Share

KUJUAL KEGADISANKU DEMI IBU
KUJUAL KEGADISANKU DEMI IBU
Penulis: Lia M Sampurno

Bab 1

Bandung, 3 Maret 2008

"Bu, Rena pergi dulu ya," pamit gadis itu pada seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di sebuah sofa usang.

Tatapan wanita itu sayu, wajahnya yang pucat menyiratkan jika dia tidak sedang baik-baik saja.

"Bu, tangan Ibu dingin sekali. Ibu sakit?" tanyanya, saat mencium tangan itu dengan takzim. Wanita itu sedikit menarik sudut bibirnya lalu menggeleng pelan.

"Ibu, tidak apa-apa Ren. Mungkin Ibu hanya kecapaian," jawabnya lemah.

"Ya sudah, hari ini Ibu tidak usah jualan dulu ya? Ibu istirahat saja.

Bayu, nanti sambil berangkat sekolah, tolong kamu mampir ke rumahnya Bu Titin, dan bilang kalau hari ini Ibu tidak bisa menjajakan kue buatannya. Biar dijual sama yang lain," pinta Rena pada Ibu juga adiknya. Bayu mengangguk.

"Rena berangkat dulu ya, Bu. Mudah-mudahan hari ini banyak setrikaan yang Rena dapat, biar pendapatan Rena juga banyak. Jadi, kita bisa makan enak ya?" Ditanggapi senyuman getir dari sang Ibu. Gadis itu pun beranjak meninggalkan rumah.

Namun, baru beberapa langkah dia meninggalkan rumah, terdengar teriakan adiknya dari dalam rumah. Rena berbalik menghambur ke sumber suara.

"Ada apa Bayu?" tanyanya setengah berteriak.

"Ibu, Mbak!"

Rena menghambur pada ibunya yang tergeletak tak sadarkan diri. Terlihat darah menetes dari sela pahanya.

"Kamu sekarang pergi sekolah, sebelum ke Bu Titin, tolong kamu panggilkan Ratna untuk nolong mbak bawa Ibu ke puskesmas," pinta Rena tanpa jeda. "Cepetan Bayu!" pintanya lagi. Anak itu mengangguk, lalu segera berlari ke luar setelah meraih tas usangnya di meja.

.

"Sudah berapa lama Ibu mengalami pendarahan?" tanya sang Dokter yang tengah berhadapan dengan Rena, sementara Bu Lastri masih terbaring lemah di brankar.

"Sudah beberapa bulan ini, Dok. Tapi Ibu mengira mungkin karena mau menopause jadi datang bulannya tidak berhenti.  Apakah ada sesuatu yang serius, Dok?" tanya Rena penasaran.

"Hmm, saya pun belum bisa memastikan. Karena itu, Ibu Lastri harus dibawa ke rumah sakit besar untuk general check up. Jadi, sekarang saya berikan rujukan untuk melanjutkan pemeriksaan. Ini harus segera, karena kasihan, sepertinya Bu Lastri lemah karena kekurangan darah," jelas sang Dokter seraya menyerahkan selembar kertas yang telah ditandatanganinya.

Setelah itu, dengan menggunakan angkot Rena pun segera membawa ibunya ke rumah sakit di tengah kota. Beruntung, kemarin Rena baru menerima gajinya sebagai buruh setrika di laundry tak jauh dari rumahnya.

Tak besar memang, bulan ini Rena hanya mendapat satu juta rupiah. Namun, itu biasanya cukup untuk biaya hidup selama sebulan. Ditambah dengan penghasilan ibunya berjualan kue keliling. Sekarang, uang itu harus rela dia gunakan untuk berobat ibunya.

Setelah tiba di UGD, Bu Lastri segera ditangani tim dokter. Selang infus sudah terpasang di lengan kirinya. Nafasnya terlihat lemah. Mukanya semakin pucat.

.

Hari ke dua  di rumah sakit, uang pegangan Rena sudah hampir habis. Itu pun hanya digunakan untuk membeli obat-obatan. Rena bahkan belum tahu berapa biaya yang harus dibayarnya nanti.

"Keluarga Bu Lastri," panggil seseorang yang membuyarkan lamunan gadis cantik itu. Rena menoleh.

"Iya, Sus?"

"Mbak dipanggil ke ruangan dokter Ferdy, sekarang. Ada yang harus disampaikan sama Mbak," ujar suster itu.

"Oh, iya, baik suster. Saya akan ke sana sekarang," jawab Rena lalu keluar dari ruangan dimana ibunya dirawat, menuju ruangan dokter yang di gedung sebelah.

Setelah menaiki lift, Rena sampai di lantai toga, di mana klinik kebidanan berada. Deretan ruangan dokter terlihat di sana. Rena menuju ruangan ujung, dimana tertulis nama Dr.Fredy Abizard A, SpOG.

Pelan Rena mengetuk pintunya. Terdengar sahutan dari dalam. Suara baritonnya sudah Rena hapal, karena beliaulah dokter yang menangani ibunya. Rena pun membuka pintu berwarna abu itu perlahan.

Dokter Fredy duduk seorang diri. 'Kemana suster yang biasa membantunya?' tanya Rena dalam hati. 'Oh, mungkin karena jadwal praktek sudah habis,' pikirnya lagi.

"Silakan duduk!" pinta Dokter Fredy. Rena menurut. Mereka pun duduk berhadapan. Hati Rena kebat-kebit, seakan menunggu putusan hakim. Dia takut dengan apa yang akan dikatakan oleh dokter itu. Namun, apa pun yang terjadi, dia harus siap menghadapinya.

"Mbak Rena, ada yang harus saya sampaikan saat ini. Tapi, tolong kuatkan hati untuk mendengarnya!" Dokter itu menjeda kalimatnya, lalu mengembuskan napasnya kasar.

"Ibu kamu, terkena kanker serviks stadium lanjut. Beliau harus segera dioperasi. Kalau tidak ... harapan hidupnya kecil sekali." Dokter itu menjeda kalimatnya demi melihat tatapan nanar yang ditunjukkan Rena.

Sebuah kabar yang begitu memukul jiwanya. Sebuah penyakit berbahaya tengah diderita ibunya. Kenyataan yang lebih pahit lagi, bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan ibunya, sedangkan untuk membeli obat ibunya hari ini, untuk makan dia dan adiknya pun entah cukup atau tidak.

"Ha-harus operasi, Dok? Kapan? Berapa biayanya?" berondong Rena. Terlihat jelas raut muka cemas dan bingung di wajahnya.

"Secepatnya! Dan untuk masalah biaya, bisa ditanyakan ke bagian administra--"

"Berapa, Dokter? Sejuta? Dua ju--"

"Puluhan juta!" potong Dokter Fredy membuat Rena makin lemas.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Apakh dr fredy yg menolonnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status