- konten 100% aman - Rania yang tengah mengandung anak kedua begitu bingung saat mendapati kabar kalau suaminya, Alfi ternyata sudah melanggar prinsip hidup yang ia pegang selama ini. Dengan segenap keberanian, meski ia mencinta Alfi, ia mencoba menggugat cerai suaminya, “Tapi... aku salah apa, sayang?” tanya Alfi tergeragap. “Karena ada orang ketiga dalam pernikahan kita, mas.” jawab Rania setenang mungkin. “Si-siapa?” Rania yang mencintai Alfi berusaha menjaga harga diri suaminya dengan mengatakan ia mencintai Arbi, kakak Alfi. Ide gila itu terlintas begitu saja setelah sadar kakak iparnya itu selalu memperhatikannya, padahal ia juga sudah berkeluarga. Apakah Rania bisa keluar dari jeratan manis Alfi yang akan melakukan apapun untuk mempertahankan pernikahan mereka?
View More1 Pesan baru masuk
From Roland: Maaf kamu harus baca ini di pagi tahun baru, tapi aku dan Alfi sebenarnya adalah sepasang kekasih. Bagai diserang petir di siang bolong, Rania yang tengah berulang tahun hari itu justru mendapatkan hadiah tak terduga. Ia menutup mulutnya karena kehabisan kata. Air mata kemudian turun tanpa komando. Tidak ingin dilihat sedang menangis oleh suami dan anaknya, Rania pun memutuskan untuk lari ke kamar mandi dan menyalakan keran. Hancur sudah pertahanannya. Tubuhnya terduduk di lantai kamar mandi dengan luka hati menganga. Rania, wanita yang kini tengah hamil besar itu kini menepuk-nepuk dadanya yang sesak. Liburan yang dirancang suaminya dengan mengajak Rania ke Villa, kini berubah jadi liburan penuh air mata. Tok-Tok-Tok “Mama? Mama lagi ngapain di dalem?” suara kecil Satria membuat Rania menahan suara isak tangisnya. “Sssst, sayang, ‘kan papa udah bilang, mama mungkin lagi muntah karena adek bayi bete di dalem perut.” Alfi sudah pasti merayu dan berusaha menenangkan Satria seperti biasa. “Aku mau masuk nemenin mama.” “Iya, nanti ya, sekarang Satria nemenin papa ngambil minum, mau?” “Gak mau, maunya sama mama.” “Satria, hayo inget gak papa bilang apa? Kalo Satria mau adek, gak boleh apa?” “Gak boleh nakal.” Satria menjawab dengan lirih. “Pinter. Yuk, temenin papa ambil minum buat mama. Kamu ke dapur duluan ya.” “Oke, pa.” rerdengar langkah kecil Satria menjauh, anak lima tahun itu berlari menuju dapur. Sementara itu, Alfi masih berdiri di depan pintu kamar mandi, “Sayang, kamu baik-baik aja ‘kan di dalem?” suara penuh khawatirnya terdengar. Rania diam sejenak, “I-iya, mas, aku cuma pengen muntah lebih banyak.” “Oke, aku tinggal ya?” “Iya.” Alfi pergi menyusul Satria ke dapur. Untung saja, kehamilannya yang kedua ini memang kerap kali diwarnai rasa mual dan muntah. Sehingga, alasan Rania kali ini benar-benar bisa diterima sang suami. Rania mengusap wajahnya pelan lalu bersandar ke dinding tembok. Hatinya hancur berkeping-keping mendapatkan ucapan itu dari Roland. Meski tidak melampirkan bukti, entah hatinya meyakini hal ini adalah benar adanya. Ia mengingat dengan jelas, dulu, enam tahun lalu ketika ia tak sengaja bertemu Alfi di restoran tempat Alfi bekerja sebagai kepala koki. Mereka menjadi sering bertemu dan dekat. Tidak membutuhkan waktu lama, lelaki keturunan Turki itu membawanya menemui keluarganya untuk dikenalkan. Ekspresi ibu dan ayah benar-benar membuat Rania si calon menantu merasa senang. Mereka begitu bergembira menyambut kabar ini. Bahkan ia dipuji setinggi langit karena berhasil meluluhkan hati Alfi yang beku. Rania merasa menjadi perempuan paling beruntung, karena katanya selama 27 tahun hidupnya, hanya ia satu-satunya perempuan yang dikenalkan Alfi pada keluarganya. Kini Rania sedikit menyesal bisa bahagia tanpa curiga. Ia pikir suaminya itu memang belum menemukan perempuan yang cocok selama ini. Ternyata… ini alasannya. Bukan karena tidak ada perempuan yang cocok, melainkan Alfi memang merasa cocok hanya pada lelaki lainnya. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Rania membalas pesan Roland. To: Roland Aku mau kita atur pertemuan setelah aku pulang ke Jakarta. Bawa bukti supaya aku gak nuduh kamu mau menghancurkan rumah tangga aku. Terkirim. Rania menutup lagi wajahnya yang merah padam menahan marah. Tok-Tok-Tok “Mama buka pintunya.” Untungnya Rania sedikit lebih tenang setelah menumpahkan luapan emosinya dengan menangis. Ia bangkit dengan cepat. Sebelum keluar ia membasuh muka untuk menyamarkan wajahnya yang memerah. Perlahan, putaran kunci berputar, dan pintu terbuka lebar. Rania tersenyum menatap Satria yang tampak khawatir pada keadannya. “Mama.” Satria memeluk Rania erat. “Iya? Maaf ya mama lama di kamar mandinya.” Satria mendongakkan kepalanya, “Mama udah gak papa?” Rania tersenyum, “Udah gak papa. Papa mana?” “Papa lagi buatin minum buat mama biar gak muntah lagi.” Senyum Rania luntur. Alfi memang sering bergerak cepat membuatkannya minuman Madu Jahe jika ia sudah mual dan muntah. Melihat kesigapan Alfi sebagai seorang suami dan ayah, Rania jadi sedikit dilema. Apakah jika Roland bisa membuktikan ucapannya ia bisa menerimanya? Atau justru menolak dengan terus berpikir pada kebaikan dan kelembutan Alfi selama mereka menjalani biduk rumah tangga? “Sayang?” Alfi melenggang membawakan segelas ramuan pereda mual yang bekerja dengan baik pada tubuh istrinya, “Aku bawain ramuan cinta buat kamu dan adek Satria.” ‘Ramuan cinta?’ ujar batin Rania. Setelah membaca pesan Roland, ucapan yang biasanya mampu membuat pipinya merona kini terdengar menjijikkan. Namun, Rania terpaksa tersenyum. Ia menerima gelas itu dan meneguknya segera. Matanya terus terpaku pada wajah Alfi yang meneduhkan. Dari sisi mana pun, Alfi terlihat begitu mencintai keluarganya. Lelaki itu begitu mencintai Rania, juga Satria dan calon anak kedua mereka. Dalam hati, Rania sudah mengancam. Andai kata bukti-bukti mengatakan kebenaran, ia sudah akan bertekad memisahkan kedua anaknya dari sang papa. Namun, sedetik kemudian ia membatin lagi. Jika kedua anaknya bisa hidup tanpa papanya, lantas dirinya, apakah sanggup hidup tanpa suaminya itu?“Kamu kuat gak jalannya? Mau aku pinjemin kursi roda aja?” Rania menggeleng, “Aku kuat ko, mas. Aku ‘kan kuat kayak Satria.” Arbi tertawa, “Satria paling kuat sedunia, disusul kamu, disusul sama calon adik Satria.” Ia mengelus perut yang sudah mulai membesar itu. Rania tersenyum, “Satria mana ya, mas? Kok lama banget.” “Aku susul deh, kamu duduk dulu.” “Ya udah, aku tunggu disini.” Sesaat sebelum Arbi membantu Rania duduk dikursi tunggu lobi rumah sakit, sepasang kaki yang berhenti didepan mereka. Rania dan Arbi sontak mendongak menatap siapa pemilik sepatu yang mereka kenal baik. Senyuman itu tidak berubah. Rania melihatnya senang. Kedua matanya mendadak panas, “Mas Alfi?” “Rania, apa kabar?” Bukan jawaban yang Rania berikan, tapi sebuah tangisan yang sudah lama ia pendam. Seluruh hatinya dipenuhi rindu untuk kekasih lamanya yang baru terlihat lagi. Arbi menelisik wajah istrinya. Ia takut sekali hatinya kembali memihak Alfi seperti dulu. “Mama, papa, maaf ya ak
Enam bulan kemudian... PRANG! “Rania?” Fira yang baru sampai dan berniat akan mengantarkan Rania ke kampus karena ia juga ada urusan disana, menutup pintu mobil dengan kencang dan berlari menerobos rumah yang pintunya tertutup rapat. Ia berlari mencari sumber suara dimana mungkin Rania sedang membutuhkan bantuannya, “Ran? Ran, lo dimana?” “Fir, tolong.” Fira mendengar suara itu dibelakang rumah. Ia menemukan setumpuk piring pecah dan aliran darah dari bagian bawah sahabatnya, “Ran?” “Fir, aku—aku gak kuat. Ini sakit banget.” “Ya ampun, Ran, sini kita ke mobil pelan-pelan ya.” Di depan ruang Ponek, nafas Fira naik turun menunggu hasil pemeriksaan dokter. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar. Ia mengingat dengan jelas rumah sangat berantakkan tadi. Barang berterbangan, dan ada noda merah dibeberapa bagian sofa. Rania juga hanya sendiri di rumah. Seharusnya ada Arbi disana. Kemana ya dia? Satria jelas sedang sekolah. Tunggu, apakah Satria baik-baik saja? “Dengan wa
Rania dan Arbi berkeliling mendatangi tamu. Acara akad dan resepsi berjalan lancar tanpa kendala. Acara yang disiapkan Fira begitu sempurna. Ia berharap sahabatnya itu akan segera menyusul menikah. Rania tak menemukan orang yang sedari tadi dicarinya. Dari pihak keluarga suaminya, ia tidak melihat Alfi. “Sayang, kamu capek ya?” “Hm?” “Kamu agak pucet. Kamu gak enak badan ya?” “Enggak kok, mas.” “Kamu duduk aja, nanti aku nyusul.” “Gak papa, mas.” Arbi mencolek hidung Rania, “Nanti malem kamu harus bugar loh. Jadi sekarang jangan terlalu capek. Gih, duduk dulu. Aku keliling sebentar. Ada beberapa temen yang baru dateng.” Rania mengangguk, “Aku duduk ya, mas.” Rania berjalan dengan langkah pelan menuju pelaminan. Ia berharap Alfi datang agar bisa melihat kondisi terbarunya. Ia ingin tahu apakah mantan suaminya itu sehat. Fira yang sedang berbincang dengan teman-teman kuliah melihat Rania duduk lemas. Ia menghampirinya, “Ran, lo haus? Gue ambilin minum ya?” Ra
Papa dan mama sedang bicara santai di ayunan belakang rumah. Rania yang haus tengah malam, tidak sengaja diam lebih lama mendengar obrolan mereka di dapur. “Tabungan papa semakin tipis, ma. Kita harus bayar kuliah profesi Rian. Kita juga harus bayar uang pangkal SD nya Satria.” “Mama bisa kok jual semua perhiasan mama, pa.” “Jangan, ma. Kehidupan kita masih panjang.” “Ya terus papa mau apa? Papa gak mungkin kerja lagi.” “Kita jual aja mobil pertama kita.” “Papa yakin? Papa sayang banget loh sama mobil itu.” “Demi Satria. Mana Rania juga mau kuliah profesi. Kemarin biayanya lumayan ‘kan pas disebutin? Kasian kalau dia harus mengubur mimpinya lagi.” Mama membuang nafas pelan, “Andai aja Rania mau terima Arbi langsung, dia pasti bahagia. Arbi bilang dia bersedia menanggung semua biaya kuliah Rania, bayar uang pangkal SD Satria juga. Sayang, Rania masih mikirin si Alfi.” “Ma, kasih aja Rania waktu.” “Mama cuma takut dia gak mau nikah lagi, pa. Apalagi dia gak mencintai
Empat bulan kemudian... Rania menyirami bunga di halaman rumah mama. Ia tertawa melihat Satria bermain lempar bola dengan Agil. Sudah empat bulan ia dan Satria tinggal disini. Kehidupannya setelah bercerai terjadi baik dan lancar. Mama memintanya bergabung mengikuti organisasi pemberdayaan perempuan yang baru bercerai. Disana terdapat banyak kegiatan sehingga hal tersebut cocok sekali untuknya. “Mama, aku capek.” “Aku juga capek, tante.” “Ya udah kita istirahat dulu ya. Kalian tunggu aja di teras, mama bawain dulu minuman seger buat kalian.” “Yeee!” Satria dan Agil berteriak kegirangan. Rania menaruh poci siram dipinggir dan berjalan menaiki tangga. “Mau kemana? Minumannya udah mbak bikinin.” “Makasih ya, mbak.” “Iya. Minuman dataaaang.” Satria dan Agil berlari untuk mengambil jus tomat itu. “Abisin jusnya, biar mainnya makin semangat.” “Makasih ya, tante.” “Sama-sama, Satria.” Mereka duduk bersama di teras rumah mama yang asri. Mama dan papa ikut keluar
Rania melirik ke belakang untuk melihat ekspresi semua keluarganya. Mama dan Fira mengangguk untuk ia mengatakan ada alasan selain KDRT itu sehingga ia menggugat cerai suaminya. “Saya ulangi, di berkas perkara gugatan saudari pada suami adalah karena adanya hal lain. Kami ingin mendengar langsung apa yang terjadi selain KDRT itu? Silakan.” Rania menutup matanya. Ia memegangi mikrofon dengan tangan bergetar. Di belakang, mama dan Fira saling berpegangan tangan, berharap Rania tak bodoh seperti biasanya demi menjaga harkat dan martabat calon mantan suaminya. “Alasan saya meminta cerai dari suami saya selain KDRT itu, karena rahasia suami saya yang terbongkar, yang mulia.” “Rahasia apa itu?” “Suami saya—” Roland yang sedari pagi sibuk mengelilingi semua tempat untuk menemukan Alfi, akhirnya menemukan tempat ini setelah berpikir keras buah dari informasi singkat dari petugas resepsionis rumah sakit. Kini ia berdiri sejajar dengan tempat duduk mama dan yang lain, “Mohon izin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments