"Puluhan juta, Dok?" Wajah itu tampak semakin gundah. Tubuhnya bagai luruh tak bertulang. Bulir bening mulai menggenang.
"Pu-lu-han juta? Dari mana uang sebanyak itu?" gumamnya tanpa sadar. Dia terisak tanpa memedulikan orang di depannya.
"Saya bisa bantu!" ucap Dokter Fredy, sontak membuat Rena mendongak, memandang pemilik wajah yang terlihat gagah. Sebuah kalimat yang bagai angin segar di telinganya.
"Bagaimana caranya, Dok? Tolong katakan pada saya! Saya akan lakukan apa pun demi kesembuhan ibu saya!" ujar Rena bersemangat. Matanya nampak berbinar.
"Saya bisa membantu, tapi tentu saja tidak gratis! Saya suka dengan gadis yang masih pera--"
"Katakan saja, Dokter! Tidak usah bertele-tele!" sergah Rena tak sabar. Dokter itu tersenyum.
"Apa kamu masih perawan?" Sebuah pertanyaan membingungkan di telinga Rena. Namun, saat ini yang ada di otaknya adalah kesembuhan ibunya. Pikirannya buntu.
"Maksud Dokter?" tanya Rena bingung.
"Jawab saja! Apakah kamu masih perawan?" ulangnya lagi.
"Ya, saya masih perawan. Lalu apa yang harus saya lakukan?" ucap Rena setengah membentak.
"Saya berani membeli keperawananmu. Seratus juta. Bagaimana?"
Mata Rena membulat tak percaya.
"Apa? Anda sudah gilakah, Dokter? Memanfaatkan kesedihan seseorang untuk kepentingan anda sendiri?!" teriak Rena di wajah Fredy. Dokter itu tersenyum tenang.
"Tidak! Saya justru menawarkan bantuan, dengan imbalan ... keperawananmu," ucapnya. Rena menggeleng.
"Itu fair. Kau mendapatkan kesembuhan ibumu, dan ... aku mendapatkan keperawananmu. Itu adil bukan?" ujarnya yang sukses membuat napas Rena tersengal karena sesak. Air mata itu sudah tidak bisa terbendung sejak tadi.
Rena bangkit, memandang bengis pada lelaki paruh baya yang ada di depannya.
Plak!
Sebuah tamparan berhasil mendarat di pipi putih dokter itu. Meninggalkan bekas merah di sana.
Rena segera angkat kaki dari ruangan itu. Dengan dada yang sesak dan hati yang perih. Air mata berduyun-duyun tumpah dari pelupuknya.
.
Rena duduk termenung di sebelah tempat tidur ibunya. Sesekali memandangi wajah kurus dan pucat itu, dengan tatapan nanar.
Wanita tangguh yang telah berjuang membesarkannya, setelah kepergian suaminya. Banting tulang agar bisa menyekolahkannya, walaupun hanya sampai SMA.
Kini, wanita itu terbaring lemah tak berdaya. Sementara Rena merasa menjadi orang yang tidak berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Kebingungan kembali menyerangnya. Dari mana ia bisa membayar biaya rumah sakit nanti? Bagaimana jadinya jika ibunya tidak dioperasi? Terngiang kembali tawaran dari Dokter Fredy yang yang ingin membantunya, dengan sebuah imbalan.
Rena menutup wajah dengan kedua tangannya. Memikirkan keruwetan yang harus dihadapinya seorang diri. Mondar-mandir di ruangan itu. Menimbang apa yang harus dilakukan. Isakan tertahan membuat dadanya makin sesak. Jika bisa, dia ingin sekali berteriak dan meraung untuk mengungkapkan rasa gundahnya. Namun, dia ingat kondisi Ibu di sebelahnya, dan kondisi pasien yang juga berada di ruangan ini.
"Mbak, keluarganya Bu Lastri? Ini resep obat yang harus dibeli untuk hari ini," ucap suster dan memberikan lembar resep. Rena menerimanya dengan berat. Walau begitu dia langkahkan juga kakinya menuju apotek.
Setelah antre beberapa saat, akhirnya nama Lastri dipanggil. Rena segera mendekat ke loket.
"Totalnya, empat ratus tiga puluh lima ribu, Mbak," ucap petugas apotek.
"Berapa?" Rena tersentak kaget.
"Empat ratus tiga puluh lima ribu, Mbak!" ulang perempuan berseragam putih itu. Rena menatap isi dompetnya yang hanya tersisa selembar warna biru dan dua lembar warna hijau.
"Maaf, Bu, uang saya kurang," ucap Rena lemah, lalu meninggalkan ruangan itu.
Dia berjalan gontai. Tubuhnya bagai kehilangan kekuatan. Bingung dengan semua keadaan. Ibunya yang terbaring lemah, adiknya yang entah bagaimana nasibnya di rumah. Uang yang tidak seberapa. Rena berjongkok di sudut taman, di bawah rimbunnya pohon bidara. Dia menangis, meluapkan rasa sakitnya. Kepedihan hidupnya.
Setelah beberapa saat, Rena bangkit. Dia berjalan dengan penuh semangat ke ruang perawat. Berdiri tegap di sana.
"Suster, apakah Dokter Fredy masih ada di ruangannya?" tanya Rena berapi-api. Sesaat suster itu melongo.
"Dokter Fredy? Oh dia sudah pulang, Mbak. Ada perlu sama beliau?" tanyanya. Rena mengangguk.
"Bisakah saya minta tolong untuk menelpon Dokter Fredy? Tolong bilang, dari Rena anaknya Bu Lastri. Saya mohon, Sus!" rajuk Rena. Suster itu mengangguk.
"Sebentar, Mbak. Pakai ponsel saya aja ya?" ucapnya, lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku bajunya.
Tak lama terdengar suster itu bercakap-cakap.
"Dokter Fredy, maaf, ada keluarga pasien yang ingin bicara dengan anda. Namanya Mbak Rena, keluarganya Bu Lastri, katanya." Terlihat suster itu manggut-manggut lalu menyerahkan ponselnya pada Rena.
"Ini, Mbak. Dokter Fredy bersedia bicara dengan Mbak." Rena segera menyambar ponsel itu dan didekatkan ke arah telinganya. Dengan sedikit berbisik, tetapi penuh penekanan, dia berucap, " Saya terima tawaranmu! Tolong beritahu, di mana dan kapan?! Dan ... tolong segera operasi ibuku!" ucapnya tegas, disertai derai air mata.
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun