Kamu sih enak, punya menantu sudah pinter masak, pinter cari duit pula. Nggak kayak aku ini, nasib punya menantu perempuan cuma satu tapi nggak ada kerjaan, bisanya cuma nodong gaji suami. Nggak ada inisiatif untuk cari tambahan sendiri," ucap ibu di depan para tetangga yang memang sering kali ngumpul di depan rumah. Suaranya terdengar cukup keras hingga aku yang ada di kebun belakang pun mendengarnya. Sepertinya ibu memang sengaja menaikkan volume suaranya agar aku tahu perbincangan mereka.
Aku tertegun sejenak, memandangi kebun yang dulu kosong kini tumbuh dengan aneka sayuran. Ada bayam, kangkung, sawi, cabai, tomat, pare dan lainnya. Kalau hanya sekadar untuk masak sendiri sudah lebih dari cukup, bahkan sering kali ibu menjualnya ke pasar. Aku jarang sekali beli sayuran, ke pasar hanya sering beli ikan, ayam atau bumbu dapur atau sabun yang kebetulan habis.
Mungkin ini bukan dari 'bekerja' menurut ibu. Membereskan rumah, mencuci pakaian, memasak dan lainnya bukan pula bagian dari bekerja. Baginya bekerja adalah mereka yang berangkat pagi pulang sore, berseragam dan mendapatkan gaji bulanan. Bukan pengangguran sepertiku yang hanya di rumah saja tanpa penghasilan apa-apa.
"Menantuku itu kan belum ada anak, harusnya bantu suami kerja di luar. Kasihan Feri kalau tiap hari lembur tapi habis oleh istrinya. Dasarnya dia pemboros juga, dikasih duit berapa saja selalu habis," ucap ibu mertuaku lagi.
"Memangnya gaji Feri berapa sih, Bu?" Suara Ibu RT ikut bertanya. Wanita yang mungkin berusia setengah abad itu pun fokus mendengarkan cerita ibu, sesekali mengupas kacang rebus di atas piring lalu memasukkannya ke dalam mulut.
"Gajinya lima juta, belum lembur itu. Nah kalian pikir sendiri masak gaji segitu selalu habis tiap bulan?" Ibu semakin menggebu, menceritakan sikapku menurut penglihatannya. Meski semua tak seperti yang dia ceritakan.
"Mungkin ditabung, Bu. Atau barang kali nggak semua gaji Feri diberikan pada Arin. Bisa saja buat kebutuhan pribadi Feri juga," timpal ibu lain entah siapa aku tak terlalu hafal suaranya. Yang pasti, tak semua tamu ibu mengiyakan ceritanya. Ada beberapa yang mengiyakan, ada beberapa pula yang menyanggah.
"Mana mungkin, jelas aku lihat tiap gajian amplop coklat itu selalu diberikan ke Arin kok. Di depan mataku, makanya aku bisa bilang begini," ucap ibu lagi, masih terus membenarkan ucapannya.
Kenapa ibu harus bilang seperti itu pada para tetangga, padahal dia juga tahu kalau hanya satu juta gaji Mas Feri yang diberikan untukku. Mas Feri tahu kalau aku jarang beli sayuran, makanya jatah sayur yang 200ribu itu dia tarik kembali. Protes? Dulu sering, namun sekarang tak pernah lagi karena Mas Feri selalu meyakinkanku jika sisa gaji itu sengaja dia tabung untuk membeli rumah impian, agar aku tak selalu cekcok dengan ibu.
Aku juga tak habis pikir, mengapa ibu selalu saja menjelek-jelekkanku di depan para saudara dan tetangga, padahal ibu juga mendengar sendiri kalau Mas Feri hanya memberiku satu juta tiap bulan. Itu pun sebagian untuk membeli token listrik dan air. Bahkan ibu juga sering minta untuk membayar arisannya. Mungkinkah ibu pura-pura amnesia?
Bayar arisan, jajan atau yang lain itu bukan karena ibu tak punya uang, tapi entah dikemanakan uang pemberian Mas Feri karena tiap bulan ibu juga diberi jatah bulanan sendiri. Entah berapa, aku tak pernah lagi bertanya. Mas Feri kurang suka jika aku menanyakan soal itu, dianggap terlalu perhitungan pada ibu sendiri, katanya.
"Bu Sari nggak coba tanya sama Mas Feri saja, barang kali memang beneran ditabung, Bu. Aku lihat Arin juga jarang ke luar rumah, baju yang dia pakai juga itu-itu saja bahkan perhiasan pun dia tak punya. Eh tak punya apa sengaja tak memakainya, Bu?" Ibu RT kembali menimpali.
Aku hanya menghembuskan napas panjang mendengar obrolan mereka. Ingin rasanya pergi dari rumah ini sejenak, tapi ke mana? Aku tak punya sanak saudara. Aku memang sebatang kara di kota Jogja ini, setelah Emakku meninggal dua tahun yang lalu, dua bulan sebelum Mas Feri datang melamar. Dia laki-laki yang baik dan tanggungjawab, hanya saja dia belum mampu memberikan nafkah yang adil untukku dan ibu tiap bulannya. Itu saja kelemahan yang dia punya.
Teringat kembali obrolanku dengan Mas Feri waktu itu. Aku yang mulai tak nyaman karena selalu diremehkan, dicap boros bahkan disindir menghabiskan gaji suami. Rasanya aku benar-benar ingin kerja saat itu juga. Setidaknya untuk membuktikan pada ibu jika aku juga mampu menghasilkan uang sendiri. Tanpa harus meminta gaji dari suami seperti yang selalu digembor-gemborkannya selama ini.
"Mas, aku mau kerja boleh ya? Daripada di rumah terus, suntuk. Lagipula aku juga belum ada anak, nanti kalau sudah ada anak, tak perlu disuruh berhenti pun aku pasti berhenti sendiri, Mas," ucapku saat itu pada Mas Feri. Dia yang sedang duduk santai sembari melihat video youtube dari ponselnya. Seketika dia menoleh.
"Buat apa? Seorang perempuan baiknya di rumah, sedangkan laki-laki tugasnya mencari nafkah. Lagipula kamu masih program hamil kan, Sayang? Di rumah saja, aku tak suka jika kecantikanmu dinikmati banyak orang di luar sana," ucapnya lagi. Kembali melarang ku untuk ke sekian kali.
"Tapi, Mas ...."
"Kenapa? Jatah bulanannya kurang? Nanti aku tambah sedikit kalau memang kurang."
"Apa, Fer? Jatah bulanan segitu masih kurang? Padahal sayuran juga sudah ambil di kebun. Istrimu memang pemboros, makanya nggak bisa nabung. Mau kamu tambah dua juta lagi kalau dasarnya boros ya boros," ucap ibu cepat. Tiba-tiba dia sudah berada di belakang kami, entah sejak kapan.
"Tapi itu buat bayar air sama listrik juga loh, Bu. Listrik kita nggak pakai subsidi-subsidian," ucapku lagi.
"Tetap saja boros, coba hitung berapa pengeluaranmu tiap bulan. Kalau memang jatah Arin ditambah, ibu juga dong, Fer. Masak cuma kamu kasih satu setengah juta? Genapi dua juta sekalian!" ucap ibu lagi.
Mas Feri melirikku sekilas. Dia mendadak bisu. Oh jadi jatah bulanan ibu selama ini satu setengah juta tiap bulan? Lantas dia ke manakan uang segitu banyak? Kenapa ibu bilang selalu habis tiap bulan? Bahkan bayar arisan saja sering kali merecoki jatah bulananku yang pas-pasan bahkan sering kurang.
Aku hanya dikasih satu juta untuk mencukupi semua kebutuhan di rumah ini, sementara ibu dikasih lebih banyak Padahal untuk kebutuhannya sendiri. Mendadak kedua mataku berkaca-kaca, ada nyeri di dalam dada.
Apa jatah bulanan ibu sengaja dia transfer untuk Mbak Vira? Kakak perempuan Mas Feri yang beberapa bulan belakangan ini suaminya terkena PHK?
~
Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi
Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma
Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit
~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami
Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin
Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce