"Uhuuk! Uhuuuk!!" Aditya sampai terbatuk-batuk.
Aditya CEO calling ..."Mas Adit nelpon, Ma!" pekik Dahlia."Loh diangkat dong!" timpal Marni gemas karena anaknya menghindar.Kapan lagi ada pemuda kaya yang mau sama anaknya. Marni tak mau tinggal diam.Dahlia mundur seperti ketakutan. Ia memegang kepalanya. Rambutnya masih terurai indah. Gadis itu segera berlari ke kamarnya meraih kerudungnya."Dahlia! Cepetan! Jangan buat calon suamimu menunggu, Nak!" omel Marni tak sabaran. Ia memperbaiki kerudung anaknya dan memastikan, wajah Dahlia tidak ada lumpur seperti tadi."Aku izin bicara di kamar, ya Bu!" seru Dahlia berlari membawa ponsel barunya ke dalam kamar. Sudah ada dua panggilan whatsapp vidio yang terlewatkan.Derrrrt ....Dengan jantung bertalu-talu, Dahlia menekan tombol hijau. Nampak wajah Aditya memenuhi ponsel itu.
"Ka-kamu jangan bo-bohongin Mama, Bel! Ja-jangan main-main kamu!" Yuni menopang tubuhnya dengan dua tangannya. Hampir saja ia jatuh ke lantai karena rasa terkejutnya yang luar biasa. Ia berharap, Belinda hanya sedang mengerjainya. "Sungguh, Ma! Hari ini aku hina dia di depan teman-teman kantor, rupanya hari ini Pak Nyoman, bossku membuat pengakuan! Serasa habis nafasku, Ma!" teriak Belinda menangis histeris. Kedua tangan Yuni menopang dadanya karena ia merasa jantungnya tidak aman. Rasanya, udara di rumah itu berubah seperti duri yang terasa sakit saat dihirup. Yuni menggeleng-geleng. Sudah pucat basi wajah tuanya. "Ini Ma, buktinya!" Belinda mengeluarkan ponsel dan membuka web kantornya. Ia menunjukkan pemangku jajaran jabatan di sana. Sempurna, posisi ke-dua di bawah foto Hadi Pratama, ada Aditya Dafa Pratama. Begitu cepat websitenya diperbaharui. Membeliak kedua bola mata Yuni seperti akan melompat keluar. Berkali-kali ia mengusap kelopak matanya yang berembun. "Eng-engg
Esok hari, pukul 11.00 siang.Tok!Tok!Belinda yang izin libur sehari karena kondisi kesehatan, agak terperanjat. Ia sedang menemani ibunya yang masih lemah tapi sudah sadar sepenuhnya."Siapa itu, Bel?" tanya Yuni sembari menikmati salad buah. Rasa manis asam hidangan itu membuatnya lebih segar dan relax."Gak tahu, Ma," jawab Belinda datar."Assalamu'alaikum!"Melebar mata Yuni dan Belinda."Suara cowok, Bel! Jangan-jangan Aditya! Cepet buka! Cepeeet!" seru Yuni tak sabaran.Ia memperbaiki sanggul rambutnya lalu merapikan pakaiannya. Ia tak ingin, Aditya melihatnya kusut. Pastilah pemuda itu tak bisa jauh dari anak gadisnya."Bel! Bel! Perbaiki rambutmu. Itu pasti Aditya!"Hampir mendekati pintu, Yuni menangkap pu
"Apa? Nomor hape?"Belinda gelagapan."Iya, Mbak. Pasti kalian punya dong. Kan dia kerja di sini," sahut Dareen santai."Tapi kan dia sudah dipecat! Gak ada! Sudah dihapus!" ketus Yuni membuang wajah.Pemuda yang mengikat rambutnya itu mengendik seperti pasrah. Ia melangkah keluar namun kembali membalikkan badan."Mbak Belinda!" serunya kembali, dengan senyum.Lagi-lagi Belinda terkesiap. Akalnya belum kembali sempurna."Terimakasih untuk teh tanpa gulanya," ujar Dareen dengan senyum tak lekang dari wajah. Dareen pun melenggang keluar dan menghilang bersama mobil mewahnya. Pemuda itu terus tersenyum manis sekali karena telah melewati peristiwa yang lucu baginya."Ada-ada saja. Akan kucoba cari lagi gadis itu. Aku yakin, rumahnya tak jauh dari sini," ujar Dareen sangat pelan me
"Ini uang Nadia. Dia akan berobat hingga sembuh!" seru Dahlia segera memungut uang-uang itu. Wajahnya panik luar biasa. Dengan cepat, Dahlia berhasil mengumpulkan kembali lembaran-lembaran uang itu."Serahkan tas itu!" perintah Tarno dengan wajah penuh nafsu memburu. Begitu haus ia melihat uang sebanyak tadi.Dahlia menggeleng keras."Berikan kataku!"Refleks Dahlia berlari ke dalam. Tarno mengejar anak gadisnya. Laki-laki itu berhasil meraih punggung baju Dahlia. Tangannya langsung mencoba merampas tas ransel itu."Tidak! Lepaskan, Pak! Ini untuk berobat Nadia!""Biarkan bayi cacat itu mati. Dia takkan bisa diobati. Cepat atau lambat, dia akan mati. Berikan uang itu, Dahlia! Jangan jadi anak durhaka kamu!"Dahlia menggeleng berkali-kali, berusaha mempertahankan tas miliknya. Tarno sudah tak sabaran. Ia langsung me
Aditya melangkah cepat, mendekati adiknya. "Kamu di sini ngapain?" "Terus Abang, ngapain itu?!" timpal Dareen tak kalah bingungnya. Aditya pun kaget seperti habis melihat hantu. Merupakan hal yang sangat mengejutkan, melihat Dareen berada rumah di kampung ini. Ia tahu betul, selera adiknya jauh lebih tinggi dari dia. Dareen tak pernah hidup sulit sedangkan dia dulu, sempat hidup serba kekurangan ketika masih menemani ayahnya merintis usaha. "Panjang ceritanya. Nanti Abang ceritakan. Sekarang kamu jawab pertanyaan Abang!" Aditya tak sabaran. "Abang mencurigakan," ujar Dareen memincingkan matanya seperti mengintimidasi. "Yang sopan sama Abangmu. Sekarang jawab, kamu mau ngapain ke sini?!" Suara Aditya agak meninggi. Ia selalu berhasil membuat adiknya itu menciut. Tak heran, sebab Aditya sering memberikan Dareen uang belanja secara diam-diam. Itu di luar pengetahuan ayah dan ibu mereka. "Hmmm ... mau balikin gelang ini sama cewek itu, Bang," ujar Dareen pelan. Aditya mer
"Nadia sakit Hidrosefalus namanya. Itu karena adanya ketidakseimbangan antara produksi dan penyerapan cairan di dalam otak. Akibatnya, cairan di dalam otak terlalu banyak dan membuat tekanan dalam kepala meningkat." Aditya mengangguk-angguk fokus mendengarkan. "Itu kira-kira kenapa ya? Kasihan banget. Masih bayi gitu." Aditya melirik sepintas pada Nadia yang di dalam gendongan. "Karena kondisinya sejak baru dilahirkan, besar kemungkinan karena adanya infeksi saat hamil," jawab Dahlia mengingat-ingat ucapan dokter. Tangan Aditya mengetuk-ngetuk stir berpikir. Lagi, dia menoleh pada Nadia. Ia menatap bayi itu beberapa detik lalu kembali fokus menyetir. "Terus langkah pengobatannya gimana?" "Hanya ada satu jalan, dengan operasi, agar kadar cairan di otaknya seimbang." Aditya terdiam sejenak. Ada rasa iba dalam dirinya pada Nadia bayi yang sedang berjuang hidup. "Terus gimana!? Dokter bilang apa?!" "Operasi apa mungkin namanya. Ntar ada selang khusus yang di dalam kepala gitu
"Sa-saya izin ke toilet, Pak!" ujar Belinda menaikan sedikit tangannya menatap ke arah Pak Nyoman berdiri. Tanpa menunggu respon atasannya, Belinda langsung keluar dari ruangan itu.Berkali-kali Belinda mencoba mengeluarkan isi perutnya karena merasa sangat mual. Rasa kaget membuat perutnya tak nyaman. Di dalam hatinya ada amarah yang luar biasa hingga ia tak sanggup lagi menahan."Ini gila! Serius, ini benar-benar gila! Bagaimana babu itu selalu merebut apa yang aku sukai?! Bahkan sejak SD, guru lebih banyak memperhatikan dia daripada aku. Padahal dia perempuan miskin! Aku benci wanita itu sampai ubun-ubunku!""Huwwwweeek!"Belinda mengusap mulutnya. Sekali lagi, ia mencoba mengeluarkan isi perutnya namun tidak mampu. Tak ada muntahan tapi rasa ingin muntah seperti terus mengaduk-aduk perutnya."Gak mungkin! Aku gak terima. Aditya dan Dareen, dua cowok kaya, penguasa