Share

BAB. 8 PULAU JAWA

“Tenang anak muda, kamu sekarang berada di rumahku.”

Ucap seorang laki-laki di balik pintu.

“Kalian ini siapa,? kenapa aku berada di sini.?”

Sosok laki-laki yang berwibawa, duduk di sebelah Kecek, ia memperkenalkan diri sebagai Kepala desa wono giri, yang terletak di pulau Jawa,namanya adalah Parjo. Dan wanita cantik yang selama ini merawatnya adalah Sarah anak gadisnya. Kecek telah pingsan selama 2 hari, seorang pemuda dari desa menyelamatkannya, lalu membawa ke rumah Parjo. Obat-obatan herbal beruntung bisa menyembuhkan luka bakar di dada Kecek. Selama kritis 2 hari Kecek tidak makan dan minum, yang membuat perutnya kini berbunyi.

“Sarah cepat kamu ambilkan makanan ke dapur, untuknya.”

Sarah yang sedari tadi duduk di pojok kamar, bergegas pergi ke dapur menuruti perintah Ayahnya.

“Kamu jangan terlalu banyak bergerak dulu, lukamu belum sepenuhnya sembuh.” Parjo mencegah kecek, yang memaksakan diri untuk bangkit dari pembaringannya.

Sarah telah datang membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk serta sayur. Paras wanita ini sangat cantik, tubuh putih bersin dan rambut hitam panjang terurai. Membuat kagum semua laki-laki yang menatapnya. Sarah dengan tangan halusnya, dengan sepenuh hati menyuapi nasi ke mulut Kecek.

“Ma’af telah merepotkanmu.” Ucap Kecek menatap takjub ke arah Sarah yang berparas cantik bak bidadari.

“Tidak apa-apa Kang, sebagai manusia kita harus saling tolong menolong.”

Hari sudah gelap, lampu obor berbahan minyak tanah sudah di hidupkan. Kecek dengan lemah berusaha bangkit, dari atas pembaringan, keinginannya untuk membuang hajat tidak bisa di tahan-tahan lagi. Terpaksa ia harus berjalan tertatih-tatih, karena tidak ingin terlalu banyak merepotkan tuan rumah. Dalam langkahnya menuju kamar belakang, tidak sengaja melihat tubuh bugil Sarah dari balik pintu kamar yang terbuka. Sebagai seorang laki-laki normal, matanya terbelalak dengan keindahan tubuh Sarah tanpa sehelai benang. Ia lupa niat semula yang ingin buang hajat ke kamar belakang, kini  ia berdiri mematung di depan kamar Sarah. Ia terhanyut dalam indahnya pemandangan.

Di dalam kamar Sarah, asyik melenggak-lenggokan setiap inci bagian tubuhnya di depan cermin, ia tidak menyadari bahwa ada Kecek memperhatikannya, dari balik pintu dengan mulut yang ternganga, dan setiap kali meneguk air liur.

“Ehemmm.”

Parjo berdehem, melihat Kecek berdiri mematung.

“Kamu ingin buang hajat.?”

Tingkah Kecek kikuk, ia terkejut di pergoki lagi mengintip anak dari pemilik rumah. Tanpa menjawab ia mengangukan kepala dan lansung menuju kamar belakang untuk menunaikan hajat.

Sarah yang terkejut mendengar suara Ayahnya di depan kamar, bergegas memakai baju, dan melangkah keluar kamar.

“Ayah ber bicara dengan siapa.?”

“Tidak apa-apa putriku. Ayah hanya bergumam sendiri.”

Sarah menaikan keningnya, mendengar jawaban dari Parjo, tidak biasanya muka Ayah seperti itu, apa dia berbohong atau ada sesuatu yang ia sembunyikan, pikir Sarah.

**************

Pagi yang indah, memancarkan sinar mentari dari upuk timur. Suara dari air terjun medesir, menemani orang-orang pribumi yang membersihkan tubuh di sungai, segerombolan anak kecil melompat dari atas batu besar, masuk ke dalam air sungai dengan tawa canda mereka.

Kecek yang termenung duduk di  atas batu besar. Dengan pikiran melalang buana, ia mikirkan nasib sahabatnya, yang berjuang sendiri di sana, sedangkan ia tidak berdaya telah kalah oleh keada’an, Ia tidak bisa kembali lantaran mandaunya telah hilang entah dimana. Mustahil baginya untuk kembali tanpa mandau yang bisa membelah portal demensi.

“Aden, apa yang menggangu pikiranmu sa’at ini.? Ucap Parjo seraya mengambil posisi duduk tepat di sebelah Kecek.

“Ah..... Tidak, aku  hanyak bingung. Kenapa aku sampai ke tempat ini.?”

“Saya belum mengetahui namamu.”

“Namaku. Kecek tuan, saya berasal dari tanah Borneo.”

“Pulau Borneo,  aku pernah mendengarnya. Dulu Ayahku seorang pengembara, ia pernah singgah dan bercerita tentang orang pribumi disana, semuanya baik dan ramah terhadap orang luar.” Parjo kembali mengingat Ayahnya yang dulu adalah pengembara, utusan dari Keraja’an Majapahit. “Kalau boleh tau musibah apa gerangan yang membuatmu sampai ke tanah Jawa ini.?”

“Aku tidak tau tuan, bahkan sama sekali aku tidak mengenal wilayah sini, entah ini dunia nyata ataukah dunia gaib.” Kecek menoleh ke arah Parjo, dan menarik napas panjang. “Seingatku, aku bertarung dengan seseorang dan kalah, aku lari menggunakan portal demensi. Dan ketika terbangun sudah berada di rumah Tuan.”

“Jadi begitu rupanya, kalau begitu kamu bisa tinggal sepuas hatimu di rumahku, sampai kamu bisa pulang ke tempat asalmu.” Parjo berpikir mungkin Kecek terkena gangguan mental, hingga lupa bagaimana ia sampai ke tanah Jawa. Mana mungkin ada manusia yang bisa menembus portal demensi.

“Kebaikan Tuan tidak akan saya lupakan, tapi saya harus segera pulang, karena ada tugas yang harus saya selesaikan.”

“Anak muda, kalau mau kembali ke tanah Borneo, kamu harus menggunakan kapal untuk berlayar menyebrangi Pulau, sekarang apa kamu ingat di mana kapal yang semula membawamu.?”

Kecek berpikir sejenak, benar sebuah kapal. Kalau ia tidak bisa kembali melalui portal deminsi, maka kapal menjadi satu-satunya jalan untuk pulang.

“Dimana saya harus menemukan kapal.? ”

“Seminggu lagi, ada rombongan dari desa kami, untuk berdagang ke pulau Borneo.” Parjo beranjak dari dudunya. “Kamu bisa ikut rombong Sri Baduga, nanti biar aku yang mengurus ke ikut serta’anmu dengan mereka.”

Di atas bukit Sarah memperhatikan Ayahnya sedang berbincang di bawah sana,  ia sepertinya menyimpan perasa’an dengan pemuda yang baru ia tolong. Tapi sebagai wanita ia tidak mampu untuk menyatakan perasa’an lebih dulu, apalagi ia adalah putri dari kepala desa. Banyak laki-laki yang telah berusaha mendekatinya, namun semuanya ia tolok. Tidak ada laki-laki yang bisa meluluhkan hatinya.

Pagi ini, Sarah ke pasar di temani oleh Kecek. Di perjalanan Sarah selalu mencuri pandang, menurut Sarah laki-laki di hadapannya ini adalah manusia sempurna. Hanya dia yang mampu membuat hati Sarah cenat-cenut, sa’at bertatap mata.

“Akang, dari kemaren aku tidak pernah tau namamu.” Ucap Sarah dengan malu-malu.

“Kecek.”  Tanpa menoleh Kecek menyebut namanya, seraya terus berjalan.

Sarah jengkel, cuek sekali laki-laki ini, apa dia tidak menyukai wanita. Padahal semua laki-laki sampai memohon di kakinya, untuk sekedar mengobrol dengan Sarah. Sesampainya di pasar, ramai pedagang yang sedang bertransaksi. Kecek dengan perawakan tegap, setia menemani di belakang Sarah,  hingga tidak ada laki-laki yang berani menggoda Sarah seperti kemaren, mereka takut sekarang Sarah sudah memiliki pengawal. Sarah berlari di tengah pasar dan bersembunyi  agar mendapatkan perhatian dari Kecek, tapi semua rencananya sia-sia. Kecek tidak perduli, ia hanya berdiri dengan tenang menunggu Sarah kembali.

“Laki-laki macam apa dia, sehingga tidak tergoda denganku.” Gerutu Sarah, kembali ke arah Kecek berdiri.

“Cepat, kamu mau beli apa,? aku tidak suka terlalu lama di tengah keramai’an.?”

“Baiklah, sekarang kita beli beras, dan sayuran.”

Mereka pun membeli sekarung beras dan sebakul sayuran segar, dengan enteng Kecek memikulnya, sebagai pemuda dayak sudah biasa, mengangkat beban berat naik-turun gunung, kalau cuma beras satu karung, sangat ringan bagi Kecek.

Sarah sekarang senang, ia pikir bisa menyiksa Kecek dengan sekarung beras. Sarah sangat jengkel karena merasa di abaikan oleh Kecek, sehingga membiarkannya pulang berjalan kaki, dengan memikul sekarung beras, padahal biasanya ia memakai jasa andong untuk membawa barang belanja’an.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status