas yang aku miliki? Aku ini bod*h atau penurut?""Diam kamu, jangan bicara seperti itu. Biarkan semua menjadi urusanku, kamu tinggal menjaga Hawa!""Diam kamu bilang? Mas, emas ku sudah banyak yang di jual dari cincin nikah pun juga aku jual untuk membayar cicilan motor. Membeli susu dan juga keperluan lain. Dan kamu seenaknya saja memberikan uang tanpa meminta izin dariku?""Meminta izin darimu? Siapa yang bekerja? Siapa yang cari uang? Aku! Bukan kamu, kenapa aku harus meminta izin padamu?!"Bagai ditusuk sembilu.Luka namun tak berdarah.Mendengar ucapan dari suamiku.Aku pergi meninggalkan Mas Wawan yang masih di kamar. Pergi mengambil minum dan meneguknya sekaligus.Aku bertekad membesarkan Hawa, jika dia sudah besar aku akan bekerja. Mendapatkan uang dan membalas semua hinaan ini dengan uangku!##Bab 98Akhir bahagia"Mas, Siska meninggal dunia. Kemarin di rumah sakit karena sebuah kecelakaan. Karena tidak ada keluarga yang mengurusnya jadi keluarga Adi yang akan mengurusnya. Mas Wanto ke sini kan?" tanya Nanda dengan suara serak. Meski Siska tidak terlalu menyukainya tapi tetap saja dia pernah menjadi bagian dari keluarga itu. Ada rasa kehilangan meski hanya secuil.Lelaki yang ada di seberang telepon itu terdengar gundah. Ada keraguan Ingin mengucapkan sesuatu."Mas Wanto lagi dirumah sakit, Jasmin sakit, Nan. Sudah seminggu ini di rumah sakit. Semua tindakan dan juga tes dijalani. Hari ini akan keluar hasilnya. Seandainya hasilnya bagus. Jasmin akan rawat jalan. Tapi kalau tidak bagus. Kemungkinan dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa di kota.""Separah itu, Mas?" Nanda terdengar mengkhawatirkan Jasmin."Kemarin dia berulah. Hampir saja Mas celaka. Tapi Alhamdulillah, ada tetangga yang datang menolong!""Astagfirullahaladzim, tapi kamu gak papa kan, Mas?" "Gak papa! Mas
##Bab 97Rumah sakit JiwaSemua orang yang ada di halaman rumah Nanda secara bersamaan menoleh ke arah mobil tersebut."Kasih?" ucap Partini terkejut melihat Kasih.Kasih berjalan menghampiri mereka. Satu persatu disalami dan saling berpelukan."Ada perlu apa kamu kesini, Nak Kasih?"" Gak ada apa-apa, Bu. Cuma mampir saja.""Ayo masuk!" pinta Partini langsung menggandeng Kasih.Partini meninggalkan Nanda dan juga Siska dihalaman rumah.Mereka saling melempar pandangan. Tatapan Siska kepada Nanda sulit diartikan. Entah apa yang ada dipikiran wanita itu?"Pulanglah, daripada sakit hatimu!" pinta Nanda dengan nada biasa saja."Itukah calon istri Adi?" tanya Siska dengan ekspresi terkejut."Secepat itu Adi akan menikah lagi? Apakah aku tidak ada harga nya sama sekali?""Entahlah, kau pikirkan saja sendiri. Aku tidak ada waktu memikirkan hal itu!" Nanda pergi meninggalkan Siska.Kali ini Siska tak lagi berharga Dimata keluarga Adi. Apalagi Siska pergi dengan meninggalkan luka yang mendala
##Bab 96Permintaan maaf siska"Mas Wawan, sarapan dulu yuk! Udah aku siapkan di meja. Pagi ini aku masak spesial," pinta Nanda dengan nada manja. Wanita beranak satu itu pagi ini terlihat sangat ceria. Rumah yang berantakan abis kebakaran sudah direnovasi olehnya dengan kurun waktu yang lumayan singkat.Begitu banyak keberuntungan berpihak kepadanya. Meski tidak sedikit cobaan juga kerap singgah di hidupnya. Kini tinggal menata hati dan pikiran berfokus pada usahanya."Masak apa, Dek?" tanya Wawan yang menarik kursi plastik perlahan."Ayam goreng sama sup bakso kesukaan Hawa. Sini, Nak. Mangkoknya biar ibu kasih bakso yang banyak! Kamu suka?" Nanda melempar pandangannya ke arah anak semata wayangnya."Iya, Hawa suka. Bu," Hawa memanggil sang ibu yang masih sibuk dengan kegiatannya. Tatapannya kembali ia arahkan kepada Hawa."Apa, Sayang?" tanya Nanda dengan penuh kelembutan."Hawa pengen punya adik. Kayak Tasya, dia sekarang udah punya adik!" pinta Hawa yang membuat Ayahnya tersedak.
##BAB 95Jasmin sakit"Soal Jasmin. Mas bingung mau ngadepi Jasmin bagaimana? Sikapnya sangat berbeda, setiap kali Mas Vidio call. Dia itu baik. Tapi Mas dapet info dari para tetangga. Kalau Jasmin itu sering teriak-teriak sendiri. Kadang juga tertawa sendiri. Suatu hari pernah dia tertawa sambil menyebut nama kamu! Mas gak mau cerita sama kamu, takutnya ganggu kerja kamu!""Jangan-jangan Jasmin depresi, Mas?""Hust, ngawur kamu!""Lha kalau bukan depresi lalu apa? Gila?""Kita gak tau lho, Nan. Kalau nanti salah kan jadi fitnah! Nanti Mas cari tahu dulu. Bagaimana kehidupan Jasmin di kota. Takutnya dia tertekan saat jadi seorang istri, waktu itu!""Iya, Mas.""Ya sudah, kamu hati-hati ya! Jaga anak baik-baik. Salam buat suamimu." "Iya, Mas."Wanto akhirnya menutup sambungan teleponnya. Ada perasaan lega ketika Nanda bisa mengutarakan semua yang ada dihatinya. Dengan kedatangan Mas Wanto ke Klaten. Mungkin akan menemukan jalan keluar untuk masalah Jasmin.Nanda dan Wawan kemudian per
##BAB 94Hutang"Maafkan ibu ya, Sayang! Hawa ayo kita sekolah, Nak." Nanda menguatkan hatinya. Tak sepantasnya dia terkejut hingga tak terkendali. Bukankah selama ini dia mampu melewati? Banyak hal yang sudah dia lalui, dari kehilangan hingga fitnah bertebaran. Jika yang terdekat mencoba menyakiti itu hal yang lumrah. Setelah diingat dulu mereka pernah menggores luka yang sama."Kamu gak papa, Dek?" Wawan mencoba menanyakan kondisi Nanda saat ini."Gak papa, Mas. Sudah biasa. Aku percaya kita bisa melewati masa-masa ini, kita bicarakan nanti setelah mengantar Hawa." Nanda berjalan sembari menggendong tas milik anak semata wayangnya.Wawan menyusulnya ke jalan sembari menyalakan motor.Menghentikan lajunya lalu membiarkan Nanda dan juga Hawa naik perlahan.Dalam perjalanan yang cukup jauh. Tak pernah sepatah katapun Nanda ucapkan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya sampai di sekolah Hawa. Diciumnya tangan mereka dengan takzim oleh Hawa. Di peluk lalu pergi s
##Bab 93Pak lurah"Saya dari toko Mawar, Mbak Nanda!" jawab wanita yang ada di sebrang telepon."Toko mawar? Ada apa lagi? Saya gak ada utang lho," jawab Nanda penuh hati-hati. Sebab dia sudah kehilangan toko langganan itu dan jangan sampai dia meninggalkan nama yang jelek disana."Bukan itu, Bu. Tujuan saya menghubungi anda bahwa bapak ingin bertemu dengan anda, di toko.""Bapak? Pemilik Toko kain itu?" tanya Nanda sambil berpikir sejenak."Iya, Pak Broto namanya." Nanda mengangguk-anggukan kepalanya sembari melihat suaminya yang masih terjaga di sampingnya. Ternyata selingkuhan Siska selama ini Pak Broto namanya. Dalam hati Nanda berbicara. Yang dia tahu hanya seorang kakek tua yang menjadi selingkuhan Siska selama ini. Tidak pernah terlintas dipikirannya untuk sekedar mencari tahu siapa namanya. Karena dia menganggap itu hal yang sangat tidak penting bagi hidupnya.Nanda menutup telepon setelah selesai berbicara. Apa yang membuat Pak Broto ingin bertemu dengan Nanda? Apakah ini