Share

BAB. 9 TERPESONA

Di balik semak-semak Sarah bersembunyi, di bawah air terjun Kecek sedang membersihkan tubuhnya. Lekukan tubuh Kecek begitu erotis dan seksi, otot-ototnya yang kekar membuat penampilannya sebagai laki-laki menjadi sempurna. Sehingga Sarah sangat terobsesi dengan Kecek, mata gadis ini tidak berkedip sedikitpun memperhatikan, setiap inci tubuh Kecek yang telanjang setengah badan.

Kecek yang sudah selesai mandi, beranjak dari sungai mengerikan bajunya, ia duduk di atas batu, merenung seraya melempar batu kerikir ke dalam sungai. Sarah berjalan mengendap-endap dari belakang, ingin mengejutkannya, namun lebih dulu di ketahui Kecek, dan melempar batu kecil tepat di kepala Sarah, hingga ia menjerit sakit.

“Auuuuuuuu... Sakittt....”

“Mau apa kamu.? Mengintip orang mandi.” Tanpa menoleh Kecek menodungnya langsung dengan pertanya’an.

Ck... Sarah kesal, kenapa aku melakukan tingkah konyol ini.  Membuat diri ini sangat malu, niat hati ingin mencoba memeluknya  dari belakang, dan berpura-pura tidak sengaja, ahhhhh sial, punya berapa mata dia sampai mengetahui posisiku di sini, tanpa sedikitpun meneloh.

 “Siapa yang mau mengintip, jangan macam-macam padaku. Asal kamu tau aku ini anak kepala desa. Gadis terhormat.”

“Baiklah gadis terhormat, silahkah lakukan apa yang kamu mau.” Kecek berdiri lalu pergi dengan gaya coolnya, meninggalkan Sarah.

“Tunggu.” Ucap Sarah.

Tanpa menghiraukan Kecek terus saja melanjutkan langkahnya.

Dasar laki-laki tidak normal, berani-beraninya ia mengabaikan ku. Walau sekedar untuk menoleh saja tidak. Gerutu Sarah mengiringi langkah Kecek dari belakang.

“Heii..... Berhenti.” Pinta Sarah yang masih mengejar.

Sekarang tiba-tiba Kecek menghentikan langkah, berdiri tegak tanpa menoleh kebelakang atau pun bergerak. Di arah belakang Sarah mengoceh memaki-maki karena ia sangat kesal dengan Kecek, setelah posisi mereka sejajar. Kecek mengisyaratkannya untuk diam.

“Kenapa berhenti,? apa kamu berubah pikiran.?”Sarah yang tidak menuruti, masih saja mengoceh.

Kecek langsung menarik tangan Sarah membawanya berlari kencang. Seekor babi hutan menggila, muncul dari dalam sema-semak, ingin menyerang mereka. Babi itu mengira mereka ingin mengganggu anaknya, sehingga menyebabkan induk babi  ingin menyeruduk.

“Pelan-pelan, kaki ku sudah tidak sanggup lagi berlari.” Keluh Sarah.

Setelah cukup jauh mereka berlari, induk babi sudah tidak tampak lagi mengejar. Sehingga membuat rasa lega dari mereka, napas yang tersengal naik turun di dada. Mereka memutuskan beristirahat di bawah pohon rindang, dengan sisa napas Kecek tersandar di bagian pohon, lalu di ikuti Sarah di sebelahnya. Sungguh tidak terduga, hari ini begitu sial untuk mereka berdua, di kejar induk babi yang sedang mengamuk.

“Aku capek.  Kang.”

“Jangan manja, sebaiknya kita lekas kembali, nanti Pak Parjo mencari kita.”Ucap Kecek yang sudah bersiap untuk kembali melangkah.

“Terserah kamu, sudahku bilang aku capek, lagi pula sekarang kakiku sangat sakit.” Sarah mengapit  wajahnya di antara kedua lutut. “Sekarang pergilah, tinggalkan aku di sini.”

Hela napas panjang Kecek menghambur di lubang hidungnya, ia memutuskan untuk meng-gendong gadis kepala desa yang manja ini. Sarah yang berpura-pura, tidak mau di gendong, meronta hendak melapaskan diri dari dekapan tangan Kecek.

Tangan yang kekar mampu memikiul berat tubuh Sarah, dan Sarah sangat menikmati sensasi di gendong oleh laki-laki puja’annya, hingga pipinya memerah, dan matanya terus memandang kearah wajah Kecek, hingga sampai ke depan rumah.

“Darimana saja kalian.?” Parjo yang duduk di teras, menunggu mereka sejak tadi.

Sarah yang baru di turunkan oleh Kecek membetulkan pakaiannya. “kami tadi di kejar induk babi, terpaksa harus lari ke dalam hutan.”

“Sebaiknya kamu masuk, dan bergegas untuk memasak.” Perintah Parjo pada putrinya, dan menatap tajam ke arah Kecek, yang masih berdiri seraya menunduk.

Di  lereng gunung, malam sangat sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar seperti alunan lagu pembawa tidur. Dalam gelisah Sarah tidak bisa memejamkan matanya, malam ini sungguh ia sangat kerepotan masuk ke alam mimpi. Berbagai posisi sudah ia coba, dari berbaring tengkurap hingga menyamping kiri kanan, pikiran masih tersita dengan bayangan Kecek. Ketika siang tadi menggendongnya. Sentuhan tangan yang kasar begitu lekat terasa di kulitnya yang putih bersih.

Waktu terus berputar, dinginnya malam tidak ia hiraukan. Sarah bangkit dari tempat tidurnya melangkah keluar kamar, berjalan berjingkit agar tidak menimbulkan bunyi langkah kaki. Ia mengintip di balik tirai, seorang pemuda tengah lelap dalam tidurnya di dalam kamar, bertelanjang dada. Sarah memutuskan langkahnya segera masuk ke dalam kamar menghampiri pemuda itu, ia kemudian duduk di sisi ranjang yang terbuat dari bambu. Menatap setiap inci tubuh pemuda itu, sungguh cinta telah membutakan hati dan pikirannya, sehingga melupakan kodratnya sebagai sorang perempuan.

Sebuah kecupan meluncur di bibir, membuat Kecek sangat terkejut langsung menarik diri. “Apa yang kamu lakukan.?”

“Aku sudah tidak tahan dengan perasaanku.” Sarah membuka baju yang menutup auratnya , satu persatu. “Cinta ini sudah aku pasrahkan ke padamu, Kang.!”

Dengan pencahaya’an yang begitu minim, dari sebuah lilin di sudut kamar. Lekuk tubuh Sarah terlihat sangat menggoda, bagai santapan yang sangat nikmat. Dua buah pepaya yang menggantung sangat bulat, samar-samar terlihat. Pinggang yang langsing itu gesit berajak naik ke atas tubuh Kecek.

 Waktu subuh telah terbit, menyisakan kenikmatan bagi kedua manusia yang telah usai memadu kasih, dan meninggalkan bercak darah yang menjadi bukti cinta Sarah, di malam itu.

“Hari ini rombongan dari Sri Baduga, akan memulai pelayaran ke Borneo.” Ucap Parjo yang menghirup kopinya di pagi itu.

Kecek yang telah usai mencuci wajahnya di sungai, kini bersiap berangkat mengikuti rombongan. “Baik tuan, aku akan pamit dulu kepada Sarah, selama ini ia sungguh berjasa dalam mengobati dan merawatku.”

Parjo memanggil putrinya di dalam kamar, seraya menyuruhnya bersiap-siap ikut mengantar kepergian Kecek sampai pelabuhan. Mula-mula mereka memakai jasa andong untuk mencapai pelabuhan selama kurang lebih 1 jam perjalanan, di dalam andong. Sarah hanya bisa bermain mata dengan Kecek, tanpa  keluar sepatah katapun. Kejadian semalam sangat membekas di hati Sarah. Sehingga melepas Kecek kali ini sungguh sangat berat di rasakannya.

 “Sri Baduga.” Parjo menjabat tangan orang tua yang sebaya dengannya. “Ini anak muda yang aku maksud, ingin ikut bersama kalian ke pulau Borneo.”

Kecek mengetahui beliau adalah kepala rombongan, ikut mengulurkan tangan untuk bersalaman.

“Mari anak muda, kita berangkat.” Sri baduga langsung mengarahkannya menaiki kapal besar penuh dengan barang-barang niaga.

Sesampainya di anak tangga menuju kapal Kecek berbalik, lalu kembali menghampiri Parjo dan Sarah, yang berdiri di dermaga menunggu keberangkatannya. “ Tuan aku sangat berterima kasih atas bantuanmu.” Sebuah pelukan hangat langsung mengarah di tubuh Parjo.

Kini Kecek beralih ke pelukan Sarah. “Aku akan kembali untukmu, setelah tugasku selesai. Aku janji.” Sebuah pelukan perpisahan yang penuh derai air mata, benih cinta telah mengikat dua hati mereka.

Di dalam kapal niaga Kecek meleparkan senyum perpisahan, dan lambaian tangan ke arah Parjo dan Sarah. “Aku pasti kembali, untukmu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status