[Kalau hal ini melukai hati Mbak Yumna, maka tolong jangan biarkan Gus Hanan menikah lagi. Aku tidak bisa menjadi orang ketiga yang akan berbahagia di hari pernikahan sementara Mbak menahan luka. Tolong dipikir ulang sebelum semuanya menyesal.]
"Mas, Syahdu." Aku menyodorkan ponsel pada Mas Hanan. Dia menerimanya lantas membaca pesan tersebut.
"Syahdu benar, jangan gegabah mengambil keputusan atau kamu menyesal nanti. Jujur saja mas merasa ragu kalau harus menikah sama dia. Kamu mau kan memikirkan ulang perkara ini sambil berdoa sama Allah biar kamu cepet hamil?"
"Keputusanku sudah bulat, Mas. Kalian memang harus menikah dan aku ikhlas." Getar di dada semakin mengganggu.
Tidak ada jawaban, Mas Hanan hanya bisa melipat bibir. Sebenarnya aku pun sama dengan perempuan lainnya, tidak ingin berbagi hati. Namun, bagaimana jika semesta seakan menuntutku melakukan hal ini?
Aku mungkin bisa berusaha menjadi istri terbaik untuk Mas Hanan, mengurus makan dan tidurnya. Tidak dengan memberinya seorang anak. Pernikahan kami sudah masuk tahun ke tujuh, tidakkah aku pantas merasa khawatir?
Jangan sampai kami menunggu hal yang mustahil terjadi. Sebuah penantian yang panjang tidak akan sia-sia jika berbuah manis, lantas bagaimana kalau penantian ini tidak berujung hingga kami menghadap Ilahi? Bukankah ini sebuah keegoisan?
Siapa tahu kelak Allah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Lihat saja ketika aku rela ditinggal Mas Ilham dulu, Allah mengganti lelaki itu dengan Mas Hanan. Kali ini, mungkin aku harus lebih bersabar lagi.
***
Hari yang dinanti-nanti sudah tiba, hari ini aku mempersiapkan keperluan Mas Hanan untuk melamar Syahdu. Dengan jubah biru navy berpadu dalaman putih sungguh menambah ketampanannya. Aku mengulum senyum, kemudian memeluk erat.
"Mas, bahagiakan aku!" bisikku lembut.
"Apa sekarang kamu bahagia?" tanyanya hati-hati.
Untuk menutupi kesedihan, aku mengangguk tanpa ingin menjawab. Tentu saja kalau bicara satu kata lagi, air mata akan tumpah ruah, kemudian suara tangisan meledak sempurna. Aku tidak ingin melukai hati Syahdu dengan membiarkan lamaran dibatalkan.
Luka itu pernah aku rasakan, maka sebaiknya sekali lagi berdoa pada Ilahi untuk melapangkan hati ini. Aku yakin bisa tegar, orang mukmin tidak pernah bersedih atau pun takut karena ada Allah bersamanya.
"Apa mas boleh hanya menjadi milikmu?" tanya Mas Hanan lagi.
Aku mengurai pelukan, menatap mata teduh itu lekat agar Mas Hanan yakin aku baik-baik saja. "Tidak, Mas. Sudah menjadi takdir dari Tuhan supaya kamu menikah dengan Syahdu." Aku membuka lemari pakaian dan mengeluarkan benda putih melingkar dari sana. "Pakai pecimu, kita sudah harus berangkat."
Mas Hanan menundukkan kepala meminta aku memasangkan pecinya. Sebuah peci yang aku beli tepat di tahun pernikahan yang ke dua. Sekarang dengan memakai peci itu, Mas Hanan menuju rumah calon perempuan kedua.
Keluarga Mas Hanan yang ikut hanyalah Gus Qabil, sementara dariku ada ibu dan ayah. Mas Dika tidak mau hadir dengan alasan sibuk. Padahal sebenarnya aku tahu dia hanya ingin menghindar dari pandangan mataku yang menyimpan banyak luka.
Rombongan kami sudah berangkat memakai mobil Gus Qabil. Perjalanan yang tidak jauh ini tetap saja mendebarkan. Hanya beberapa menit kami telah sampai. Seserahan sudah mereka bawa, aku terpaku di sisi kanan mobil menatap Mas Hanan yang sudah melangkah ke depan.
Beberapa kali dia menoleh, aku langsung tersenyum sambil menautkan ibu jari dan telunjuk demi menenangkan hatinya. Setetes kristal bening jatuh membasahi pipi, aku tidak lagi bisa mengelak.
"Kamu tidak mau masuk, Yum?"
"Di sini saja, Gus."
"Apa kata tetangga nanti? Masuklah, setelah ini aku harus bicara sama kamu, tanpa Hanan. Nanti ajak Dika juga."
Akhirnya aku mengalah dan mengikuti langkah Gus Qabil memasuki rumah Syahdu. Begitu sampai, Mas Hanan menggeser duduknya sebagai isyarat agar aku duduk di sana.
Dia memegang tanganku yang sudah dingin. Rasa gugup begitu mendominasi jiwa. Aku tidak berani menatap matanya terutama ketika terdengar bisikan lembut di telinga. "Sampai kapan pun bahkan setelah menikah dengan Syahdu, aku tidak akan mau mencintainya. Hanya ada kamu."
"Ssstt, jangan begitu, Mas!"
"Kumohon, kali ini biarkan aku hanya mencintaimu saja, Yumna." Bisikan itu tidak lagi terdengar lembut karena Mas Hanan menahan sesak di dada.
Aku hanya bisa menghela napas berat menunggu Syahdu keluar kamar. Genggaman tangan Mas Hanan semakin erat begitu tirai dibuka dengan lebar. Aku menoleh ke kanan, rupanya dia menundukkan kepala.
Sungguh aku bisa memahami bagaimana hatinya menolak menikah lagi. Namun, aku tidak ingin egois dan harus memahami dirinya. Lelaki mana pun pasti menginginkan anak walau hanya seorang saja.
Lagian, rumah akan selalu sepi apabila tidak ada tangisan atau suara tawa bayi. Sebenarnya aku ingin menangis merutuki diri yang tidak bisa mengandung, tetapi harus menyalahkan siapa?
"Ini sudah kehendak Allah, aku harus berlapang dada," lirihku dengan suara sangat pelan mencoba menghibur diri.
Semua keluarga telah berkumpul, Gus Qabil pun menyampaikan maksud kedatangan kami semua. Setelah itu aku tidak lagi bisa mendengar pembicaraan mereka selanjutkan karena pandangan sudah kosong sementara pikiran melanglang buana.
Bayangan Syahdu mencuri senyum pada Gus Hanan terngiang-ngiang di kepala, aku ingin meluapkan tangisan sehingga bangkit dari duduk. "Ma-maaf semua, aku ketinggalan sesuatu di mobil."
Tanpa menunggu respon, aku sudah melangkah buru-buru ke luar rumah. Air mata sudah menetes tanpa mampu aku cegah. Begitu aku mencoba membuka pintu mobil, ternyata terkunci.
"Bukalah, sekarang sudah bisa. Jangan menangis terlalu lama atau orang-orang akan berprasangka buruk. Aku kembali masuk, jangan lupa menyusul!" titah Gus Qabil.
Aku terkejut karena ternyata dia menyusul,di belakang dan tahu maksudku datang ke sini.
"Oh iya, Hanan tadi mau mengejarmu, tetapi aku melarangnya. Semoga kamu mengerti, Yum," lanjut Gus Qabil sebelum benar-benar melangkah masuk ke rumah Syahdu kembali.
Sengaja aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan berulang kali, setelah itu menatap langit dan tersenyum berharap air mata tidak lagi tumpah. "Rabbi syrahly shodry ... rabbi syrahly shodry."
Doa itu aku baca hingga sepuluh kali, kemudian menelan kesedihan sehingga senyum di bibir kembali terukir. Aku melangkah ke rumah Syahdu lagi, kali ini hati terasa lebih lapang.
Tidak lupa, aku menghadirkan berbagai prasangka baik dalam hati agar tidak larut dalam kesedihan juga sebagai penyokong hidup. Semua mata tertuju padaku. "Maaf, aku harus membuat kalian menunggu."
"Ana bahibbik awiy," bisik Mas Hanan begitu aku kembali duduk di sisinya.
Kalimat itu adalah ungkapan cinta dalam bahasa Amiyah Mesir. Mas Hanan sengaja menggunakan bahasa itu agar terkesan lebih istimewa. Aku hanya menanggapi dengan senyum palsu.
EXTRA PART!!!____Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam.Ketahuilah, apapun yang menjadikanmu tergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah, qalbu seorang pecinta-Nya lebih besar daripada Singgasana-Nya.Air berkata kepada yang kotor, "Kemarilah." Maka yang kotor akan berkata, "Aku sungguh malu." Air berkata, "Bagaimana malumu akan dapat dibersihkan tanpa aku?Singa terlihat paling tampan ketika sedang mencari mangsa. Jualah kepandaianmu dan belilah kebingunganmu. Jika Anda jengkel terhadap setiap gesekan, bagaimana cermin Anda akan dipoles.Anda dilahirkan memiliki sayap, mengapa lebih memilih hidup merangkak. Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang. Kau harus hidup di dalam cinta, sebab manusia yang mati tidak dapat melak
Bu Wenda terus berjoget ria sambil berteriak kalau dia adalah fans Yumna. Tidak ada yang mau menghentikan Bu Wenda yang semakin kehilangan kendali itu bahkan anaknya saja sudah menjauh ketika Nurul memberi isyarat."Kalian tahu? Aku sudah memfitnah Yumna mengatakan dia hamil, makanya Ilham memutus lamaran itu. Aku bilang dia mandul sampai stres dan keguguran. Kira-kira Yumna mau maafin aku nggak, ya? Ada yang tahu jawabannya?"Lagi, dia tertawa keras."Di sini ada yang bernama Yumna? Ah, aku rindu setengah mati kepada Yumna. Sebenarnya aku mengakui semua kesalahan itu dan mau meminta maaf, tetapi sudah keburu gengsi duluan. Andai tidak ada yang berdiri di sisi Yumna, aku pasti bisa meminta maaf sama dia. Aku malu karena ada Nurul, Amel dan suaminya.Kalian tahu kalau suami Yumna itu putra Kyai Sholeh? Makanya aku tidak suka kalau Yumna bahagia. Sekarang saja aku mau mencekik lehernya biar dia mati atau kita bawa bermain-main di taman. Aduh, Syahdu kasihan sekali karena dia harus menin
Hari selasa yang cerah ketika Gus Hanan baru pulang mengajar di masjid, Yumna langsung menariknya masuk kamar dengan wajah berseri-seri."Mas, hari ini ingat hari apa?""Hari selasa?"Yumna menggeleng. Gus Hanan mencoba menebak bahkan hampir sepuluh kali tebakan, tetapi belum juga berhasil. Dengan sedikit kesal, Yumna memberi tahu kalau hari ini Gus Hanan genap berusia 27 tahun."Ah iya, mas udah 27 tahun hari ini. Aduh, kok sampai lupa ya?""Daaaan ... aku punya hadiah ulang tahun buat Mas Hanan.""Hadiah? Qur'an? Kitab? Atau kecupan lagi kayak tahun kemarin?"Sekali lagi Yumna menggeleng. Gus Hanan menyerah tidak mampu menebak. Dia akhirnya memeluk sang istri, berusaha membujuk untuk langsung menunjukkan hadiah itu saja.Yumna mengurai pelukan suaminya, dia merogoh saku gamis dan menunjukkan sebuah benda berwarna putih dan biru. "Aku hamil, Mas. Selamat, kamu akan menjadi ayah!""Alhamdulillah, kamu serius, Dek?"Yumna mengangguk, sesuatu yang sejuk mengalir membasahi pipinya. "Dan
Mereka sudah tiba, tetapi Amel tidak bisa singgah karena Ozil sudah mencarinya sejak tadi. Begitu mobil hitam itu sudah melaju pergi, seseorang kemudian menghampiri mereka berempat."Aku turut bahagia karena melihat Nurul kembali. Ternyata dia yang menyebar berita itu, tetapi aku yang harus diusir." Bu Wenda datang bersama anak gadisnya.Nurul melihat ponsel gadis itu menyalah, dia pun tersenyum tipis dan memberitahu Yumna lewat isyarat sementara Mas Dika dan Gus Hanan diminta masuk saja karena bisa menangani mereka berdua.Begitu tinggal mereka berempat saja di pinggir jalan, Nurul langsung mendekat ke gadis itu agar suaranya lebih jelas dalam rekaman. "Ya, aku yang menyebarkan berita itu. Gimana rasanya harus disalahkan padahal bukan kita yang melakukannya?""Kurang ajar!""Tidak, aku tidak kurang ajar Bu Wenda. Semua orang sudah tahu kalau dalang di balik semua masalah yang ada adalah Bu Wenda sendiri karena sangat iri pada Yumna. Kesalahan Bu Wenda kan bukan hanya gosip, tetapi su
Pada hari pernikahan Mas Ilham tepat hari sabtu, mereka semua berkumpul di rumah Yumna dengan baju seragam meskipun Amel dan Kevin beda motif asalkan warnanya sama. Mereka telat pesan atau mungkin sebut saja Nurul terlalu cepat memesan karena tidak mau ayahnya ingkar janji.Untuk ketiga perempuan itu semuanya membawa kado, sementara laki-laki mengantongi amplop saja. Mereka semua memakai baju yang hampir sama. Hari ini Nurul terlihat sangat cantik.Sebelum berangkat, dia meminum segelas air dulu untuk menenangkan diri. Luka dalam hatinya dibalut sedemikian rupa. Mereka berpasang-pasangan kecuali Mas Dika yang harus kembali memerankan perannya.Jika dulu dia pura-pura berpasangan dengan Yumna, sekarang bersama Nurul. Mas Dika tersenyum pada adiknya yang selama ini dia benci, tetapi kini mulai membuka hati untuk menerimanya."Nanti sama Mas Dika aja biar mereka mengira kamu juga punya pasangan. Pokoknya nanti jangan pernah masang muka sedih, harus mengalihkan pikiranmu dari Mas Ilham. J
Sesampainya di rumah, mereka berdua terkejut oleh kedatangan Amel. Sepertinya hari akan semakin panjang karena kedatangan Amel yang membawa banyak makanan. Sekalipun mereka sudah dewasa, tetapi yang namanya perempuan kadang bertingkah seperti anak-anak."Ozil mana, Mel?""Sama neneknya, dia gak mau ikut tadi karena keasyikan main sama sepupunya."Yumna mengangguk, dia senang sekali melihat banyak gorengan termasuk ayam geprek di depannya. Mereka kumpul di ruang tengah karena tidak mau diganggu oleh tamu. Hari yang menyenangkan setelah bertemu Mas Ilham.Masalah itu Yumna ceritakan pada Amel bukan untuk memancing amarahnya, tetapi seorang perempuan sangat sulit untuk menyimpan masalahnya sendiri apalagi jika sudah lama dan terbiasa saling berbagi cerita dengan sahabat."Mas Ilham kok bego banget, ya? Masa dia mau jatuh ke jurang yang sama?""Gak tahu tuh. Udah aku bilangin juga karena aku sebagai orang ketiga di masa lalu itu serius, nyeselnya sampe sekarang, nyeseknya sampe ke hati. A