Bab 15Aku duduk termenung, setelah bertemu dengan Bu Dahlia tadi pagi pikiranku jadi tidak fokus. Kata-kata ibu mertua terus terngiang bagai kaset yang diputar berulang-ulang. Sakit sekali rasanya jika aku ingat kembali semua hinaan dari perempuan yang telah melahirkan suamiku itu."Aku nggak boleh begini terus. Aku harus buktikan pada semua orang kalau aku nggak seperti yang mereka katakan," gumamku berusaha menyemangati diri sendiri.Aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri untuk mengubah hidupku. Ucapan dan tatapan meremehkan akan aku jadikan cambuk untuk meraih impian dan cita-citaku. Mulai sekarang aku akan bekerja lebih giat agar aku bisa membuat mereka berhenti merendahkan aku."Memangnya kenapa kalau aku cuma lulusan SMA? Walaupun aku tidak kuliah, aku yakin aku juga bisa sukses. Suatu saat nanti, aku pasti akan buktikan pada mereka yang telah meremehkan aku hari ini," batinku penuh semangat.Aku segera bangkit dari kursi, ini bukan waktunya untuk bersantai. Aku harus kemba
Bab 16Tok tok tok! Terdengar suara ketukan di pintu kamar. Bisa ditebak, sudah pasti itu Mas Iqbal."Jam segini baru pulang," gerutuku lirih.Pintu depan memang sudah aku kunci, tapi Mas Iqbal membawa kunci cadangan, sehingga dia tidak perlu membangunkan aku untuk masuk ke dalam rumah. Namun dia tidak akan bisa masuk ke dalam kamar tidur, karena dia tidak memiliki kunci cadangannya. Dan aku memang sengaja mengunci pintu kamar agar dia tidak bisa masuk. Malam ini aku tidak akan membiarkan Mas Iqbal masuk dan tidur di sampingku.Mas Iqbal terus mengetuk pintu kamar dan memanggil-manggil namaku. Meskipun aku mendengarnya, tapi aku tidak mau membukakan pintu untuk Mas Iqbal. Biar saja dia tidur di luar. Aku ingin memberikan pelajaran untuk suamiku yang ganjen itu."Melati, buka pintunya!" teriak Mas Iqbal dari luar kamar. "Kamu udah tidur ya? Kenapa kamu kunci pintunya?" Mas Iqbal terus menggerutu, tapi aku tetap tidak mau membuka pintu.Aku kesal pada Mas Iqbal. Bagaimana aku tidak ma
Bab 17Prang! Mas Iqbal membanting gelas ke lantai. Aku benar-benar terkejut hingga membuat tubuhku gemetaran saat melihat gelas yang hancur berkeping-keping."Maksud kamu apa? Kamu nuduh aku selingkuh?" tanya Mas Iqbal."Aku cuma tanya sama kamu! Kalau memang Rosa itu cuma teman biasa, buat apa kamu ajak dia main ke rumah Ibu?""Kamu apa-apaan? Kenapa kamu larang-larang aku bawa teman pulang ke rumah Ibu?""Jelas aku melarang kamu, Mas! Teman yang kamu bawa itu perempuan!" teriakku. "Gimana kalau situasinya dibalik? Gimana kalau aku yang bawa pulang teman laki-laki ke rumah Ibu aku? Apa menurut kamu itu pantas? Apa kamu nggak akan marah kalau aku bawa pulang laki-laki lain tanpa sepengetahuan kamu?"Mas Iqbal kembali menendang meja. "Cerewet! Aku nggak mau lagi ngomong sama kamu! Lagian kamu mau bawa pulang laki-laki ke mana, ke kuburan? Ibu kamu 'kan udah mati!""Aku nggak suka kamu deket-deket sama perempuan itu!" ucapku."Kamu nggak berhak larang-larang aku! Jangan pernah ikut ca
Bab 18Aku berbaring sendirian di dalam kamar. Mas Iqbal sudah pergi beberapa jam yang lalu. Dia pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun padaku. Sepertinya aku hanya dianggap nyamuk yang tidak penting baginya."Biarin ajalah Mas Iqbal pergi. Paling juga dia pulang ke rumah Ibunya," gumamku.Aku tidak perlu mencemaskan Mas Iqbal. Sebelum aku mengkhawatirkan Mas Iqbal, lebih baik aku mencemaskan diriku sendiri. Nasibku sudah di ujung tanduk. Jika sudah begini, aku tidak yakin bisa menyelamatkan rumah tangga yang semakin hari semakin terasa tidak sehat ini."Aku harus bisa mengurus toko Bu Wulan dengan baik. Aku harus jadi perempuan yang tangguh dan mandiri. Aku harus punya penghasilan tetap dan punya tabungan sebelum aku berpisah dengan Mas Iqbal!"Aku sudah tidak mau berharap banyak lagi. Aku ikhlas jika rumah tanggaku memang harus berakhir. Aku harus mulai bersiap-siap untuk hidup mandiri dan berdiri di kakiku sendiri."Fokus! Jangan mikirin hal yang nggak penting. Aku har
Bab 19"Tenang dulu, Mba. Bicara pelan-pelan. Ada masalah apa, Mba? Kenapa Mba Mira menangis?" tanyaku dengan penuh hati-hati.Tangisan Mba Mira membuatku cemas dan panik. Karena selama aku mengenalnya, aku belum pernah melihatnya menangis seperti itu. Apa mungkin Mba Mira bertengkar dengan Pak Rayhan? Atau Mba Mira mengalami musibah besar yang tak terduga?"Maafin Mba, telepon kamu pagi-pagi begini," ucap Mba Mira masih sambil terisak. "Sekarang Mba lagi ada di rumah sakit. Mama ... Mama udah pergi, Mel. Maafin Mama juga ya, kalau seandainya Mama ada salah sama kamu."Untuk sesaat aku tidak bisa berkata apa-apa. Jantungku berdegup kencang, otakku seakan tidak bisa berpikir. Mama siapa yang dimaksud oleh Mba Mira? Apa itu ... Bu Wulan?"Innalilahi wainailaihi roji'un. Maksud Mba Mira apa? Siapa yang meninggal, Mba?""Mama Wulan, Mel. Mamanya Mas Rayhan," ungkap Mba Miranti, tangisnya kembali pecah setelah mengatakan berita duka itu.Aku menutup mulutku dengan telapak tangan, bahkan tu
Bab 20Aku menatap pantulan tubuhku di cermin besar yang ada di kamar. Hari ini aku sengaja memakai pakaian yang lebih rapi dari biasanya karena aku akan pergi ke kafe setelah satu minggu mengambil cuti karena harus menemani Mba Mira yang masih berkabung.Setelah taksi online yang kupesan datang, aku segera meluncur menuju ruko tiga lantai yang kini sudah sah menjadi milikku. Tak memakan waktu lama aku pun sampai dan langsung membayar ongkos sesuai tarif di aplikasi."Kayaknya aku harus beli motor untuk menghemat ongkos. Nanti aku pikirkan lagi deh," batinku sambil melangkah memasuki ruko."Selamat pagi," sapaku pada beberapa karyawan yang sudah sampai lebih dulu."Selamat pagi juga, Mba," sambut pegawai yang lain."Maaf ya, saya kelamaan nggak masuk," sahutku seraya melempar senyum pada semua orang yang menyambutku.Tak lama setelah aku sampai, Mbak Mira dan Pak Rayhan juga datang. Kami diminta untuk berkumpul karena ada yang ingin disampaikan oleh Pak Rayhan selaku putra tunggal alm
Bab 21"Hentikan!"Suara seorang laki-laki terdengar menggelegar, membuat tangan Indri yang akan menampar wajahku berhenti di udara.Refleks kami menoleh bersamaan ke arah sumber suara, dan ternyata yang datang adalah Hendra, sepupu Pak Rayhan. Seperti biasanya laki-laki itu mengenakan pakaian yang slim fit, hingga membuat tubuhnya yang tinggi tegap terlihat semakin keren."Tolong jangan membuat keributan di tempat ini!" Hendra menatap tajam Indri, matanya mengunci seolah sedang mengintimidasi.Aku bahkan baru menyadari kalau ternyata Hendra memiliki mata yang sangat tajam. Tatapannya seperti seekor elang yang akan menyergap mangsanya.Sementara itu Indri dan Rosa terdiam, terutama Indri. Adik iparku itu seakan terhipnotis oleh ketampanan Hendra yang memang di atas rata-rata."Maaf Mba, tolong jaga sopan santun anda di depan umum!" sentak Hendra membuat Indri akhirnya tersadar dari keterpukauannya.Indri menurunkan tangannya dan segera menjauh dariku. Gadis itu langsung menurut dengan
Bab 22Sudah berhari-hari Mas Iqbal pergi dan tidak memberi kabar padaku. Aku yakin Mas Iqbal baik-baik saja, mungkin sekarang malah sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya itu."Kamu pasti makin bebas ya, Mas? Kamu bisa jalan dan video call sama Rosa tanpa takut ketahuan sama aku."Aku masih mengurungkan niatku untuk melaporkan perselingkuhan Mas Iqbal dan Rosa ke pihak sekolah. Untuk saat ini, aku akan memprioritaskan toko kueku terlebih dahulu.Setelah toko kueku maju pesat, baru aku akan membongkar perselingkuhan Mas Iqbal dan menggugat cerai. Aku tidak akan berharap lagi pada pernikahan ini. Aku akan hidup mandiri dan berdiri di kakiku sendiri."Silahkan kamu bersenang-senang dulu, Mas. Aku akan beri kesempatan buat kamu kencan dengan bebas sama Rosa."*Pagi harinya aku bangun lebih awal dari biasanya lalu segera bersiap untuk berangkat ke kafe. Rencananya hari ini aku akan memakai pakaian yang dibelikan oleh Mba Mira kemarin."Apa nggak apa-apa aku pakai baju kayak gini k