Di balik semak-semak Sarah bersembunyi, di bawah air terjun Kecek sedang membersihkan tubuhnya. Lekukan tubuh Kecek begitu erotis dan seksi, otot-ototnya yang kekar membuat penampilannya sebagai laki-laki menjadi sempurna. Sehingga Sarah sangat terobsesi dengan Kecek, mata gadis ini tidak berkedip sedikitpun memperhatikan, setiap inci tubuh Kecek yang telanjang setengah badan.
Kecek yang sudah selesai mandi, beranjak dari sungai mengerikan bajunya, ia duduk di atas batu, merenung seraya melempar batu kerikir ke dalam sungai. Sarah berjalan mengendap-endap dari belakang, ingin mengejutkannya, namun lebih dulu di ketahui Kecek, dan melempar batu kecil tepat di kepala Sarah, hingga ia menjerit sakit.
“Auuuuuuuu... Sakittt....”
“Mau apa kamu.? Mengintip orang mandi.” Tanpa menoleh Kecek menodungnya langsung dengan pertanya’an.
Ck... Sarah kesal, kenapa aku melakukan tingkah konyol ini. Membuat diri ini sangat malu, niat hati ingin mencoba memeluknya dari belakang, dan berpura-pura tidak sengaja, ahhhhh sial, punya berapa mata dia sampai mengetahui posisiku di sini, tanpa sedikitpun meneloh.
“Siapa yang mau mengintip, jangan macam-macam padaku. Asal kamu tau aku ini anak kepala desa. Gadis terhormat.”
“Baiklah gadis terhormat, silahkah lakukan apa yang kamu mau.” Kecek berdiri lalu pergi dengan gaya coolnya, meninggalkan Sarah.
“Tunggu.” Ucap Sarah.
Tanpa menghiraukan Kecek terus saja melanjutkan langkahnya.
Dasar laki-laki tidak normal, berani-beraninya ia mengabaikan ku. Walau sekedar untuk menoleh saja tidak. Gerutu Sarah mengiringi langkah Kecek dari belakang.
“Heii..... Berhenti.” Pinta Sarah yang masih mengejar.
Sekarang tiba-tiba Kecek menghentikan langkah, berdiri tegak tanpa menoleh kebelakang atau pun bergerak. Di arah belakang Sarah mengoceh memaki-maki karena ia sangat kesal dengan Kecek, setelah posisi mereka sejajar. Kecek mengisyaratkannya untuk diam.
“Kenapa berhenti,? apa kamu berubah pikiran.?”Sarah yang tidak menuruti, masih saja mengoceh.
Kecek langsung menarik tangan Sarah membawanya berlari kencang. Seekor babi hutan menggila, muncul dari dalam sema-semak, ingin menyerang mereka. Babi itu mengira mereka ingin mengganggu anaknya, sehingga menyebabkan induk babi ingin menyeruduk.
“Pelan-pelan, kaki ku sudah tidak sanggup lagi berlari.” Keluh Sarah.
Setelah cukup jauh mereka berlari, induk babi sudah tidak tampak lagi mengejar. Sehingga membuat rasa lega dari mereka, napas yang tersengal naik turun di dada. Mereka memutuskan beristirahat di bawah pohon rindang, dengan sisa napas Kecek tersandar di bagian pohon, lalu di ikuti Sarah di sebelahnya. Sungguh tidak terduga, hari ini begitu sial untuk mereka berdua, di kejar induk babi yang sedang mengamuk.
“Aku capek. Kang.”
“Jangan manja, sebaiknya kita lekas kembali, nanti Pak Parjo mencari kita.”Ucap Kecek yang sudah bersiap untuk kembali melangkah.
“Terserah kamu, sudahku bilang aku capek, lagi pula sekarang kakiku sangat sakit.” Sarah mengapit wajahnya di antara kedua lutut. “Sekarang pergilah, tinggalkan aku di sini.”
Hela napas panjang Kecek menghambur di lubang hidungnya, ia memutuskan untuk meng-gendong gadis kepala desa yang manja ini. Sarah yang berpura-pura, tidak mau di gendong, meronta hendak melapaskan diri dari dekapan tangan Kecek.
Tangan yang kekar mampu memikiul berat tubuh Sarah, dan Sarah sangat menikmati sensasi di gendong oleh laki-laki puja’annya, hingga pipinya memerah, dan matanya terus memandang kearah wajah Kecek, hingga sampai ke depan rumah.
“Darimana saja kalian.?” Parjo yang duduk di teras, menunggu mereka sejak tadi.
Sarah yang baru di turunkan oleh Kecek membetulkan pakaiannya. “kami tadi di kejar induk babi, terpaksa harus lari ke dalam hutan.”
“Sebaiknya kamu masuk, dan bergegas untuk memasak.” Perintah Parjo pada putrinya, dan menatap tajam ke arah Kecek, yang masih berdiri seraya menunduk.
Di lereng gunung, malam sangat sunyi, hanya suara jangkrik yang terdengar seperti alunan lagu pembawa tidur. Dalam gelisah Sarah tidak bisa memejamkan matanya, malam ini sungguh ia sangat kerepotan masuk ke alam mimpi. Berbagai posisi sudah ia coba, dari berbaring tengkurap hingga menyamping kiri kanan, pikiran masih tersita dengan bayangan Kecek. Ketika siang tadi menggendongnya. Sentuhan tangan yang kasar begitu lekat terasa di kulitnya yang putih bersih.
Waktu terus berputar, dinginnya malam tidak ia hiraukan. Sarah bangkit dari tempat tidurnya melangkah keluar kamar, berjalan berjingkit agar tidak menimbulkan bunyi langkah kaki. Ia mengintip di balik tirai, seorang pemuda tengah lelap dalam tidurnya di dalam kamar, bertelanjang dada. Sarah memutuskan langkahnya segera masuk ke dalam kamar menghampiri pemuda itu, ia kemudian duduk di sisi ranjang yang terbuat dari bambu. Menatap setiap inci tubuh pemuda itu, sungguh cinta telah membutakan hati dan pikirannya, sehingga melupakan kodratnya sebagai sorang perempuan.
Sebuah kecupan meluncur di bibir, membuat Kecek sangat terkejut langsung menarik diri. “Apa yang kamu lakukan.?”
“Aku sudah tidak tahan dengan perasaanku.” Sarah membuka baju yang menutup auratnya , satu persatu. “Cinta ini sudah aku pasrahkan ke padamu, Kang.!”
Dengan pencahaya’an yang begitu minim, dari sebuah lilin di sudut kamar. Lekuk tubuh Sarah terlihat sangat menggoda, bagai santapan yang sangat nikmat. Dua buah pepaya yang menggantung sangat bulat, samar-samar terlihat. Pinggang yang langsing itu gesit berajak naik ke atas tubuh Kecek.
Waktu subuh telah terbit, menyisakan kenikmatan bagi kedua manusia yang telah usai memadu kasih, dan meninggalkan bercak darah yang menjadi bukti cinta Sarah, di malam itu.
“Hari ini rombongan dari Sri Baduga, akan memulai pelayaran ke Borneo.” Ucap Parjo yang menghirup kopinya di pagi itu.
Kecek yang telah usai mencuci wajahnya di sungai, kini bersiap berangkat mengikuti rombongan. “Baik tuan, aku akan pamit dulu kepada Sarah, selama ini ia sungguh berjasa dalam mengobati dan merawatku.”
Parjo memanggil putrinya di dalam kamar, seraya menyuruhnya bersiap-siap ikut mengantar kepergian Kecek sampai pelabuhan. Mula-mula mereka memakai jasa andong untuk mencapai pelabuhan selama kurang lebih 1 jam perjalanan, di dalam andong. Sarah hanya bisa bermain mata dengan Kecek, tanpa keluar sepatah katapun. Kejadian semalam sangat membekas di hati Sarah. Sehingga melepas Kecek kali ini sungguh sangat berat di rasakannya.
“Sri Baduga.” Parjo menjabat tangan orang tua yang sebaya dengannya. “Ini anak muda yang aku maksud, ingin ikut bersama kalian ke pulau Borneo.”
Kecek mengetahui beliau adalah kepala rombongan, ikut mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Mari anak muda, kita berangkat.” Sri baduga langsung mengarahkannya menaiki kapal besar penuh dengan barang-barang niaga.
Sesampainya di anak tangga menuju kapal Kecek berbalik, lalu kembali menghampiri Parjo dan Sarah, yang berdiri di dermaga menunggu keberangkatannya. “ Tuan aku sangat berterima kasih atas bantuanmu.” Sebuah pelukan hangat langsung mengarah di tubuh Parjo.
Kini Kecek beralih ke pelukan Sarah. “Aku akan kembali untukmu, setelah tugasku selesai. Aku janji.” Sebuah pelukan perpisahan yang penuh derai air mata, benih cinta telah mengikat dua hati mereka.
Di dalam kapal niaga Kecek meleparkan senyum perpisahan, dan lambaian tangan ke arah Parjo dan Sarah. “Aku pasti kembali, untukmu.”
Dari kejauhan Lawen terus mengintai pergerakan Manaf dari balik semak-semak, ia tidak melihat keberadaan sahabatnya Kecek. Selama kurang lebih tiga hari ia tidak berani muncul, takut di ketahui akan keberadaannya. Sekarang Lawen sungguh hati-hati dalam mengambil tindakan, ia tidak mau perjuangan yang baru ia lakukan menjadi sia-sia, ia bertekat akan membersihkan nama baiknya di kota gaib Saranjana. Dan mencari keberadaan Kecek dalam kondisi hidup atau mati.Di sebuah warung ia sungguh terkejut melihat photo dirinya yang terpampang sebagai seorang boronan internasional. Begitu serius ternyata kasus yang ia hadapi, beruntung ia sekarang memakai kacamata dan topi hitam, di lengkapi masker di wajahnya. Sehingga tidak mudah orang di sekitar untuk mengenalinya.Panglima Abdullah kini melebarkan misi pencariannya, dengan merekrut anak buah dari para pereman sekitar, ia kini lalulang dengan motor supra kesitu kemari beserta 5 anak buahnya. Dari kota gaib Saranjana. Di tambah ia kini memiliki
Semua sangkalan Lawen tidak di gubris sedikit pun oleh Abdullah, sifatnya yang garang dan penuh amarah ini selalu tidak memberi ampun kepada orang yang telah ia tangkap. Itulah sebabnya raja memilihnya sebagai Panglima tertinggi keraja’an Saranjana, selain bengis Abdullah memiliki sisi lain di dalam dirinya. Ia memiliki rasa peduli dan kasih sayang yang sangat dalam pada ibunya. Waktu dan lingkungan yang menenggelamkan sisi baik pada dirinya. “Ampun baginda. Panglima Abdullah sebentar lagi sampai ke istana membawa seorang boronan yang bernama Manaf.” Seorang penjaga gerbang melapor di hadapan Muhammad Janna. “Haaa....haa...haaa.” Tawa Raja menggelegar ke seluruh ruangan. “ Siapkan penyambutan yang hangat untuk mereka.” Sebuah karpet mereh di hamparkan sepanjang jalan menuju singgasana, Abdullah masuk dengan menyeret laki-laki yang telah di tutup kain hitam di kepalanya. Ia melempar tubuh kurus itu ke hadapan raja, hingga tersungkur. “Buka penutup kepalanya.” Perintah sang Raja. Dua
Walaupun persidangan tidak bisa menyatakan Lawen bersalah, tetap saja ia harus di masukan lagi ke dalam sel tahanan. Karena perlu beberapa pertimbangan lagi dari para tetinggi kerajaan dan persetujuan dari sang Raja.“Apa kabar, anak muda.?” Umar menyambutnya dalam tahanan.“Seperti kamu lihat orang tua, malaikat maut masih enggan untuk membawaku.”“Malaikat maut mungkin jijik kepadamu, sampai enggan mendakatimu.”Mereka sungguh sangat homoris tertawa bersama, walaupun terkurung dalam ruangan kecil, seperti tiada beban dari keduanya. Setelah beberapa hari, prajurit kembali membawa Lawen ke hadapan Raja. Kali ini pandangan Muhammad Janna sangat berbeda, ia begitu ramah berbicara pada Lawen, begitu juga dengan Abdullah. Kekek Jawo juga turut andil di dalam ruang singgasana, mereka sudah berjejer duduk di kursi masing-masing beserta orang penting.Lawen mendelik matanya ke arah Abdulah lalu menghadap Raja. “Ampun Raja, apakah saya akan dihukum mati sekarang.?”Haa haaa haaa Raja tertawa,
Manaf dan anak buahnya sedang sibuk mengangkut kotak kayu yang sangat besar, ke dalam mobil box entah apa isi di dalam kotak itu. “Cepat-cepat jangan sampai ada yang ketinggalan.”“Aku curiga di dalam kotak itu, adalah hasil rampokan.” Ucap Lawen yang bersembunyi di dalam semak-semak bersama Kecek dan Abdullah.“Emang apa dalam kotak kayu itu.?”“Kunyit Cek.”“Orang Saranjana doyan makan kunyit ya Wen.”“Bodoh, kunyit itu artinya emas.” Lawen memukul kepala Kecek, sehingga ia mendesis kesakitan.“Panglima, kapan kita pergoki mereka.?”“Sekarang lebih baik kita intai dulu, kemana mereka membawa kunyit itu.”Semua sudah selesai terangkut pintu belakang di kunci oleh salah satu dari anak buah Manaf, dan mobil box segera melaju meninggalkan rumah betang. Lawen dan kawan-kawan langsung mengejar mengunakan 2 motor trail, jalan yang hanya dari tanah liat membuat laju mobil box sangat lambat.“Wen sebenarnya kamu bisa enggak sih pake motor.!”“Bisa lah, ini buktinya kita di atas motor.”“Iya
Dari Sampit Lawen dan kawan-kawan pergi ke Saranjana menggunakan portal demensi dari kekuatan mandaunya, mereka menuju kediaman Kakek Jawo. Dari arahan Abdullah yang telah paham atas kelicikan Ayah dan adik tirinya, mereka langsung masuk ke halaman rumah dengan sangat marah.“Manaf, aku tau kamu berada di sini.” Teriak Abdullah dengan keras dan lantang.Jawo dan Manaf keluar dari rumahnya dengan senyum menyeringai, mereka sudah menunggu Abdullah.“Akhirnya sekian puluh tahun kamu kembali anak ku.” Jawo tersenyum licik menyambut Abdullah.“Cuih... dasar orang tua licik, aku sudah terkecuh karna olahmu ternyata kamu adalah dalang dari semua rencana ini.”Jawo bertepuk tangan. “Tidak aku sangka anak ku secerdas ini.”Lawen dan Kecek semakin bingung, mereka tidak menyangka Jawo yang mereka kira berada di pihak mereka adalah penjahat yang sebenarnya.“Dimana Uma ku.?” Ucap Lawen yang teringat Enon masih dalam rumah Jawo.“Jika kamu ingin Uma mu selamat lawan dulu aku.” Ucap Manaf santai se
Ketika Lawen sudah sadar ia terkejut mendapati dirinya sudah berada dalam kamar kerajaan, di sampingnya Kecek masih terbaring dalam kondisi pingsan. Lawen memegang kepalanya yang berdenyut dan di bagian dadanya masih terbalut perban.“Kamu sudah sadar.” Raja berdiri penuh wibawa di depan pintu. Untuk sementara waktu mereka di suruh istirahat oleh Raja, guna memulihkan kekutan dan menyebuhkan luka. Raut wajah Raja sekarang tidak setegang kemaren, tampak Raja sudah bisa mengikhlaskan kematian anaknya.Di istana yang megah nan luas, Lawen berjalan keluar kamar menuju taman bunga yang sangat indah, di sana Putri Lisa sedang duduk termenung di atas sebuah kursi. Hamparan bunga bunga yang indah bermekaran mengeluarkan harum semerbak di dalam rongga penciuman.Dari kejauhan Lawen memandang Lisa yang sedang menikmati sanset di pagi hari, di dalam hatinya sungguh mengagumi kecantikan Lisa yang mengalahkan bidadari. Tapi apalah daya Lisa adalah putri Raja dan ia hanya sebatas manusia biasa,
Lawen dan Kecek harap cemas, menunggu kabar baik dari Abdullah yang sedang berduel dengan Manaf, mereka hendak menyusul Abdullah tapi di halangi oleh Raja.“Kenapa baginda Raja menghalangi kami menyusul Panglima yang lagi bertempur seorang diri.”“Ini amanat Abdullah sendiri agar melarang kalian untuk menyusul, karena ini adalah masalah keluarganya.”“Tidak, walau bagaimanapun kita di sini juga keluarga Panglima.” Lawen bersikeras hendak menyusul Panglima Abdullah.Seorang prajurit berlari dengan sangat panik ke arah baginda raja, sepertinya ada kabar yang sangat penting di bawa oleh prajurit ini.“Ampun Paduka, hamba membawa berita dari duel Panglima.” Prajurit ini tidak mampu melanjutkan kata – katanya ia hanya menatap ke bawah.“Teruskan, berita apa yang engkau Bawa.”Prajurit itu menarik napas panjang “ Panglima Abdullah telah meninggal setelah memenangkan pertarungan atas Manaf.”“Abdullah,...... ia pasti menggunakan jurus terlarang, jurus terlarang yang hanya ia yang mampu meng
Lawen kembali melanjutkan petualangannya seorang diri, misi kali ini mencari ibunya Enon. Di mulai dari rumah Jawo, tempatnya menitipkan Enon tempo hari, namun tidak ada pertanda yang menunjukan keberadaan uma nya. Rumah Jawo penuh dengan mesteri, padahal sekarang tidak ada penghuni di sini tapi perabotan masih rapi hingga alat memasak masih dalam posisi bersih tanpa ada kotaran debu. Lawen terus menyisir setiap ruangan yang ada di rumah guna mencari petunjuk keberadaan umanya kemana mereka sembunyikan, di benak Lawen sangat ber harap Enon dalam ke adaan masih hidup.Ia memutuskan untuk kembali ke dunia nyata untuk menuju rumah betang, kerinduan yang bergejolak di dalam hati membawa air mata mengalir deras di pelupuk mata. Rumah betang kini terhambur berantakan penuh dengan debu, kenangan bersama Enon kembali terbayang bayang di dalam kepala. Tidak ada seorang anak pun yang tidak merindukan bidadari yang melahirkannya ke dunia.“Uma dimana? Maafkan Lawen tidak bisa menjaga Uma.” La