Share

Bab 8

Penulis: NawankWulan
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-16 20:35:34

Pov : Feri 3 

"Sesekali pulang awal nggak apa-apa, Fer. Kali saja ada sesuatu yang bisa kamu ketahui saat kamu pulang mendadak nanti. Dua orang wanita terutama menantu dan mertua memang sering kali cekcok, karena sama-sama ingin mendapat perhatian kamu, Fer," ucap Ogi kemarin saat aku menceritakan permasalahanku. Kebingunganku soal sikap ibu yang selalu menjelekkan Arina di depanku dan sikap Arina yang tak mau jujur soal perubahannya. 

Arina tak pernah mau menjawab pertanyanku soal perlakuan ibu padanya. Dia simpan semua tangis dan luka itu sendiri, mungkin karena itu pula yang membuatnya selalu tampak berduka. 

"Ibumu nggak ingin kamu melupakan dia setelah kamu menikah, karena walau bagaimanapun dia merasa yang membuat kamu semapan sekarang. Dia yang mengandung, melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan. 

Sementara istrimu juga butuh perhatian, karena dia juga tak pernah melupakan namamu di setiap doanya. Dia yang akan menjadi madrasah utama anak-anakmu. Jangan sampai kamu dzalim padanya karena bisa jadi dia depresi dan tak bisa maksimal merawat buah hatimu nanti. 

Berlaku adil lah diantara keduanya, jangan berat sebelah. Gimana, Fer? Aku sudah cocok jadi seorang ustadz, kan?" tanya Ogi sembari tertawa lebar setelah memberikan nasehat panjangnya. Aku tak terlalu mempedulikan tawanya.

Perlahan aku berusaha mencerna apa yang dikatakan Ogi. Meski dia sering cengengesan, tapi dia memang cukup bijak setiap mengambil keputusan. Aku juga tahu dia sangat perhatian dan penuh kasih pada istri dan ibunya. Mungkin karena itu pula Ogi bilang jarang sekali menemukan sikap istrinya seperti Arina saat ini.  

"Ibuku tak pernah ikut campur masalah rumah tanggaku sih, Fer. Ya meski kami satu rumah, tiap kali aku cekcok sama bini, ibu pasti menyuruhku untuk membicarakan dengan kepala dingin bukan dengan emosi. Tiap kali ada masalah ibu justru menyalahkanku, mungkin karena itu pula bini merasa dihargai dan dibela oleh mertuanya sendiri. Awal-awal nikah doang minta ngontrak selang empat bulanan sudah betah kyaknya. Sampai sekarang nggak pernah bahas ngontrak rumah," ucap Feri kemudian, membuatku berpikir apa iya karena sikap ibu juga yang membuat Arina berubah sedrastis ini? 

"Pasang cctv kalau perlu, yang kecil aja, Fer. Jadi nggak kelihatan mencolok. Maaf-maaf aja nih, ya. Kalau rumah tangga anak selalu direcoki mertua, yakin emang selalu cekcok. Sesabar-sabarnya perempuan, ada juga titik lemah dan jenuhnya, Fer. Cepat bertindak daripada kamu menyesal nantinya, kehilangan Arina." 

Detik ini, aku mengikuti saran Ogi. Pulang lebih awal hanya sekadar ingin melihat apa yang dilakukan ibu dan Arina jika aku berangkat kerja. Tadi pagi aku memang sudah berencana untuk memakai ojek online saja dengan alasan motor mau dibengkelkan, Arina dan ibu pun tak menaruh curiga. Kini aku juga kembali naik ojek online untuk pulang ke rumah. 

Suasana rumah cukup sepi, entah ke mana ibu dan Arin. Kuucap salam namun tak ada jawaban. Gegas kumasuk ke dalam rumah, mempercepat langkah menuju kamar. Mungkin saat ini Arin ada di kamarnya. 

Benar saja. Dia tidur di pembaringan. Sepertinya terlalu nyenyak hingga aku datang pun dia tak bangun. 

"Rin ... kamu sakit?" tanyaku lirih sembari meletakkan tas kerja ke atas meja. Arin hanya diam saja. Tubuhnya membelakangiku dengan selimut sampai dada. 

"Rin ... Kamu-- 

Arina membalikkan badannya. Kulihat wajahnya begitu pucat, pipinya basah. Dia pasti menangis lagi tadi. Melihat kegugupanku, dia mencoba untuk tersenyum meski kutahu itu sangat dipaksakan. Aku tahu, dia sangat kaget saat tahu aku sudah ada di sampingnya. Kuusap keningnya cukup panas. 

"Kamu sakit, Rin. Badanmu panas banget ini." 

Aku membantunya yang mencoba untuk duduk namun tangannya masih gemetaran. 

"Kamu kok sudah pulang, Mas?" tanyanya lirih. 

"Iya, perasaanku nggak enak di kantor makanya aku pulang cepat," ucapku. 

"Ternyata benar, kan? Kamu sedang sakit. Ibu ke mana kok nggak ada? Kamu sudah makan?" tanyaku lagi. Kulihat tubuhnya sangat lemas. Arina menggeleng pelan.

"Belum makan dari pagi?" tanyaku lagi dengan gugup.

Lagi-lagi dia mengangguk.

"Kok bisa, Rin? Perasaan tadi pagi kamu belum sakit. Masih berusaha menyiapkan baju dan roti panggangku" 

Dia kembali terdiam. Apa sebenarnya dia memang sudah sakit sejak pagi atau bahkan dari kemarin, namun aku tak menyadari?

"Memangnya ibu ke mana, Rin?" 

Lagi-lagi dia menggeleng. Seperti biasanya dia pasti tak ingin banyak bicara. Memilih memendam semua rasa sendirian.

"Kamu tunggu di sini dulu, biar aku ambilkan makanan untukmu, ya? Habis itu kita ke dokter," ucapku lagi. Arin hanya memandangku tanpa mengucap sepatah kata. 

Buru-buru kumelangkah ke dapur, membuka meja makan. Tak ada apa-apa. Kalau Arin demam begitu harusnya ibu menggantikannya memasak, kan? Tapi kenapa tak ada makanan apa pun di atas meja bahkan sampai Arin kelaparan begitu? Kemana ibu sebenarnya? 

Saat aku ingin menggoreng telur, terdengar suara berisik dari luar rumah. Sepertinya ibu baru datang. Dia berjalan beriringan dengan Bu Salamah dengan menenteng tas belanja. 

"Fer! Feri? Kamu kok sudah pulang jam segini?" tanya ibu setengah berteriak saking kagetnya. 

"Kamu mau ngapain ke dapur segala? Arin mana? Kenapa dia nggak membuatkanmu kopi?" tanya ibu lagi.

"Ibu darimana? Belanja?" tanyaku singkat.

"Iya ibu belanja gamis sama Bu Salamah buat kondangan minggu depan." 

"Di saat Arina sakit, bahkan tak ada makanan apa pun yang masuk ke perutnya hingga sesiang ini, ibu justru asyik shopping?" 

"Maksudmu apa sih, Fer? Akhir-akhir ini istrimu itu emang betah di kamar. Nggak tahu ngapain, sibuk banget sama ponselnya. Mana ibu tahu kalau dia sakit," jawab ibu ketus. Kulihat dia mulai emosi. 

"Arina sakit, Bu. Dia demam tinggi, perutnya belum terisi sejak pagi. Dan ibu baru pulang sesiang ini?" tanyaku lagi. Bu Salamah berbisik ke arah ibu lalu pamit pergi, mungkin tak enak hati karena mendengar percekcokanku dengan ibu. 

"Manja banget istrimu itu. Biasanya dia juga sudah masak dan makan kenyang jam segini. Kenapa pas kamu pulang siang, dia berlagak nggak makan dari pagi? Dia sengaja begitu biar ibu terlihat dzalim, kan?" tuduh ibu sembari menaruh tas belanjanya dengan kasar ke atas sofa.

"Arin nggak tahu Feri pulang awal, Bu. Dia juga kaget kenapa jam segini Feri sudah pulang. Dan yang membuat Feri lebih kaget lagi, kenapa ibu justru meninggalkannya tanpa pamit, seolah membiarkan Arin sakit sendirian? Apa selama ini ibu terbiasa begini?" 

Ibu menoleh cepat sembari melotot lebar. 

"Kamu kemakan omongan istrimu, Fer? Apa dia juga terbiasa menjelekkan ibu di depanmu?" Ibu berkacak pinggang tak terima. Semua bisa runyam jika aku meladeni ibu. Biar lah aku yang mengalah. Lebih baik segera membawa Arina ke rumah sakit daripada terus berdebat dengan ibu yang tak pernah mau introspeksi atas sikapnya selama ini. 

*** 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 4

    Tahun Berganti"Ibu dan Feri kecelakaan, Rin. Sekarang mereka masih di Rumah Sakit Husada Keluarga. Kamu dan Bian bisa ke sini sekarang, kan? Aku tak tahu apa yang harus kulakukan detik ini. Tulang-tulang dalam tubuhku rasanya lolos begitu saja."Suara Mbak Vina di tengah isaknya detik ini membuatku shock dan luruh ke lantai begitu saja. Secangkir kopi yang belum sedikitpun kusesap jatuh berceceran, tercipta kepingan-kepingan kecil yang tajam.Pasca Bian wisuda, sengaja kuajak dia berlibur ke Jogja. Kupikir libur bersama kali ini bisa membuat keluarga kecilku semakin hangat dan bahagia, bisa saling berbagi cerita satu sama lain setelah sekian lama tak bersua dan bersama. Namun ternyata impianku tak sesuai kenyataan yang ada. Semua harapan itu pun luluh lantah tak bersisa. Kulihat Bian berlari kecil ke arahku yang masih tertunduk lesu di samping meja makan. Kembali mendengarkan cerita Mbak Vina yang penuh jeda karena dia juga tak kuasa menahan rasa sesak dalam dadanya."Ibu dan Feri gi

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 3

    Rumah produksi aneka fashion berdiri di depan mata. Mas Feri memberikan nama yang cukup unik untuknya. Perpaduan namanya dengan namaku. Iya, Ferina Fashion. Konveksi rumahan yang ternyata sudah berjalan nyaris enam bulan lamanya. Mas Feri merintis usaha ini saat kami masih sama-sama di Jogja. Tak kusangka dia merencanakan kepindahan ini dengan cukup matang. Lagi-lagi aku tercengang saat dia memintaku masuk ke sebuah ruangan khusus. Ruangan yang sangat nyaman dengan fasilitasnya yang lengkap. Seolah bukan kantor melainkan tempat istirahat yang menenangkan dan tempat mencari inspirasi yang mengasyikkan. "Kamu mungkin sudah melupakan mimpi ini, Dek. Mimpi untuk memiliki ruangan tersendiri dan kembali melatih jari-jarimu untuk berkreasi," ucap Mas Feri setelah memintaku duduk di sofa samping jendela. Ada taman kecil di luar jendela yang bisa kunikmati keindahannya. "Mimpi apa, Mas? Aku sudah tak memiliki mimpi apa-apa karena bagiku semua mimpi itu telah terwujud. Aku sangat menikma

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 2

    Hari ini aku dan Mas Feri akan menghadiri acara perpisahan kelulusan Bian. Setelah melewati serangkaian ujian, akhirnya surat tanda lulus pun bisa digenggam. Raut bahagia tampak begitu jelas di wajahnya yang tampan. Berulang kali mengucapkan syukur atas karuniaNya, berulang kali pula dia mengucapkan terima kasih padaku karena sudah mendoakan dan memberikan support terbaik untuknya. Bian adalah anakku yang pintar. Dia mendapatkan peringkat pertama dalam kelulusan ini. Bukan itu saja yang membuatku bangga, tapi sikap dan unggah-ungguhnya selama ini pun membuatku begitu bersyukur memilikinya. Dia tak neko-neko, sederhana, taat pada agama dan cukup selektif memilih teman bergaul dan tak sembarangan hingga membuat pergaulannya terjaga. Dia bisa memilah mana yang terbaik untuknya dan mana yang hanya menciptakan dampak negatif untuk kehidupannya. "Aku juara bukan semata-mata karena usaha kerasku, tapi karena mama yang tak pernah lupa mendoakanku di setiap sujudnya. Mama adalah wanit

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   Extra Part 1

    ~14 tahun Kemudian ~Waktu terus bergulir. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan pun berganti tahun. Tak terasa tahun demi tahun telah terlewati, mengurangi jatah usia yang telah ditetapkanNya. Setiap detik, aku selalu mensyukuri apapun yang DIA karuniakan untuk hidupku. Aku yakin, takdirNya akan selalu indah.Masa-masa suram itu terlewati dengan sempurna juga berkat karuniaNya. DIA tak akan pernah meninggalkanku begitu saja setelah deretan ujian yang dijatuhkan ke pundakku. DIA tetap akan membantu dan menarikku dari lubang duka itu untuk kembali menemukan kata bahagia.Seperti inilah sekarang, setelah berhasil melewati segala ujianNya, kini aku mendapatkan hadiah spesial dariNya. Aku memiliki keluarga kecil yang bahagia. Suami, anak dan keluarga yang penuh kasih dan cinta adalah salah satu anugerah terbesar yang kupunya dan aku begitu mensyukurinya.Arbian Bagaskara. Anak lelakiku itu tumbuh menjadi anak yang tampan, penyayang dan periang. Dia adalah malaikat kecil kami

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   67 Spesial

    Luka dan bahagia silih berganti. Ada banyak sekali ujianNya yang terlewati. Bermacam caraNya untuk menguji setiap hamba agar mereka semakin teguh dalam Iman dan taqwa. Tak terkecuali hidupku dan Mas Feri. Beginilah hidup di dunia, seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang pula di atas. Tangis, sedih, luka dan bahagia silih berganti sebagai pertanda kita naik tangga. Setiap ujian yang dia berikan, anggap saja sebagai tangga untuk memperkokoh Iman. Tak pernah ada kata sia-sia di setiap tetes perjuangan. Tak pernah ada kata percuma di setiap pengorbanan. Semua alur yang kita lalui itu adalah bagian dari ketetapanNya, bukan sebuah ketidak sengajaan semata. Karena setiap daun yang jatuh pun atas kehendakNya. Begitu pula sakit yang dialami Mas Feri, aku yakin memang semua sudah menjadi ujianNya. Ujian agar aku dan dia lebih mengerti apa arti kesabaran, perjuangan dan pengorbanan. Ada banyak hal yang kami dapatkan setelah sakit itu, rasa sayang yang semakin bertambah, rasa cin

  • KUKEMBALIKAN GAJI SUAMI PADA IBUNYA   66 Penyesalan

    Saat masih asyik ngobrol panjang lebar, terdengar salam dari luar. Mbak Vina pun izin untuk melihat siapa yang datang. Sepertinya suara Bang Sony. Dia duduk di ruang tamu bersama Mbak Vina, sementara Fano dan Fian sudah ke sana karena panggilan mamanya. "Mau apalagi kamu ke sini, Bang?" Kudengar pertanyaan keluar dari bibir Mbak Vina. Aku tahu, Mbak Vina memang belum sepenuhnya ikhlas dengan pengkhianatan Bang Sony selama ini. Wajar saja, tak mudah bagi seorang istri untuk melupakan pengkhianatan suaminya sendiri. "Maafkan aku, Vin. Maafkan aku sudah mengkhianati cinta dan rumah tangga kita," balas Bang Sony sedikit gugup. Dia menundukkan kepala, seolah tak berani menatap sorot mata Mbak Vina yang tajam."Sudah berulang kali kamu ngomong begitu. Aku capek dengarnya, Bang. Gara-gara kamu, nyawa Feri dan Fian terancam. Perempuanmu itu memang keterlaluan. Biar saja sekarang membusuk di penjara!" Ucap Mbak Vina ketus. Dia begitu geram saat tahu dalang yang membuat Fian dan Mas Feri ce

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status