Share

KERJA

Author: Putri putri
last update Last Updated: 2022-06-09 19:24:08

 “Cepat katakan, Mas!” Aku kembali mencecar suamiku karena dia tak kunjung memberi jawaban.

“Tadi aku traktir teman-teman, Dek,” jawabnya kemudian. 

“Teman siapa?” tanyaku lagi. 

Aku merasa janggal dengan jawaban yang diberikan oleh Mas Arga. Setahuku, dia belum pernah mentraktir temannya. Kok tiba-tiba sekarang dia melakukan itu. Angin apa yang sudah mengubah kebiasaannya.

“Ya temanlah!” sahut mas Arga sewot. Ia tampak tak suka aku terus menanyainya. 

“Aku kan sudah bilang, uangnya buat belanja besok.. kenapa masih saja dihabiskan!” Dengan sedikit menahan emosi, aku mengingatkan suamiku. 

“Kan bisa pakai uang kamu dulu.” Jawab suamiku. 

“Uang dari mana, Mas? Kamu aja ngasihnya enggak genap satu juta!” protesku. 

“Sudahlah, Dek. Aku males berdebat terus.” Ucap Mas Arga. Ia kemudian menenggelamkan wajahnya pada bantal. 

Melihat kelakuan suamiku, rasanya sudah enggak sabar ingin meminta pisah. Tapi aku harus bertahan sebentar lagi untuk memastikan kebanggaan mas Arga tak lagi berfungsi. 

Aku langsung mengambil ponsel milik suamiku di saat kudengar dengkuran halusnya. Segera kubuka benda pipih yang memang tak pernah dikunci ini untuk melihat aktivitasnya. Dari W*, f******k sampai I* telah kujelajahi, tapi tak ada satu pun hal yang mencurigakan. Apa jangan-jangan mas Arga sudah menghapus semuanya ya.

Kuhela nafas kasar saat tak kutemukan apa pun di sana. Lekas kuletakkan kembali benda ini pada tempatnya lalu beranjak ke tempat tidur. Setengah malas aku berbaring di samping mas Arga yang telah lebih dulu terbuai mimpi. 

Keesokan harinya, setelah bangun pagi aku menuju dapur lalu membuka lemari pendingin. Hanya kutemukan satu butir telur di dalamnya. Tak ada lagi sesuatu apa pun yang bisa untuk dimasak.

Sembari menunggu nasi matang, Aku merebus telur itu untuk dijadikan lauk. Biar saja Mas Arga makan dengan lauk satu butir telur rebus dibagi tiga. Salah sendiri uang belanja dihabiskan. Setelah semuanya selesai, kuhidangkan makanan ala kadarnya ini untuk mereka bertiga. Sedangkan aku akan makan di luar saja seusai mencuci nanti. 

“Dinda!” Teriakan mas Arga terdengar keras menyebut namaku. Kuabaikan saja panggilan suamiku itu, sudah pasti dia akan protes karena terkejut saat hendak makan. 

“Dinda!” Mas Arga kembali memanggilku. Namun kali ini terdengar jauh lebih keras. Aku pura-pura tergopoh mendekati sumber suara tersebut. Benar saja, Mereka bertiga tengah duduk mengitari meja makan dengan wajah di kecewa. 

“Ada apa, Mas?” tanyaku pura-pura tidak tahu. 

“Maksud kamu apa, Hah? Kenapa kamu masaknya cuma seperti ini!” hardik Mas Arga seraya tangannya menggebrak meja. 

Aku terkejut melihat Suamiku semarah itu. Biasanya kalau dia marah enggak pernah sampai menggebrak meja begitu. Anggi saja sampai pergi karena ketakutan.

“Adanya cuma itu!” jawabku setelah rasa kagetku hilang.

“Memangnya uang kamu beneran habis?” tanyanya kemudian. 

“Emang aku suka bohong, Mas?” protesku. 

“Jadi istri itu harusnya bisa ngatur keuangan. Jangan dibiasakan hidup boros. Biar bisa nabung untuk masa depan.”   Kali ini ibu ikut menimpali. Kalimatnya yang sok bijak, berbanding terbalik dengan kesehariannya. 

Apa? Boros? Apa aku enggak salah dengar. Bagaimana ibu bisa berpikir uang delapan ratus ribu cukup untuk satu bulan. Boro-boro ditabung, bukan makan saja kurang. 

“Aku juga sudah berhemat, Bu. Tapi semalem uangnya dihabiskan sama mas Arga,” jelasku.

“Makanya kamu kerja. Jangan cuma jadi beban suami. Toh, kamu juga enggak sibuk-sibuk amat ngurusi rumah!” ucap mertuaku lagi. 

Telingaku memanas mendengar ucapan Ibu.  Sejak kapan seorang istri jadi beban? Bukankah sudah kewajiban suami untuk mencari nafkah?

“Baik! Hari ini juga aku akan cari kerja!” sahutku dengan nafas memburu. Sakit rasanya dikatai beban suami. Percuma saja selama ini aku mengeluarkan uang tiap bulan kalau akhirnya cuma dianggap beban.

“Mau kerja apa  kamu?” ejek mas Arga. Ia terlihat menahan tawa saat mendengar aku akan bekerja.

“Gampang!” jawabku sembari berlalu meninggalkan mereka. 

Mungkin dia pikir aku enggak bisa cari uang, padahal selama ini aku juga sudah kerja. Ya, aku sudah menjalankan usaha dropshipp sejak sebelum menikah. Itulah mengapa aku selalu punya uang. Ditambah lagi uang jajan juga masih rutin dikirim orang tuaku. Enteng rasanya jika hanya menutup kekurangan uang belanja. Hanya saja mas Arga dan keluarganya tidak tahu soal itu. Jika mereka tahu, sudah pasti uang itu akan habis oleh mereka.

Setelah ganti pakaian dan sedikit berdandan, aku segera ke luar bersiap untuk pergi mencari kerja. Ah, bukan! Tepatnya aku bersiap refreshing tapi pura-pura cari kerja.

“mau ke mana kamu?” tanya mas Arga saat melihatku berpakaian rapi. 

“Cari kerjalah. Biar bisa makan!” sahutku. Aku terus berjalan tanpa memedulikannya. 

“Sekarang hari minggu, Dek!” ujarnya disertai gelak tawa.

“Suka-suka aku dong. Yang penting nanti aku dapet duit!” balasku tanpa menatapnya. 

Mungkin mas Arga pikir aku serius mau cari kerja di hari libur. Padahal aku hanya akan jalan-jalan. Sesekali membahagiakan diri sendiri boleh ‘kan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu jangan mau lagi bantuin kerjaan rmh dn juga jangan kmu bantuin uang tuk belanja biar se ada nya uang dn kmu keluar tiap hr tuk refresing se akan2 kmu kerja ..
goodnovel comment avatar
Esti Muharini
seru tp sayang pakai koin
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KUBUAT SUAMIKU SEMAKIN LAYU   JODOH?

    Setelah rehat dan berganti pakaian, aku meminta Devi mengantarku pulang. Tadi dia menawari untuk menginap di sini saja, tapi kutolak. Rasanya, aku ingin menyendiri dulu, meski hanya sekedar untuk meresapi apa yang baru saja kualami.“Tapi ini sudah malam, Din, entar aku pulangnya gimana? Kan aku takut,” ucap Devi saat kami sedang berbincang di ruang tengah.“Ya sudah, aku pesan taksi online saja,” usulku.“Jangan! Aku enggak tega membiarkan kamu pulang sendiri,” tolaknya dengan wajah sendu.Aku menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Di suruh antar, bilang takut. Mau pulang sendiri, dia bilang enggak tega. Apa sih maunya Devi?“terus gimana dong?” tanyaku bingung.Devi mengangkat kedua bahunya, seolah mengatakan bahwa dirinya pun tidak tahu. Sesaat, kami berdua terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Aku memutar otak, mencoba mencari cara agar secepatnya bisa pulang ke rumah orang tua. Di kala susah seperti ini, rindu bertemu mereka seakan tak tertahankan.“He

  • KUBUAT SUAMIKU SEMAKIN LAYU   PERGILAH!

    “Jadi semua ini rencanamu, Mas!” Aku menggeleng lemah. Sebenarnya hatiku menolak percaya, tapi inilah kenyataannya. Ryan, laki-laki yang selama ini kuanggap sebagai dewa penolong, ternyata biang keladi hancurnya rumah tanggaku. “Enggak seperti itu, Na! Aku bisa jelasin,” sanggah Ryan. Dia lantas berdiri sambil berusaha meraih jemariku, tapi segera kutepis. Aku tak mau tangan kotornya menyentuhku. “Kamu tak bisa mengelak, Mas! Aku sudah dengar semuanya kok!” sergahku kemudian. Sebisa mungkin aku menahan air mata agar tak sampai jatuh. Aku tak ingin terlihat cengeng di hadapan laki-laki yang sempat memberiku harapan. Meski teramat perih, aku tetap berusaha untuk menyembunyikannya. “Ini tidak seperti apa yang kamu dengar, Na! Tolong dengarkan penjelasanku dulu.”Lagi. Mas Ryan kembali membela diri. Namun, setelah apa yang kudengar barusan, apa aku harus percaya dengan apa yang dia ucapkan? Bisa saja dia mengarang cerita sebagai pembenaran atas apa yang dia lakukan. “Sudahlah, Mas!

  • KUBUAT SUAMIKU SEMAKIN LAYU   KENYATAAN PAHIT

    Mata ini terasa sangat lengket saat aku memaksa membukanya. Semalaman aku susah untuk terlelap. Pikiranku terus saja dihantui rasa penasaran, siapakah gerangan orang yang berbicara dengan Ryan? Rahasia apa yang sebenarnya mereka sembunyikan?Seharusnya aku tengah berbahagia karena telah mendapat cinta tulus seorang Ryan, tapi apa yang kudengar semalam, berhasil mengusik kebahagiaanku. Pernah dikhianati oleh seseorang yang kita sayang, ternyata membuatku selalu menaruh curiga pada semua laki-laki. Tidak terkecuali Ryan. Tak ingin terluka untuk kedua kali, gegas aku menyambar ponsel yang tergeletak di atas nakas. Langsung kuhubungi Devi, sahabatku untuk memintanya membantu memecahkan misteri yang disembunyikan Ryan.“Pagi, Dev,” ucapku basa-basi setelah panggilan tersambung.“Pagi juga, Din. Tumben pagi-pagi buta sudah telepon?” sahutnya dari seberang sana.“Iya nih. Aku lagi butuh bantuan kamu,” beberku. “Bantuan apa?” tanya Devi dengan nada suara seperti keheranan.“Jadi begini...”

  • KUBUAT SUAMIKU SEMAKIN LAYU   BAHAGIA DAN CURIGA

    Sesaat kemudian, laki-laki berkemeja kotak-kotak itu membalikkan tubuhnya lalu mengangguk. Wajah yang kukenali sebagai seorang Ryan, tersenyum menatap lekat padaku yang telah ada di hadapannya. Tanpa menunggu lama, aku langsung menghambur dalam pelukan laki-laki yang kurindukan ini, lalu menenggelamkan wajah pada dada bidangnya.“Aku menepati janjiku bukan?” ujarnya seraya mengelus pucuk kepalaku.Aku terharu dengan ketulusan cinta yang dia miliki. Tak kuduga sama sekali, setelah belasan tahun tak bertemu, ia masih ingat dengan janjinya yang akan selalu mengharapkanku. Tanpa terasa, bulir-bulir bening telah jatuh dari sudut mataku.Sejenak, aku menguraikan pelukan, lalu menatap sendu pada sosok di hadapku. Kuperhatikan setiap gurat dari wajahnya, tapi tak menemukan kemiripan dengan Yanto yang kukenal dulu.“Benarkah kamu Yanto?” tanyaku sedikit ragu.“Apa kau tak bisa mengenaliku? Apa jangan-jangan kamu sudah lupa denganku?” tanya Ryan.Bagaimana mungkin aku bisa mengenalinya jika t

  • KUBUAT SUAMIKU SEMAKIN LAYU   APAKAH CINTA

    Kesempatan cepat lenyap, tapi lamban kembalinya. Itulah pepatah lama yang pas untuk menggambarkan diriku saat ini. Di saat Ryan sering datang, aku sama sekali tak memedulikannya. Namun, di saat aku menanti hadirnya, dia sama sekali tak menunjukkan batang hidungnya. Lebih dari satu bulan sejak kejadian hari itu, Ryan belum sekalipun datang, padahal biasanya tiap hari selalu ke sini. Sejarang-jarangnya seminggu tiga kali dia selalu mengajakku berbincang, meskipun hanya sepatah dua patah kata.“Sebenarnya pak Ryan ke mana sih, Bik? Kok sama sekali enggak pernah pulang?” tanyaku pada bik Wati saat kami tengah menyiapkan makan malam.“Kurang tahu, Bu. Memangnya Ibu enggak pernah dihubungi?” Aku menggeleng lemah menanggapi pertanyaan bik Wati. Jangankan menghubungi lebih dulu. Aku telepon saja selalu di reject. “Mungkin pak Ryan lagi sibuk, Bu! Jadi enggak sempat pulang,” jelasnya kemudian.“Iya, tapi setidaknya kasih kabar kek! Telepon atau kirim pesan kan bisa! Kan jadi enggak bikin

  • KUBUAT SUAMIKU SEMAKIN LAYU   perasaan Ryan

    Aku tersenyum bangga karena telah berhasil membuat keluarga mantan jadi gembel. Bagiku, semua yang aku lakukan pada mereka tak sebanding dengan luka yang kuterima. Jauh di lubuk hati, aku masih ingin terus membuat hidup mereka terhina. Sejenak, kuayunkan langkah memasuki rumah ini. Pandanganku mengitari sudut demi sudut dari kamar yang dulu pernah menjadi saksi perjalanan hidupku. Aku tersenyum kecut saat mengingat betapa bodohnya aku yang dulu termakan rayuan Arga, laki-laki keparat yang pernah menjadi suamiku.Tak ingin terus terbuai kenangan pahit, gegas aku beranjak keluar lalu mengunci rumah ini. Aku mengajak kedua laki-laki yang datang bersamaku untuk pulang. Tak butuh waktu lama, mobil yang kami kendarai telah berhenti di halaman rumah. Dengan santai aku turun lalu memasuki rumah. Aku terkejut saat melihat Ryan tengah duduk di ruang tamu dengan wajah kusut, tapi mencoba abai dan terus berjalan menuju kamarku. “Duduk!” perintah Ryan dengan nada suara terdengar gemetar.Sejena

  • KUBUAT SUAMIKU SEMAKIN LAYU   BANGKAI HIDUP

    pov. ArgaSetelah kepergian Dinda, mantan istriku, pikiranku semakin berkecamuk. Belum hilang rasa penasaran dari mana Dinda bisa punya uang untuk membeli rumah ini, Ibu menambah beban pikiranku, dengan meminta agar Dini mau menampung kami sementara waktu. Baiklah. Demi untuk hidup layak, aku akan mencoba merayu Dini, agar mau memberi tumpangan sampai kami bisa membeli rumah lagi. Dengan langkah penuh harap, gegas aku menemuinya di kamar. “Yang, kenapa kamu masukin pakaian ke koper? “ tanyaku heran saat melihat Dini, istri siriku mengemasi pakaiannya. “Mau pulanglah, rumah ini sudah bukan punya kamu lagi. Lebih baik aku pergi sekarang sebelum diusir sama pemiliknya.” Sahut Dini ketus. “Ya sudah, sekalian kemasi pakaianku juga ya, Yang. Kita pergi sama-sama,” pintaku. “Kemasi sendiri, dan pergi sendiri. Jangan meminta aku menampung kalian. Karena rumahku bukan panti asuhan,” tolaknya. “Aku kan suamimu, Yang! Masa kamu tega sih?” rayuku. “Halah, nikah siri saja diandalkan. Ting

  • KUBUAT SUAMIKU SEMAKIN LAYU   MALU

    Hari ini aku bangun agak kesiangan akibat tidur terlalu larut. Sampai-sampai kewajibanku sebagai makhluk ciptaan tuhan, kutunaikan di penghujung waktu. Ah, aku memang bukan Hamba yang taat. Dengan buru-buru aku segera menuju taman belakang rumah untuk memulai rutinitas pekerjaanku. Meskipun aku penyuka bunga, tetapi kadang juga merasa bosan. Apalagi kalau pikiran lagi enggak karuan begini. Rasanya ingin kutinggalkan saja. Ya. Saat ini aku sedang tidak fokus pada semerbak bunga di sekelilingku. Aku masih saja memikirkan kata-kata yang Ryan ucapkan semalam. Walaupun aku tahu dia hanya asal bicara, tetapi tetap saja membuat hatiku berantakan. Sejenak, aku mencoba menepis bayang semu tentang Ryan. Berusaha berkonsentrasi agar pekerjaan ini cepat kelar, karena hari ini aku berencana mengunjungi rumah mantan suamiku. Ah, bukan. Tepatnya rumah yang baru aku beli. Selesai dengan pekerjaan ini, gegas aku kembali ke kamar untuk membersihkan diri, berdandan secantik mungkin, agar mas Arga se

  • KUBUAT SUAMIKU SEMAKIN LAYU   AJAKAN RYAN

    Tanpa terasa, dua bulan sudah aku tinggal di sini. Di rumah milik Ryan, laki-laki menyebalkan yang penuh teka-teki. Kalau boleh jujur, aku merasa betah. Meski terkadang rindu dengan kedua orang tuaku cukup menyiksa jiwa.Aku sudah mengabari mereka tentang perceraianku dengan mas Arga. Telah kuceritakan perihal mantan suamiku yang mendua, pun mengenai mantan mertuaku yang mendukung kesalahan anak laki-lakinya.“kamu harus sabar, Nak!” Masih terngiang jelas nasihat Ibu waktu itu. Walaupun hanya melalui sambungan telepon, aku bisa tahu betapa terpukulnya hati Ibu mendengar kabar anak perempuannya telah menjanda. Sebenarnya mereka memintaku pulang ke rumah, tapi aku tak mengiyakannya, karena aku masih harus di sini dua bulan lagi. Aku terpaksa berbohong pada mereka. Kukatakan aku sedang bekerja, padahal tidak. Tak mungkin juga kan kalau aku mengatakan telah dijual? Bisa copot jantung mereka nanti.Devi, sahabatku, sesekali datang berkunjung saat waktu luang. Beberapa hari yang lalu dia j

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status