Malam semakin larut, namun aku belum juga bisa memejamkan mata. Omelan ibu dan ucapan Mas Feri kembali terngiang di benak. Ada banyak hal yang lalu-lalang di depan mata. Aku tak bisa terus menerus bergantung pada gaji satu juta dari Mas Feri itu. Mungkin memang sebaiknya aku mencari pekerjaan. Setidaknya yang bisa dibawa pulang agar Mas Feri tak kembali komplen.
Apa aku jualan online saja? Tapi modalnya? Jatah dari Mas Feri untukku bulan ini hanya tersisa dua ratus ribu saja. Itu pun buat jatah beli token listrik dan lauk minggu ini. Aku nggak mungkin memakainya untuk modal usaha yang belum tentu langsung bisa mendapatkan laba.
Mungkin besok aku cerita ke Mas Feri saja tentang rencanaku ini. Barang kali aku bisa pinjam tabungannya lebih dulu atau bisa saja dia justri mendukungku untuk berwirausaha dan memberiku modal cuma-cuma untuk membeli barang-barang yang kebutuhkan. Iya, kan?
"Kenapa belum tidur? Gelisah dari tadi membuatku tak bisa tidur juga," ucap lelaki di sampingku. Kupikir dia sudah terlelap sedari tadi, ternyata masih juga terjaga.
"Maaf, Mas," balasku pendek lalu menarik selimut hingga ke dada.
"Masih memikirkan soal mengontrak rumah atau cari kerja?" tanyanya singkat. Aku hanya menggeleng pelan.
"Nggak, Mas."
"Terus mikir apa? Dari tadi kulihat kamu hanya menatap langit kamar, memijit kening, miring kanan, miring kiri ...."
"Kalau memang aku nggak boleh kerja di luar, kamu juga nggak mau kuajak ngontrak. Bisa nggak kalau kamu pinjami aku uang untuk modal usaha, Mas? Biarkan aku memiliki penghasilan sendiri," ucapku lagi.
Kulihat Mas Feri beranjak dari tidurnya, duduk bersandar di tembok sembari menatapku.
"Kenapa? Apa duit bulanannya kurang?" tanyanya cepat, membuatku sedikit gugup dibuatnya.
"Kenapa pinjam modal segala? Memangnya kamu ingin usaha apa? Berwira usaha itu tak sembarangan dan asal jalan. Semua harus dipikirkan matang-matang. Berapa modalnya, apa saja bahan-bahan dan peralatannya, lokasinya di mana dan yang paling penting untung ruginya. Bukannya kamu sendiri yang minta untuk berhemat agar kita bisa cepat beli rumah? Supaya kita juga bisa memboyong ibu ke sana? Kenapa malah mau menghambur-hamburkan uang untuk usaha yang nggak jelas?" cecar Mas Feri lagi. Aku masih mengeja ucapannya kembali.
"Biarlah rumah ini untuk Mbak Vina. Kasihan dia masih mengontrak juga sama Mas Sony. Mana sudah punya anak dua," ucap Mas Feri lagi.
"Ibu ikut kita, Mas? Bukannya waktu itu kamu bilang, ingin menabung supaya bisa cepat beli rumah, biar aku nggak selalu cekcok dengan ibu? Kalau nantinya ibu juga ikut kita, lantas apa bedanya? Bukan kah itu artinya sama saja?"
Bayanganku untuk mandiri musnah sudah gara-gara ucapan Mas Feri barusan. Bukan maksudku membenci ibu, tapi aku memang kurang suka ibu selalu saja menjelekkanku di depan para tetangga bahkan sering kudengar dia memfitnahku di depan Mas Feri. Ketulusan cinta dan perhatian yang hampir dua tahun kulakukan hanya dipandang sebelah mata olehnya.
Ibu tak pernah peduli. Tak pernah menganggapku ada. Bahkan akhir-akhir ini dia sering kali memuji Delima, mantan tunangan Mas Feri yang kini baru pulang dari luar negeri. Ibu bilang, dia pernah bekerja menjadi TKW di Hongkong selama empat tahun dan sekarang sudah memiliki rumah megah dan sukses dengan usaha pakaiannya.
"Mas, nanti beneran ibu ikut kita?" tanyaku lirih. Aku tak berani menatap tajam sorot matanya.
"Rencana awal aku ingin beli rumah memang supaya ibu dan kamu tak selalu perang. Aku pusing melihatnya. Namun tadi ibu cerita banyak hal, dia nggak mungkin ikut Mbak Vira. Dua anaknya sudah membuat dia begitu sibuk dan kerepotan. Sering kali untuk sekadar mandi dua kali sehari saja terburu-buru.
Pekerjaan Mas Sony juga hanya buruh pabrik dengan gaji pas-pas an, bahkan sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan lagi setelah di PHK waktu itu. Jadi kemungkinan besar ibu tetap bersama kita jika kita membeli rumah nanti. Kenapa memangnya? Kamu keberatan juga?"
"Tapi waktu itu kamu bilang ibu tetap tinggal di rumah ini sendiri, seminggu sekali kita datang menjenguk atau ibu kita jemput. Kamu bilang akan cari rumah daerah sini saja yang penting tak terlalu dekat dengan ibu," jawabku lirih.
"Itu dulu karena aku belum memikirkan soal Mbak Vira. Tapi setelah ibu menjelaskan semuanya tadi, aku baru sadar. Ucapan ibu ada benarnya. Biarkan Mbak Vira tinggal di sini nanti bersama keluarga kecilnya."
Kuhembuskan napas panjang. Apa bedanya di rumah baru dengan rumah ini kalau ibu tetap bersamaku? Dia pasti akan terus merecoki hidupku. Hanya beda tempat namun penderitaan yang kuterima akan tetap sama.
"Sudah lah, Rin. Aku malas bahas soal itu. Yang harus kita ingat, berbakti kepada ibu tak akan pernah membuat kita kekurangan. Justru Allah akan ganti dengan berlipat. Merawat ibu di masa tuanya adalah perjuangan, namun kita akan memetik hasilnya suatu saat nanti. Maklumi saja bila ibu cerewet, kecerewetannya pasti juga untuk kebaikan kita. Nggak mungkin seorang ibu ingin anak-anaknya sengsara, iya kan?" Mas Feri masih terus membela ibunya padahal beberapa kali dia juga melihat sendiri bagaimana perlakuan ibu padaku.
Kupejamkan mata perlahan. Lagi-lagi harus mengalah dan pasrah.
"Kalau gitu beri aku modal, Mas. Aku ingin punya penghasilan sendiri supaya tak terus minta uang sama kamu."
"Kamu mau usaha apa? Kuliner? Atau apa?"
"Aku mau jualan gorengan atau nasi rames di depan rumah, Mas."
Kulihat Mas Feri terdiam. Sepertinya dia masih terus berpikir.
"Nggak usah aneh-aneh deh, Rin. Jangan malu-maluin suami. Nanti dikira banyak orang, kamu nggak pernah kunafkahi hingga rela jualan gorengan. Biasanya kalau perempuan sudah punya penghasilan sendiri suka membantah perintah suami karena merasa mandiri dan tak bergantung pada suami. Apalagi jika pendapatannya jauh lebih tinggi, sering kali merendahkan suami sendiri. Sudah, sekarang kita tidur! Besok aku harus berangkat pagi karena ada sedikit laporan yang harus kukerjakan."
Kuhembuskan napas panjang. Entah apa dan bagaimana kemauan ibu dan Mas Feri. Selama ini tak kurang-kurangnya aku mengalah dan diam. Tak kurang perhatian dan kasih sayang yang kuberikan. Bahkan aku sering kali menekan ego dan keinginan demi mereka namun tetap saja masih banyak cela di hadapan mereka, terutama ibu.
Aku benar-benar menyerah. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar mereka lebih menghargai dan menganggapku ada. Rasanya semua percuma, aku akan kembali nelangsa dan kecewa.
Apa aku pinjam uang saja untuk modal usaha? Tapi kalau Mas Feri tahu, dia pasti akan murka dan menganggapku memalukan keluarga karena pinjam-pinjam uang segala.
~
Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi
Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma
Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit
~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami
Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin
Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce