Share

Bab 8

Rena menyisir rambut panjangnya sehabis mandi. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Rena tampak cantik walau hanya mengenakan baju sederhana. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuannya. 

Sejenak Rena menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut dan entah rasa apalagi. 

Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Rena dari lamunan. segera diangkatnya.  

"Hallo." Suara bariton itu begitu sering mengusiknya akhir-akhir ini. Walau malas dia terima juga. Takut jika ada hal penting yang akan disampaikan lelaki itu. 

"Hallo?" Kembali suara itu terdengar lagi karena tak didapat jawaban.  Wajah Rena terlihat malas menjawab. 

"Iya," jawab Rena singkat. 

"Aku jemput hari ini jam 7, bersiaplah!" pinta lelaki itu.

"Untuk apa? Aku lagi malas bepergian." Rena menjawab dengan enggan. 

Terdengar hembusan napas kasar dari sebrang sana. 

"Aku ingin membelikanmu baju untuk pernikahan kita nanti," jawabnya tenang.

"Apa harus?" tanya Rena ketus. 

"Baiklah kalau kamu tidak bersedia. Lupakanlah!" jawab Dokter Fredy berusaha tetap tenang. Rena tersentak. Entah mengapa ada rasa sesal menyelusup. 

"Bukan begitu. Oke, tapi sebentar saja!" jawab Rena akhirnya. 

.

Tepat jam 7, mobil Dokter Fredy sudah terparkir di depan gang. Rena segera menghampiri. Seperti biasa Dokter Fredy membukakannya pintu dan menutupnya setelah Rena duduk dengan nyaman. 

Rena terdiam selama perjalanan. Tak ada percakapan di antara mereka. Gadis bermata lentik itu hanya melihat pemandangan sepanjang jalan dari kaca jendela. Dokter Fredy sesekali meliriknya. 

"Kamu mau kuliah jurusan apa nanti?" tanya Dokter Fredy memecah keheningan. 

"Eh?" Rena menoleh. Dokter Fredy menoleh sekilas lalu kembali fokus ke jalanan. 

"Kamu minat di bidang apa? Kamu bisa konsultasikan dulu denganku," lanjut lelaki bertinggi badan 180 sentimeter itu. Rena menggeleng pelan.

"Atau mau aku pilihkan?" tanyanya lagi. Rena menoleh cepat.

"Kok maksa, sih? Kalau aku tidak mau gimana?" jawab Rena ketus. 

"Lalu nanti kamu mau apa di rumah? Melayani aku seharian?" goda Dokter Fredy. Mata Rena membulat, mulutnya mencebik. 

"Oke, aku mau ambil jurusan Akuntansi," jawab Rena cepat. Dokter Fredy manggut-manggut sambil terkekeh. 

"Rena ... Rena .... Aku hanya becanda. Aku tidak mau kalau nanti kamu kesepian di rumah jika aku sedang praktek di rumah sakit." 

"Memangnya di rumahmu tidak ada siapa-siapa? Istri? Anak?" tanya Rena menatap lelaki di sebelahnya. Dokter Fredy tertawa mendengar pertanyaan itu. 

"Aku senang kamu  mulai mau bertanya," ucapnya seraya menoleh. Pandangan mereka bertemu. Rena melengos gugup. 

"Aku tinggal di rumah sendirian, hanya adikku yang tinggal di kota ini, dia kadang datang, tapi jarang. Seorang pembantu setiap hari datang untuk membersihkan rumah, siang juga sudah pulang lagi." 

"Aku pernah menikah, tapi sudah lama bercerai." Ucapannya terhenti. Dokter Fredy terlihat jengah. Menyisakan sebuah tanda tanya besar di benak Rena. 

"Ah, kita sudah sampai. Di sini selain bisa memesan, katanya banyak baju yang sudah siap pakai. Kau boleh memilih sesukamu," ucap Dokter Fredy seraya memarkir mobilnya di depan sebuah butik gaun pengantin. Dia turun lalu membukakan pintu untuk Rena. Sekilas gadis itu mencuri pandang lalu cepat  membuang muka. 

Seorang pelayan toko membukakan pintu mempersilakan mereka masuk. Dokter Fredy tersenyum ramah. Berbeda dengan Rena yang nampak tidak senang. 

Deretan patung manekin yang memakai aneka gaun juga kebaya terlihat menarik perhatian Rena. Seumur hidupnya tidak pernah melihat gaun seindah itu. Sekilas Dokter Fredy bisa melihatnya. Dia tersenyum kecil. Dokter Fredy memilih sebuah kebaya modern lalu meminta Rena untuk mencobanya. Gadis itu melengos, kemudian memilih salah satu kebaya berwarna putih tulang. Dokter Fredy menarik napas panjang menahan kecewa. 'Sabar!' bisik hatinya. 

Rena masuk ke kamar pas ditemani seorang gadis pelayan butik.  

"Itu calon suaminya ya Mbak? Ganteng sekali ya?" tanya pelayan itu dengan senyum merekah. Rena menoleh sekilas. 

"Ganteng apanya? Udah tua juga," jawab Rena datar. 

"Masa sih udah tua, Mbak? Paling juga tiga puluhan," ungkap gadis itu seraya terkekeh. Rena hanya tersenyum kecil tak mau menanggapi. Mereka mulai mencoba kebaya yang Rena pilih. Begitu pas melekat di tubuh Rena yang langsing. Gadis itu merasa terpukau dengan penampilan yang tidak biasanya. 

"Cantik sekali, Mbak. Masnya pasti suka." Mendengar itu membuat Rena jadi sebal, buru-buru dia melepaskan baju itu dan segera memakai bajunya kembali. 

"Nggak akan diliatin ke Masnya dulu, Mbak?" tanya pelayan itu polos. Rena menggeleng cepat. "Tidak perlu," jawabnya agak ketus. Pelayan itu sepertinya mengerti, dan segera merapikan baju yang tadi Rena coba. "Wah, cowok ganteng begitu kok dijutekin ya? Padahal aku juga mau," desis gadis pelayan butik setengah berbisik. Rena menoleh. Gadis pelayan itu pun nyengir kuda.  Rena memutar bola matanya, jengah. 

Mereka akhirnya kembali ke luar. 

"Bagaimana? Cocok?" Dokter Fredy segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Rena. Gadis itu  diam enggan menjawab. 

"Cocok sekali Pak. Mbak ini cantiiikkkkkk sekali pakai bajunya." Gadis pelayan itu berceloteh sedikit lebay. Dokter Fredy tertawa melihatnya. 

"Ok, tolong dibungkus. Komplit dengan bawahannya!. Sekalian dengan yang tadi," pinta Dokter Fredy seraya memberikan sebuah kartu debit. Pelayan itu mengangguk. Rena menoleh, tapi lelaki berkemeja biru tua itu pura-pura tak melihat. 

Tak berselang lama, gadis pelayan itu kembali dengan dua tas kertas ukuran besar. Dokter Fredy menerimanya, lalu mengajak Rena pulang. 

"Kamu lapar?" tanya Dokter Fredy setelah berada di mobil. Rena menggeleng. 

"Aku hanya ingin pulang, kasian adikku sendirian di rumah," jawab Rena. Dokter Fredy segera menginjak pedal gas tak ingin berdebat lagi dengan gadis di sampingnya. 

"Kenapa kau membeli dua kebaya?" tanya Rena di tengah perjalanan. Dokter Fredy bergeming. Rena menatap lelaki di sampingnya, menanti jawaban. Merasa di perhatikan, Dokter Fredy menoleh sekilas. 

"Aku suka. Kenapa? Tidak boleh?!" Dokter Fredy balik bertanya. Rena membuang napas kasar. 

"Sepertinya kau selalu menggunakan uangmu untuk membeli segala sesuatu yang kau suka," sindir Rena. Dahi lelaki itu berkerut tak mengerti. 

"Maksudnya?" 

"Iya, kau selalu menggunakan uangmu untuk membeli sesuatu yang kau suka, dan memaksakannya pada orang lain. Seperti padaku saat itu. Kau membeli tubuhku, saat aku tidak punya pilihan lain saat itu," ucap Rena ketus. 

Dokter Fredy menginjak rem secara mendadak, untung saja posisi mobilnya berada di kiri jalanan agak lengang. 

"Sudah cukup! Jika kau tidak mau memakainya aku pun tidak memaksa. Mungkin suatu saat nanti aku bisa memberikannya pada putriku," jawab Dokter Fredy menahan emosi. Tangannya mencengkram handle setir mobilnya erat. 

Rena menoleh. "Putrimu dari siapa? Aku? Heh, jangan mimpi!" cibir Rena. 

Dokter Fredy tak ingin melanjutkan perdebatannya. Dia segera menginjak pedal gas dengan emosi. Hanya perlu setengah jam mereka pun sampai di depan gang menuju rumah Rena. Dokter Fredy segera turun untuk membukakan pintu bagi Rena, tapi gadis itu sudah turun duluan sebelum Dokter Fredy sampai. 

Rena melenggang pergi tanpa berpamitan. Meninggalkan lelaki itu yang masih bergeming, memejamkan matanya lalu menarik napas panjang. 

'Ini baru permulaan Dokter sialan!' bisik hati Rena. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status