"Arina, ambil ini!"
"Ini sekalian!"
"Rin, ambilkan minum untuk Viko sekalian!"
Suara-suara itu adalah milik mertua serta ipar-iparku. Mereka selalu saja menganggap aku babu gratisan. Menyuruh ini dan itu sesuka hatinya, seakan aku tak memiliki harga diri.
"Delon, istrimu itu, loh. Kerjaannya tidur saja seharian, Mama capek bebenah rumah."
Hatiku mencelos saat mendengar laporan mertuaku pada Mas Delon, suamiku. Apa katanya? Aku tiduran seharian ini? Lalu, dipikirnya, baju bisa rapi sendiri? Masakan bisa mateng sendiri? Rumah bisa bersih sendiri?
"Arina!"
Aku menutup mata. Bukan takut, tapi sudah muak dengan perilaku manusia yang tidak memanusiakan orang lain di rumah ini. Rumah sebesar ini, ditinggali oleh delapan orang. Mama Mertua, Mas Delon, Kak Caca dan suami serta dua orang anak mereka, aku, dan juga Fiona, anak bungsu di rumah ini.
"Apa, Mas?" tanyaku sambil membenarkan hijab.
"Apa kurangku, Na?" tanya Mas Delon.
"Maksud Mas apa?"
"Apa kurangku hingga kamu harus membuat Mama capek karena mengurus rumah sementara kamu enak-enakan tiduran di kamar?!" bentak Mas Delon sambil melotot.
Aku menghela napas. Apa yang harus kujawab? Toh jawaban apa pun yang akan keluar dari mulutku itu tak ada artinya. Selalu disangkal oleh Mama mertuaku sendiri.
"Sudah lah, Delon. Kamu jangan marahi Arina begitu, Mama nggak papa kok. Lagian hari ini kakakmu pergi, jadi nggak ada yang bantuin. Biasanya kami berdua yang bersihkan rumah," ucap Mama, seolah membelaku. Padahal aku yakin persis, di hatinya tengah bahagia karena melihatku dimarahi oleh Mas Delon.
"Lagipula, sudah berapa kali Delon bilang untuk panggil Bik Sumi lagi, Ma?"
"Jangan lah, uangmu bisa habis nanti, dan jatah Arina ke salon jadi menipis. Mama nggak mau kalian bertengkar gara-gara ini."
Hah? Apa? Ke salon?
Waah, perfect! Akting mertuaku ini bisa disandingkan dengan aktris di layar kaca, sungguh sangat alami ia buat sehingga seperti sungguhan.
"Arina, tolong, bantu Mama ngerjain rumah, ya?" pinta suamiku itu dengan suara melembut.
"Iya, aku-"
"Sudah lah, Lon, Mama ikhlas kok, gak papa. Ya sudah, Mama istirahat dulu, ya."
Mama berjalan keluar dengan sempoyongan, seakan memang benar telah melakukan pekerjaan rumah ini sendirian.
"Mas, aku-"
Belum selesai aku bicara, Mas Delon sudah meninggalkanku ke kamar, kuikuti dia hingga akhirnya kami bersitatap muka.
"Kamu kenapa, Mas?"
"Kenapa katamu? Aku gak habis pikir. Belum genap sebulan kita menikah, kamu sudah mengeluarkan sifat aslimu itu, ya? Aku menyesal sudah menikah denganmu!" ucapnya lantang.
"Lantas, kamu ingin aku gimana, Mas? Menjadi babu di rumah ini terus-terusan?"
"Jaga ucapan kamu, Arina! Mana ada bantuin Mama dan Kak Caca kamu langsung jadi babu? Aku bener-bener nggak paham sama kamu. Aku pikir, kamu memang wanita sederhana yang anggun, ternyata kamu malah memperbudak keluargaku."
"Mas!"
"Sudah, aku mau mandi. Jangan ganggu!"
-
Begitulah, karena insiden kemarin hingga membuat kami saling mendiamkan. Padahal selama ini, aku dan dia tak pernah bertengkar. Kenapa? Apa Mas Delon sudah tak percaya padaku?
"Heh, Arina! Ngelamun aja! Tuh, mandiin Viko!"
Aku hanya menoleh, tanpa mau menanggapi ucapan Kak Caca.
"Ih, berani lu, ya!"
"Kenapa sih, Sayang?" Mas Reza, suami Kak Caca datang.
Sebenarnya kasihan Mas Delon, sudah harus menafkahi aku dan ibunya, juga harus ikut menghidupi keluarga Kak Caca. Ya, Mas Reza sendiri adalah seorang pengangguran.
"Mami, mau mandi!" ucap Viko sambil mendekati ibunya.
"Mandi sama Tante, ya?"
"Ga mau, maunya sama Mami aja!"
Segera kutinggalkan keluarga penuh drama itu. Aku sudah muak, baru tinggal belum genap sebulan di sini, tapi batinku tersiksa lama-lama.
Awalnya aku mau saja saat Mas Delon membawaku ke sini, aku bahkan sampai rela meninggalkan usahaku yang memang tak pernah diketahui oleh Mas Delon.
Namun nyatanya? Aku di sini bak sapi, diperah tenaganya hanya untuk melayani mereka.
"Arina!"
Aku menghela napas panjang, kali ini, apa yang diadukan oleh keluarga penuh drama itu? Akan aku hadapi mereka!
"Apa, Mas?"
"Arina Hapsari binti Sulaiman, saya talak kamu! Mulai malam ini, hilang sudah tanggung jawabku atas kamu, dan kamu boleh pergi dari sini!"
Deg!
Mas Delon, menalakku?
"Kamu menalakku, Mas?"
"Ya!"
"Baik, terima kasih. Saat ini juga, aku pulang ke rumah orang tuaku. Pastikan kamu tidak menyesal telah memperlakukanku begini. Ingat, ke depannya mungkin kamu akan menyesal!"
Aku pun segera mengemas baju, lalu berjalan ke luar rumah tanpa ada yang menghalangi. Kukeluarlan ponsel, lalu menelepon seseorang.
"Jangan terima kerjasama baru yang diajukan oleh perwakilan PT Surya Mas."
"Maksudnya Pak Delon? Tapi kenapa? Bukankah sudah beberapa tahun ini kita kerjasama dengan perusahaan itu?" tanyan seseorang di seberang sana.
"Ya, jangan terima dan selidiki kerja sama yang telanjur kita tanda tangani tahun lalu. Saya yakin, ada yang tidak beres."
"Baik, Bu."
Kupikir, keluarga ini benar mencari menantu, ternyata hanya mencari pembantu. Lihat saja, akan kubeli kesombongan kalian dengan kenyataan yang menghancurkan!
-
Kuhentikan taksi yang lewat depan rumah mertua, lalu menoleh ke arah pintu yang memang sedari tadi terbuka. Tak ada tanda-tanda salah satu dari anggota keluarga itu yang sekedar menghalangi.
"Aku gak nyangka, ternyata sebulan lebih hanya dijadikan pembantu oleh kalian. Pantas saja, pembantu rumah tangga yang sebelumnya mereka pecat, ternyata agar aku bisa dijadikan pembantu tanpa harus dibayar," gumamku seraya menutup pintu.
"Mau ke mana, Bu?" tanya supir taksi.
"Ke jalan Anggrek, Pak."
"Siap."
Jarak rumahku dengan rumah Mas Delon sekitar tiga puluh menit. Tak jauh memang, karena dulu aku dan Mas Delon satu kampus, akhirnya kami menjalin hubungan dan akhirnya menikah.
"Andai aku tahu begini, tak akan aku terima lamarannya waktu itu."
Karena macet, empat puluh menit kemudian, aku pun sampai di depan rumah. Rumah yang tak mewah, juga tak sederhana. Tempat di mana aku dibesarkan dan dilimpahkan kasih sayang.
Ragu, aku mulai berjalan menapaki rumput deptan rumah. Bagaimana jika Ayah dan Bunda bertanya tentang kedatanganku yang tanpa suami? Apa yang harus aku katakan mengenai aku yang sudah ditalak bahkan belum sebulan menikah?
BAB 50---ENDING _______Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Rio dan wanita itu. Hatiku sungguh terbakar. Apa maksudnya itu? "Bu, ini, ada makan siang yang dikirim oleh Pak Rio," ucap Amel seraya menyodorkan sebuah kotak makan padaku. "Buat kamu aja, Mel. Oh, ya, kalau misal dia cari saya, bilang saja nggak ada." "Tapi, Bu, apa nggak papa?" tanya Amel, mungkin dia takut Rio tersinggung. "Nggak papa, Mel. Saya habis ini mau pulang ya. Badan nggak enak." Amel mengangguk. Aku yakin, ia bisa menghandle semuanya. Saat baru turun dan keluar dari lift, aku bertemu dengan Rio yang tampak tengah tersenyum melihat layar ponselnya."Ehem," ucapku, membuat Rio mendongakkan kepalanya. Ia menyapaku dengan mengangkat tangannya. "Kamu mau ke mana, Rin? Kok bawa tas?" "Mau pulang, nggak enak badan." "Oh yaudah hati-hati, ya." Aku sempat tertegun sebentar saat melihat Rio yang pergi begitu saja. Ingin rasanya aku tertawa lebar saat melihatnya pergi. "Oh, jadi kamu mau menjauh dariku, Ri?
"Aku, boleh masuk, nggak?""Eh? Boleh aja. Ayo."Kami pun masuk ke dalam rumah. Ternyata Ayah, Bunda, Mas Bima, dan Kak Rosi sudah berkumpul di ruang keluarga. Sementara Mbak Inah sedang merapikan meja makan, sepertinya kedua orang tuaku baru saja selesai makan."Om, Tante, Kak."Rio menyalami mereka satu persatu. Tumben banget?"Jadi gimana, Rio?""Tunggu, gimana apanya, Yah?""Begini,Om, Tante. Kedatangan saya ke sini, mau melamar Arin, tapi belum secara resmi. Hanya meminta restu."Deg!Apa? Dia, melamarku? Tapi kenapa ga ngomongin terlebih dahulu tadi?"Bagaimana, Om, Tante?""Ehm, begini, Rio. Seperti yang Rio tau, Arina ini kan janda, dan juga baru bercerai. Apa tidak terburu-buru?" tanya Ayah."Iya, Bunda juga merasa begitu. Toh, kalian kan baru menjalin hubungan, kan?" tanya Bunda, yang kujawab dengan anggukan."Iya, Tante. Saya melakukan ini hanya untuk mengikat A
"Apa, Sayang?""Katanya, Vito ini pembawa sial, Ma. Gara-gara Vito, Mama di penjara dan Om Delon juga masuk ke penjara. Emangnya, penjara itu apa, Ma? Apa tempat menyeramkan, sehingga Nenek menyalahkan Vito?"Hatiku mencelos mendengar, apalagi saat Ani menganggukkan kepala tanda semuanya itu benar adanya. Setelah menghibur Vito, kusuruh ia untuk mandi karena sebentar lagi waktunya mengaji.Malam hari.Aku ngobrol dengan Mas Bima di teras balkon kamarku. Kuceritakan semua, termasuk tentang Mas Delon yang dipenjara."Itu lah, hukum tabur tuai lagi dirasakan oleh Delon. Sudah, biarkan saja. Besok, bilangin Ani untuk tak mengajaknya ke taman itu lagi. Bukan tidak mungkin kalau mantan mertuamu akan menyakiti Vito."Aku mengangguk. Apa yang dikatakan oleh Mas Bima memang ada benarnya. Aku tak mau, jika nanti Vito menyalahkan dirinya, meskipun ia masih kecil."Lagi pula, lucu aja kalau neneknya Vito menyalahkan bocah sekecil it
"Pak Adrian, Pak." "Oh, Pak Adrian lagi ke luar kota. Ibunya sakit, baru saja diantar pergi." Lah? Ngapain dia minta dikirimin barang, namun tak ada di rumah? "Kebetulan, saya ketua RT di sini. Kalau boleh tau, ada keperluan apa, ya?" "Saya mau mengantarkan ini, Pak." "Apa isinya, Pak?" tanya Pak RT tadi sambil menerima barang yang kuulurkan. "Kurang tahu, saya cuma disuruh antar saja." Pak RT nampak penasaran, dengan bimbang, tangannya hendak melepas seteples yang menjadi penutupnya. "Pak, jangan." "Kenapa, Pak?" "Nanti saya dimarahi oleh orang yang menyuruh saya ke sini." "Saya mantan polisi, Pak. Nah, saya curiga dengan barang yang dibawa oleh Bapak." Setelahnya, Pak RT seperti menelepon seseorang, yang ternyata adalah satpam yang baru saja men
"Kamu kenapa, Lon?" tanya Mama. "Aku habis kena tipu, Ma. Sepuluh juta uangku melayang," ucapku lemas. Puluhan kali kucoba menelepon Hari, namun tak kunjung tersambung. Kucari akun sosial medianya, menggunakan nama panjangnya. Ketemu. Namun, aku bertambah lemas saat melihat beberapa tulisan temannya yang meminta uang dikembalikan. Ini sih sudah fix, aku kena tipu. "Kamu ini, Lon. Sudah Mama biayai buat kuliah, kok masih aja bl**n! Masa iya kena tipu tapi nggak nyadar?" "Ya kalau nyadar, nggak bakal kena tipu lah, Ma." Aku pun masuk ke dalam kamar. Berbicara dengan Mama rasanya sia-sia saja. Kupandangi tas tempatku menyimpan uang. Kenapa terbuka? Segera kuambil, dan melihat isinya serta menghitungnya. Kenapa hanya tersisa tujuh juta? Ke mana yang tiga juta? "Ma! Mama!" "Apa, sih? Teriak-teriak dipikir Mama ini b*deg?" "Mama lihat uang Delon yang di tas?" tanyaku. "Ya, sama Mama dibawa ke pasar tadi buat belanja bahan makanan." "Belanja apa yang sampai tiga juta, Ma? Lagian,
"Ja-jangan, Delon. Maafkan Mama. Iya, Mama mau hidup susah sama kamu."Setelah mencari kontrakan hampir setengah hari, kami dapat juga. Rumah kecil, namun lumayan untuk saat ini, daripada harus tidur di dalam mobil.Setelah membayar untuk tiga bulan ke depan, aku mengajak Mama membeli perlengkapan rumah. Kasur lipat, tikar, dan juga peralatan masak dan makan."Kita harus memulai semuanya lagi dari awal, Lon," ucap Mama sambil terisak."Sudah lah, Ma. Nggak usah Mama nangis terus."Malam hari, Mama masak ayam goreng dan sambal. Aku makan dengan lahap, mengingat seharian belum makan."Besok, Mama mau jenguk Caca, Lon," ucap Mama."Iya, Delon anterin, Ma. Sekarang makan yang banyak."Mama mengangguk, malam itu kami makan dalam diam. Aneh, rasanya. Biasanya ada saja yang menjadi percakapan di meja makan. Kini, selain sepi, juga kami makannya di lantai beralaskan tikar."Tidur,
"A-apa maksudmu?" tanyaku sambil memalingkan wajah. Pasti saat ini wajahku sudah memerah saking malunya."Rin, kamu nggak mau?""Mau apa?""Kamu nggak mau nikah sama aku?""Kamu ini nawarin, apa gimana, sih? Di mana-mana, orang ngelamar itu nanyanya mau nggak? Bukan nggak mau!"Rio terkekeh setelah mendengar ucapanku. Aku langsung kehilangan mood, kusuruh ia untuk melajukan mobil lagi. Suasana tiba-tiba menjadi canggung, dan hawanya pun panas.Sepuluh menit kemudian, kami sampai di kantor. Amel langsung memberiku materi rapat nanti. Kubaca, lalu menyerahkan padanya lagi."Aku tunggu jawabanmu nanti sore."Aku menoleh ke arah Rio yang tersenyum, kemudian menghilang di balik pintu. Untuk sesaat aku tercenung, lalu mengambil minum saat menyadari hatiku sedang tak baik-baik saja.Debaran dalam dada yang selama ini tak pernah terasa, tiba-tiba memenuhi rongga. Namun, aku teringa
"Apa? G*la si Caca itu!" ucap Bunda saat kuceritakan semua.Bunda dan Kak Rosi datang menjenguk Vito, tapi anak itu tertidur setelah kuminumkan obat tadi."Iya lah, Bun, kalau waras juga gak bakal kaya gjtu. Aku sampai nggak habis pikir loh, Rin, kok bisa ada seorang ibu yang tega menyakiti anaknya hanya karena tak mencapai tujuan keinginannya? Duit mulu yang dipikirin," ucap Kak Rosi."Iya, dia stress kali, Kak. Suaminya kan nikah lagi, udah punya bayi pula.""Hah? Pantes. Iya lah, siapa juga yang tahan sama wanita iblis seperti dia," sungut Kak Rosi."Rosi," tegur Bunda."Hehe, maaf, Bun, terlalu menghayati." Aku terkekeh melihatnya.Aku menceritakan juga tentang siasatku, yang harus menjalin kerja sama dengan wanita malam. Bukan aku membenarkan, tapi memang siapa lagi yang bisa mengerjakan misi ini selain wanita seperti Risti?"Tapi kamu tetap salah, Nak. Bunda kan pernah bilan
Di sana, Rio tengah duduk berdua dengan Risti. Senyum terlihat di wajah lelaki yang sudah menemaniku selama lima tahun belakangan ini. Sementara Vito tengah melihat ikan di kolam yang terletak di tengah-tengah taman.Aku terdiam sesaat, memangnya, apa yang kurasakan saat ini? Salahkah jika mereka berdua saling jatuh cinta? Kenapa rasanya, menyakitkan? Apakah aku cemburu?Aku berbalik, tak jadi bergabung dengan mereka dan berjalan menuju kamar. Di dalam kamar aku termenung. Apa yang tengah kurasakan sekarang? Benarkah aku cemburu? Atau, hanya terkejut saja? Yah, pasti karena terkejut, kan? Apalagi selama ini tak pernah sekalipun kulihat Rio bersama wanita lain. Sikapnya yang dingin pada wanita, sempat membuatku berpikir kalau dia tak normal.Dret!Suara pintu dibuka. Aku mendongak, ternyata Rio, Risti dan juga Vito sudah kembali."Tante Arin!" panggilnya sambil berjalan memelukku.Kuusap pungg