"Saya terima tawaranmu! Tolong katakan saja di mana dan kapan?! Dan ... tolong segera operasi ibuku!" ucapnya dengan derai air mata.
Terdengar sebuah tawa di ujung sana.
"Ok, temui saya di cafe depan rumah sakit, 1 jam lagi!" jawabnya, lalu telepon pun terputus. Rena menghela nafas dalam, melepaskan rasa sesak di dadanya. Mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya, dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Menunggu waktu rasanya seperti pesakitan yang menunggu eksekusi mati. Rena mondar mandir di depan ruangan, memikirkan kembali apa yang akan dilakukannya. Benarkah dia berani mengambil langkah ini? Langkah bodoh yang tak akan mungkin diambil seorang wanita beragama.
Uhuk!
Terdengar ibunya terbatuk. Rena segera menghampirinya.
"Minum ... haus ...," ucapnya lemah. Rena ambilkan gelas berisi air putih, lalu menyodorkannya pada sang ibu. Lastri mereguknya perlahan hingga tandas. Tampaknya dia begitu kehausan.
"Ren, kita pulang saja. Ibu gak mau berlama-lama di sini. Uang dari mana untuk bayarnya nanti?!" Lastri menatap nanar pada putrinya. Dada Rena kembali sesak, bagai dihimpit batu.
"Tenang saja, Bu. Rena ada simpanan uang. Ibu istirahat saja sampai sembuh, ya?" bohongnya. Rena mengelus punggung tangan ibunya halus. Ia berusaha mengalirkan kekuatan pada yang tengah lemah.
"Ibu mau makan apa? Nanti Rena belikan," tawarnya. Lastri menggeleng.
"Maafkan ibu sudah merepotkanmu, Nak. Ibu rasanya ingin mati saja biar tidak membuatmu susah," ucapnya lirih. Kini giliran Rena yang menggeleng. Dua pasang mata itu sama-sama dipenuhi air mata.
"Ibu tidak boleh bilang begitu. Ibu pasti sembuh, dan kita bisa bersama lagi." Sesekali Rena menyeka bulir yang terus saja mengalir. Tangan mereka saling terpaut.
"Kalau sudah sembuh nanti, Rena belikan Ibu ayam bakar ya?" tawarnya. Dia ingat, jika ibunya suka sekali makanan itu. Lastri tersenyum.
"Ibu bangga sama kamu, Ren. Tapi ingat, apa pun keadaannya, tetaplah di jalan Tuhan. Pertolongan Tuhan itu dekat. Jangan sampai kamu tergoda melakukan sesuatu yang dilarang Tuhan." Entah apa maksud Lastri mengucapkan itu pada putrinya. Namun, itu sungguh menohok ke dalam relung hati gadis itu. Rena memgangguk.
'Apakah ibunya punya kecurigaan?' tanya Rena dalam hati. Namun, tekad Rena sudah bulat. Ia ingin menyembuhkan ibunya, walau harus menjual diri.
"Bu, Rena keluar dulu sebentar ya? Mau beli makan dulu," ucapnya bohong, dan dijawab anggukan oleh Lastri.
.
Rena memindai sekeliling ruangan cafe, mencari sosok orang yang akan membayar mahal tubuhnya.
Rena mendapati sosok bertubuh tegap itu di sudut, agak jauh di dalam. Rupanya Dokter Fredy sudah memilih tempat yang tidak terlalu ramai. Rena mendekat.
"Selamat Sore, Dok. Langsung saja, kapan kita bisa transaksi?" tanya Rena tanpa tanpa basa basi. Dokter Fredy menyimpan ponsel dalam genggamannya, lalu tersenyum menatap gadis di depannya.
"Kamu sudah tidak sabar, ya? Ayo duduk dulu, makan du--"
"Tidak perlu! Saya ke sini untuk transaksi dengan anda, bukan untuk makan-makan!" potongnya. Dokter Fredy terlihat tersenyum lalu manggut-manggut.
"Ya, ok. Sepertinya gadis di depanku ini sudah tidak sabar menikmati sentuhan seorang lela--"
Plak!
Sebuah tamparan kembali bersarang di pipi dokter yang tetap terlihat tampan di usianya yang telah kepala empat.
"Dengar! Jika kau hanya ingin bermain-main, aku akan pergi sekarang! Kau boleh menghinaku, merendahkanku, silakan! Tapi tolong, aku benar-benar butuh uang itu sekarang. Aku bahkan belum menebus obat Ibu hari ini," jelas Rena dengan tegas, walau sebenarnya hatinya begitu rapuh.
Dokter Fredy kembali tersenyum.
"Ok, malam ini di hotel M, aku tunggu jam 8. Apa kau punya nomor rekening?" tanyanya. Rena mengangguk. Untungnya sebulan yang lalu dia membuka rekening. Rena berniat mulai menabung untuk melanjutkan kuliah.
"Mana nomor rekeningnya? Aku transfer sebagian, agar kau bisa membeli obat-obatan ibumu. Sisanya, kau jangan khawatir, aku akan menanggung seluruh biaya operasi ibumu, nanti. Aku sudah jadwalkan, besok ibumu dioperasi. Kau bisa tenang sekarang!"
Rena mengeluarkan catatan nomor rekening dari dompet lusuhnya, lalu menyerahkan pada lelaki di depannya. Dokter Fredy mengambilnya, lalu dia mengotak-atik ponselnya.
"Sudah, ini kau bisa lihat sendiri! Aku sudah transfer ke nomor rekeningmu. Rena Aleandra. Itu namamu kan?" tanyanya, Rena kembali mengangguk.
"Sini, aku minta KTP-mu untuk booking hotel nanti malam," pinta Dokter Fredy. Walau Rena keberatan, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Lagipula, uang muka untuknya sudah ditransfer oleh Dokter Fredy. Rena mengeluarkan kartu itu dari dompetnya, lalu menyerahkannya ragu.
"Ok, terima kasih," ujar Rena, langsung berbalik meninggalkan ruangan itu. 'Haruskah? Haruskah aku mengucapkan terima kasih pada orang itu?' bisik hati Rena. Ah, dia tidak peduli, setidaknya sesak itu sudah mulai berkurang.
Dokter Fredy segera mengambil beberapa butir obat mual dari ruang praktiknya. Dia pun membawakan Rena segelas air putih hangat."Ayo, minun dulu, biar mualnya agak berkurang." Lelaki itu memberikan sebutir obat dan menyodorkan segelas air. Walau berat, Rena terpaksa melakukannya. Dia yakin jika sang suami lebih mengetahui keadaan dirinya.Setelah minum obat Rena kembali membaringkan tubuhnya. Berusaha memejamkan matanya agar rasa mual itu berkurang.Dokter Fredy sudah pergi dari tadi untuk mencari sarapan bersama sang buah hati.Rena menyadari, jika suaminya benar-benar berubah seperti janjinya dulu. Hati yang sempat ragu dan terkoyak, kini mulai pulih. Tak ada lagi alasan untuknya meragukan sang suami.Kehamilan kali ini, dia betul-betul dimanjakan oleh sang suami. Dua asisten rumah tangga dia pekerjakan untuk membantu Rena.Raffa pun terlihat bahagia saat melihat kedatangan omanya. Sepertinya anak kecil itu sangat merindukan wanita tua yang begitu menyayanginya.Hari berlalu, bulan
Dia merengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan."Sayang, bisakah kamu melupakan itu semua? Hatiku sakit jika mengingatnya. Aku menyesal pun, semua tidak bisa diulang. Tapi aku sungguh menyesal, Rena.""Rasa sesal itu tidak akan merubah keadaan, Bang. Karena itu, pikirkanlah segalanya sebelum melangkah."Rena menunduk dalam."Sayang, aku akan menebusnya dengan mencintaimu seumur hidupku."Dokter Fredy mengangkat wajah itu agar menatapnya. Dia dekatkan hingga menghapus jarak diantara mereka."Jangan pernah berjanji, karena manusia itu gudangnya khilaf." Rena bangkit dan meninggalkan suaminya termenung sendirian.*Beberapa saat kemudiam Raffa terbangun dan menangis. Dokter Fredy langsung menggendong dan membawanya ke luar mencari Rena. Setelah berkeliling, ternyata Rena ada di dapur sedang menikmati semangkuk mi instan yang terlihat pedas."Ren, makan mie instan pedas? Kenapa gak makan makanan yang baik aja, sih?" tanya Dokter Fredy sambil menarik kursi di depan Rena. Raffa terlihat meren
Sinar mentari menerobos gorden yang sedikit terbuka. Rena mengerjapkan matanya karena silau. Sesaat dia sadar, lalu segera bangkit dan memindai sekeliling. Hingga akhirnya pandangan manik coklat itu berakhir di tubuhnya.Polos.Rena mengusap wajahnya pelan."Astagfirullah, sampai lupa. Abang ... bangun! Sudah pagi, kita belum salat Subuh, ini," pekik Rena sambil menggoyangkan tubuh yang masih terlelap di sampingnya.Dokter Fredy hanya bergumam, "Nanti dulu, Abang masih cape." Lelaki itu menarik selimut hingga menutupi wajahnya.Rena mencebik, lalu bangkit hendak beranjak dari tempat tidur. Dia kembali duduk, saat disadari tak ada sehelai benang pun melekat di tubuhnya. Dia melirik ke arah suaminya yang tertutup selimut. Rena mencari keberadaan baju tipis yang dipakainya semalam. Tak ada.'Ke mana tuh, baju?' Rena membatin. Padahal semalam, dia ingat jika baju itu tergeletak begitu saja di lantai. Walaupun sudah sah sebagai suami istri, tetapi Rena merasa malu jika harus berjalan dal
Rena menatap dirinya dalam pantulan cermin. Kebaya pengantin yang pernah dipilih Dokter Fredy kala itu, kini melekat di tubuhnya. Terlihat pas dan cantik. Rena tak menyangka jika semua ini ternyata sudah menjadi skenario hidupnya yang telah disusun Tuhan dengan begitu sempurna.Suka-duka sejak bertemu dengan lelaki yang sebentar lagi akan kembali menjadi suaminya itu begitu penuh lika-liku. Pahit, manis. Namun, justru membuat cintanya semakin besar. Rena menyadari, jika tidak ada lelaki lain yang mencintainya sebesar Fredy.Dengan dituntun Bu Wulan, Rena berjalan ke meja yang sudah disiapkan untuk acara akad nikah pagi itu. Deretan tamu undangan juga keluarga besar telah hadir di sana. Tak terkecuali Bayu, yang sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengan kakaknya, hari ini hadir. Dia tersenyum melihat kakaknya yang menyongsong hari bahagianya.Mengenakan sebuah koko putih, celana hitam dan peci, Dokter Fredy tampak semakin gagah dan tampan. Dia duduk di depan penghulu dan wali hakim.
Rendy terdiam seketika. Menatap pada wanita polos dan baik hati di depannya. Dia masih ingat, saat dulu dia masih kecil, hanya Dewi yang mau berteman dengannya. Wanita yang tak pernah menilai seseorang dari harta.Dewi tidak berubah. Saat Rendy kecil yang hanya anak seorang tukang ojek, hingga menjadi seorang pemilik toko dengan merek-merek ternama. Dewi tetap bersikap baik.Wajahnya yang imut dengan pipi chubby membuatnya tampak menggemaskan. Rendy tersenyum sendiri."Rendy, kamu kenapa?" tanya Dewi mengibaskan tangannya di depan muka lelaki itu. Rendy terperanjat kaget."Eh, gak papa. Lihat kamu jadi inget masa kecil. Cuma kamu yang baik sama aku, Wi," ungkap Rendy sambil kembali mencomot nasi beserta lauknya."Iyakah?" tanya Dewi sambil mengunyah."Ih, kamu, kalau ngomong abisin dulu makanan yang di mulut," protes Rendy."Iya, Sayangku," ucap Dewi tanpa sadar hingga membuat Rendy tersedak."Kamu keselek, Ren? Duh, makanya kalau makan tuh, hati-hati. Kamu takut aku mintain ya?" tany
Rendy termenung di mejanya. Karyawannya bisa melihat jika sang bos sedang dilanda galau. Setahun berlalu, tapi hati Rena tetap tertutup untuk dirinya.Ternyata hati itu benar-benar rumit. Kadang kita mencintai orang yang tidak mencintai kita. Dan kadang kita tidak bisa menerima orang yang mencintai kita dengan tulus.Siang itu, Dewi berjalan-jalan ke mal. Dia ingat jika Rendy memiliki toko di sana. Dewi celingak-celinguk mencari posisi toko itu."Nah, itu dia. Lagi ngapain ya dia?" gumam Dewi sambil melangkah mendekati toko itu.Seorang pelayan menyapanya ramah ketika dia sampai di pintu."Silakan, Mbak.""Eh, anu ... Rendy-nya ada?" tanya Dewi.Yumna tersenyum ramah. "Ada, Mbak. Di dalam," jawabnya sambil mempersilakan Dewi masuk."Makasih ya." Dewi tersenyum dan manggut-manggut. Sambil melangkah, Dewi larak-lirik memindai seisi toko. Baju-baju bermerek itu begitu menarik perhatiannya. Beberapa kali dia menabrak deretan gantungan baju."Ish, kok tiba-tiba ada di sini sih, ini gantun