Share

BAB 7. POV ARYA

last update Last Updated: 2024-11-24 13:45:23

"Rambut Vidya yang dulu sangat indah, sekarang malah berantakan tak beraturan, membuatku tak lagi memiliki hasrat padanya."

"Aargh!" Aku mengacak rambutku dengan kasar, ketika melihat Vidya yang sudah terlelap dalam tidurnya di kamar Bi Sumi yang sesak ini.

Kenapa perasaanku jadi terganggu saat melihat rambut pendek Vidya yang terpotong sembarangan?

Ah, ini semua adalah kesalahanku yang terburu-buru mengajak Vidya bercinta di rumah ini. Siapa sangka, Shena pulang dari luar kota lebih awal dan malah memergoki kami berdua.

"Vid, geser, Mas juga ngantuk, mau tidur!" Aku menggoyangkan tubuh Vidya yang matanya sudah terpejam.

"Ck! Mas Arya ganggu aja, sih. Aku ngantuk banget, Mas ...." Vidya meracau dengan mata yang masih tertutup rapat.

Dulu, saat Vidya masih menjadi selingkuhanku, aku begitu menikmati ketika melihat wajahnya tertidur dengan lelap. Tapi sekarang, kecantikannya sudah luntur.

Kalau saja dia tidak mengandung anakku, sudah pasti aku tak ingin menikahinya. Begitu dalam penyesalan yang kurasakan. Setitik kebahagiaan yang kucari dari Vidya pun seakan hilang tak berbekas, dan tak ada harapan untuk mengembalikannya. Semuanya kini terasa pahit dan tak berguna, bagaikan pasir yang terus mengalir melalui celah-celah jemari.

"Vidya Sayang, geser sedikit aja. Mas juga ingin beristirahat, besok kan harus ke butik." Bisikku lembut di telinga istri muda yang ku cinta, berharap ia mengalah dan memberikan sedikit ruang bagiku, walau hanya cukup untuk tidur dalam posisi miring saja.

Perlahan, Vidya membuka matanya yang terlihat lengket. Ia pun membalikkan tubuhnya ke arahku, namun tetap dalam posisi tidur.

"Mas, aku tidur sendiri aja, merasa nggak nyaman. Gimana kalau Mas berbaring di sampingku? Pasti akan jadi semakin sempit!" keluh Vidya, wajahnya tampak kesal padaku.

Merasa tidak tenang, istri muda itu segera bangkit dari tidurnya. Ia duduk dengan punggungnya bersandar pada dinding, menunjukkan betapa sulitnya tidur berdampingan di tempat yang sempit ini.

Dalam hati, aku tersadar bahwa aku harus lebih peka terhadap kebutuhan istriku dan berusaha mencari solusi agar kedua hati ini dapat bersama dengan nyaman.

"Aku benci sama Mbak Shena! Kenapa nggak kamu ceraikan dia aja sih, Mas? Mbak Shena itu kan seusia dengan Mbak Irma, berarti dia udah tua, kulitnya udah nggak segar dan sebentar lagi pasti keriput! Aku ingin jadi istrimu satu-satunya, Mas! Aku masih muda, kulitku masih segar, bahkan lebih cantik daripada istri tuamu itu. Baru sehari jadi madunya aja, Mbak Shena udah tega banget sama aku. Sumpah, aku nggak kuat, Mas!" keluh Vidya dengan penuh air mata. Sepertinya ia mengharap agar aku selalu membelanya jika sedang berhadapan dengan Shena.

Aku hanya menghela napas dan membuangnya dengan kasar, merasa terjebak dalam dilema.

Malam ini, aku ingin beristirahat dan tidur dengan lelap. Namun, tangis dan rengekannya menggema di telingaku, memaksa diriku untuk mendengarkan, dan mataku tetap terjaga.

"Mas, kamu kenapa diam aja, sih? Ingat, besok aku nggak mau tidur di sini lagi. Aku mau tidur di kamar utama bersamamu, titik!" Vidya menegaskan, semakin ngotot.

Mataku menatap langit-langit gelap kamar, membayangkan wajah Shena yang semakin menjauh dariku.

Semenjak aku terperosok dalam dosa perselingkuhan, sikap Shena yang dulu lembut dan perhatian padaku, kini berubah seperti angin surga yang terhempas badai. Tetapi, biar bagaimanapun Shena tetap menjadi menantu kesayangan ibuku.

Aku menggigit bibirku, memikirkan langkah yang harus diambil. Haruskah aku mencoba merayu Shena lagi, atau malah memutuskan tali cinta yang sudah terjalin lama? Ketukan jantungku berdetak keras, mencari jawaban dari hati yang sudah terluka dan penuh pertanyaan.

"Mas! Kamu nyebelin banget, sih!" Vidya merengek sebal sambil menggoyangkan tubuhku yang tetap bergeming.

Istri mudaku terus meracau tanpa henti. Malam pertama yang terbayang akan indah, namun nyatanya malah seperti mimpi buruk.

Setelah puas melepaskan kekesalan, Vidya merebahkan tubuhnya, dan dengan cepat terlelap kembali dalam tidurnya.

Ah, malam ini terpaksa aku harus tidur di lantai yang dingin. Sungguh menyebalkan!

***

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika aku membuka mata, dan melihat ponselku yang terabaikan. Sial, hari ini aku kesiangan!

Padahal, hari ini adalah hari penting karena aku harus bertemu dengan klien yang akan memesan gaun pengantin yang dirancang oleh Shena, istri pertamaku.

Aku segera beranjak, membersihkan tubuhku, dan berharap sempat menikmati sarapan hangat dengan Shena. Namun, begitu keluar dari kamar mandi belakang dan melangkah ke ruang makan, aku mendapati dua piring kotor di atas meja. Hanya tersisa beberapa butir nasi goreng di mangkuk besar.

"Sayang, kenapa kamu masak nasi goreng cuma sedikit? Mas belum makan lho, dari semalam!" Aku berbicara dengan nada kecewa sambil menghampiri Shena.

Wanita itu menatapku dengan ekspresi datar, seraya menyimpan luka yang tak pernah terungkap. Dia diam, dan aku bisa merasakan suatu kebekuan antara kami yang mulai sulit ditembus.

"Hei, pakailah dulu bajumu!" Ibu menyentakku dengan kasar, lalu menambahkan dengan tegas, "dengar, jangan pernah berani menegur atau membentak Shena, karena kamu telah melukai hati menantuku!"

Aku tersentak, seolah tak mengenal sosok ibuku sendiri yang kini begitu berubah padaku.

"Bu, Arya lapar, dan hari ini harus berangkat kerja lebih pagi karena sudah ada janji dengan klien." Aku mencoba merayu ibuku, berharap ia bisa mengerti situasiku dan membujuk Shena agar mau menyiapkan sarapan pagi untukku.

"Kamu lapar? Minta saja pada istri mudamu itu! Jangan pernah menyuruh Shena untuk memasak, karena menantuku ini bukan pembantu!" tukas ibu, memecahkan harapanku menjadi serpihan-serpihan kekecewaan. Sungguh, aku merasa terjepit di antara dua wanita yang sangat aku cintai ini.

"Ya sudah, Arya mau ganti baju dulu." Ucapku lirih, mencoba menghindari pandangan menyakitkan dari ibu dan Shena yang semakin dingin padaku.

Baru saja aku melangkahkan kakiku menuju kamar utama, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakangku. Seolah hatiku diremas-remas oleh kegalauan, membuat langkahku tak karuan dan beban hidup ini seakan terasa lebih berat dari biasanya.

"Mas, kamu mau ke mana? Aku lapar, tapi aku juga mau mandi," lagi-lagi Vidya merengek dengan manja. Jika di hadapan ibu, aku malu melihat sikap istri mudaku yang seperti itu.

"Heh, pelakor, kamu nggak sadar kalau penampilanmu itu seperti gembel, hah?" bentak ibuku pada Vidy. Niat hati ingin segera berganti baju, akhirnya harus kuurungkan.

Shena tersenyum sinis melihat ibuku berbicara keras pada Vidya.

"Bu, dia ini menantu Ibu juga. Arya mohon, tolong jangan terlalu kasar sama dia, Bu," pintaku pada ibu. Aku lelah, baru saja sehari berpoligami, rasanya tak sebahagia yang diceritakan oleh teman-temanku yang memiliki lebih dari satu istri.

Ibu membuang muka, sepertinya beliau benar-benar murka padaku.

"Cih! Jangan pernah berharap jika perempuan sundal ini mendapatkan perlakuan yang sama dariku, seperti perlakuanku pada Shena!" ucap ibuku dengan tegas. Kemudian, beliau berlalu meninggalkan kami bertiga di ruang makan.

"Mbak Shena, aku lapar! Mana makanan untukku dan Mas Arya?"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 79. AULIA KECEWA

    Ervan hanya mengangguk kecil menanggapi Aulia yang barusan mengucapkan terima kasih. Wajahnya tetap tenang, meski terlihat sedikit lelah. Ia lalu menghampiri Shena yang duduk di samping ranjang Sheira."Aku pamit dulu ya, Shena. Mau pulang sebentar, ganti pakaian. Hari ini ada jadwal mengajar di kampus juga," ujarnya dengan nada sopan dan tampak tergesa.Shena menatap Ervan sejenak lalu mengangguk. "Iya, Mas Ervan. Terima kasih banyak ya, sudah repot-repot membantu dan menemani kami sejak tadi malam."Ervan tersenyum tipis. "Tidak usah berterima kasih. Ini memang sudah menjadi tugasku. Kamu juga harus jaga kesehatan, ya."Ervan lalu melirik sekilas pada Aulia yang berdiri tidak jauh dari ranjang Sheira. "Aulia, saya duluan ya."Aulia mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan raut kecewa yang jelas terpancar di wajahnya. "Iya, Pak. Hati-hati di jalan."Begitu Ervan meninggalkan ruangan, Aulia berdiri terdiam beberapa saat, menatap pintu yang baru saja tertutup. Dadanya sesak. Ia merasa

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 78. BERTEMU ERVAN

    Arya duduk di tepi ranjang, menatap wajah kecil Arvi yang terlelap. Jari-jarinya mengusap pelan rambut bocah itu, perasaan sayang bercampur dengan kekecewaan yang sulit ia ungkapkan. Sudah hampir dua bulan ia menjalani peran sebagai ayah bagi Arvi, menganggapnya sebagai darah daging sendiri, tapi kenyataan yang Vidya sembunyikan begitu menyakitinya.Ia menarik napas dalam, lalu menoleh sekilas ke arah Vidya yang masih duduk di sofa, sibuk dengan ponselnya. Perempuan itu tampak lelah. Sejak semalam, Vidya tak berhenti memperhatikannya, seolah takut ia akan pergi begitu saja.Arya tahu bahwa Vidya bisa merasakan sikap dinginnya. Ia tak lagi berbicara dengan nada lembut, tak lagi menatap istrinya dengan kehangatan seperti dulu. Semua terasa berbeda sejak rahasia itu terungkap.Setelah beberapa saat, Arya bangkit dari kursinya. Ia mengambil jaket yang tergantung di sandaran kursi dan melangkah ke arah pintu.Vidya langsung menoleh."Kamu mau ke mana, Mas?" tanya wanita itu, suaranya terde

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 77. VIDYA MARAH

    Shena merasakan darahnya mendidih mendengar ucapan Arya. Matanya menatap tajam ke arah pria itu, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya."Apa maksudmu dengan mengatakan aku tidak bisa merawat anakku sendiri?" suaranya bergetar, menahan kemarahan yang siap meledak. "Sejak kapan kau peduli, Mas? Sebelum kita bercerai, di mana kau saat Sheira sakit? Di mana kau saat dia menangis mencari ayahnya?"Arya mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Jangan membalikkan keadaan, Shena. Aku tidak pernah menelantarkan Sheira!"Shena tertawa miris. "Oh, ya? Lalu kenapa selama ini kau tidak pernah menanyakan keadaannya? Kenapa harus menunggu sampai dia terbaring di ranjang rumah sakit baru kau muncul dan bersikap seperti seorang ayah yang bertanggung jawab?"Arya terdiam. Ia tahu Shena benar. Tapi egonya tak membiarkannya mengakui kesalahannya begitu saja."Aku tidak tahu dia sakit," jawab Arya akhirnya, suaranya sedikit melembut. "Jika aku tahu, aku tidak akan tinggal di

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 76. SHEIRA MASUK RUMAH SAKIT

    Arya ingin mengomel lebih banyak, tapi tangis Arvi kembali pecah. Ia menambah kecepatan mobilnya.Sesampainya di rumah sakit, seorang perawat segera membawa Arvi ke ruang pemeriksaan. Arya dan Vidya bergegas mengikuti, wajah mereka penuh kecemasan.Seorang dokter anak datang tak lama kemudian. Wanita berusia sekitar 40-an itu memeriksa Arvi dengan saksama, menyentuh dahinya, membuka popoknya, lalu memeriksa tenggorokannya dengan senter kecil."Demamnya tinggi, hampir 39 derajat. Sejak kapan mulai rewel begini?" tanya dokter itu sambil mencatat sesuatu di clipboard."Sejak tadi siang, Dok," jawab Vidya dengan cepat. "Tapi dari tadi malam Arvi udah mulai susah tidur."Dokter mengangguk. "Apakah dia masih mau menyusu?"Vidya menggeleng. "Nggak, Dok. Aku udah coba berkali-kali, tapi dia nolak terus."Dokter terlihat berpikir sejenak, lalu berkata, "Dari gejalanya, kemungkinan besar ini infeksi saluran pernapasan atas. Biasanya pada bayi seusia ini, bisa disebabkan oleh virus atau bakteri.

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 75. ARVI DEMAM

    Arya menghela napas panjang saat mobilnya melaju di jalan raya yang mulai ramai oleh kendaraan sore itu. Matanya masih terlihat kosong, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Shena dan Sheira yang kini tampak bahagia bersama Ervan. Dadanya sesak, tapi ia berusaha mengabaikan perasaan itu.Di sampingnya, Anna melirik Arya sekilas. Ia bisa melihat betapa terpukulnya sang adik tahu bahwa tak ada gunanya terus membahas hal itu sekarang. Yang terpenting, Arya harus menenangkan diri dan tidak bertindak gegabah."Arya, tolong antar ke rumah Mbak saja. Hari ini Mas Lukman mau mengantar Luna ke rumah," ucap Anna dengan lembut, menyebut nama putrinya.Arya mengangguk tanpa banyak bicara. Ia tahu betapa pentingnya momen itu bagi Anna. Setelah perceraian, Anna dan mantan suaminya memang sepakat untuk tetap berbagi waktu dengan Luna, meskipun hubungan mereka tidak bisa dibilang baik."Tapi setelah itu, kamu langsung pulang, ya?" lanjut Anna, menatap Arya dengan khawatir.Arya hanya diam, tidak me

  • KUJADIKAN KAU BABU JIKA INGIN JADI MADUKU   BAB 74. PENYESALAN ARYA

    Dua minggu telah berlalu sejak Arya dan Anna menyerahkan sampel DNA ke laboratorium di rumah sakit. Selama dua minggu ini, Arya mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia tetap bekerja, tetap pulang ke rumah setiap malam, dan tetap berusaha untuk bersikap normal di hadapan Vidya. Tapi jauh di dalam hatinya, ada sebuah ketakutan yang terus menghantui. Pagi itu, ponselnya bergetar saat ia sedang duduk di meja makan, menyeruput kopi yang terasa hambar di lidahnya. Layar ponsel menampilkan nama sebuah rumah sakit. Saat itu pula, jantungnya langsung terasa berdetak lebih cepat."Halo?" suaranya terdengar sedikit bergetar._"Selamat pagi, Bapak Arya. Kami dari bagian laboratorium Rumah Sakit Sumber Medika. Hasil tes DNA Anda sudah keluar dan bisa diambil hari ini."_Mendengar informasi tersebut, Arya menelan ludahnya. "Baik, nanti siang akan saya ambil."Setelah menutup telepon, Arya menatap kosong ke depan. Vidya, yang sejak tadi duduk di seberangnya sambil menggendong Arvi, menyada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status