Bu Wenda terus berjoget ria sambil berteriak kalau dia adalah fans Yumna. Tidak ada yang mau menghentikan Bu Wenda yang semakin kehilangan kendali itu bahkan anaknya saja sudah menjauh ketika Nurul memberi isyarat."Kalian tahu? Aku sudah memfitnah Yumna mengatakan dia hamil, makanya Ilham memutus lamaran itu. Aku bilang dia mandul sampai stres dan keguguran. Kira-kira Yumna mau maafin aku nggak, ya? Ada yang tahu jawabannya?"Lagi, dia tertawa keras."Di sini ada yang bernama Yumna? Ah, aku rindu setengah mati kepada Yumna. Sebenarnya aku mengakui semua kesalahan itu dan mau meminta maaf, tetapi sudah keburu gengsi duluan. Andai tidak ada yang berdiri di sisi Yumna, aku pasti bisa meminta maaf sama dia. Aku malu karena ada Nurul, Amel dan suaminya.Kalian tahu kalau suami Yumna itu putra Kyai Sholeh? Makanya aku tidak suka kalau Yumna bahagia. Sekarang saja aku mau mencekik lehernya biar dia mati atau kita bawa bermain-main di taman. Aduh, Syahdu kasihan sekali karena dia harus menin
EXTRA PART!!!____Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam.Ketahuilah, apapun yang menjadikanmu tergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah, qalbu seorang pecinta-Nya lebih besar daripada Singgasana-Nya.Air berkata kepada yang kotor, "Kemarilah." Maka yang kotor akan berkata, "Aku sungguh malu." Air berkata, "Bagaimana malumu akan dapat dibersihkan tanpa aku?Singa terlihat paling tampan ketika sedang mencari mangsa. Jualah kepandaianmu dan belilah kebingunganmu. Jika Anda jengkel terhadap setiap gesekan, bagaimana cermin Anda akan dipoles.Anda dilahirkan memiliki sayap, mengapa lebih memilih hidup merangkak. Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang. Kau harus hidup di dalam cinta, sebab manusia yang mati tidak dapat melak
"Yum, kamu kok udah tujuh tahun nikah belum juga punya anak? Apa jangan-jangan ...?" Bu Wenda yang masih suka duduk di depan warung Mpok Asih menegurku untuk ke sekian kali. Aku hanya mampu beristigfar dalam hati melihat Bu Wenda yang belum juga berubah. Sejak dua tahun lalu, Mas Hanan mengajakku membangun rumah di samping rumah ibu. Pak Kyai sudah lama meninggal sehingga Mas Hanan lebih memilih menyerahkan urusan itu pada sang kakak. Dia juga bilang ingin mengajar anak-anak yang tidak mampu ke pesantren. "Kamu kenapa gak ikut promil? Misalnya saja minum susu atau apa gitu," timpal Bu Arin. "Mohon maaf, Ibu-ibu semua." Aku memaksakan senyum. "Aku sudah berusaha semaksimal mungkin juga berdoa setiap saat agar Allah menitipkan rezeki itu pada kami hanya saja mungkin belum waktunya." "Alah ... kamu jangan diam saja kalau begitu. Kasihan loh Gus Hanan, di usia begini dia belum punya anak, ke mana-mana bawa keponakan doang!" Kalimat Bu Arin sungguh menusuk hati, tetapi aku harus tega
"Tidak semua perempuan siap berbagi, Yum. Apalagi Gus Hanan itu lebih muda dari kamu juga tampan, tentu banyak perempuan yang menginginkannya menjadi suami. Kalau misal gusmu itu ...." Ibu geleng-geleng kepala. "Tidak!" "Tidak apa, Bu?" "Itu tidak akan terjadi. Ibu tidak mau membayangkan segala kemungkinan yang terjadi. Intinya bersabar saja karena rezeki itu sudah diatur sama Allah." "Ibu benar, Dek. Kamu lebih baik bersabar menanti rezeki itu daripada bersabar karena berbagi cinta dengan terpaksa. Mas benar, kan?" Aku terkejut bukan main ketika Mas Hanan muncul secara tiba-tiba. "Mas, kenapa gak ngucapin salam?" "Ngucapin, cuman kamu sama ibu terlalu serius ngobrolnya." Ibu kemudian pamit karena sebentar lagi azan zuhur. Aku ingin bertanya kenapa Mas Hanan harus pulang dari masjid karena biasanya menunggu waktu saja di sana, tetapi sekarang sudah ada jawaban. Lelaki yang selalu menyejukkan hati dan jiwaku itu segera melangkah masuk ke kamar mandi. Aku mengekor, tetapi berakhi
Di malam yang pekatAngin berembus syahduDaku bagai tersekatApabila teringat sosok SyahduAkankah dia menjadi jawabanAtas segala doa yang kami pinta?Apakah terkabul sebuah harapanApabila Syahdu menjadi perantara?Hati merasa gamangJiwa pun tak lagi tentramTeringat rupanya yang menawanJuga bibir yang begitu ranumSekelumit kisah tentang kamiYang selalu harapkan buah hatiHaruskah ikhlas berbagiMerelakan dia hadir di antara kami?Sekalipun mata terpejam,luka tak pernah mau beranjakSekalipun bibir mengukir senyum,sesak di dada tak henti membelengguAku terluka, tetapi harus menerimaBerharap kelak ada buah di balik kesabaranku~~~"Istri mas lagi ngapain?" tegur Mas Hanan membuatku segera menyimpan kembali buku itu.Sebuah buku yang selalu menjadi tempat pelarianku selama ini. Di dalamnya berisi banyak puisi sebagai bentuk curahan hati.Jam sudah menunjuk angka sembilan, tetapi aku masih belum mengantuk. Bagaimana bisa sementara hati terus memikirkan omongan Bu Wenda."Mas,
Kami duduk berhadapan dengan jarak yang tidak terlampau jauh. Syahdu berwajah ceria, mungkin dia belum bisa menebak kenapa aku mengajaknya bertemu secara tiba-tiba. Beruntung saat ke sini tadi, Bu Arin sudah tidak berdiri di depan rumah. Mungkin dia kesal karena tidak menemukan topik baru. "Syahdu, aku dengar-dengar kamu mencintai Mas Hanan?" Perempuan di depanku terperanjat. Dia pasti tidak menduga aku akan bertanya demikian. Akan tetapi, jika terus mendiamkan juga bisa menjadi fitnah. "Kenapa Mbak Yumna ngomong kayak gitu? Aku ndak berani suka sama Gus Hanan." "Syahdu, kamu memang berkata demikian, tetapi matamu menyiratkan cinta yang besar." Syahdu membuang pandangan. Suaranya yang lembut tentu saja bisa membuat lelaki mana pun jatuh cinta. Matanya yang teduh mungkin memang benar pernah dipandang Mas Hanan. Kalau saja aku bukan istrinya, pasti suamiku akan langsung melamar Syahdu. Perempuan cantik yang sangat menjaga kehormatan. "Aku mau minta tolong sama kamu, Syahdu." Aku
Suara pintu utama terdengar, pasti Mas Hanan sudah pulang dari masjid. Aku langsung ke luar dan menghambur dalam pelukannya."Senang amat, ada apa, ya?" tanya Mas Hanan dengan nada menggoda."Syahdu bersedia, Mas!" pekikku bahagia.Tiba-tiba saja senyum di wajah Mas Hanan sirna. Rembulan di wajahnya seakan tertutup awan tebal. Aku sudah mengenal Mas Hanan cukup lama dan tahu kalau hati kecilnya terukir luka."Benarkah? Benarkah kamu bahagia dengan kabar itu?""Aku bahagia, Mas. Sekarang masuk kamar karena aku sudah tidak sabar untuk meminta restu ibu.""Tapi aku belum menjawab, Dek. Kamu bahkan belum tahu aku mau apa tidak.""Mas, aku bahagia jika kamu menikahi Syahdu. Rasa cemburu itu hanya ada sebentar, nanti akan sirna jika aku sudah lebih ikhlas. Perempuan yang dipoligami bukan cuma aku dan kita punya alasan kuat. Pokoknya Mas harus menuruti keinginanku ini. Oke?""Terserah kamu lah!" ketus Mas Hanan.Aku meloncat kegirangan. Sekalipun nada bicaranya terdengar ketus, tetap saja ta
Alhamdulillah," ucapku diselingi tawa yang terdengar sumbang. "Apa kamu sungguh-sungguh, Nak Gus?" tanya ibu dengan raut wajah khawatir. Matanya bahkan sekilas melirik padaku sebagai tanda tidak percaya. "Jika ini yang diinginkan Yumna, aku bisa apa, Bu? Sudah sering kuingatkan untuk bersabar, memberitahunya kalau aku tidak pernah mau menikah lagi. Akan tetapi, dia selalu memaksakan kehendak bahkan ...." "Sudah, Mas. Ini keputusan terbaik, aku yakin sebentar lagi kita sekeluarga akan bahagia," sambungku cepat begitu Mas Hanan menunduk dalam. Ayah dan ibu hanya bisa diam serta menatap penuh tanda tanya. Aku menautkan ibu jari dan telunjuk sebagai isyarat kalau hati sedang baik-baik saja. Tidak sabar rasanya menyampaikan berita baik ini pada Syahdu. Aku pun pamit masuk kamar seraya merogoh ponsel dalam saku gamis. "Assalamualaikum, Syahdu. Kamu apa kabar?" sapaku via telepon. "Waalaikumussalam, Mbak. Alhamdulillah aku baik-baik saja. Mbak gimana kabarnya?" "Alhamdulillah, Syahdu.