Rania menarik tangannya dari genggaman Arbi, “Mas? Kenapa? Ada yang ketinggalan ya?” ia menghampiri Alfi yang enggan masuk ke dalam dapur.
“Dompet aku.” air muka Alfi menahan marah. Rania mengedarkan matanya ke sekeliling, “Ah, ini dia.” Ia membawa dompet itu dan memberikannya pada Alfi, “Ini, mas. Ada yang ketinggalan lagi gak?” Alfi menggeleng. “Fi, kakak kesini bawa ganti vas bunga dan mainan Satria yang dirusakkin Agil. Belum semua sih.” “Aku berangkat, sayang.” Alfi mencium kening dan pipi Rania tanpa menoleh pada Arbi. Seperginya Alfi, keadaan sedikit menjadi canggung. Rania bisa paham kenapa Alfi bisa marah pada kakaknya. Mungkin ia pun akan begitu jika Sani melakukan itu pada suaminya. Untungnya Satria turun tangga. Ia menggendong tas ransel yang berisi baju ganti dan mainan kesayangannya, “Om Arbi?” “Hai, jagoan kecil om.” Satria salim lalu memeluk tubuh Arbi, “Om mau nginep lagi ya disini?” “Enggak, om cuma mau kasih ganti vas bunga punya mama sama robot punya Satria yang dirusakkin kak Agil.” Arbi meraih paper bag yang tadi ditaruh di atas meja makan. “Gak papa, om, mainannya nanti aja. Om anterin aja aku sama mama ke rumah sakit.” Arbi melirik Rania, “Kamu sakit, Ran?” Rania menggeleng buru-buru, “Aku mau check up aja kok, kak.” ‘Oh, iya.” “Yuk, om, anterin, kasian mama kalo naek taksi.” “Boleh, om sekalian ke kantor ya.” “Kak, gak perlu kok. Aku sama Satria naek taksi aja.” “Gak papa, Ran, sekalian. Kamu siap-siap gih.” Rania mengangguk. Ia segera ke kamar untuk bersiap. Ia tidak tega harus membuat Satria kembali kecewa jika menolak ajakan Arbi. Ia tahu bagaimana anaknya begitu menyukai iparnya itu. Mobil berhenti didepan gedung rumah sakit. Arbi yang berniat mengantarkan sampai lobi dilarang Rania. “Kak, makasih ya udah nganterin kesini.” “Sama-sama, Ran.” “Oyah, aku minta tolong anterin Satria ke Day Care. Aku udah kabarin penjaga disana kok.” Arbi mengangguk. Rania menoleh ke belakang, “Sayang, mama tinggal dulu ya. Nanti begitu urusan mama selesai, mama jemput ke Day Care.” “Oke.” Rania mencium kedua pipi Satria gemas, “Dadah.” “Dadah, mama. Semoga adek bayi sehat terus ya.” "Iya, sayang." Rania keluar dari mobil. Ia segera menyusuri gedung rumah sakit setelah mobil Arbi menghilang beradu dengan kendaraan lain. Ia sudah membuat janji temu dengan Fira, berharap sebelum jam praktiknya tiba, mereka masih memiliki waktu untuk berbincang. Sebelum masuk ke dalam ruangannya, Rania bertemu Fira yang baru kembali setelah membeli kopi. “Rani, apa kabar?” Fira mencium pipi kanan-kiri Rania. “Baik, Fir, kamu gimana?” “Baik juga. Masuk yuk.” Rania berjalan membuntut dibelakang tubuh Fira. Sudah lama ia tidak kesini. Terakhir ketika Satria masih balita karena ia lelah menghadapi Toilete Training yang dirasa lambat. “Ada apa?” tembak Fira sekaligus. “Kamu tuh, baru juga duduk.” Fira tertawa, “Waktu lo bilang mau ketemu gue disini, gue langsung mikir lo mau ngobrol serius.” Tebakan yang hebat. Fira jelas tahu kebiasannya. Jika hanya ingin berbincang santai mereka biasanya bertemu di kafe. “Aku cuma mau tanya-tanya soal kasus suami-istri yang... suaminya ternyata punya penyimpangan, Fir.” “Penyimpangan apa? Sosial atau... seksual?” Rania menatap Fira tidak nyaman. Entah keputusannya untuk membicarakan ini dengan sahabatnya sekaligus Psikolog adalah keputusan yang tepat. “Ran?’ “Seksual, Fir.” “Siapa emang yang suaminya ternyata punya penyimpangan seksual?” “Ehm... tetangga aku. Dia cerita katanya curiga suaminya... Homo.” “Oyah? Kenapa bisa curiga? Ada kecenderungan apa emangnya?” “Dia pernah liat foto-foto suaminya lagi tidur sama cowok lain.” Fira diam sejenak, “Sekarang ‘kan zaman AI. Bisa aja itu editan.” Rania menahan nafasnya, “Bisa ya kayak gitu?” “Iya lah. Sekarang tuh zaman udah gila, Ran, jangan terlalu percaya sama foto-foto.” Rania duduk menyender. Ucapan Fira bisa dibilang membuatnya sedikit tenang. Roland mungkin kesal pada Alfi karena mereka bertengkar dan menyebarkan berita bohong itu padanya agar ia membenci suaminya? Itu bisa terjadi ‘kan? “Tapi cowok Homoseksual punya polanya.” Rania duduk tegap menatap Fira, “Polanya gimana, Fir?” “Biasanya dia akan menikah untuk menutupi penyimpangannya, dia lembut, baik, bertanggung jawab, seolah dia emang suami yang baik. Tapi dibalik itu semua, ya itu cuma kamuflase aja buat nutupin penyakitnya.” “Terus ada lagi gak?” “Sering kontak mata dengan cowok lagi, contohnya. Ya lo pasti bisa bedain lah, terus biasanya dia sangat memperhatikan penampilannya banget. Rapi, necis, clean dan wangi.” “Tapi ‘kan ciri yang pakaian rapi dan wangi bisa di alami cowok normal, Fir.” “Iya. Emang gak gampang buat mengidentifikasi mereka Homoseksual, Ran. Makannya tadi gue banyak tanya, karena untuk mengatakan dia kena penyimpangan harus melalui proses panjang. Lo pernah denger ‘kan dulu waktu kuliah ada yang namanya Skala Kinsey? Nah, kita bisa tahu lewat sana. Kita juga bisa lakuin wawancara mendalam, atau tes Rorschach.” “Semua ‘kan harus sesuai mau dan kesadaran klien.” “Ya iya lah.” “Selain tiga cara itu gak ada cari lain ya, Fir?” “Ada. Satu cara yang paling penting. Dia mau ngaku sendiri kalau dia emang Homo.” Rania membuang nafas lesu. Dengan cara itu mana mungkin Alfi akan mengakui kalau dirinya Gay ‘kan?“Kamu kuat gak jalannya? Mau aku pinjemin kursi roda aja?” Rania menggeleng, “Aku kuat ko, mas. Aku ‘kan kuat kayak Satria.” Arbi tertawa, “Satria paling kuat sedunia, disusul kamu, disusul sama calon adik Satria.” Ia mengelus perut yang sudah mulai membesar itu. Rania tersenyum, “Satria mana ya, mas? Kok lama banget.” “Aku susul deh, kamu duduk dulu.” “Ya udah, aku tunggu disini.” Sesaat sebelum Arbi membantu Rania duduk dikursi tunggu lobi rumah sakit, sepasang kaki yang berhenti didepan mereka. Rania dan Arbi sontak mendongak menatap siapa pemilik sepatu yang mereka kenal baik. Senyuman itu tidak berubah. Rania melihatnya senang. Kedua matanya mendadak panas, “Mas Alfi?” “Rania, apa kabar?” Bukan jawaban yang Rania berikan, tapi sebuah tangisan yang sudah lama ia pendam. Seluruh hatinya dipenuhi rindu untuk kekasih lamanya yang baru terlihat lagi. Arbi menelisik wajah istrinya. Ia takut sekali hatinya kembali memihak Alfi seperti dulu. “Mama, papa, maaf ya ak
Enam bulan kemudian... PRANG! “Rania?” Fira yang baru sampai dan berniat akan mengantarkan Rania ke kampus karena ia juga ada urusan disana, menutup pintu mobil dengan kencang dan berlari menerobos rumah yang pintunya tertutup rapat. Ia berlari mencari sumber suara dimana mungkin Rania sedang membutuhkan bantuannya, “Ran? Ran, lo dimana?” “Fir, tolong.” Fira mendengar suara itu dibelakang rumah. Ia menemukan setumpuk piring pecah dan aliran darah dari bagian bawah sahabatnya, “Ran?” “Fir, aku—aku gak kuat. Ini sakit banget.” “Ya ampun, Ran, sini kita ke mobil pelan-pelan ya.” Di depan ruang Ponek, nafas Fira naik turun menunggu hasil pemeriksaan dokter. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar. Ia mengingat dengan jelas rumah sangat berantakkan tadi. Barang berterbangan, dan ada noda merah dibeberapa bagian sofa. Rania juga hanya sendiri di rumah. Seharusnya ada Arbi disana. Kemana ya dia? Satria jelas sedang sekolah. Tunggu, apakah Satria baik-baik saja? “Dengan wa
Rania dan Arbi berkeliling mendatangi tamu. Acara akad dan resepsi berjalan lancar tanpa kendala. Acara yang disiapkan Fira begitu sempurna. Ia berharap sahabatnya itu akan segera menyusul menikah. Rania tak menemukan orang yang sedari tadi dicarinya. Dari pihak keluarga suaminya, ia tidak melihat Alfi. “Sayang, kamu capek ya?” “Hm?” “Kamu agak pucet. Kamu gak enak badan ya?” “Enggak kok, mas.” “Kamu duduk aja, nanti aku nyusul.” “Gak papa, mas.” Arbi mencolek hidung Rania, “Nanti malem kamu harus bugar loh. Jadi sekarang jangan terlalu capek. Gih, duduk dulu. Aku keliling sebentar. Ada beberapa temen yang baru dateng.” Rania mengangguk, “Aku duduk ya, mas.” Rania berjalan dengan langkah pelan menuju pelaminan. Ia berharap Alfi datang agar bisa melihat kondisi terbarunya. Ia ingin tahu apakah mantan suaminya itu sehat. Fira yang sedang berbincang dengan teman-teman kuliah melihat Rania duduk lemas. Ia menghampirinya, “Ran, lo haus? Gue ambilin minum ya?” Ra
Papa dan mama sedang bicara santai di ayunan belakang rumah. Rania yang haus tengah malam, tidak sengaja diam lebih lama mendengar obrolan mereka di dapur. “Tabungan papa semakin tipis, ma. Kita harus bayar kuliah profesi Rian. Kita juga harus bayar uang pangkal SD nya Satria.” “Mama bisa kok jual semua perhiasan mama, pa.” “Jangan, ma. Kehidupan kita masih panjang.” “Ya terus papa mau apa? Papa gak mungkin kerja lagi.” “Kita jual aja mobil pertama kita.” “Papa yakin? Papa sayang banget loh sama mobil itu.” “Demi Satria. Mana Rania juga mau kuliah profesi. Kemarin biayanya lumayan ‘kan pas disebutin? Kasian kalau dia harus mengubur mimpinya lagi.” Mama membuang nafas pelan, “Andai aja Rania mau terima Arbi langsung, dia pasti bahagia. Arbi bilang dia bersedia menanggung semua biaya kuliah Rania, bayar uang pangkal SD Satria juga. Sayang, Rania masih mikirin si Alfi.” “Ma, kasih aja Rania waktu.” “Mama cuma takut dia gak mau nikah lagi, pa. Apalagi dia gak mencintai
Empat bulan kemudian... Rania menyirami bunga di halaman rumah mama. Ia tertawa melihat Satria bermain lempar bola dengan Agil. Sudah empat bulan ia dan Satria tinggal disini. Kehidupannya setelah bercerai terjadi baik dan lancar. Mama memintanya bergabung mengikuti organisasi pemberdayaan perempuan yang baru bercerai. Disana terdapat banyak kegiatan sehingga hal tersebut cocok sekali untuknya. “Mama, aku capek.” “Aku juga capek, tante.” “Ya udah kita istirahat dulu ya. Kalian tunggu aja di teras, mama bawain dulu minuman seger buat kalian.” “Yeee!” Satria dan Agil berteriak kegirangan. Rania menaruh poci siram dipinggir dan berjalan menaiki tangga. “Mau kemana? Minumannya udah mbak bikinin.” “Makasih ya, mbak.” “Iya. Minuman dataaaang.” Satria dan Agil berlari untuk mengambil jus tomat itu. “Abisin jusnya, biar mainnya makin semangat.” “Makasih ya, tante.” “Sama-sama, Satria.” Mereka duduk bersama di teras rumah mama yang asri. Mama dan papa ikut keluar
Rania melirik ke belakang untuk melihat ekspresi semua keluarganya. Mama dan Fira mengangguk untuk ia mengatakan ada alasan selain KDRT itu sehingga ia menggugat cerai suaminya. “Saya ulangi, di berkas perkara gugatan saudari pada suami adalah karena adanya hal lain. Kami ingin mendengar langsung apa yang terjadi selain KDRT itu? Silakan.” Rania menutup matanya. Ia memegangi mikrofon dengan tangan bergetar. Di belakang, mama dan Fira saling berpegangan tangan, berharap Rania tak bodoh seperti biasanya demi menjaga harkat dan martabat calon mantan suaminya. “Alasan saya meminta cerai dari suami saya selain KDRT itu, karena rahasia suami saya yang terbongkar, yang mulia.” “Rahasia apa itu?” “Suami saya—” Roland yang sedari pagi sibuk mengelilingi semua tempat untuk menemukan Alfi, akhirnya menemukan tempat ini setelah berpikir keras buah dari informasi singkat dari petugas resepsionis rumah sakit. Kini ia berdiri sejajar dengan tempat duduk mama dan yang lain, “Mohon izin