Share

Bab 2

"Puluhan juta, Dok?" Wajah itu tampak semakin gundah. Tubuhnya bagai luruh tak bertulang. Bulir bening mulai menggenang.

"Pu-lu-han juta? Dari mana uang sebanyak itu?" gumamnya tanpa sadar. Dia terisak tanpa memedulikan orang di depannya.

"Saya bisa bantu!" ucap Dokter Fredy, sontak membuat Rena mendongak, memandang pemilik wajah yang terlihat gagah. Sebuah kalimat yang bagai angin segar di telinganya.

"Bagaimana caranya, Dok? Tolong katakan pada saya! Saya akan lakukan apa pun demi kesembuhan ibu saya!" ujar Rena bersemangat. Matanya nampak berbinar.

"Saya bisa membantu, tapi tentu saja tidak gratis! Saya suka dengan gadis yang masih pera--"

"Katakan saja, Dokter! Tidak usah bertele-tele!" sergah Rena tak sabar. Dokter itu tersenyum.

"Apa kamu masih perawan?" Sebuah pertanyaan membingungkan di telinga Rena. Namun, saat ini yang ada di otaknya adalah kesembuhan ibunya. Pikirannya buntu.

"Maksud Dokter?" tanya Rena bingung.

"Jawab saja! Apakah kamu masih perawan?" ulangnya lagi.

"Ya, saya masih perawan. Lalu apa yang harus saya lakukan?"  ucap Rena setengah membentak.

"Saya berani membeli keperawananmu. Seratus juta. Bagaimana?"

Mata Rena membulat tak percaya.

"Apa? Anda sudah gilakah, Dokter? Memanfaatkan  kesedihan seseorang untuk kepentingan anda sendiri?!" teriak Rena di wajah Fredy. Dokter itu tersenyum tenang.

"Tidak! Saya justru menawarkan bantuan, dengan imbalan ... keperawananmu," ucapnya. Rena menggeleng.

"Itu fair. Kau mendapatkan kesembuhan ibumu, dan ... aku mendapatkan keperawananmu. Itu adil bukan?" ujarnya yang sukses membuat napas Rena tersengal karena sesak. Air mata itu sudah tidak bisa terbendung sejak tadi.

Rena bangkit, memandang bengis pada lelaki paruh baya yang ada di depannya.

Plak!

Sebuah tamparan berhasil mendarat di pipi putih dokter itu. Meninggalkan bekas merah di sana.

Rena segera angkat kaki dari ruangan itu. Dengan dada yang sesak dan hati yang perih. Air mata berduyun-duyun tumpah dari pelupuknya.

.

Rena duduk termenung di sebelah tempat tidur ibunya. Sesekali memandangi wajah kurus dan pucat itu, dengan tatapan nanar.

Wanita tangguh yang telah berjuang membesarkannya, setelah kepergian suaminya. Banting tulang agar bisa menyekolahkannya, walaupun hanya sampai SMA.

Kini, wanita itu terbaring lemah tak berdaya. Sementara Rena merasa menjadi orang yang tidak berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa.

Kebingungan kembali menyerangnya. Dari mana ia bisa membayar biaya rumah sakit nanti? Bagaimana jadinya jika ibunya tidak dioperasi? Terngiang kembali tawaran dari Dokter Fredy yang yang ingin membantunya, dengan sebuah imbalan.

Rena menutup wajah dengan kedua tangannya. Memikirkan keruwetan yang harus dihadapinya seorang diri. Mondar-mandir di ruangan itu. Menimbang apa yang harus dilakukan. Isakan tertahan membuat dadanya makin sesak. Jika bisa, dia ingin sekali berteriak dan meraung untuk mengungkapkan rasa gundahnya. Namun, dia ingat kondisi Ibu di sebelahnya, dan kondisi pasien yang juga  berada di ruangan ini.

"Mbak, keluarganya Bu Lastri? Ini resep obat yang harus dibeli untuk hari ini," ucap suster dan memberikan lembar resep. Rena menerimanya dengan berat. Walau begitu dia langkahkan juga kakinya menuju apotek.

Setelah antre beberapa saat, akhirnya nama Lastri dipanggil. Rena segera mendekat ke loket.

"Totalnya, empat ratus tiga puluh lima ribu, Mbak," ucap petugas apotek.

"Berapa?" Rena tersentak kaget.

"Empat ratus tiga puluh lima ribu, Mbak!" ulang perempuan berseragam putih itu.  Rena menatap isi dompetnya yang hanya tersisa selembar warna biru dan dua lembar warna hijau.

"Maaf, Bu, uang saya kurang," ucap Rena lemah, lalu meninggalkan ruangan itu.

Dia berjalan gontai. Tubuhnya bagai kehilangan kekuatan. Bingung dengan semua keadaan. Ibunya yang terbaring lemah, adiknya yang entah bagaimana nasibnya di rumah. Uang yang tidak seberapa. Rena berjongkok di sudut taman, di bawah rimbunnya pohon bidara. Dia menangis, meluapkan rasa sakitnya. Kepedihan hidupnya.

Setelah beberapa saat, Rena bangkit. Dia berjalan dengan penuh semangat ke ruang perawat.  Berdiri tegap di sana.

"Suster, apakah Dokter Fredy masih ada di ruangannya?" tanya Rena berapi-api. Sesaat suster itu melongo.

"Dokter Fredy? Oh dia sudah pulang, Mbak. Ada perlu sama beliau?" tanyanya. Rena mengangguk.

"Bisakah saya minta tolong untuk menelpon Dokter Fredy? Tolong bilang, dari Rena anaknya Bu Lastri. Saya mohon, Sus!" rajuk Rena. Suster itu mengangguk.

"Sebentar, Mbak. Pakai ponsel saya aja ya?" ucapnya, lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku bajunya.

Tak lama terdengar suster itu bercakap-cakap.

"Dokter Fredy, maaf, ada keluarga pasien yang ingin bicara dengan anda. Namanya Mbak Rena, keluarganya Bu Lastri, katanya." Terlihat suster itu manggut-manggut lalu menyerahkan ponselnya pada Rena.

"Ini, Mbak. Dokter Fredy bersedia bicara dengan Mbak." Rena segera menyambar ponsel itu dan didekatkan ke arah telinganya. Dengan sedikit berbisik, tetapi penuh penekanan, dia berucap, " Saya terima tawaranmu! Tolong beritahu, di mana dan kapan?!  Dan ... tolong segera operasi ibuku!" ucapnya tegas, disertai derai air mata.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur Kholif
lanjut kak sampai tamat ya tanpa koin ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status