Aku kembali menatap wajah Mas Feri beberapa saat lamanya, berusaha mengeja apa yang sebenarnya terjadi. Namun tetap saja tak mengerti. Bahkan Mas Feri pun tak ada keberanian untuk menatapku balik. Percuma menunggunya bicara di sini. Lebih baik aku pergi. Gegas melangkah menuju kamar lalu mendekati jendela yang mengarah ke kebun sayuran yang kutanam beberapa bulan terakhir. Kebun yang menghijau, cukup sejuk dan menenangkan.
Pintu kamar terbuka. Aku tak menoleh. Tetap bergeming sebab aku sudah bisa menebak jika Mas Feri akan menyusulku ke sini. Kedua mataku masih fokus memandang hamparan sayur-sayuran yang menghijau di sana. Ada rasa bahagia tiap kali aku memandang dan memetik tiap helai daunnya. Teringat saat aku belajar dari nol lewat video youtube demi menghasilkan tanaman yang subur. Setidaknya agar ibu tak kembali mengejek dan mengatakanku boros dengan menghamburkan uang untuk membeli benih dan pupuk, namun tak ada hasilnya.
"Kamu marah karena aku kasih jatah ibu lebih banyak daripada kamu, Rin?" tanya Mas Feri tiba-tiba. Sepertinya dia berdiri di belakangku namun lagi-lagi aku tetap malas untuk menengok ke arahnya. Entahlah.
Aku sendiri tak tahu apakah pantas marah padanya. Dia suamiku sekaligus kepala keluarga dan tulang punggung di rumah ini. Dia yang memang berhak memutuskan apapun bahkan mungkin tanpa sepengetahuanku. Aku tahu itu. Aku yang mungkin harus bisa legowo, menghormati dan menerima segala keputusannya apapun itu. Namun aku juga tak bisa bersandiwara untuk baik-baik saja.
"Marah? Apa hakku buat marah, Mas?" tanyaku singkat. Kuseka kedua sudut mata yang basah. Sesak di dada tak bisa lagi kujelaskan bagaimana rasanya.
"Kamu kan tahu kalau--
"Kalau anak laki-laki tetap milik ibunya meski dia sudah berumah tangga. Kalau kemapananmu saat ini berkat jerih payah dan doa-doa ibu yang tak pernah lelah di setiap sujudnya. Kalau ibu bahkan rela banting tulang untuk menyekolahkanmu hingga sarjana. Iya, kan, Mas?" Aku membalikkan badan, sedikit tersenyum meski hambar.
Mas Feri hanya diam saja menatapku lekat. Tak ada jawaban yang keluar dari bibirnya detik ini.
"Bahkan aku sampai hafal kalimat apa yang akan kamu katakan. Hebatnya aku, ya? Bisa tahu isi hatimu," balasku lagi. Air bening meluncur begitu saja ke pipi. Mas Feri berusaha menyeka kedua sudut mataku namun buru-buru kutepis.
"Benar kata ibu, aku terlalu beruntung mendapatkanmu. Kamu yang sudah mapan saat datang melamarku. Aku yang tak punya apa-apa dan hanya seorang yatim piatu. Benar kata ibu, aku tak ada hak menuntut lebih padamu karena dipersunting seorang Feri adalah sebuah keberuntungan yang harus sangat kusyukuri."
"Maksud kamu apa sih, Rin? Makin lama makin ngelunjak kamu itu. Kamu mau menjelekkan ibu di depanku, begitu?" Suara Mas Feri mulai tak enak terdengar. Aku kembali menatap hamparan dedaunan yang menghijau.
"Izinkan aku kerja, biar aku tak hanya menodong gaji suami," ucapku lirih.
"Sudah kubilang, tugas seorang istri di rumah melayani suami. Aku masih mampu cari nafkah untuk menghidupi istri," jawab Mas Feri lagi.
"Kalau memang nggak boleh kerja, aku minta kita mengontrak rumah saja, Mas. Kecil pun tak apa. Bukankah dalam agama kita juga mengajarkan mandiri setelah menikah? Karena menyatukan dua perempuan dalam satu rumah tidak lah mudah, demi menghindari konflik dan sakit hati," ucapku lagi.
"Maksudmu apa, Rin? Kamu ingin kita pergi dari rumah ini, begitu?"
Aku tak menjawab. Aku yakin setelah ini ada ceramah panjang dari Mas Feri untukku, mau tak mau aku harus mendengarkannya. Entah sudah berapa kali aku meminta dia untuk mengontrak namun hasilnya sia-sia. Selalu ada alasan yang dia berikan, tak lain tentang ibunya.
"Kamu kenapa? Minta ngontrak lagi? Ingin mandiri atau memang nggak mau merawat ibu? Katakan saja yang jujur, jangan berbelit-belit," ucap Mas Feri ketus.
"Aku tak pernah berpikiran seperti itu, Mas. Tak mau merawat ibu? Harusnya kamu tahu sejak kecil aku hidup di sendiri setelah kepergian orang tuaku, tak pernah merasakan kasih sayang bapak dan ibu. Kehadiran ibumu dalam hidupku begitu berarti. Namun sepertinya pandanganku ini berbeda dengan pandangan ibu padaku."
"Kamu mau bilang kalau ibu tak menyukaimu? Bukan kah dari awal kamu sudah merasa begitu, namun selalu bilang bahwa ketulusan cintamu akan meluluhkan hatinya? Mana bukti ucapanmu? Kenapa sekarang seolah kamu menyalahkanku atas ketidak harmonisanmu dengan ibu?"
Astaghfirullah ... kuucap istighfar dalam hati.
"Lantas aku harus bagaimana, Mas? Mau kerja, kamu larang. Minta mengontrak rumah, kamu enggan. Apa aku harus begini terus-terusan?"
"Ibu sudah tua, Rin. Harusnya kamu juga paham, ini waktunya kita berbakti pada ibu. Ingat Rin, ridhoNya tergantung dengan ridho orang tua terutama ibu."
"Aku tahu, Mas tapi--
"Tapi apalagi? Kamu tetap bersikukuh ingin pergi dari rumah ini?"
Hening beberapa saat. Aku menatap langit yang mulai gelap. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Semilir angin menerpa wajahku. Dingin dan menenangkan.
"Kalau kamu tetap ingin pergi, aku tak bisa, Rin. Aku ingin berbakti pada ibu, walau bagaimanapun dia lah kunci surgaku. Harusnya kamu bisa mengerti dan mau bersabar untuk ikut merawatnya. Karena mematuhi permintaan suami juga bagian dari surgamu."
Kulihat punggung Mas Feri keluar kamar lalu menutup pintu cukup kencang. Seperti biasa, hanya sebuah pertengkaran yang kudapatkan tiap kali membahas masalah yang sama.
Capek hati, capek tenaga dan capek pikiran. Namun harus bertahan. Teringat kembali nasehat ibu saat kecil dulu, untuk tetap bersabar dalam menghadapi ujianNya. Karena Dia tak akan menguji seorang hamba diatas batas kemampuan hambaNya.
Bersabar? Mungkinkah aku harus tetap bersabar menghadapi ini setiap hari? Sementara aku terus digerogoti sakit hati? Menahan semua sesak dan luka sendiri, tanpa ada yang mau mengerti.
"Arin! Jangan racuni pikiran anakku! Sampai kapan pun kamu tak akan pernah bisa mengambil Feri dari ibu. Karena dia memang anak yang berbakti. Harusnya kamu bangga pada suamimu karena dia sudah berbakti pada ibunya. Harusnya kamu bersyukur karena Feri masih setia sama kamu, padahal hampir dua tahun menikah kamu belum juga memberinya keturunan. Apa kamu nggak sadar? Jangan ngelunjak kamu, Rin! Sudah dikasih hati minta jantungnya sekalian!"
Entah mengapa ibu tiba-tiba muncul dari balik jendela. Apa sejak tadi dia sengaja menguping pembicaraanku dengan anak lelakinya? Selalu begitu, seolah tak pernah memberiku waktu untuk bicara empat mata saja dengan anak laki-lakinya.
Ibu selalu merecoki dan menguping apa pun yang kami bicarakan. Tak hanya sekali dua kali namun hampir setiap hari. Mungkin memang untuk bahan bergosip setiap pagi. Entah lah!
~
Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi
Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma
Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit
~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami
Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin
Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce