|Yas, kamu ada uang 300ribu? Kalau ada aku mau pinjam dulu. Aku ingin jualan cimol atau gorengan gitu, Yas. Aku ingin seperti kamu yang mandiri, bisa menghasilkan duit sendiri.|
Kukirimkan pesan itu pada Yasmin, teman f******k yang ternyata rumahnya tak terlalu jauh dari desaku. Dia berjualan online, pakaian, akesoris dan perabotan. Sering kali kirim-kirim paket ke dalam maupun luar negeri.
Kulihat nyaman sekali hidupnya. Dia bilang, gaji bulanan dari suaminya semua ditabung karena hasil online yang dia dapat sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanannya. MasyaAllah.
"Jualan saja, Rin. Istri yang nggak punya penghasilan sendiri terkadang memang diremehkan mertua. Tapi kalau suaminya juga dzalim, dia juga sama saja tak menganggap kita ada. Bekerja versi mereka ya yang menghasilkan rupiah, kalau sekadar cuci baju, masak, berkebun, beres-beres rumah dan lainnya, itu bukan definisi kerja menurut mereka. Lucu memang, tapi begitu lah yang diamini masyarakat. Kita bisa apa?"
Benar. Yasmin memang benar. Buktinya rasa lelah karena kerjaan harian yang tak kelar-kelar ini pun hanya dipandang sebelah mata karena aku tak memiliki gaji harian bahkan bulanan pun tak ada.
Jadi percuma lelah hati dan fisik di rumah, ibu atau mungkin Mas Feri juga menganggapku tak bekerja bahkan ibu selalu bilang aku terlalu nyaman, tak perlu capek kerja dan tinggal nodong gaji bulanan.
Cukup lama aku menunggu balasan dari Yasmin, mungkin dia masih sibuk catat orderan atau packing. Biasanya bakda maghrib kurir datang untuk mengambil paket-paketnya, begitu dia bilang padaku.
|Ada, Rin. Kamu mau pinjam 300ribu, ya? Aku transfer atau ketemuan saja?|
Balasan dari Yasmin baru saja masuk. Gegas kubalas mumpung dia masih online.
|Terima kasih banyak sebelumnya, Yas. Maaf sudah merepotkan. Nanti kalau sudah ada dana, InsyaAllah segera kukembalikan. Besok pagi kita ketemu di warung sembako Pak Bidin saja gimana, Yas? Aku nggak punya nomor rekening. Pakai punya Mas Feri pasti kena omel nanti.|
Terkirim. Ceklis biru dua. Semoga saja Yasmin segera membalas pesanku dan besok aku bisa mengambil uangnya, jadi bisa sekalian belanja bahan. Aku akan jual keliling pakai motor matic Mas Feri.
Kalau dia melarang karena malu-maluin keliling jual cilok, aku coba jual online di grup RT atau grup f******k daerah sini saja. Siapa yang pesan baru kukirimkan.
|Nggak apa-apa, Rin. Selama aku ada dan bisa InsyaAllah ikhlas membantu kamu. Besok jam sembilan kita ketemu di sana, ya?|
Aku membalas pesan Yasmin dengan suka cita. Berharap pagi segera tiba dan aku mulai hari dengan semangat yang baru.
***
Sebelum subuh aku sudah bangun, mencuci pakaian sembari memasak. Sebelum Mas Feri berangkat kerja, dia sudah bisa sarapan di rumah.
Sembari menunggu waktu jam sembilan aku menyapu dan mengepel rumah lalu menyapu halaman belakang rumah yang cukup luas. Tanah lapang yang kupakai untuk berkebun. Ponselku bergetar, mungkin pesan dari Yasmin.
Kuambil ponsel di saku gamis lalu mengusap layarnya. Ini adalah ponsel lama Mas Feri, karena bulan lalu dia sudah membeli ponsel baru. Benar saja, Yasmin sudah berangkat ke warung sembako Pak Bidin.
|Rin, aku berangkat sekarang sekalian mau kirim paket soalnya|
Senyumku mulai mengembang. Gegas membersihkan badan lalu pamit pada ibu. Biasanya dia masih duduk santai di teras sambil menunggu abang bubur kacang hijau langganannya lewat.
Kupanggil berulang kali namun ibu tak ada. Tak juga pamit, entah ke mana dia. Ah sudah lah. Kukunci pintu saja gegas memacu motor matic Mas Feri untuk ke warung sembako Pak Bidin.
Aku tak ingin Yasmin menunggu terlalu lama di sana. Jarak rumah dengan warung Pak Bidin tak terlalu jauh, hanya 10 menitan memakai sepeda motor.
Dari kejauhan kulihat Yasmin sudah duduk santai di motornya dengan anak perempuannya, tepat di samping warung Pak Bidin. Aku bersyukur sekali memiliki teman sepertinya. Hanya dia yang mau berteman denganku, lebih tepatnya mau mengerti keadaanku.
Mungkin karena dia juga sama sepertiku, yatim piatu. Namun mungkin hidupnya jauh lebih beruntung dariku, dia berkecukupan. Memiliki suami yang tanggungjawab, anak yang shalehah dan mertua yang tak merecoki rumah tangganya.
Bahkan dia bilang, ibu mertuanya sangat sayang dan baik, sering kali datang dengan membawa berbagai makanan dan mainan untuk cucunya saat dia punya uang pasca panen. Ternyata tak semua mertua itu jahat dan menyebalkan, ada pula yang baik hati dan pengertian.
"Assalamu'alaikum, Yas. Maaf menunggu lama," ucapku sembari tersenyum saat sampai di sebelahnya. Kulirik warung Pak Bidin tak terlalu ramai, ada beberapa tetanggaku di sana. Memang warung ini jauh lebih murah dibandingkan warung yang lain karena memang grosiran. Mungkin karena itu pula pelanggan Pak Bidin cukup banyak dari beberapa desa sekitar.
"W*'alaikumsalam, Rin. Belum terlalu lama kok. Iya, kan, Dek? Salim dulu sama tante Arina," ucap Yasmin pada anak perempuannya-- Renata.
Gadis berusia tujuh tahun itu mencium punggung tanganku.
"Belum lama, tante. Tapi Rena sudah mau habis es krim satu," ucapnya polos.
"Wah sudah agak lama dong berarti. Maafkan tante ya sudah buat Rena menunggu lama," balasku sembari mengusap pelan pipinya yang lembut.
"Ini uangnya, Rin. Kembalikan sesukamu, pokoknya kalau kamu pas sudah senggang nggak masal--
"Arin! Jadi kamu pagi-pagi ke sini mau pinjam duit? Malu-maluin suami saja kamu ini. Ayo pulang!" Suara ibu tiba-tiba terdengar cukup lantang dari belakang.
Wajah Yasmin menengang, mungkin terlalu kaget mendengar dan melihat sendiri bagaimana sikap ibu mertua padaku. Dia mengusap lenganku pelan.
"Rin ... kamu hebat. Sabar, ya," ucapnya lirih. Matanya berkaca-kaca.
Pengunjung di warung Pak Bidin seketika menoleh ke arah kami bahkan ada beberapa yang keluar warung karena teriakan ibu cukup keras terdengar.
Malu sekali rasanya, apalagi saat kulihat para ibu di sana saling berbisik. Aku yakin mereka sedang membicarakanku dan ibu atau mungkin Mas Feri. Astaghfirullah.
"Pulang, Arin. Gaji bulanan suamimu memangnya masih kurang? Makanya jangan boros jadi perempuan!"
"Uang sejuta nggak cukup sebulan, Bu," ucapku seketika. Baru kali ini aku berani menjawab omelan ibu, rasanya tak kuat selalu dibilang istri pemboros olehnya.
Para ibu semakin berbisik, membuat wajah ibu semakin merah padam.
"Sudah boros, rupanya kamu memang tak bisa menghargai suamimu sendiri ya, Rin. Gaji bulanan Feri lima juta belum bonusnya, jangan malu-maluin. Ibu akan laporkan masalah ini sama suamimu!" Bentaknya lagi. Kulihat ibu pergi begitu saja menggunakan ojek yang biasa mangkal tak jauh dari rumah.
"Rin ... kamu sabar banget. Uangnya nggak usah pinjam, buat kamu saja ya, Rin," bisik Yasmin dengan mata berkaca-kaca. Dia memberikan amplop putih itu padaku namun kutolak.
"Terima kasih banyak, Yas. Cuma kamu yang peduli padaku. Tapi biar lah, uang ini buat jajan Renata saja, aku tak jadi meminjam. Nanti aku cari alternatif lain untuk modal usaha. Aku tak ingin memperburuk keadaan. Kamu tak perlu khawatir, aku sudah terbiasa," ucapku mengakhiri pembicaraan. Aku pamit pulang. Kulihat air mata itu menitik di kedua pipinya. Dia pasti ikut merasakan sakit yang kini kurasa. Perih.
***
Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi
Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma
Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit
~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami
Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin
Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce