Share

Bab 8

Mereka kembali melanjutkan perbincangan yang tertunda. Aku tidak bisa mendengar betul kecuali seorang lelaki tua bertanya dengan nada pelan, tetapi penuh penekanan, "apa Gus Hanan bisa berlaku adil pada Syahdu?" Sekilas matanya melirik pada tangan kami yang saling menggenggam dengan erat. "Atau hanya mewujudkan mimpi kalian?"

"Kedatangan kami ke sini serius, Pak, bukan untuk memanfaatkan saja. Maafkan suamiku kalau ada salah tadi atau diri ini yang mendadak keluar rumah. Sekali lagi maafkan kami," balas Yumna dengan suara bergetar menahan perih di dada.

"Aku tidak melihat Gus Hanan mencintai Syahdu."

"Akan tetapi, cinta akan tumbuh karena seringnya bersama, Pak." Gus Qabil menjawab cepat, pandangannya mengarah padaku sehingga kami saling menatap.

"Lalu kenapa Gus Hanan cuma diam?" Mata lelaki tua itu sedikit memicing, lantas menampilkan gigi yang berderet rapi. "Maaf, kalian jangan salah paham. Tentu bapak-bapak di luar sana pasti menginginkan anaknya mendapat keadilan jika menjadi istri kedua, betul?"

Kami semua diam, seharusnya ayah juga membuka suara andai saja Mas Hanan itu anak bukan menantunya karena yang berhak di sini mungkin Gus Qabil selaku kakak kandung. Kalau aku ... sebenarnya sedikit bisa bersuara, hanya saja enggan.

Aku tidak ingin terlalu banyak menjawab pertanyaan dalam acara lamaran ini karena bisa jadi berubah pikiran sehingga nekat memulangkan Mas Hanan. Keluarga besar Syahdu akan malu besar seperti aku dulu.

"Tidak, ini tidak boleh terjadi!" kataku sedikit bergumam.

"Apa, Sayang?" bisik Mas Hanan.

Sekali lagi aku tidak menanggapi karena malu pada keluarga Syahdu yang menatap kami. Pertanyaan tadi saja belum terjawab dan aku sudah membuat ulah yang bisa membuat mereka berprasangka buruk.

Aku tahu nama pesantren juga akan ikut tercemar karena Gus Qabil andil dalam acara lamaran ini. Nasi sudah menjadi bubur, aku tidak bisa lagi melarang kalau misal mereka akan menikah. Terlambat sudah.

"Insya Allah, Pak. Aku akan berusaha untuk bersikap adil." Mas Hanan menjawab dengan suara terbata.

"Kalau begitu, Syahdu silakan menjawab!" perintahnya pada sang anak yang terus menunduk.

Kini, gantian aku yang menggenggam erat tangan Mas Hanan karena takut mendengar jawaban Syahdu sekalipun aku tahu ....

"Aku bersedia."

Suara pelan, tetapi begitu keras menghantam kalbu. Pandanganku mengabur, segera kepala menunduk untuk menyembunyikan air mata. Entah bagaimana aku menjalani hari-hari selanjutnya nanti terlebih ketika Syahdu sudah sah menjadi adik madu.

Mereka kembali berbincang sambil menikmati jamuan yang ada. Sesekali aku mendengar tanggal pernikahan. Entah kapan, indra pendengaran ini seperti berkurang fungsinya.

Genggaman tanganku mengendur karena tubuh terasa lemas, tetapi dieratkan kembali oleh Mas Hanan. Aku tahu dia sengaja memintaku duduk di sisinya untuk tetap menjadi pelindung, penyemangat serta penyokong dalam keadaan apa pun.

Aku tidak tahu apakah harus sedih atau bahagia merasakan perhatian Mas Hanan yang tidak berubah. Sekali lagi telingaku ini samar mendengar nama Syahdu disandingkan dengan Mas Hanan.

"Minum, Dek!" Mas Hanan memberiku segelas minuman.

"Mas saja, aku tidak haus."

Entah untuk menunjukkan kalau di hatinya hanya ada aku, Mas Hanan kembali berkata, "minum dulu, kemudian mas."

Gelas itu aku raih, kemudian meneguknya sedikit. Semua orang tengah sibuk menikmati hidangan, Mas Hanan pun mengambil kesempatan meminum air tadi tepat di bekas bibirku.

Syahdu langsung tersedak minuman. Sepertinya tidak memperhatikan kami secara diam-diam. Kalau sudah begini jadinya, maka berarti dia merasakan cemburu.

***

Jam sebelas siang kami sudah tiba di rumah, kini hanya ada aku dan Mas Hanan karena yang lain ada di rumah ibu. Begitu suamiku masuk kamar mandi, lekas aku menemui Gus Qabil yang sudah menunggu di teras depan.

Dua lelaki berbincang di sana, dengan tatapan serius yang membuatku merasa was-was. Aku mendekat dengan langkah sangat perlahan kemudian Mas Dika memberi satu kursi kosong.

"Yumna, memiliki adik madu itu berat resikonya. Bukan hanya kamu yang harus ikhlas, tetapi juga Hanan dan Syahdu. Kalian sama-sama berkorban. Hanan akan berusaha berlaku adil karena itu merupakan tuntunan dari agama, tetapi dia harus selalu menjaga perasaanmu. Apa kamu yakin kelak bisa ikhlas kalau saja Hanan mencintai Syahdu? Kita semua tahu bahwa cinta bisa tumbuh karena sering bersama," jelas Gus Qabil tanpa basa-basi.

Aku tidak langsung menjawab karena bingung juga. Ini bukan hal sepele dan memang sebuah resiko yang besar. Terutama ketika kami tinggal dalam satu atap. Sungguh aku akan kesulitan mengelabui hati, memaksa diri untuk tidak menaruh cemburu.

"Bagaimana, Dek? Kamu sanggup? Kalau tidak, Gus Qabil akan mencari pengganti terbaik untuk Syahdu," tambah Mas Dika.

"Mas." Aku menatapnya dengan air mata berlinang. "Semua sudah telat, aku harus mengikhlaskan suamiku menikah lagi."

"Hanan tidak akan bisa berlaku adil kalau kamu belum ikhlas dan seorang perempuan akan sulit menjalaninya. Apalagi ...." Gus Qabil menjeda sedikit. "Kamu jangan tersinggung, apalagi kalau Hanan ternyata lebih fokus mengurus Syahdu kalau dia ... mengandung."

Belum mengandung dan melihat Mas Hanan mengurusnya saja air mata sudah jatuh membentuk anak sungai, bagaimana kalau sudah nyata di depan mata?

Aku melipat bibir karena gemetaran. Gus Qabil pun mengulangi pertanyaan walau dengan kalimat berbeda. "Kamu yakin bisa ikhlas menerima Hanan kalau cintanya terbagi? Itu sebuah keharusan sebenarnya, maka jangan gegabah."

"Yakin, Gus," jawabku asal.

"Tapi matamu mengatakan yang lain. Hanan itu adikku, aku tahu kalau dia sudah suka terhadap sesuatu, maka sulit untuk berpaling. Bahkan tidak jarang aku mengalah demi dia."

"Dan kamu adik mas, Yum. Mas tahu kamu tulus, tetapi sangat mudah menangis. Kamu rapuh, tetapi selalu berusaha kuat. Mas khawatir nanti kamu salah dalam melangkah." Mas Dika menambahkan.

Aku jadi semakin dilema, tetapi tanggal pernikahan mereka sudah ditentukan. Walau tidak akan ramai dan hanya melangsungkan akad, tetap saja akan menjadi buah bibir kalau benar-benar batal. 

"Insya Allah aku ikhlas, Gus, Mas."

Keduanya mengembus napas berat bersamaan, kemudian aku pamit kembali ke rumah karena khawatir Mas Hanan salah paham kalau melihat kami.

"Jaga hatimu, Yum. Kalau mau menangis, luahkan saja. Jangan biasakan memendam sendiri, pasangan itu harus saling terbuka!" pinta Mas Dika.

Aku menoleh dan menundukkan kepala sekilas sebagai pertanda setuju. Mereka berdua begitu baik, aku merasakan kasih sayangnya sebagai saudara dan semoga tidak ada prasangka buruk dalam diri.

Ketika masuk kamar, Mas Hanan juga sudah selesai mandi. Aku lega karena dia tidak tahu kalau aku habis ke rumah ibu tadi.

"Mas, abis ngajar nanti langsung balik, ya. Aku mau bicara sesuatu."

Mas Hanan langsung menatapku lekat sebelum akhirnya mengangguk. "Nanti mas liburkan saja mereka biar bisa bicara leluasa. Sepertinya kita harus bicara banyak hal."

"Terimakasih, Mas. Sekarang bersiaplah ke masjid, aku sekalian mau memasak nanti."

Lelaki itu mendekat, dia langsung mendekapku erat sehingga desiran hebat menyambar dalam dada, mengalir di setiap aliran darah. Pelukan yang begitu hangat, aku sampai menitikkan air mata.

"Sampai kapan pun, hanya kamu yang akan ada di hati mas. Kamu jangan pernah mengira aku akan berpindah ke lain hati. Ingat, lamaran ini terjadi atas desakan kamu dan kalau kamu mau, aku bisa batalkan detik ini juga."

Aku langsung meletakkan jari telunjuk di bibir Mas Hanan yang lembut dan tipis. "Jangan bicara seperti itu. Aku ikhlas, Mas!" ujarku tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status