Pagi sekali, Aditya sudah berada di kantor, berkutat dengan data yang harus segera diselesaikan. Sudah dua hari ini, ia meliburkan diri. Jangan sampai, ayahnya berubah pikiran karena dikira malas. Sesuai janji, harus selesai secepatnya sehingga Aditya bisa fokus dengan rencana pernikahannya.
"Kamu kemana aja, Dit? Kok sampe dua hari ngilang?" tegur Mita, rekan satu devisi dengannya.
"Aku sibuk mau lamar anak gadis orang," kekeh Aditya terus fokus.
Toni, teman samping meja kerja Aditya langsung melebarkan telinganya. Laki-laki kurus itu cukup terkejut sebab itu artinya, ada yang akan mengakhiri masa singel sedangkan dia masih bertahan dengan status jomblo.
"Iiih seriusan kamu, Dit?!"
"Tapi ditolak! Hahahaha!" timpal Aditya terus mengetik.
Mita dan Toni ikut tertawa. Tiba-tiba, gadis berambut lurus sebahu dengan tubuh semampai meng
"Terimakasih atas sambutannya, Pak Nyoman. Anda sudah banyak membantu," ujar Aditya sedikit membungkuk untuk menghormatinya. Selama ini, dialah yang menghendel tugas ayah Aditya. Kerjanya bagus dan orangnya tegas. Sekarang Aditya berdiri tegak lalu melihat seluruh penghuni ruangan itu satu-satu. Tak ada yang berani mengangkat wajah. Jangan tanya bagaimana Belinda. Nampaknya, gadis itu sebentar lagi akan pingsan. Lihat saja, ia sedang berpegang pada ujung meja di sampingnya. Belinda hanya menunduk. Jelas terlihat, tangannya yang mulus itu sedang gemetar. Gatal juga tangan Aditya, ingin menyediakan kursi karena takut Belinda akan ambruk. 'Gimana Bel?! Masih bernafas kamu?!' batin Aditya tersenyum puas. "Sebelumnya, aku minta maaf karena tak jujur pada kalian. Aku hanya ingin mengenal perusahaanku lebih dalam. Aku juga ingin mengetahui setiap karakter kalian secara langsung. Semua takkan murni jika kalian tahu siapa aku. Kalian begitu luar biasa. Tanpa kerja keras kalian, perusahaan
Belinda mendekati kursi Aditya, mencoba meraih tangan pemuda itu. Aditya langsung menepisnya."Tolong, jangan sentuh aku, Bel! Kita tak selevel!""Adit! Segitunya kamu!""Looh ... kamu sendiri yang bilang kok. Beberapa kali dan yang terbaru, sekitar tiga jam yang lalu, di depan semua orang! Di kantorku!"Tubuh Belinda sempurna luruh di dekat kaki Aditya. Tangannya mencoba meraih betis pemuda di depannya. Aditya semakin muak. Kenapa sampai segitunya dia merendahkan diri? Setelah dia tahu siapa laki-laki yang ditolaknya. Aditya makin tak sudi."Bangun. Aku tak suka caramu ini," tegur Aditya memalingkan wajah."Please, Dit. Maafin!"Belinda memaksa."Terus, kalau aku sudah maafin kamu. Mau apa?!""Kita akan memperbaikinya," ujarnya seolah tanpa beban. Enak sekali dia berujar.&
"Uhuuk! Uhuuuk!!" Aditya sampai terbatuk-batuk.Ia sadar, wanita yang sudah menyiramnya sudah berlari jauh. Pemuda itu meludah dengan cepat. Nafasnya memburu."WOooi! Berhenti!!! Ooooi!!!"Aditya meludah berkali-kali sembari kakinya melangkah berlari. Dareen langsung melompat dengan cepat menahan kakaknya. Pemuda itu menarik bahu Aditya."Jangan dikejar, Bang! Dia hanya perempuan yang agak sedeng dikit.""Huuuftt!!!" Aditya mendengkuskan air yang terkumpul di hidungnya."Kenal di mana kamu a?! Iiishh!" Aditya berkali-kali memencet hidungnya dan menggoyang-goyangkan kepalanya. Ia pun mencongkel telinganya lalu berpose miring, berharap tak ada air yang terperangkap."Gak kenal juga, Bang! Udah ah! Masuk sana. Aku mau habisin kopiku dulu," ujar Dareen santai.
Aditya CEO calling ..."Mas Adit nelpon, Ma!" pekik Dahlia."Loh diangkat dong!" timpal Marni gemas karena anaknya menghindar.Kapan lagi ada pemuda kaya yang mau sama anaknya. Marni tak mau tinggal diam.Dahlia mundur seperti ketakutan. Ia memegang kepalanya. Rambutnya masih terurai indah. Gadis itu segera berlari ke kamarnya meraih kerudungnya."Dahlia! Cepetan! Jangan buat calon suamimu menunggu, Nak!" omel Marni tak sabaran. Ia memperbaiki kerudung anaknya dan memastikan, wajah Dahlia tidak ada lumpur seperti tadi."Aku izin bicara di kamar, ya Bu!" seru Dahlia berlari membawa ponsel barunya ke dalam kamar. Sudah ada dua panggilan whatsapp vidio yang terlewatkan.Derrrrt ....Dengan jantung bertalu-talu, Dahlia menekan tombol hijau. Nampak wajah Aditya memenuhi ponsel itu.
"Ka-kamu jangan bo-bohongin Mama, Bel! Ja-jangan main-main kamu!" Yuni menopang tubuhnya dengan dua tangannya. Hampir saja ia jatuh ke lantai karena rasa terkejutnya yang luar biasa. Ia berharap, Belinda hanya sedang mengerjainya. "Sungguh, Ma! Hari ini aku hina dia di depan teman-teman kantor, rupanya hari ini Pak Nyoman, bossku membuat pengakuan! Serasa habis nafasku, Ma!" teriak Belinda menangis histeris. Kedua tangan Yuni menopang dadanya karena ia merasa jantungnya tidak aman. Rasanya, udara di rumah itu berubah seperti duri yang terasa sakit saat dihirup. Yuni menggeleng-geleng. Sudah pucat basi wajah tuanya. "Ini Ma, buktinya!" Belinda mengeluarkan ponsel dan membuka web kantornya. Ia menunjukkan pemangku jajaran jabatan di sana. Sempurna, posisi ke-dua di bawah foto Hadi Pratama, ada Aditya Dafa Pratama. Begitu cepat websitenya diperbaharui. Membeliak kedua bola mata Yuni seperti akan melompat keluar. Berkali-kali ia mengusap kelopak matanya yang berembun. "Eng-engg
Esok hari, pukul 11.00 siang.Tok!Tok!Belinda yang izin libur sehari karena kondisi kesehatan, agak terperanjat. Ia sedang menemani ibunya yang masih lemah tapi sudah sadar sepenuhnya."Siapa itu, Bel?" tanya Yuni sembari menikmati salad buah. Rasa manis asam hidangan itu membuatnya lebih segar dan relax."Gak tahu, Ma," jawab Belinda datar."Assalamu'alaikum!"Melebar mata Yuni dan Belinda."Suara cowok, Bel! Jangan-jangan Aditya! Cepet buka! Cepeeet!" seru Yuni tak sabaran.Ia memperbaiki sanggul rambutnya lalu merapikan pakaiannya. Ia tak ingin, Aditya melihatnya kusut. Pastilah pemuda itu tak bisa jauh dari anak gadisnya."Bel! Bel! Perbaiki rambutmu. Itu pasti Aditya!"Hampir mendekati pintu, Yuni menangkap pu
"Apa? Nomor hape?"Belinda gelagapan."Iya, Mbak. Pasti kalian punya dong. Kan dia kerja di sini," sahut Dareen santai."Tapi kan dia sudah dipecat! Gak ada! Sudah dihapus!" ketus Yuni membuang wajah.Pemuda yang mengikat rambutnya itu mengendik seperti pasrah. Ia melangkah keluar namun kembali membalikkan badan."Mbak Belinda!" serunya kembali, dengan senyum.Lagi-lagi Belinda terkesiap. Akalnya belum kembali sempurna."Terimakasih untuk teh tanpa gulanya," ujar Dareen dengan senyum tak lekang dari wajah. Dareen pun melenggang keluar dan menghilang bersama mobil mewahnya. Pemuda itu terus tersenyum manis sekali karena telah melewati peristiwa yang lucu baginya."Ada-ada saja. Akan kucoba cari lagi gadis itu. Aku yakin, rumahnya tak jauh dari sini," ujar Dareen sangat pelan me
"Ini uang Nadia. Dia akan berobat hingga sembuh!" seru Dahlia segera memungut uang-uang itu. Wajahnya panik luar biasa. Dengan cepat, Dahlia berhasil mengumpulkan kembali lembaran-lembaran uang itu."Serahkan tas itu!" perintah Tarno dengan wajah penuh nafsu memburu. Begitu haus ia melihat uang sebanyak tadi.Dahlia menggeleng keras."Berikan kataku!"Refleks Dahlia berlari ke dalam. Tarno mengejar anak gadisnya. Laki-laki itu berhasil meraih punggung baju Dahlia. Tangannya langsung mencoba merampas tas ransel itu."Tidak! Lepaskan, Pak! Ini untuk berobat Nadia!""Biarkan bayi cacat itu mati. Dia takkan bisa diobati. Cepat atau lambat, dia akan mati. Berikan uang itu, Dahlia! Jangan jadi anak durhaka kamu!"Dahlia menggeleng berkali-kali, berusaha mempertahankan tas miliknya. Tarno sudah tak sabaran. Ia langsung me