“Tenang anak muda, kamu sekarang berada di rumahku.”
Ucap seorang laki-laki di balik pintu.
“Kalian ini siapa,? kenapa aku berada di sini.?”
Sosok laki-laki yang berwibawa, duduk di sebelah Kecek, ia memperkenalkan diri sebagai Kepala desa wono giri, yang terletak di pulau Jawa,namanya adalah Parjo. Dan wanita cantik yang selama ini merawatnya adalah Sarah anak gadisnya. Kecek telah pingsan selama 2 hari, seorang pemuda dari desa menyelamatkannya, lalu membawa ke rumah Parjo. Obat-obatan herbal beruntung bisa menyembuhkan luka bakar di dada Kecek. Selama kritis 2 hari Kecek tidak makan dan minum, yang membuat perutnya kini berbunyi.
“Sarah cepat kamu ambilkan makanan ke dapur, untuknya.”
Sarah yang sedari tadi duduk di pojok kamar, bergegas pergi ke dapur menuruti perintah Ayahnya.
“Kamu jangan terlalu banyak bergerak dulu, lukamu belum sepenuhnya sembuh.” Parjo mencegah kecek, yang memaksakan diri untuk bangkit dari pembaringannya.
Sarah telah datang membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk serta sayur. Paras wanita ini sangat cantik, tubuh putih bersin dan rambut hitam panjang terurai. Membuat kagum semua laki-laki yang menatapnya. Sarah dengan tangan halusnya, dengan sepenuh hati menyuapi nasi ke mulut Kecek.
“Ma’af telah merepotkanmu.” Ucap Kecek menatap takjub ke arah Sarah yang berparas cantik bak bidadari.
“Tidak apa-apa Kang, sebagai manusia kita harus saling tolong menolong.”
Hari sudah gelap, lampu obor berbahan minyak tanah sudah di hidupkan. Kecek dengan lemah berusaha bangkit, dari atas pembaringan, keinginannya untuk membuang hajat tidak bisa di tahan-tahan lagi. Terpaksa ia harus berjalan tertatih-tatih, karena tidak ingin terlalu banyak merepotkan tuan rumah. Dalam langkahnya menuju kamar belakang, tidak sengaja melihat tubuh bugil Sarah dari balik pintu kamar yang terbuka. Sebagai seorang laki-laki normal, matanya terbelalak dengan keindahan tubuh Sarah tanpa sehelai benang. Ia lupa niat semula yang ingin buang hajat ke kamar belakang, kini ia berdiri mematung di depan kamar Sarah. Ia terhanyut dalam indahnya pemandangan.
Di dalam kamar Sarah, asyik melenggak-lenggokan setiap inci bagian tubuhnya di depan cermin, ia tidak menyadari bahwa ada Kecek memperhatikannya, dari balik pintu dengan mulut yang ternganga, dan setiap kali meneguk air liur.
“Ehemmm.”
Parjo berdehem, melihat Kecek berdiri mematung.
“Kamu ingin buang hajat.?”
Tingkah Kecek kikuk, ia terkejut di pergoki lagi mengintip anak dari pemilik rumah. Tanpa menjawab ia mengangukan kepala dan lansung menuju kamar belakang untuk menunaikan hajat.
Sarah yang terkejut mendengar suara Ayahnya di depan kamar, bergegas memakai baju, dan melangkah keluar kamar.
“Ayah ber bicara dengan siapa.?”
“Tidak apa-apa putriku. Ayah hanya bergumam sendiri.”
Sarah menaikan keningnya, mendengar jawaban dari Parjo, tidak biasanya muka Ayah seperti itu, apa dia berbohong atau ada sesuatu yang ia sembunyikan, pikir Sarah.
**************
Pagi yang indah, memancarkan sinar mentari dari upuk timur. Suara dari air terjun medesir, menemani orang-orang pribumi yang membersihkan tubuh di sungai, segerombolan anak kecil melompat dari atas batu besar, masuk ke dalam air sungai dengan tawa canda mereka.
Kecek yang termenung duduk di atas batu besar. Dengan pikiran melalang buana, ia mikirkan nasib sahabatnya, yang berjuang sendiri di sana, sedangkan ia tidak berdaya telah kalah oleh keada’an, Ia tidak bisa kembali lantaran mandaunya telah hilang entah dimana. Mustahil baginya untuk kembali tanpa mandau yang bisa membelah portal demensi.
“Aden, apa yang menggangu pikiranmu sa’at ini.? Ucap Parjo seraya mengambil posisi duduk tepat di sebelah Kecek.
“Ah..... Tidak, aku hanyak bingung. Kenapa aku sampai ke tempat ini.?”
“Saya belum mengetahui namamu.”
“Namaku. Kecek tuan, saya berasal dari tanah Borneo.”
“Pulau Borneo, aku pernah mendengarnya. Dulu Ayahku seorang pengembara, ia pernah singgah dan bercerita tentang orang pribumi disana, semuanya baik dan ramah terhadap orang luar.” Parjo kembali mengingat Ayahnya yang dulu adalah pengembara, utusan dari Keraja’an Majapahit. “Kalau boleh tau musibah apa gerangan yang membuatmu sampai ke tanah Jawa ini.?”
“Aku tidak tau tuan, bahkan sama sekali aku tidak mengenal wilayah sini, entah ini dunia nyata ataukah dunia gaib.” Kecek menoleh ke arah Parjo, dan menarik napas panjang. “Seingatku, aku bertarung dengan seseorang dan kalah, aku lari menggunakan portal demensi. Dan ketika terbangun sudah berada di rumah Tuan.”
“Jadi begitu rupanya, kalau begitu kamu bisa tinggal sepuas hatimu di rumahku, sampai kamu bisa pulang ke tempat asalmu.” Parjo berpikir mungkin Kecek terkena gangguan mental, hingga lupa bagaimana ia sampai ke tanah Jawa. Mana mungkin ada manusia yang bisa menembus portal demensi.
“Kebaikan Tuan tidak akan saya lupakan, tapi saya harus segera pulang, karena ada tugas yang harus saya selesaikan.”
“Anak muda, kalau mau kembali ke tanah Borneo, kamu harus menggunakan kapal untuk berlayar menyebrangi Pulau, sekarang apa kamu ingat di mana kapal yang semula membawamu.?”
Kecek berpikir sejenak, benar sebuah kapal. Kalau ia tidak bisa kembali melalui portal deminsi, maka kapal menjadi satu-satunya jalan untuk pulang.
“Dimana saya harus menemukan kapal.? ”
“Seminggu lagi, ada rombongan dari desa kami, untuk berdagang ke pulau Borneo.” Parjo beranjak dari dudunya. “Kamu bisa ikut rombong Sri Baduga, nanti biar aku yang mengurus ke ikut serta’anmu dengan mereka.”
Di atas bukit Sarah memperhatikan Ayahnya sedang berbincang di bawah sana, ia sepertinya menyimpan perasa’an dengan pemuda yang baru ia tolong. Tapi sebagai wanita ia tidak mampu untuk menyatakan perasa’an lebih dulu, apalagi ia adalah putri dari kepala desa. Banyak laki-laki yang telah berusaha mendekatinya, namun semuanya ia tolok. Tidak ada laki-laki yang bisa meluluhkan hatinya.
Pagi ini, Sarah ke pasar di temani oleh Kecek. Di perjalanan Sarah selalu mencuri pandang, menurut Sarah laki-laki di hadapannya ini adalah manusia sempurna. Hanya dia yang mampu membuat hati Sarah cenat-cenut, sa’at bertatap mata.
“Akang, dari kemaren aku tidak pernah tau namamu.” Ucap Sarah dengan malu-malu.
“Kecek.” Tanpa menoleh Kecek menyebut namanya, seraya terus berjalan.
Sarah jengkel, cuek sekali laki-laki ini, apa dia tidak menyukai wanita. Padahal semua laki-laki sampai memohon di kakinya, untuk sekedar mengobrol dengan Sarah. Sesampainya di pasar, ramai pedagang yang sedang bertransaksi. Kecek dengan perawakan tegap, setia menemani di belakang Sarah, hingga tidak ada laki-laki yang berani menggoda Sarah seperti kemaren, mereka takut sekarang Sarah sudah memiliki pengawal. Sarah berlari di tengah pasar dan bersembunyi agar mendapatkan perhatian dari Kecek, tapi semua rencananya sia-sia. Kecek tidak perduli, ia hanya berdiri dengan tenang menunggu Sarah kembali.
“Laki-laki macam apa dia, sehingga tidak tergoda denganku.” Gerutu Sarah, kembali ke arah Kecek berdiri.
“Cepat, kamu mau beli apa,? aku tidak suka terlalu lama di tengah keramai’an.?”
“Baiklah, sekarang kita beli beras, dan sayuran.”
Mereka pun membeli sekarung beras dan sebakul sayuran segar, dengan enteng Kecek memikulnya, sebagai pemuda dayak sudah biasa, mengangkat beban berat naik-turun gunung, kalau cuma beras satu karung, sangat ringan bagi Kecek.
Sarah sekarang senang, ia pikir bisa menyiksa Kecek dengan sekarung beras. Sarah sangat jengkel karena merasa di abaikan oleh Kecek, sehingga membiarkannya pulang berjalan kaki, dengan memikul sekarung beras, padahal biasanya ia memakai jasa andong untuk membawa barang belanja’an.
Setelah mesin di bongkar oleh prajurit yang kebetulan adalah teknisi, kini mesin L 300 kembali hidup. Mengaur di tengah hutan rawa dekat dengan desa Paminggir. Langit senja yang menguning, kini telah berubah menjadi gelap. Lampu yang terpasang permanen di depan kapal, membantu menerangi jalan dengan tenaga dari aki.Beberapa saat kemudian kapal menepi di salah satu pelabuhan, tampak sopir naik membawa jerigen besar, dan mengisinya di atas sana. Ia tertatih tatih turun kembali membawa jerigen penuh dengan bahan bakar, dengan sangat telaten tangan laki laki itu menuangkan solar ke tengki kapal hingga penuh. Dingin malam membuat tubuh para penumpang menjadi kedinginan, angin menerpa kapal begitu deras. Melihat cuaca yang tidak mendukung, sopir memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan, karena jalur di depan adalah sungai Barito yang memiliki luas satu kilo meter, dan memiliki kedalaman kurang lebih 15 kilo meter. Gelombang sangat besar di hasilkan oleh angin yang berhembus nanar. A
Pagi ini dua mobil Avanza sudah siap membawa mereka menuju Amuntai dan akan berlabuh di Danau panggang, dari sana mereka menaiki kapal yang bermesin L 300 melalui jalur aliran sungai kecil, deru kapal magaum di tengah aliran sungai. Gelombang kecil melenggak lenggokan enceng gondok yang berdempet dempet ikut hanyut mengiringi laju kapal.Pohon rumbia yang berada di pinggir tebing sungai menjadi pemandangan yang menarik, sungguh membuat takjub di sini tidak terlihat adanya tanah, semua rata dengan air. Rumah rumah yang berdiri semuanya berbentuk panggung, dan sebuah jembatan di bangun seperti rel untuk pengganti jalan.Tampak Putri Lisa mengeluarkan kepala di pinggir kapal, ia saat ini sedang menikmati perjalanan. Wajahnya yang sesekali terkena cipratan air gelombang kapal menjadi sejuk, tatkala angin yang manampur wajahnya dengan lembut, hingga membuat penutup kepalanya menjadi melambai lambai.Pemandangan pohon besar di pinggiran sungai, menipu mata, seakan pohon pohon ini berdiri k
Di bawah kaki pegunungan Maratus, tepian sungai, tampak Putri Lisa sedang duduk termenung. Hati wanita itu gundah gulana. Bukan hanya kerena memikirkan sang Ayah yang terbaring sakit, tapi juga kerena kini takdir membawa langkahnya ke negri yang jauh dari istana. Seumur hidupnya tidak pernah terpikir, bahwa ia akan menjalani hari hari jauh dari dekapan sang Ayah.Namun kini ia merasa aman karena di temani oleh laki laki yang baru saja membuat hatinya terpaut cinta, tidak bisa di pungkiri, rindu kerap membuat Putri Raja itu menangis sendiri. Kini rasa takut juga menghantui, tangisnya kembali berderai seiring angin malam yang kian menusuk tulang, sementara laki laki yang gagah perkasa berdiri tegak melihatnya seorang diri, meratapi nasib entah apa yang akan ia lewati esok hari di negri yang baru baginya. Hanya sebuah senandung lagu yang bisa menenangkannya malam ini, senandung rindu yang begitu merdu, selalu ia lantunkan jika bersama sang Ayah, untuk mengenang sanak saudara yang telah j
“Lapor Panglima, semua sisi istana sudah kami periksa tapi tidak menemukan penyusup.” Seorang prajurit menghadap, semua orang sudah di kerahkan untuk mencari penyusup yang menusuk Raja ke segala penjuru istana. Bahkan sampai ke luar istana di lakukan pencarian tapi tidak membuahkan hasil.Kecek mengeretek giginya, dan mengepal tangan sangat kuat hingga uratnya terlihat, sekarang ia sangat marah dengan kejadian yang meneror nya saat ini, di mulai dari Lawen kini Raja juga menjadi sasaran. Siapa gerangan yang menjadi dalang semua ini, padahal semua musuhnya dulu semuanya sudah mati. Manaf dan Jawo.Di ruangan UGD Raja di tangani oleh dokter Djata dengan sangat intensif, dan di bantu oleh semua dokter terbaik Saranjana. Putri Lisa tidak bisa menahan emosinya, deraian tangisnya tidak bisa ia hentikan hingga kelopak matanya membengkak. Kini penjagaan di istana semakin di perketat, tidak ada orang asing yang di perbolehkan masuk.“Putri” kini Lawen berusaha menenangkan Lisa dengan pelukan h
Tiga orang bertopeng mengendap ngendap di sisi istana, para Prajurit yang berjaga tidak mengetahui keberadaan mereka. Karena mereka sangat lincah dalam geraknya, hampir tidak menimbulkan suara sedikitpun dari langkah mereka.“Hati hati jangan sampai ketahuan.” Ucap salah satu dari orang orang bertopeng yang sepertinya pemimpin mereka. Setengah meter lagi mereka akan berhasil masuk ke dalam ruang istana, para perajurit sangat ketat berjaga di setiap pintu masing masing di jaga oleh dua orang prajurit. Kreeeekkkkk Salah satu dari mereka menginjak sesuatu, yang menimbulkan kecurigaan dua orang prajurit penjaga pintu masuk utama kerajaan.“Coba periksa” salah satu prajurit menyuruh rekannya untuk melihat kondisi di balik tembok kiri pintu. “Aman, hanya seekor burung.” Teriak rekan prajurit.Tiga orang bertopeng meresa lega, karena keberadaan mereka tidak di ketahui oleh penjaga. Mereka dengan cepat melompat ke atas genteng. Di bawah cahaya bulan yang tidak terlalu terang membuat langk
SiuuutttSebuah anak panah melesat nyaris mengenai kepala Galin, ia sangat kaget napasnya memburu naik turun. Ia melihat Kecek dengan gagah bertarung menghadang pasukan musuh yang menunggangi kuda menghambur dengan pedang nya menebas pasukan pertahanan istana.DuuaaaaaaarrrrrrLedakan yang sangat besar membuat semua orang yang berada di sekitar lokasi terpental jauh, ledakan lima kali di turunkan. Hingga membuat kepala Galin berdenyut dan telinganya sunging, tubuhnya kotor penuh debu. Kepolan asap membuat jarak pandangan, di udara entah berapa banyak anak panah berjatuhan. Panglima Kecek, masih sibuk menghalangi pasukan musuh, dengan sebilah mandau macamnya mampu membunuh musuh dengan sekali tebasan, musuh kesulitan untuk menyerang, karena pertahanan berada di dua sisi. Yang paling kuat adalah pertahanan pertama, di atas benteng tinggi, mereka menghujani dengan anak panah dari ketinggian.Pasukan mandau menghadang langsung di garis kedua. Setelah musuh yang berhasil di pukul mundur da
Matahari sudah menyinari alam kalimantan yang sangat masih asri, semua binatang telah berkeliaran mencari makan. Di dalam rumah betang Marna terbangun dengan ke adaan yang bingung, ia lupa apa yang sebenarnya terjadi otaknya tidak mampu mengingat kejadian semalam. Setelah membuka rumah ia terkejut melihat mobil hilux putih terparkir, plat mobil yang bertulis KH.xxxx.Bm ia sangat mengenal pemiliknya. Namun yang membuat ia bingung sejak kapan mobil ini terparkir di pekarangan rumahnya dan kemana pemiliknya.“Ini milik Galin,” ia mengilingi mobil dan mencoba membuka pintu mobil guna mencari petunjuk. Sebuah telpon genggam Marna temukan di dalam tas kecil.Sementara di Saranjana.Raja memanggil Galin ke ruangan khusus, karena ada seseorang yang hendak bertemu pada Galin. “Siapa namu anak muda.?” Ucap Raja dalam suatu ruangan khusus kedap suara, hanya ada mereka berdua di dalamnya.“Galin Paduka,” suara Galin sedikit bergetar karena baru pertama di introgasi oleh seorang Raja.“Kamu tau
Deru mobil hilux mengaum di udara, lampu sorotnya menerangi pekarang rumah betang. Tampak gagah pria yang mengendarai mobil hilux ini seorang diri, dengan gayanya yang khas kacamata hitam dan topi koboy di kepala dan tidak lupa masker hitam sebagai penutup wajah. Marna mendengar mobil masuk ke dalam pekarangan rumahnya, segera menutup pintu. Ia trauma jikalau terjadi penyekapan kepada dirinya seperti enam bulan yang lalu. Sebilah mandau ia keluarkan dari kumpangnya, bersiap untuk menyerang, jikalau di luar sana adalah orang jahat yang akan mencelakainya.Tap tap tapDekap langkah kaki seorang yang manaiki anak tangga menuju pelataran rumah, ia mengetok dengan santai seperti sangat tau bahwa Marna ada di dalam rumah. Marna melangkah pelan merangkak menuju celah dinding sebesar jari kelingking, ia sipitkan sebelah mata untuk melihat ke arah luar, dengan pencahayaan bulan yang terbatas ia melihat sosok laki laki dengan jaket kulit hitam membalut tubuhnya. “Marna” panggil lelaki di lua
Kegiatan yang paling menyenangkan adalah berburu di hutan, sebagai penghuni hutan yang menjadi paru paru dunia. Tentunya kegiatan berburu memang sudah sangat Lawen kuasai. Hari ini ia dan Marna rencana akan berburu ke desa atas, karena di desa atas hutannya masih asri dan tidak terjamah oleh manusia sehinnga hewan masih banyak yang berkeliaran.Pagi ini mereka membawa peralatan berburu seperti sumpit, panah, tombak, dan lanjung untuk membawa hasil buruan nanti. Untuk menuju ke desa atas perlu waktu satu jam berjalan kaki, karena di samping jalan yang memang asri hanya ada jalan setapak, di sana juga kondisi jalannya terjal harus merangkak naik berpegangan dengan akar pohon.“Anak itu tidak ubahnya seperti masih kecil dulu.” Marna menggelengkan kepala melihat Lawen naik seperti monyet, bergelantungan menyusuri jalan tebing.“Ayo Bue, jangan kaya siput,” teriak Lawen nyaring dari atas hingga menggema di dalam hutan.“Tunggu dulu, Bue sebentar lagi sampai.”Jawab Marna di bawah sana.Te