Share

Bab 7 - Perhatian Kecil Arbi

Author: Rahmani Rima
last update Huling Na-update: 2024-08-26 21:21:45

“Jawab!” teriak Alfi kencang.

Rania menutup matanya takut.

“Jawab, Ran!”

Rania terperanjata kaget. Ia bangun dari ranjang menghindari amarah Alfi yang baru ia lihat selama enam tahun pernikahannya, “Mas,”

Alfi mundur. Ia baru menyadari suaranya begitu kencang.

“Mamaaaa.” Satria masuk ke dalam kamar menggenggam Burger yang masih tersisa. Ia mendekap mamanya ketakutan.

“Sayang, maaf.” Alfi memandang istrinya merasa bersalah.

Rania tak menjawab, ia memeluk tubuh mungil Satria erat dan membawanya keluar kamar.

Setelah berhasil keluar dari kamar utama, Rania membawa Burger digenggaman tangan Satria, “Sayang, makannya udah ya. Kamu gosok gigi, dan mama siapin buku bacaan kita malam ini.”

Satria mengangguk, “Iya, ma.”

Anak sulungnya itu berjalan memasuki kamar mandi. Terdengar suara kucuran air di westafel yang membuat Rania sedikit tenang karena Satria tidak menanyakan kenapa papanya bisa marah. Kini ia terduduk di tepian ranjang Satria menutup wajahnya.

“Besok aku harus ketemu Fira. Aku gak bisa tahan semuanya lagi.”

Setelah membacakan dongeng untuk Satria, Rania masih duduk disini. Ia menatap jalanan dari kaca jendela kamar Satria. Suara pekikkan Alfi tadi begitu membuatnya takut. Tidak pernah ia diteriakki seperti itu sebelumnya.

“Apa kamu juga suka teriak kayak tadi sama Roland?”

Rania membuang nafas pelan. Ia tak sabar segera pagi agar bisa bertemu Fira, sahabatnya yang menjadi Psikolog Klinis Dewasa disebuah Rumah Sakit.

Malam berlalu, Rania berusaha bersikap biasa pada Alfi didepan Satria. Mereka tengah sarapan bersama di meja makan.

“Tambah lagi, mas?” Rania menawari. Ia melirik piring suaminya nyaris kosong.

“Boleh, sayang.” Alfi mengangkat piring agar memudahkan Rania memberikan tambahan Nasi Goreng, “Makasih, sayang.”

“Satria tambah lagi?”

Satria menggeleng, “Ma, kita hari ini main yuk ke Time Zone.”

Rania diam sejenak, “Hmmm, mama mau ke rumah sakit, sayang.”

“Kamu kenapa?” tanya Alfi datar.

“Perutku beberapa hari ini agak kenceng, jadi... aku mau periksa.”

“Tapi aku masuk pagi, sayang.”

“Gak papa, aku bisa sendiri kok.”

“Terus aku gimana?”

Rania melirik Satria, “Hari ini Satria main di Day Care dulu, gak papa ya?”

“Yaaaah.” Satria cemberut kecewa.

Alfi mengusap kepala Satria lembut, “Hey, jangan gitu. Mama ke rumah sakit ‘kan mau periksa adek di dalem kandungan.”

“Tetep aja aku sedih.”

“Gini aja, dari pada kamu maen di Day Care, kamu maen sama om Roland aja mau gak?”

“Mauuuu!” teriak Satria kegirangan.

Rania melotot, “Enggak! Gak boleh!”

Alfi dan Satria melirik Rania.

“Ehm, maksud mama, sayang, om Roland ‘kan kerja, jangan diganggu ya. Udah kamu maen di Day Care aja. Nanti mama kasih hadiah coklat.” Rania mati-matian membuat Satria untuk tidak bermain dengan Roland. Mana mungkin ia membiarkan itu.

“Beneran? Oke deh, Satria mau.”

Rania membuang nafas lega. Untungnya dengan cepat ia bisa menemukan ide mengenai pemberian hadiah coklat untuk Satria.

“Oke, sekarang ambil mainan kamu seperlunya ya, di kamar.”

“Oke, ma.” Satria bangkit dari kursi makan dan berlari menaiki tangga.

Alfi menatap Rania yang sudah selesai makan, “Sayang, kenapa Satria gak boleh main sama Roland?”

“Mas, kasian Roland. Tiap kali mereka ketemu, Satria pasti aja bawa oleh-oleh mainan yang banyak.”

“Ya gak papa dong, Roland ‘kan om nya Satria.”

“Iya, aku ngerti Roland mau kasih banyak hadiah buat keponakannya. Tapi itu gak baik buat Satria, mas. Nanti setiap apa-apa diturutin, mau jadi apa gedenya?”

Alfi bergeming.

“Ya udah kamu berangkat gih, nanti telat lagi sampenya."

Alfi tak kunjung bangkit dari kursi, padahal Rania sudah membereskan piring dan gelas kotor. Ia malah terus melirik istrinya yang tampak dingin pagi ini, “Sayang, soal malem—”

“Iya, mas, gak papa. Tapi aku mohon untuk gak ngelakuin itu lagi, apalagi ada Satria. Dia malem takut banget loh sama kamu.”

Alfi bangkit dari kursi, ia mencium pucuk kepala istrinya, “Aku sayang kamu.”

Rania diam saja.

“Kamu gak sayang sama aku?”

Rania tersenyum kaku, “Aku juga sayang sama kamu. Gih, kamu berangkat.”

“Satria—”

“Udah gak papa. Gih.”

Karena sudah terlambat, Alfi langsung pergi.

Rania pun diam saja. Ia yang biasa mengantarkan Alfi ke depan kini lebih memilih untuk mengatur emosinya sebaik mungkin sebelum kembali berperang mencari tahu mengenai apapun tentang penyimpangan suaminya. Untungnya Alfi pun tidak bertanya kenapa ia tidak ikut ke depan.

Sebelum ke rumah sakit, ia menyiapkan buah potong untuk bekal Satria. Rania mengambil Apel dan memotongnya kecil-kecil.

Ting-Nong

“Siapa tamu yang dateng sepagi ini?” gumam Rania, “Masuk!” teriaknya kencang karena malas harus mengecek pintu.

Suara sepatu khas mendekati dapur. Rania menoleh, mengabaikan pisau yang terus memotong Apel, “Siapa?”

“Pagi, Ran, maaf ya ganggu pagi-pagi gini.” Arbi berdiri di ujung dapur.

“Iya gak—aw!” Rania refleks melempar pisau yang melukai jarinya.

“Ran!” Arbi berlari mendekati Rania, “Mana tangannya? Sini-sini kakak obatin.”

“Aw, perih.” Rania meringis kesakitan berusaha mengobati tangannya sendiri dengan menarik tisu dapur dan menutup jarinya yang tergores.

“Sakit banget ya?” Arbi membawa tangan Rania dan meniupnya. Ia menatap Rania super khawatir, “Lain kali hati-hati ya. Duh, ini lukanya agak lebar lagi.”

“Kak, gak papa, kok, barusan aku cuma kaget.”

Arbi tak mengindahkan ucapan Rania. Ia terus meniup luka itu, membuat Rania membatin kenapa iparnya ini begitu mengkhawatirkan dirinya, padahal hanya luka sekecil itu saja. Apa ia juga selalu seperti ini pada istrinya?

Suara pintu paviliun yang terbuka terdengar di dorong lebih lebar, “Sayang, dompet aku ketinggalan. Ada di dapur—”

Rania dan Arbi otomatis melirik ke arah ujung dapur.

Alfi yang hendak masuk ke dalam dapur berdiri terpaku melihat tangan istrinya digenggam Arbi, “Kalian—ngapain?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kau kebanyakan drama nyet. klu pun kau jadi psikolog pasti gagal.
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • KUMINTA CERAI KETIKA RAHASIA SUAMIKU TERBONGKAR    Bab 89 - Kehidupan Impian

    “Kamu kuat gak jalannya? Mau aku pinjemin kursi roda aja?” Rania menggeleng, “Aku kuat ko, mas. Aku ‘kan kuat kayak Satria.” Arbi tertawa, “Satria paling kuat sedunia, disusul kamu, disusul sama calon adik Satria.” Ia mengelus perut yang sudah mulai membesar itu. Rania tersenyum, “Satria mana ya, mas? Kok lama banget.” “Aku susul deh, kamu duduk dulu.” “Ya udah, aku tunggu disini.” Sesaat sebelum Arbi membantu Rania duduk dikursi tunggu lobi rumah sakit, sepasang kaki yang berhenti didepan mereka. Rania dan Arbi sontak mendongak menatap siapa pemilik sepatu yang mereka kenal baik. Senyuman itu tidak berubah. Rania melihatnya senang. Kedua matanya mendadak panas, “Mas Alfi?” “Rania, apa kabar?” Bukan jawaban yang Rania berikan, tapi sebuah tangisan yang sudah lama ia pendam. Seluruh hatinya dipenuhi rindu untuk kekasih lamanya yang baru terlihat lagi. Arbi menelisik wajah istrinya. Ia takut sekali hatinya kembali memihak Alfi seperti dulu. “Mama, papa, maaf ya ak

  • KUMINTA CERAI KETIKA RAHASIA SUAMIKU TERBONGKAR    Bab 88 - Kembali Kehilangan

    Enam bulan kemudian... PRANG! “Rania?” Fira yang baru sampai dan berniat akan mengantarkan Rania ke kampus karena ia juga ada urusan disana, menutup pintu mobil dengan kencang dan berlari menerobos rumah yang pintunya tertutup rapat. Ia berlari mencari sumber suara dimana mungkin Rania sedang membutuhkan bantuannya, “Ran? Ran, lo dimana?” “Fir, tolong.” Fira mendengar suara itu dibelakang rumah. Ia menemukan setumpuk piring pecah dan aliran darah dari bagian bawah sahabatnya, “Ran?” “Fir, aku—aku gak kuat. Ini sakit banget.” “Ya ampun, Ran, sini kita ke mobil pelan-pelan ya.” Di depan ruang Ponek, nafas Fira naik turun menunggu hasil pemeriksaan dokter. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar. Ia mengingat dengan jelas rumah sangat berantakkan tadi. Barang berterbangan, dan ada noda merah dibeberapa bagian sofa. Rania juga hanya sendiri di rumah. Seharusnya ada Arbi disana. Kemana ya dia? Satria jelas sedang sekolah. Tunggu, apakah Satria baik-baik saja? “Dengan wa

  • KUMINTA CERAI KETIKA RAHASIA SUAMIKU TERBONGKAR    Bab 87 - Menikah

    Rania dan Arbi berkeliling mendatangi tamu. Acara akad dan resepsi berjalan lancar tanpa kendala. Acara yang disiapkan Fira begitu sempurna. Ia berharap sahabatnya itu akan segera menyusul menikah. Rania tak menemukan orang yang sedari tadi dicarinya. Dari pihak keluarga suaminya, ia tidak melihat Alfi. “Sayang, kamu capek ya?” “Hm?” “Kamu agak pucet. Kamu gak enak badan ya?” “Enggak kok, mas.” “Kamu duduk aja, nanti aku nyusul.” “Gak papa, mas.” Arbi mencolek hidung Rania, “Nanti malem kamu harus bugar loh. Jadi sekarang jangan terlalu capek. Gih, duduk dulu. Aku keliling sebentar. Ada beberapa temen yang baru dateng.” Rania mengangguk, “Aku duduk ya, mas.” Rania berjalan dengan langkah pelan menuju pelaminan. Ia berharap Alfi datang agar bisa melihat kondisi terbarunya. Ia ingin tahu apakah mantan suaminya itu sehat. Fira yang sedang berbincang dengan teman-teman kuliah melihat Rania duduk lemas. Ia menghampirinya, “Ran, lo haus? Gue ambilin minum ya?” Ra

  • KUMINTA CERAI KETIKA RAHASIA SUAMIKU TERBONGKAR    Bab 86 - Menerima Cinta Arbi

    Papa dan mama sedang bicara santai di ayunan belakang rumah. Rania yang haus tengah malam, tidak sengaja diam lebih lama mendengar obrolan mereka di dapur. “Tabungan papa semakin tipis, ma. Kita harus bayar kuliah profesi Rian. Kita juga harus bayar uang pangkal SD nya Satria.” “Mama bisa kok jual semua perhiasan mama, pa.” “Jangan, ma. Kehidupan kita masih panjang.” “Ya terus papa mau apa? Papa gak mungkin kerja lagi.” “Kita jual aja mobil pertama kita.” “Papa yakin? Papa sayang banget loh sama mobil itu.” “Demi Satria. Mana Rania juga mau kuliah profesi. Kemarin biayanya lumayan ‘kan pas disebutin? Kasian kalau dia harus mengubur mimpinya lagi.” Mama membuang nafas pelan, “Andai aja Rania mau terima Arbi langsung, dia pasti bahagia. Arbi bilang dia bersedia menanggung semua biaya kuliah Rania, bayar uang pangkal SD Satria juga. Sayang, Rania masih mikirin si Alfi.” “Ma, kasih aja Rania waktu.” “Mama cuma takut dia gak mau nikah lagi, pa. Apalagi dia gak mencintai

  • KUMINTA CERAI KETIKA RAHASIA SUAMIKU TERBONGKAR    Bab 85 - Kehidupan Setelah Bercerai

    Empat bulan kemudian... Rania menyirami bunga di halaman rumah mama. Ia tertawa melihat Satria bermain lempar bola dengan Agil. Sudah empat bulan ia dan Satria tinggal disini. Kehidupannya setelah bercerai terjadi baik dan lancar. Mama memintanya bergabung mengikuti organisasi pemberdayaan perempuan yang baru bercerai. Disana terdapat banyak kegiatan sehingga hal tersebut cocok sekali untuknya. “Mama, aku capek.” “Aku juga capek, tante.” “Ya udah kita istirahat dulu ya. Kalian tunggu aja di teras, mama bawain dulu minuman seger buat kalian.” “Yeee!” Satria dan Agil berteriak kegirangan. Rania menaruh poci siram dipinggir dan berjalan menaiki tangga. “Mau kemana? Minumannya udah mbak bikinin.” “Makasih ya, mbak.” “Iya. Minuman dataaaang.” Satria dan Agil berlari untuk mengambil jus tomat itu. “Abisin jusnya, biar mainnya makin semangat.” “Makasih ya, tante.” “Sama-sama, Satria.” Mereka duduk bersama di teras rumah mama yang asri. Mama dan papa ikut keluar

  • KUMINTA CERAI KETIKA RAHASIA SUAMIKU TERBONGKAR    Bab 84 - Kehadiran Roland di Persidangan

    Rania melirik ke belakang untuk melihat ekspresi semua keluarganya. Mama dan Fira mengangguk untuk ia mengatakan ada alasan selain KDRT itu sehingga ia menggugat cerai suaminya. “Saya ulangi, di berkas perkara gugatan saudari pada suami adalah karena adanya hal lain. Kami ingin mendengar langsung apa yang terjadi selain KDRT itu? Silakan.” Rania menutup matanya. Ia memegangi mikrofon dengan tangan bergetar. Di belakang, mama dan Fira saling berpegangan tangan, berharap Rania tak bodoh seperti biasanya demi menjaga harkat dan martabat calon mantan suaminya. “Alasan saya meminta cerai dari suami saya selain KDRT itu, karena rahasia suami saya yang terbongkar, yang mulia.” “Rahasia apa itu?” “Suami saya—” Roland yang sedari pagi sibuk mengelilingi semua tempat untuk menemukan Alfi, akhirnya menemukan tempat ini setelah berpikir keras buah dari informasi singkat dari petugas resepsionis rumah sakit. Kini ia berdiri sejajar dengan tempat duduk mama dan yang lain, “Mohon izin

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status