Share

Bab 3

"Saya terima tawaranmu! Tolong katakan saja di mana dan kapan?! Dan ...  tolong segera operasi ibuku!" ucapnya dengan derai air mata.

Terdengar sebuah tawa di ujung sana.

"Ok, temui saya di cafe depan rumah sakit, 1 jam lagi!" jawabnya, lalu telepon pun terputus. Rena menghela nafas dalam,  melepaskan rasa sesak di dadanya. Mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya, dan tak lupa mengucapkan terima kasih.

Menunggu waktu rasanya seperti pesakitan yang menunggu eksekusi mati. Rena mondar mandir di depan ruangan, memikirkan kembali apa yang akan dilakukannya. Benarkah dia berani mengambil langkah ini? Langkah bodoh yang tak akan mungkin diambil seorang wanita beragama.

Uhuk!

Terdengar ibunya terbatuk. Rena segera menghampirinya.

"Minum ... haus ...," ucapnya lemah. Rena ambilkan gelas berisi air putih, lalu menyodorkannya pada sang ibu. Lastri mereguknya perlahan hingga tandas. Tampaknya dia begitu kehausan.

"Ren, kita pulang saja. Ibu gak mau berlama-lama di sini. Uang dari mana untuk bayarnya nanti?!" Lastri menatap nanar pada putrinya. Dada Rena kembali sesak, bagai dihimpit batu.

"Tenang saja, Bu. Rena ada simpanan uang. Ibu istirahat saja sampai sembuh, ya?" bohongnya.  Rena mengelus punggung tangan ibunya halus. Ia berusaha mengalirkan kekuatan pada yang tengah lemah.

"Ibu mau makan apa? Nanti Rena belikan," tawarnya. Lastri menggeleng.

"Maafkan ibu sudah merepotkanmu, Nak. Ibu rasanya ingin mati saja biar tidak membuatmu susah," ucapnya lirih. Kini giliran Rena yang menggeleng. Dua pasang mata itu sama-sama dipenuhi air mata.

"Ibu tidak boleh bilang begitu. Ibu pasti sembuh, dan kita bisa bersama lagi." Sesekali Rena menyeka bulir yang terus saja mengalir. Tangan mereka saling terpaut.

"Kalau sudah sembuh nanti, Rena belikan Ibu ayam bakar ya?" tawarnya. Dia ingat, jika ibunya suka sekali makanan itu. Lastri tersenyum.

"Ibu bangga sama kamu, Ren. Tapi ingat, apa pun keadaannya, tetaplah di jalan Tuhan. Pertolongan Tuhan itu dekat. Jangan sampai kamu tergoda melakukan sesuatu yang dilarang Tuhan." Entah apa maksud Lastri mengucapkan itu pada putrinya. Namun, itu sungguh menohok ke dalam relung hati gadis itu. Rena memgangguk.

'Apakah ibunya punya kecurigaan?' tanya Rena dalam hati. Namun, tekad Rena sudah bulat. Ia ingin menyembuhkan ibunya, walau harus menjual diri.

"Bu, Rena keluar dulu sebentar ya? Mau beli makan dulu," ucapnya bohong, dan dijawab anggukan oleh Lastri.

.

Rena memindai sekeliling ruangan cafe, mencari sosok orang yang akan membayar mahal tubuhnya.

Rena mendapati sosok bertubuh tegap itu di sudut, agak jauh di dalam. Rupanya Dokter Fredy sudah memilih tempat yang tidak terlalu ramai. Rena mendekat.

"Selamat Sore, Dok. Langsung saja, kapan kita bisa transaksi?" tanya Rena tanpa tanpa basa basi. Dokter Fredy menyimpan ponsel dalam genggamannya, lalu tersenyum menatap gadis di depannya.

"Kamu sudah tidak sabar, ya? Ayo duduk dulu, makan du--"

"Tidak perlu! Saya ke sini untuk transaksi dengan anda, bukan untuk makan-makan!" potongnya. Dokter Fredy terlihat tersenyum lalu manggut-manggut.

"Ya, ok. Sepertinya gadis di depanku ini sudah tidak sabar menikmati sentuhan seorang lela--"

Plak!

Sebuah tamparan kembali bersarang di pipi dokter yang tetap terlihat tampan di usianya yang telah kepala empat.

"Dengar! Jika kau hanya ingin bermain-main, aku akan pergi sekarang! Kau boleh menghinaku, merendahkanku, silakan! Tapi tolong, aku benar-benar butuh uang itu sekarang. Aku bahkan belum menebus obat Ibu  hari ini," jelas Rena dengan tegas, walau sebenarnya hatinya begitu rapuh.

Dokter Fredy kembali tersenyum.

"Ok, malam ini di hotel M, aku tunggu jam 8. Apa kau punya nomor rekening?" tanyanya. Rena mengangguk. Untungnya sebulan yang lalu dia membuka rekening. Rena berniat  mulai menabung untuk melanjutkan kuliah.

"Mana nomor rekeningnya? Aku transfer sebagian, agar kau bisa membeli obat-obatan ibumu. Sisanya, kau jangan khawatir, aku akan menanggung seluruh biaya operasi ibumu, nanti. Aku sudah jadwalkan, besok ibumu dioperasi. Kau bisa tenang sekarang!"

Rena mengeluarkan catatan nomor rekening dari dompet lusuhnya, lalu menyerahkan pada lelaki di depannya. Dokter Fredy mengambilnya, lalu dia mengotak-atik ponselnya.

"Sudah, ini kau bisa lihat sendiri! Aku sudah transfer ke nomor rekeningmu. Rena Aleandra. Itu namamu kan?" tanyanya, Rena kembali mengangguk.

"Sini, aku minta KTP-mu untuk booking hotel nanti malam," pinta Dokter Fredy.  Walau Rena keberatan, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Lagipula, uang muka untuknya sudah ditransfer oleh Dokter Fredy. Rena mengeluarkan kartu itu dari dompetnya, lalu  menyerahkannya  ragu.

"Ok, terima kasih," ujar Rena, langsung berbalik meninggalkan ruangan itu. 'Haruskah? Haruskah aku mengucapkan terima kasih pada orang itu?' bisik hati Rena.   Ah, dia tidak peduli, setidaknya sesak itu sudah mulai berkurang.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
sesak ya trkdg jalan pintas diambil krna keadaan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status